Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Halu Daily [9]

"BUMI ITU DATAR POKOKNYA!" seru Wina.

"ENGGAK! BUMI ITU BULAT!" balas Sharon, ikut-ikutan meninggikan volumenya.

"OH, YA? APA BUKTINYA?"

"BACA SEJARAH PERJALANAN PENJELAJAH DUNIA, DONG!"

"TAPI, MASIH BANYAK YANG PERCAYA AKAN TEORI BUMI DATAR. BAHKAN SAMPAI ABAD 17!"

"SEKARANG SUDAH ABAD 21! OPEN YOUR EYES, KAK!"

"POKOKNYA, BUMI ITU DATAR!"

"GELUD KITA, SUUUU!"

Muncullah dua buah tongkat kasti yang dilempar oleh Naomi dari lantai dua. Sepertinya kanjeng yang satu itu setuju untuk membuat gelud sang kedua umat yang meresahkan ini menjadi lebih real. Literally, real.

Mereka berdua menatap tongkat tersebut sebelum mengambilnya dan melakukan ancang-ancang untuk saling memukul atau melempar tongkat tersebut.

Dan akhirnya, kepala mereka terhantam keras tongkat kasti tersebut. Wina dan Sharon pun tak sadarkan diri (mampus).

Bukan aku yang ngetik.g -Wina

Apa yang terjadi selanjutnya benar-benar tidak terpikirkan. Baik oleh diri mereka sendiri maupun para penghuni rumah Halu. Karena nyatanya, yang terjadi setelahnya benar-benar mencengangkan.

✂--------------------------------

Halu Daily!AU
The Forgotten Pieces
"Ketika kebodohan berakhir dalam cengkeraman ketidakpastian."

✂--------------------------------

Unit Gawat Darurat di sebuah rumah sakit kini tampak ramai. Penyebabnya bukan karena pasien Covid-19 yang bertambah. Melainkan karena beberapa, ralat, semua penghuni rumah Halu mendatangi rumah sakit itu. Tentu saja penyebab kedatangan mereka ke sana adalah karena Sharon dan Wina yang kini masih belum sadarkan diri.

Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa mereka bisa masuk ke rumah sakit dengan mudah. Karena pada umumnya, para dokter di sebuah rumah sakit akan melakukan operasi hanya setelah pihak dari keluarga pasien melalukan pembayaran. Itu artinya, jika belum melakukan pembayaran, maka pasien tidak akan diberikan tindakan apapun.

Kejam, bukan? Padahal hal yang mereka bicarakan ialah tentang nyawa seseorang.

Tunggu, mengapa narasinya jadi serius seperti ini?

Uang yang dimiliki oleh keluarga Halu itu sebenarnya ada banyak. Wong mereka nguli tiap malem, alias ngepet. Tanya saja salah satu dari mereka. Dijamin kamu akan ditabok setelah bertanya demikian.

Canda, aku hanya berusaha untuk napas dengan paru-paru di sini. Bukan dengan insang.

Kedua gadis yang suka dengan gepengan itu telah dipindahkan ke kamar inap biasa yang entah mengapa terasa lebih adem. Mungkin karena adem, mereka jadi dipindahkan ke sana. Canda, dokternya napas pakai hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus kok.

Jangan ketawa. Halu Daily kali ini genre-nya angst, bukan komedi.

"Mereka... bakal baik-baik aja 'kan?" gumam Mars lirih.

Sebagai salah satu penghuni rumah Halu yang paling waras, tentu saja Mars khawatir. Bagaimana tidak, dua orang saudaranya kini hanya terbaring di atas brankar. Tampak lemah, letih, dan lesu. Padahal biasanya mereka sudah misuh-misuh di sana-sini.

"Kok kalian bisa jadi kek gini sih?"

Kini Shan-lah yang membuka suara. Tatapannya masih tertuju ke arah Sharon dan Wina dari balik kaca. Shan mengulum bibirnya. Rasa khawatir sudah menggerogoti dirinya sejak kedua saudaranya itu dikabarkan masuk rumah sakit.

Tatapan saling dilemparkan. Raga mendadak membeku dalam sunyi. Diri tak mampu berkata. Sementara benak dibelenggu oleh kerisauan.

Anjay, estetok narasinya— /slap.

***

Perlahan kedua matanya terbuka. Silau dari lampu menghalau mata. Menyadari bahwa dirinya tidak sendirian saat ini, diliriknya ke sebelah, di mana terdapat seseorang lagi di sana.

Rasa ketidaktahuan menyeruak dalam dada. Gadis itu perlahan bangkit dari posisi berbaring. Tatapannya dikembalikan ke sisi timurnya.

Wajah yang tampak asing terbaring di sana. Keningnya mengernyit. Berusaha mengingat dan mengenali siapa yang berada di sana. Namun, alih-alih menemukan jawabannya, kepalanya justru berdenyut hebat.

Sontak tangannya menyentuh bagian kepala di mana rasa sakit itu berada. Ringisan keluar dari bibirnya. Sementara dirinya larut dalam ketidakpastian.

"MOMMY WINA!! Omaigats, akhirnya Mommy sadar!"

Seruan itu mengejutkan si empunya nama. Ditolehkan kepalanya cepat ke arah daun pintu. Di sana, Yuna berdiri dengan membawa mangkuk berisi bubur di tangannya. Ia belum sarapan, katanya.

Namun, mendengar apa yang diucapkan oleh Wina, seketika Yuna mematung. Mangkuk di tangannya hampir saja terlepas dari genggaman. Apa yang dikatakan oleh sang dokter rupanya memang benar. Awalnya gadis itu menolak untuk percaya. Tetapi, kala ia mendengarnya langsung saat ini, seketika Yuna langsung mempercayainya seratus persen.

"Kamu... siapa? Lalu, siapa pula aku?"

***

Detik yang terus bergerak serta suara sepatu yang diketuk-ketuk ke atas permukaan lantai mengisi keheningan dalam ruang. Meskipun mereka sedang berkumpul saat ini, nyatanya mereka sibuk memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Jadi... Kak Wina dan Kak Sharon beneran amnesia?"

Dengan tatapan nanarnya dan tidak percaya akan kenyataan menyakitkan ini, Nata pun bertanya. Ia menatap satu per satu penghuni rumah Halu lainnya. Seraya berharap di dalam hatinya bahwa ada satu di antara mereka yang menentang pertanyaannya itu.

Namun, tidak ada. Hanya sepi yang ia dapatkan. Sekaligus menyatakan bahwa pertanyaannya itu diubah menjadi sebuah pernyataan yang mengandung kebenaran pasti.

"Terus sekarang gimana?" celetuk Shaa tiba-tiba.

Semuanya kembali berpikir. Memikirkan tindakan apa yang paling tepat untuk mereka lakukan saat ini. Selain diam di sana dan merenungi fakta yang ada.

"Kita harus membuat Sharon dan Wina kembali ingat dengan kita semua. Bener, 'kan?" ujar Mars di tengah keputusasaan yang melanda mereka.

Dianggukilah kepala mereka. Menyetujui pernyataan Mars tentang apa yang harus mereka lakukan saat ini.

Tepukan pada lengan Shan tiba-tiba membuatnya tersadar dari lamunan. Ditolehkan kepalanya ke sisinya. Mars menatapnya dengan tatapan nanar yang disembunyikan. Ia meraih jari-jemari Shan, menggenggamnya dengan erat.

Hal itu pun dilakukan oleh para penghuni rumah Halu yang lain. Kini mereka saling berpegangan tangan. Dalam benak, mereka semua mendoakan yang terbaik. Untuk Sharon dan Wina, serta bagaimana ke depannya.

Meskipun Sharon dan Wina sama-sama dicap meresahkan—khususnya oleh Naomi—mereka semua tetap menyayangi kedua gadis itu. Maka dari itu, kenangan yang telah mereka ukir bersama tidak boleh dilupakan begitu saja.

Benar, bukan?

***

Operasi mengembalikan ingatan Sharon dan Wina pun telah dimulai. Setiap hari, para penghuni rumah Halu secara bergantian mengajak mereka berdua untuk pergi ke suatu tempat. Sambil menceritakan hal-hal yang pernah mereka lakukan bersama.

Hari ini merupakan giliran Shaa, Shan, Nata, dan Key untuk mengajak mereka mengembalikan kenangan bersama. Sejujurnya mereka semua takut. Takut apabila ingatan milik Sharon dan Wina tidak akan bisa kembali. Namun, melihat keduanya yang selamat saat ini akibat kebodohan masing-masing pun tentunya sudah jauh lebih cukup.

Namun, setidaknya mereka berharap jika Sharon dan Wina bisa kembali mengingat mereka. Rasanya sungguh menyakitkan kala melihat tatapan mereka berdua yang menyorot kosong. Tampak bingung dengan apa yang terjadi. Karena nyatanya, mereka berdua pun melupakan jati diri mereka sendiri.

"Gimana? Apa kalian berdua udah inget sesuatu?"

Key membuka suara. Tatapannya tertuju ke arah Sharon dan juga Wina. Keduanya saling menatap sebelum akhirnya menggeleng secara bersamaan. Sebagai jawaban atas pertanyaan Key.

Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Key hanya menatap sedih ke arah dua orang yang kini tampak jauh lebih diam dan juga tenang. Seolah-olah Sharon dan Wina saat ini merupakan orang yang benar-benar berbeda.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Kini mereka tiba di sebuah danau yang dangkal. Di atas danau itu terdapat bunga teratai yang mengapung. Tampak rapuh, namun juga cantik.

"Ngapain kita ke—akh!"

Seruan itu telah lenyap bahkan sebelum selesai diucapkan. Pelakunya, Nata, rupanya telah terjatuh ke dalam danau. Meskipun danau itu dangkal, nyatanya Nata kesulitan untuk naik ke permukaan.

Dengan cekatan dan tanpa berpikir panjang, Sharon dan Wina membantu Nata terlebih dahulu. Sementara yang lain merasa tercengang atas apa yang terjadi. Bukan karena Nata yang terjatuh ke dalam danau, melainkan karena Sharon dan Wina yang membantunya tanpa mengatakan apa-apa atau bahkan tertawa.

"Kamu gak papa, Natha?" tanya Wina dengan air muka yang menyiratkan kekhawatiran.

Pertanyaan Wina itu diangguki oleh Nata. Namun, sedetik kemudian ia pun tersadar. Wina memanggil namanya dengan menggunakan huruf 'h' di antara huruf 't' dan 'a'. Mendengar hal itu, netra milik Nata justru berkaca-kaca. Ia baru saja menyadari bahwa Wina yang berada di depannya saat ini bukanlah Wina yang biasa ia kenal. Seseorang... yang berbeda.

"Kenapa Kak Wina gak ketawa aja pas aku jatuh?! Kenapa Kakak malah tolongin aku?!" serunya. Nata tidaklah marah, namun ia merasa kesal. Rasa gundah itu menyelimuti dirinya saat ini. Kesal karena dirinya yang gagal mengembalikan ingatan Wina.

"Maaf. Aku rasa aku gak mungkin ketawa pas kamu jatuh, Nath," balas Wina yang justru membuat Nata menangis.

Tangisannya itu menciptakan perempatan imajiner pada kening Wina. Namun, sesaat setelahnya ia berusaha untuk menenangkan gadis itu meski tangisnya kian mengeras.

Sementara Sharon hanya menatap mereka dengan kebingungan yang melanda. Ia masih tidak paham mengapa Nata justru menangis setelah ditolong. Apakah Sharon tak sengaja melukai gadis itu kala ia menolong dirinya? Atau karena sejujurnya Nata meneguk air dengan banyak kala terjatuh ke dalam danau?

Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa Sharon biarkan. Ya, ia biarkan tidak terjawab oleh siapa pun.

***

"Kita telah menyulitkan mereka, Sha."

Langit biru dihapus oleh sang jingga. Bersamaan dengan sang baskara yang hendak kembali ke peraduannya. Sharon dan Wina kini berdiri di tepi sebuah tebing. Tebing itu diberikan pagar setinggi pinggang. Mencegah siapa saja untuk melewatinya.

Mereka berdua dititahkan untuk menunggu di sana. Entah apa yang para penghuni rumah Halu lain ingin lakukan hingga meninggalkan mereka di tepi tebing itu.

"Um, benar, Kak," sahutnya setuju.

Hening kembali mengambil alih. Hendak merayu kedua manusia yang tengah merenung itu. Namun, hanya mampu menyelimuti diri mereka dalam kesunyian tanpa kata-kata.

Sejujurnya, baik Sharon maupun Wina masih tidak mengerti. Lebih tepatnya mereka tidak tahu. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak tahu siapa orang-orang yang selalu bersama dengan mereka selama tujuh hari belakangan ini, juga tidak tahu siapa diri mereka sendiri. Yang mereka ketahui hanyalah kenyataan bahwa kerap kali orang-orang di sekitar mereka mengeluarkan air mata kala tak sengaja tertangkap basah tengah menatap mereka berdua.

"Mereka bilang, kita mengalami lupa ingatan, atau lebih dikenal dengan amnesia," ujar Sharon tiba-tiba.

"Ya, kamu benar. Tapi, aku merasa kalau apa yang terjadi saat ini terasa seperti mimpi. Apa kamu juga merasa demikian, Sha?" Wina menoleh, menatap pada Sharon. Ingin tahu apa reaksi yang akan diberikan olehnya.

"Um, benar. Terasa seperti mimpi."

Kedua raga kembali termangu. Sedang hal-hal bersinggahan di dalam benak. Merenggut kesadaran mereka hingga akhirnya mereka hanya bisa terdiam menyaksikan kenyataan pahit ini.

"Kak, apa Kakak takut untuk mati?"

Pertanyaan dilontarkan. Netra teduhnya mencuri pandang. Mendapati Sharon yang tengah menunggu jawabannya.

"Nggak, Sha." Gadis itu terdiam sejenak. "Peluang manusia untuk mati itu sebesar angka satu. Yang berarti, semua manusia akan mati jika saatnya telah tiba. Maka dari itu, aku merasa gak takut untuk mati. Aku benar, 'kan?" Ia terkekeh di akhir ucapannya.

"Ya, aku setuju."

Senilir angin yang berhembus menyita atensi kedua raga. Salah satunya mengagah ke antara gegana yang menyembunyikan senja. Sedang yang lainnya tampak memikirkan sesuatu dalam benak.

"Kak, sepertinya saat kita telah tiba."

"Um, kurasa," sahut Wina tanpa mengalihkan tatapannya dari antara kumpulan uap-uap air di angkasa sana.

Wina pun menoleh, menatap ke arah Sharon di sisi kirinya. Tangannya diulurkan. Meminta Sharon untuk menyambutnya secara tidak langsung.

"Ayo, Sha."

Sunyi menyapa kalbu. Dentang bel mengejutkan dalam hening. Kedua raga sudah tak berada di sana. Begitu pula dengan sang sukma. Telah pergi jauh meninggalkan daksanya. Tenggelam ke dasar permukaan laut.

Begitu pula dengan kenangan yang telah terukir.

***

Angst gak? AHHAHAHAHAHAHAHHA.

Tau gak sih, chapter Halu Daily kali ini udah hampir ganti genre ke komedi berkali-kali. Sumpah dah. Capek aku😭👎🏿

Rasanya sungguh sulit untuk ngetik angst dengan chara para memb HaluPro. Karena jujur aja, jiwa-jiwa retjehku ini kek udah mengalir deres setiap kali aku ngetik Halu Daily🚶‍♀

Tapi tenang, aku dan Sharon gak amnesia beneran kok. Kami berdua akan selalu inget sama kalian, muachh😍

Pengennya sih beneran

/digebuk

Kalo aku sama Sharon amnesia, sepertinya kita berdua jadi waras. Benarkah begitu, Nona Sharon?

Maaf ya kalo kalian gak kebagian scene di sini. Maaf juga apabila ada OOC. Ingatlah selalu dengan perkataan Sang Owner di chapter Halu Daily yang sebelumnya :3

Oke segitu sj Halu Daily kali ini. Sy mau makan es mochi dulu. Iyes, aku makan diriku sendiri.g

Bye ges.

- 1796 words -

Sign,

Wina, miliknya maz Cipuy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro