Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[32] Separuh Jiwa yang Hilang (End)

[32] Separuh Jiwa yang Hilang

Hay. Assalamualaikum suami ganteng.

Kamu lagi ngapain? Tersenyum? Manyun? Ah sama aja deh bagiku karena kamu tetep ganteng, meskipun lagi pasang wajah terjelek. Suamiku mah nggak ada buruknya.

Abang, Zura bahagia sekali bisa menjadi istrimu. Itu impian aku sejak lihat sosokmu. Hehe ... Aku belum pernah jujur soal ini 'kan?

Ada satu rahasia yang belum aku ceritain. Sssst ... Jangan bilang ini ke siapa-siapa loh! Sebenarnya, aku tuh udah jadi stalker sejak pertama kali melihatmu. Aku memperhatikanmu dari jauh, mengikutimu, dan mendoakan di setiap solat semoga kamu juga suka sama aku. Waktu itu aku belum tahu namamu siapa. Jadi aku menyebutmu Cowok Masjid. Lucu, ya? Kamu sih rajin banget kalo udah masuk waktu salat pasti langsung ke mushala kampus kita. Aku paling suka dengar kamu azan. Adem banget. Kamu kaget, ya? Baru kali ini dapat fans kayak aku?

Abang ... aku punya suatu emosi yang nggak bisa dikendalikan ketika aku tahu kamu deket sama perempuan lain. Kata Nenek, aku suka ngamuk. Entahlah, aku juga nggak tahu kalau soal yang satu ini. Menurut kamu, gimana? Aku baik atau buruk?

Nenek pernah nasihati aku untuk minta maaf sama kamu. Sampai sekarang aku malah enggak sempat bilangnya. Maafin Zura, Abang, karena dulu sempat mengumpati kamu, menuduh kamu sebagai dalang yang bikin hidup aku menderita. Aku mencaci-maki kamu dan marah-marah menuding kamu yang udah menyebabkan Kakek meninggal sebelum aku bisa banggain Kakek. Penyebabnya karena aku sibuk ngarepin kamu yang ternyata lebih memilih gadis lain. Aku kecewa sekali waktu itu. Aku salah banget. Tolong maafin istrimu ini.

Waktu kamu baca pesan ini, aku rasa aku udah nggak bisa nemenin kamu. Huuft ... Belum-belum aku udah kangen. Maafkan aku, ya, aku bawa anak kita ikut aku. Hehehe ... Katanya dia mau nemenin Ibu.

Oh iya, Abang, aku ikhlas mengizinkan kamu menikah lagi. Kamu laki-laki baik. Aku percaya kamu mencintai aku. Enggak penting kenapa kamu mau menuruti Akhi Fakri. Aku yakin kamu punya alasan sendiri. Semoga kamu bahagia, walau aku udah nggak bareng kalian.

Aduh, aku udah kehabisan kata-kata nih. Jariku juga kram dan kaku ngetik pesan sepanjang ini. Aku mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Aku cinta banget sama kamu. Aku sebenarnya masih mau bercanda sama kamu. Marahin kamu. Katanya kamu takut sama aku. Sama, aku juga takut sama kamu. Makanya aku sok galak ke kamu. :)

Bang, hiduplah dengan bahagia. Jangan pernah nangis kayak waktu itu. Aku nanti juga ikut sedih. Aku kangen senyuman kamu, Bang.

Zahfiy, ana uhibbuka fillah.

Salam dari anak kita.

Istri Cantiknya Bang Zahfiy

Zura Azzahra dan anak kita

-----

Pesan itu telah kuhafal di luar kepala. Setiap waktu, selain kitab suci, surat itulah yang kubaca berulang-ulang. Sesuatu yang seseorang kirimkan kepadaku sebelum ia menghilang.

Aku ingin bercerita tentang dia. Seorang perempuan yang telah menjadi ibu dari anakku.

Pertama kali aku melihatnya dalam perjalanan pulang menuju kos-kosan. Detik itu juga aku telah terpesona. Dia mengenakan pakaian serba pink sambil menggerutu kepada sepeda motornya.

Zura, istriku, memiliki wajah yang cantik. Karena itulah, ia sangat menarik dari sekali pandang. Seperti pria pada umumnya, aku pun menilai fisik terlebih dahulu. Khususnya wajah Zura yang bersemu merah di bawah terik matahari serta bibir yang merengut lucu. Hingga saat ini, aku belum pernah mengakui hal itu.

Dia suka duduk di tiang besar pendopo kampus dan melirik-lirik ke arahku. Jangan kaget. Tentu saja aku tahu. Jiwa mudaku mengatakan 'Ayo dekati dia. Dia sudah memberikan kode.' Tapi aku berusaha keras agar tidak termakan bujuk rayu.

Hatiku mendidih ketika Ale menggoda Zura di depan teman-teman kami. Namun, egoku masih terlalu tinggi. Aku percaya bahwa Allah Maha Baik. Dia akan menjadikan Zura istriku bila saatnya tiba. Tak mengapa Ale merangkul pundaknya karena ia langsung diberenguti oleh Zura.

Aku juga tidak hanya tinggal diam waktu itu. Kususun sebuah rencana untuk mendekati Zura. Langkah pertama adalah meminta kuliah di rombongan yang sama dengan Zura. Beruntung, dosen terbaik mengizinkan, walaupun imbalannya aku harus mendapatkan nilai A dan mempersembahkan karya terbaik untuk beliau di akhir semester. Tidak tanggung-tanggung, Pak Zal berbaik hati menyatukan kami dalam kelompok yang sama. Zura istriku, satu-satunya wanita yang membuat aku bertindak di luar akal. Maksudnya, di luar kebiasaan.

Zura lucu, membuat hari tidak membosankan. Pertemuan selama latihan musikalisasi puisi adalah jalan untuk mengenal dia lebih dekat. Namun, di akhir masa perkuliahan, aku kehilangan kontak dengannya.

Ketika bertemu lagi, aku tidak percaya Zura tampil beda. Entah karena masalah apa, Zura berubah. Dia melepas hijabnya, berpakaian tidak sopan. Hanya saat mengajarlah dia kembali menjadi Zura yang aku kenal. Aku sempat membuat Zura murka dengan berkata, "Padahal dengan seragam sekolah tadi, kamu terlihat adem."

"Hidup saya, saya yang menjalani. Kamu dan semua orang tidak berhak mengkritiki apa yang saya lakukan dan apa yang tidak saya lakukan."

Karena jawabannya yang terdengar sinis itu, aku ingin membimbingnya.

Peristiwa berikutnya dengan Zura yang salah gaul juga terjadi di depan masjid. Gadis itu menciumku dan aku hanya terpaku. Jiwa mudaku bergejolak, mengentak-entak menerobos hati dan pikiran. Mengejek kekalahanku terhadap nafsu.

Hal yang terjadi di luar kendali saraf adalah aku menyukai sentuhannya. Hingga aku malu kepada diri sendiri. Malu terhadap Allah karena terlalu lama bermain dengan perasaan. Sejak itu, aku bertekad akan mengikat Zura dengan tali suci. Ikatan yang tidak bisa diputuskan oleh manusia.

"Kamu menyukai putri Om?"

Aku agak gugup. Padahal yang bertanya ini adalah Om Heri. Pria yang sudah membesarkan aku, yang kuanggap ayah sendiri. Dan ternyata beliau adalah papa kandung istriku.

"Iya, Om. Sudah lama saya menyimpan perasaan ini. Meskipun sempat hampir putus harapan, tapi Allah mempertemukan lagi saya dengan dia. Saya yakin Allah sedang membuka jalan untuk saya."

Om Heri sepertinya merasa berat untuk memberikan restu. Aku sadar, sebagai orang tua Om Heri pasti ingin mencarikan pasangan yang terbaik untuk Zura. Mungkin aku belum sempurna menempati calon imam bagi putrinya.

"Kamu betul-betul serius ingin menyunting putri Om?"

"Insya Allah, saya serius. Saya sudah berikhtiar selama ini untuk memberikan kehidupan yang layak bagi calon istri saya kelak." Akhirnya aku mengaku, "Sebenarnya sudah lama saya ingin dekat dengan dia. Tapi Om selalu bilang pada saya. Kalau saya harus melalui pernikahan dulu sebelum berinteraksi dekat dengan lawan jenis. Saya hanya mencintai sekali, Om, dan sampai sekarang perasaan itu hanya kepada Zura. Bolehkan saya menikahi Zura?"

Lugas. Itu yang diajarkan Om Heri. Sikap ini jugalah yang aku ambil untuk berhadapan dengannya.

"Om bangga sama kamu. Om sangat bahagia kalau kamu mau menerima putri Om. Tolong bimbing dan bawa dia menuju cahaya-Nya."

Jadi, Om Heri tidak pernah menjodohkan Zura. Inisiatif itu datangnya dariku sendiri.

"Abang! Lama banget sih di dalam!"

Tayara. Dia mirip dengan istriku. Adikku itu bersungut-sungut hingga bibirnya maju dan sungguh terlihat sangat jelek. Hanya istriku yang tetap cantik, walaupun ia sering berwajah masam. Istriku sangat menggemaskan kalau sedang marah dan ngambek.

Aku semakin merindukan Zura.

"Bang Fiyyan belum ganti pakaian?"

Tayara ke lemari di kamar. Sebagian pakaian memang masih ada di rumah ini. Kadang aku tidur di rumah Mami, walau hanya sekali dua kali dalam satu bulan. Itu pun paksaan dari Mami dan Tayara agar aku tidak kesepian menurut mereka.

Siang ini kami akan ke rumah Umi, ibu kandungku. Aku sudah jarang ke sana sejak peristiwa dua tahun lalu. Aku tidak ke rumah Umi kalau tidak ada acara keluarga.

"Pakai ini, Bang. Jangan bengong aja! Astagfirullah, Bang Fiyyan!"

***

"Nah, itu Abi udah dateng, Nak."

Perempuan yang menggendong balita di sana terlihat kurus. Hijab putih yang terulur hingga badan tidak dapat menutupi itu. Anak kecil bersamanya berceloteh dengan riang. Tangan mungil menunjuk-nunjuk diriku yang baru saja menginjakkan kaki di rumah ini.

"Assalamualaikum, anaknya Abi."

Lelaki berusia lebih dari satu tahun itu menggapai tangan ke udara. Dalam sekejap tubuh kecilnya beralih dalam gendonganku.

"Rindu, ya, sama Abi?"

"Bang Fiyyan, aku ke dalam dulu buatin minuman untuk kalian," pamit ibu si anak.

"Tayara bantu, Kak Eya. Abang, jaga anaknya baik-baik. Jangan sering bengong!"

Begitulah menurut mereka semua, aku sering 'bengong'. Padahal, mereka tidak pernah tahu bahwa saat diam itulah aku bisa memeluk istriku lagi, melihat tawa dari bibirnya, dan binar indah di matanya.

"Kita duduk, yuk." Si kecil kubawa ke belakang rumah. Sejak setahunan ini, halaman Umi disulap menjadi taman kecil. Sebuah ayunan menggantung di pohon mangga sebagai tempat main cucu-cucunya.

"Bii ... Bii ...." Tangan kecil Fikri hinggap di pipiku. Telapaknya basah. Ternyata berasal dari pipiku. Segera kuseka agar tidak ada yang menyadari ini.

Sejak kehilangan Zura, aku sering menangis diam-diam. Setiap hari bergumul dalam kerinduan. Sebab tidak ada yang dapat kulakukan untuk mengembalikan dia. Mungkin kalau tidak diajarkan agama sejak kecil, aku sudah pergi menyusulnya ke surga. Atau aku tidak dapat meraih Zura sebab lebih dulu terlempar ke neraka.

Hidup dalam penyesalan bukan pilihan tepat. Aku ingin kembali ke waktu dua tahun yang lalu. Ketika masih bisa menghirup aromanya, mendengar suaranya, melihat paras cantiknya, dan menyentuh raganya. Aku rindu memeluk dan menenangkan ia dengan segenap cinta di jiwa.

Istriku pernah berpesan, jangan pernah tangisi kepergiannya. Tetapi aku melanggar pesan itu. Aku ingin dia datang dengan wajah kesal. Kata-kata sepanjang rel kereta api di saat tidak menyukai apa yang kulakukan.

Selama setahun kepergiannya, aku tidak mencari. Mereka menyebutku hidup segan mati tak mau. Sebenarnya aku ingin ikut terkubur bersamanya. Seperti itulah yang kupikirkan sepanjang tahun. Namun, Allah tidak mengabulkan harapan itu. Aku masih diberikan napas dan dibiarkan melihat matahari hingga semakin remuk dalam penyesalan.

"Bangun dari kenyataan, Bang! Kalau mau mati, ya, cepat! Lompat sana ke laut!" Adikku tak pernah berhenti mengolok-olok.

"Zoffan! Kamu ini, ya, omongannya nggak enak didengar. Keluar sana! Fikri bangun tuh."

Perdebatan seperti itu dilakukan Umi dan Zoffan setiap aku berkunjung. Telingaku sudah kebal.

"Bang Fiyyan tuh yang nggak enak dilihat ... bentuknya. Tampang udah kayak bunga layu yang nggak disiram-siram. Kasihan banget."

Yang paling menyakitkan setelah kehilangan adalah sebuah penyesalan. Kenapa dulu aku tega menyakitinya? Kenapa tidak memikirkan perasaannya?

Hidup di dunia hanya sementara. Kehidupan akhirat itulah yang kekal. Sebab itu, aku ingin memberikan surga untuk Zura. Kebetulan sekali Akhi Fakri meminta sebuah pernikahan untuk keponakannya. Aku tidak pikir panjang dan malah mengambil jalan salah. Konon jika seorang istri ikhlas melihat suami menikah, surga menjadi balasannya. Karenanya, aku melakukan hal keji sampai ia menghilang dari bumi.

Aku sangat menyesal.

Satu tahun berlalu sia-sia, akhirnya aku menyadari sesuatu. Aku harus menemui Mama Faralyn. Mohon ampun kepada ibu mertua karena lalai menjaga amanahnya.

"Kenapa baru datang sekarang, Fiy? Zura sudah kembali ke Tanah Air. Katanya dia enggak suka masakan sini."

Tidak ada yang memberi kabar bahwa Zura masih hidup. Mama sepertinya menganggap aku juga tahu kenyataan itu. Istriku masih di dunia yang sama. Kami tidak berada di alam berbeda. Sejak hari itu, aku mulai mencari ke seluruh penjuru.

"Bii ... Bi ...." Fikri sungguh menggemaskan. Ia balita sehat dan tumbuh dengan baik. Tawa Fikri begitu nyaring saat tangannya kutangkap.

"Jalannya hati-hati, Kak! Bang Fiyyan! Lihat Kak Eya lari tuh, nggak sadar lagi hamil muda."

Perempuan yang tadi pamit membuat minuman bergeleng tak setuju. "Kamu kira hamil muda ini penyakit? Kalau jalan dari dalam ke halaman aja nggak boleh, terus selama masa kehamilan aku harus rebahan aja? Yang ada badanku gembung di sana sini."

"Fikri sini sama Mami! Abinya haus mau minum." Fikri kembali ke gendongan ibunya. Si kecil sepertinya belum puas bertemu. Ia menjangkaukan tangan kepadaku.

"Minum dulu tuh, Bang. Di meja, ya, aku ke dalam mau nidurin Fikri."

Setelah Eya masuk, aku menuju meja yang ia maksud. Tayara tengah menyesap minumannya dengan khusyu.

"Bang Fiyyan enggak apa-apa?" Tayara meletakkan gelas ke meja.

"Menyesal untuk apa?"

"Kak Eya ...."

"Abang enggak ingin membahas masalah yang sudah lama."

"Kenapa? Bang Fiyyan mau sendirian sampai tua?"

Hari naas itu, aku tidak bisa memikirkan hal lain selain 'Aku telah membuat istriku celaka' dan 'Istriku telah pergi'. Semua acara yang direncanakan hari itu batal. Sebulan kemudian, kudengar Zoffan menikahi Eya. Aku tidak tahu dan tidak mau peduli pada yang terjadi luar.

"Abang punya seorang istri yang saat ini sedang bersembunyi."

Ini sebuah alasan bagi mereka yang menyuruhku mencari pengganti Zura. Sampai mata tertutup dan napas pergi, aku takkan menggantikan posisi Zura.

***

Aku tinggal di rumah Anduang Rafiyah, yaitu tempat Zura dibesarkan. Ini istana kami ketika memulai segalanya. Sebaliknya, aku jarang ke rumah Umi karena di sanalah semuanya berakhir.

Dua tahun satu bulan sebelas hari kepergian Zura. Sampai sekarang jejaknya tak dapat ditelusuri. Saksi kecelakaan, warga yang punya toko di dekat jalan raya, mengatakan kalau Zura dibawa seorang laki-laki naik mobil.

Mengapa aku masih bingung kalau ibu mertuaku pasti tahu keberadaan anaknya?

Mama Fara tidak memberikan alamat padaku karena permintaan Zura. Kecewa? Sedih? Frustrasi? Iya.

Aku pantas mendapatkan balasannya. Karena itu, aku ingin usaha sendiri menemukan anak dan istriku. Ingin meluluhkan hatinya yang pasti sangat membenciku.

Aktivitas yang paling kusenangi sebagai humas sekolah tinggi adalah bepergian ke luar daerah. Ketika pihak kampus mengutusku, aku akan gunakan waktu dan tempat itu untuk mencari Zura. Merambah pelosok hingga yakin di sana tidak ada Zura. Kali ini ke Jakarta. Aku pernah mencari istriku di Ibu Kota. Hasilnya nihil.

Ckiiiit

"Ada apa, Pak?" Tiba-tiba taksi yang aku tumpangi direm mendadak.

"Ada orang nyebrang sembarangan, Mas."

Aku melongokkan kepala ke luar jendela mengikuti arahan tunjuk sopir.

"Si mbaknya syok banget tuh kayaknya, Mas. Aduh nggak tega saya sebenarnya. Tapi ya gimana lagi, wong dia yang salah."

Aku tidak mendengar lagi karena dengan cepat membantu wanita muda itu. Dia sedang meringkuk di trotoar dengan kedua tangan di telinga.

"Mbak! Mbak! Sudah nggak ada apa-apa. Tenang ya, Mbak." Aku ikut berjongkok menyamai tinggi dengannya. Ia masih menggigil. Wajah ditundukkan.

"Takut. Mobil. Mobil itu ...."

Aku segera mengangkat wajah wanita itu dengan ujung jari. Dia masih bergumam tanpa jeda. Matanya terpejam. Pipinya ... bukan pipi chubby seperti pipi istriku. Ia lebih tirus, tapi matanya .... Wanita itu membuka kelopak, lalu kedua netranya langsung menatapku dalam kabut ketakutan. Mata itu milik Zuraku.

Reaksi tubuhnya masih sama. Dia kaku sewaktu dipeluk, lalu beberapa saat kemudian akan tenang.

Dia Zura. Istriku yang bersembunyi akhirnya ketemu.

***

Extra Part di Karyakarsa Sevyent


SELESAI

OKI, 17 Mei 2020

Terima kasih atas semua dukungan untuk cerita Zura dari awal sampai akhir. Kasev tahu kakak yang sering komentar ini adalah pembaca lama Zura. Makasih banyak sudah baca ulang versi revisi ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro