[30] Permintaan Paman Eya
[30] Permintaan Paman Eya
"Kenapa nggak tidur, Ra?" Suara serak menyelinap lewat liang telinga. Pemiliknya mengucek mata, merapal sesuatu yang mungkin doa, kemudian meregangkan tubuh. Ia turun dari tempat tidur setelah duduk selama beberapa detik.
"Belum ngantuk. Abang kebangun karena aku?"
Zahfiyyan berselonjor di sisiku. Ia merebahkan kepala di bahu ini. Bukan hanya kepala Zahfiyyan yang berat, akan tetapi masalah kami juga. Entah bagaimana kejadiannya, Zahfiy tampak tidak tenang balakangan ini. Dia sering mengecek ponsel lalu membuang napas berat. Sesekali ketika ada yang menelepon, ia bicara pelan-pelan. Setelah selesai, matanya tidak fokus seolah si penelepon membisiki akar masalah. Ia bak memikul seton beras di pundak. Tadi kubiarkan ia tidur setelah salat Isya karena kelihatan sangat mengantuk.
Sekarang pun juga. "Bang ... kembalilah tidur. Kamu sepertinya ngantuk sekali," suruhku sambil mengusap belakang kepalanya.
"Maaf ya, Sayang."
Aku bungkam dalam tanda tanya. Apa Zahfiyyan sebetulnya sedang mengigau? Untuk apa tiba-tiba meminta maaf di tengah malam? Justru aku jadi berpikiran. Sejak Eya tinggal di rumah Umi, perasaanku sering diruangi gelisah. Berulang kali aku rapali janji terakhir Zahfiyyan yang ia ucap setelah Zoffan marah-marah. Namun, mulai hari itu Zahfiyku selalu berada di rumah. Ia pulang cepat, memelukku, dan mengusap tempat bayi kami bergelung hingga terlelap. Jadi, aku bisa mengondisikan pikiranku sendiri.
Aku tertidur sehabis Subuh. Saat terbangun, Zahfiyyan tidak ada di sekitar kamar. Mungkin Zahfiy sedang murojaah di ruang tamu sebagaimana yang Nenek lakukan. Suara krek tulang terdengar begitu aku meregangkan tubuh.
"Tidak bisa. Pulang kerja nanti saya tidak dapat ke mana-mana lagi."
Menelpon dengan siapa lagi?
Pagi ini ingin kumulai dengan batin yang tenang. Aku enggak mau banyak pikiran yang hanya bikin dada dirajam curiga. Buat apa? Hati ini nanti bisa tambah nelangsa. Aku percaya Zahfiy. Dia mencintaiku seperti aku mencintainya. Lebih baik kembali ke kamar dan rebahan lagi. Akhirnya, tidak kuhiraukan dengan siapa Zahfiy bertelepon.
Kuap datang ketika punggung telah kurebahkan. Kedua mata kupejamkan. Hari ini aku tak punya jam. Seharian bisa malas-masalan. Memasak untuk Zahfiyyan? Sejak aku hamil, dia lebih rajin menyajikan makanan.
"Izinkan aku menikahi Eya."
Kontan dua kelopak terbuka. Kantuk hilang seketika.
Lancar, datar, dan kejam. Matanya menatap lurus kepadaku tanpa perasaan dan keraguan. Aku hanya bergeming sambil menyelami ainnya. Ia tak lagi berkata apa-apa. Sepertinya ia menungguku yang lebih dulu buka suara, menanyakan atau menolak, dan mustahil menyetujui.
Itu sudah gila!
"Kamu minta apa?"
"Izinkan aku menikahi Eya."
Bola mata ini melebar sempurna. Jangan tanya apakah aku menangis. Tidak semudah itu. Yang ada dadaku perih terasa berapi. Ya, api kemarahan.
Dia manusia apa bukan?
"Kalau begitu ceraikan aku!"
"Tidak akan."
Aku berdiri diikutinya ke meja makan. "Masih mau minta menikah lagi? Kalau begitu, pegang pisau ini." Kuulurkan benda tajam yang aku ambil dari kotak sendok.
"Untuk apa?" Zahfiyyan terlihat bingung melihat tanganku yang mengacungkan pisau.
"Sayat nadiku sekarang!"
"Jangan berpikiran gila, Zura!" teriaknya.
"Kenapa? Enggak berani? Kamu yang gila, Zahfiyyan! Kamu enggak punya hati! Aku udah bilang sejak dulu, aku tidak mau ada orang ketiga. Lepasin aku kalau mau nikah lagi! Ceraikan aku!" Napasku memburu. Panas dan sesak.
"Tidak akan," jawabnya pelan atas permintaan yang kuucapkan dengan lantang.
"Baik. Tarik semua permintaan kamu tadi!"Aku memelankan vokal.
"Tidak bisa, Ra. Aku harus melakukannya." Air mukanya terlihat sekeruh kemarin.
"Kalau begitu, jatuhkan talak sekarang juga!" lirihku memohon jika ia masih punya hati.
"Tidak akan pernah, Zura Azzahra!" tegasnya. "Aku mencintaimu," ucapnya sepelan embusan napas.
Ia berhasil membungkam kalimatku. Bukan karena takhluk, namun aku bingung. Adakah alasan yang lebih waras ketika kau meminta izin untuk menikahi wanita lain di saat kau mencintai istrimu?
Allah. Kenapa takdir-Mu sesakit ini untuk dijalani?
Dahulu aku banyak berkhayal. Suatu hari aku dan Zahfiyyan akan hidup bahagia bersama anak kami. Namun, lihat apa yang dia lakukan? Dia ingin mendatangkan wanita lain dalam rumah tangga kami. Anakku bahkan belum lahir. Kebahagiaan kami belum utuh.
Lamat-lamat aliran air hangat dari kolam mata mulai turun ke pipi. Tak berapa lama ia pun menjadi isakan. Ternyata aku tidak bisa setegar para istri di luar sana. Istri yang kuat di saat suaminya kawin lagi. Baru dengar rencananya saja, aku sudah meraung. Bagaimana jika suamiku tetap melakukannya, meski tidak aku izinkan? Aku tak mau ada air mata, tapi ia masih turun juga.
Zahfiyyan merangkulku dan mengusap punggung ini perlahan. Aku bisa menangkap makna sayang, tetapi tetap saja sakit untuk dibayangkan.
Aku harus bagaimana?
Dia mengatakan mereka harus menikah. Apa sebenarnya yang terjadi? Mungkinkah dia sudah berhubungan terlalu jauh dengan Eya, walaupun ia masih mencintaiku?
"Ra!" Suara Zahfiyyan terdengar lebih keras. Seseorang sepertinya tengah memukul-mukul pipiku dengan pelan. "Zura!"
Mataku terbuka. Wajah Zahfiyyan yang tampak cemas menjadi objek pertama yang kulihat. Refleks aku duduk lalu melindungi perut dengan memeluk tubuh erat-erat.
"Kenapa, Ra? Kamu mimpi buruk?"
Zahfiyyan mengejarku yang beringsut. Aku menggeleng dan segera menepis punggung tangan yang ingin menyentuhku.
"Mimpi apa sampai membuat kamu menangis seperti ini, Ra?"
"Mimpi tabrakan motor," jawabku random.
Dia beristigfar. Pelan ia usap kepalaku dan mengatakan kalau itu hanya bunga tidur. "Itu makanya, aku selalu melarang kamu tidur pagi-pagi, Sayang."
Aku melengos ketika birainya mengembang setampan biasanya.
"Aku ingin mati ups ... ingin mandi. Keluar sana!" dorongku pada punggungnya.
Aku perlu waktu untuk menganalisis mimpi tadi. Sebab jika aku bertanya sesuatu, Zahfiyyan selalu bisa meyakinkanku.
Ia tersenyum sambil mencubit pipi juga mengacak poniku seperti kebiasaannya. "Iya. Iya aku keluar. Aku di depan, ya. Kalau udah laper, langsung ke meja. Aku tadi sudah masak."
Selepas kepergian Zahfiyyan, aku mengunci kamar. Dengan cepat aku menyambar telepon seluler Zahfiyyan yang digeletakkan di atas meja. Ia sampai lupa membawa kembali gawai ini bersamanya. Layarnya menampakkan foto diriku yang tengah tersenyum memakai bando putih di atas poni. Aku mencari panggilan masuk. Nomor terakhir yang menghubungi adalah nomor asing.
"Bang Fiyyan tidak menyimpan nomor telepon perempuan," kata Tayara waktu itu.
Satu-satunya cara untuk mengetahui siapa yang menelpon Zahfiyyan sebelum aku tertidur tadi adalah dengan menghubungi nomor itu. Dadaku berdetak lebih cepat sambil menunggu seseorang menjawab panggilan. Apakah benar ini nomor yang sering menelepon Zahfiy?
"Halo. Assalamualaikum, Zahfi," balas suara perempuan.
Ya Allah, kenapa Zahfiy tega melalukan ini? Pagiku tidak bisa tenang seperti yang diharapkan.
Aku masih berharap ini hanya sambungan mimpi. Perlahan aku mengucap kalimat sakti yang dulu kakek ajari ketika hati dirajam gelisah. Allah, aku mohon kepada Engkau, berikan aku jiwa yang tenang kepada-Mu, yang yakin suatu hari nanti akan bertemu dengan Engkau. Tuntunlah aku agar selalu rida dalam menerima segala ketetapan-Mu dan merasa cukup menerima seluruh pemberian-Mu.
Aku berusaha untuk berpikiran positif. Hm ... tetapi jika aku menyelidiki aplikasi perpesanan suamiku, tidak termasuk negatif thinking 'kan? Dewi batinku bilang bukan. Aku boleh melihat interaksi suamiku dengan rekan dan kenalannya. Zahfiy bahkan tidak mengunci gawai. Itu pertanda tidak terdapat hal-hal yang salah.
Akhi Fakri mengirimkan pesan beberapa hari yang lalu. Namun, tidak terlihat Zahfiyyan membalasnya. Aku boleh membacanya 'kan?
Rupanya rasa curiga tidak bisa hilang, walaupun aku telah memaksa seluruh nadi untuk mempercayai janji Zahfiy. Buktinya, nama Akhi Fakri sangat menarik perhatian dibanding pengirim lain yang lebih baru.
Akhi Fakri
Saya percaya, kamu akan tetap datang, meskipun beberapa kali menolak ajakan saya. Ini alamatnya. Saya tunggu hari Jumat bakda Asar.
Dalamnya pesannya terlampir share location.
Hari ini ....
Aku segera membersihkan diri, meminum vitamin, dan menguatkan hati bahwa kegelisahanku akhir-akhir ini tidak ada maknanya. Mengenai suara perempuan tadi, aku tidak begitu peduli. Zahfiyyan tidak menyimpan kontaknya setelah beberapa kali perempuan itu menghubungi.
Kamu enggak ada di HP suamiku, apalagi di hatinya!
"Bang. Karena aku hari ini free nih, aku izin ke rumah Avika, ya?" tanyaku setelah meminum susu bikinan Zahfiy. "Kita mau sharing soal kehamilan."
"Boleh. Mau diantar?" tawarnya.
"Iya dong! Kamu kerja 'kan lewat sana."
***
Avika berjalan tanpa kesusahan dengan perut besar. Secara fisik aku telihat lebih besar dari Avika. Padahal ia di trisemester tiga, sedangkan aku baru trisemester satu. Perutku belum sebesar Avika, tetapi berat badanku mungkin tiga kali lipat dia.
Kami duduk di sebelah bangku yang diduduki Zahfiyyan bersama Akhi Fakri dengan memastikan mereka tidak menyadari dua wanita hamil ini. Aku dan Vika belum terlambat. Zahfiyyan juga sepertinya baru datang karena Akhi Fakri berkata tidak apa-apa dia pun baru tiba.
Mereka berdua saling menanyakan kabar. Sekitar dua puluh menit pembahasan mereka tidak ada yang mencurigakan.
"Bagaimana dengan permintaan saya, Fiy? Kamu sudah memikirkannya?"
Deg
Aku dan Avika saling pandang.
"Saya tetap tidak bersedia, Akhi. Demi Allah, saya mencintai istri saya. Saya tidak ingin menyakiti hatinya."
Avika menumpuk tangan kami. Mungkin dia berusaha memberikan aku kekuatan lewat sentuhan dan tatapan. Ya, dia mampu. Aku masih sanggup mendengarkan kelanjutan perdiskusian antara Zahfiy dengan pamannya Eya.
"Lakukan ini demi menolong Eya. Kamu sudah lihat sendiri bagaimana kehidupan keponakan saya. Bantu dia dengan menjadi suaminya ... sebentar saja."
"Akhi pasti tahu ini permintaan yang sangat sulit. Saya tetap tidak bisa."
"Sebenarnya bukan hanya para penagih utang. Ada yang paling membuat saya cemas jika membiarkan Eya hidup tanpa pendamping."
Mereka berdua terdiam. Aku tidak bisa melihat bagaimana wajah Zahfiyan, namun suaranya terdengar tertekan. Suamiku tidak setuju dengan omong kosong cerita Akhi Fakri.
Apakah pamannya Eya akan terus memaksa Zahfiy? Kenapa dia minta tolong kepada lelaki yang telah menjadi suami?
"Seseorang terobsesi kepada Eya. Keponakan saya dalam bahaya, Fiy. Eya tidak bercerita kepada saya tentang hal ini. Dia menyimpan masalah itu sendirian."
"Kenapa tidak laporkan ke polisi?"
Iya, Zahfiy. Suamiku pinter.
"Tidak semudah itu. Semua perlu bukti. Kamu pikir bukti apa yang paling kuat selain sesuatu yang buruk benar-benar terjadi kepada Eya? Dan saya tidak akan mengambil risiko seperti itu. Tolong lindungi keponakan saya, Fiy. Saya memohon sebagai walinya Eya."
"Akhi sedang meminta pada orang yang salah. Saya sudah punya istri. Saya enggak mau membantu wanita lain lalu menyiksa hati istri serta hati saya sendiri."
"Kamu tidak ingat? Saya meminta kamu menjadi suami Eya dari awal. Sejak kamu beralasan ingin fokus untuk kuliah. Saya mohon pertimbangkan ini. Sebentar saja. Berikan Eya status istri agar pria itu menjauhi keponakan saya."
"Kenapa harus saya? Jika cuma untuk status, nikahkan saja dia dengan pria yang belum menikah."
Sepertinya aku tahu apa jawaban Akhi Fakri. Pasti dia ingin bilang kalau Eya mencintai Zahfiy. Demi membahagiakan Eya sebentar saja, tolong nikahi Eya. Lah ini aki-aki kok ngotot banget sih ingin keponakannya dinikahi? Kayak Eya enggak laku aja. Wanita secantik itu pasti banyak yang suka.
Seseorang terobsesi kepada Eya.
Ternyata menjadi cantik itu tidak enak.
Aku menggeleng kepada Avika dan mengajaknya pergi dari sana. Aku tidak sanggup mendengar jawaban akhir Zahfiyyan. Aku akan percaya kepada Zahfiy. Aku yakin dia tidak akan setuju.
Namun ... bagaimana jika dia bilang 'iya'?
Cepat-cepat aku tarik tangan Avika. Ibu hamil itu sedikit payah mengikuti kegesitan langkahku.
"Kalau kamu berada di sisiku, apa yang akan kamu lakukan, Vika?"
Mas Andy sudah datang menjemput permaisuri hatinya. Sebelum kami masuk mobil, aku mau tahu dulu sudut pandang Avika. Jangan sampai kami membahas hal ini di dekat Bang Andy. Bisa-bisa Bang Andy malah mendukung Akhi Fakri dengan alasan yang terdengar dipaksakan—bagi telinga para istri.
"Niatnya ingin membantu 'kan, Ra? Aku akan kasih izin sih. Kamu takut nanti akan sakit hati seperti yang Zahfi bilang tadi, ya? Sakit hati itu terjadi kalau kita sangat mencintai kalau menurut aku. Nah, aku dari awal selalu bilang ke diriku, aku mencintai Allah di atas cinta kepada suamiku. Mau Mas Andy menikah lagi, asal dia tetap ngasih aku nafkah, silakan."
"Kok bisa gitu sih, Vik? Kamu nggak cinta sama suami kamu?"
"Yah ... pokoknya aku kasih izin. Toh cuman sebentar. Kalau misal Mas Andy tahu agama, dia pasti bisa adil."
"Kalau Mas Andy enggak adil?"
Eya lebih baik dariku. Dia cantik, baik, dan cerdik.
"Nggak apa-apa. Inikan aku. Kalau kamu enggak sanggup, ya jangan kasih izin. Kamu kan cinta banget sama Zahfi."
"Maksud kamu aku lebih cinta suamiku dari Tuhanku. Gitu?"
"Vika! Zura! Ayo!" panggil Bang Andy tiba-tiba sudah merangkul lengan Avika.
Nah, rasain! Kayaknya Bang Andy dengar.
Sepanjang perjalanan pulang, Bang Andy cuma diam. Mungkin dia tidak ingin membahas perkataan Avika di depanku. Avika sih! Masa segampang itu merelakan suami menikah lagi?
Allah, semoga Zahfiy tidak goyah. Jangan sampai Zahfiy menyakiti kami berdua demi Eya.
***
Bersambung....
14 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro