Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[29] Tolong Baca Hati ini

[29] Tolong Baca Hati ini

"Ra kenapa nggak pernah hubungin aku lagi?"

Tuhan! Kenapa dia bisa ada di kamar suamiku? Apa yang dia lakukan di rumah mertuaku? Kaki ini sempat gentar sebelum aku bisa menguasai diri. Allah. Kuatkan aku. Aku berupaya menarik sudut bibir untuk tersenyum membalas sapaannya.

Eya Driella Fathahani tersenyum seindah mentari pagi. Menurut Ale, Eya dan Zahfiyyan adalah couple dari kampus selatan. Status yang kemarin membuat perutku panas hingga mungkin melahirkan lebih cepat.

Astagfirullahal'adzim. Mulutku ini!

Dia sangat cantik dengan tubuh kecil, tertutup pakaian serba dalam juga hijab modis. Eya merupakan sosok perempuan yang tahu menjaga penampilan. Wajahnya yang kecil dengan bibir kemerahan tersenyum menghampiriku. Langkahnya seringan kertas. Keceriaan mutlak tergambar dari paras eloknya.

Oke Zura, tenang. Mungkin dia numpang menginap dan hanya kamar Zahfiy yang kosong di rumah ini.

"Hm ... Kamu yang melupakanku, kan?"

Eya tergelak dengan gigi-gigi yang berderet rapi. Pipi putihnya menggembung dan menjadikan ia terlihat menggemaskan. Langkahnya cepat saat berjalan hampiriku di bangku.

Gadis satu ini tidak tahu bahwa dia sudah membuat tahun-tahun hidupku berlangsung buruk. Secara tidak langsung, dia yang bikin aku salah paham kepada Zahfiyyan. Coba dulu kalau dia tidak sesumbar akan dinikahi Zahfiyyan selesai S1? Di mataku nilai Eya tidak sebagus wajahnya. Ternyata hatiku masih mendendam.

"Kayaknya aku yang harus cari kamu, ya, karena aku banyak utang sama kamu." Dia duduk di seberang kursiku.

Kamu menyadarinya sekarang?

Tidak sepatutnya aku menghitung-hitung kebaikan yang telah kulakukan. Namun, rasa ikhlas yang dulu berganti marah ketika dia merusak impianku bersama Zahfiyyan. Lalu saat aku telah bersama Zahfiy, dia datang lagi. Semoga ia tidak menjadi antagonis dalam kehidupan rumah tanggaku.

Tuhan, tolong jangan. Jauhkan aku dari suuzan kepada suamiku sendiri juga kepada wanita yang sebetulnya friendly.

"Kamu yang banyak bantu aku waktu kuliah." Eya mengingatkan.

Aku tidak akan lupa, Eyaaa.

Kami selalu satu kelompok dalam mata kuliah dan Eya cuma numpang nilai saja. Pernah suatu sore dia merayuku untuk bikin tugas susulan miliknya sehingga aku batal pulang.

Orang Minang terkenal dengan basa-basinya sebab pepatah menuliskan begini: Nan kuriak iolah kundi, nan merah iolah sago. Nan baiak adolah budi, nan indah adolah baso. Intinya, yang indah dalam hidup ialah basa-basi.

Jadi, dalam rasa tak tenang aku tetap harus tersenyum kepada mantan teman sekelas yang menyebalkan ini. "Aku dengar berita soal keluargamu. Maaf, ya, aku enggak bisa bantu apa-apa."

"Nggak masalah. Aku sudah nggak apa-apa kok." Bibir Eya rekah oleh senyum.

"Jam berapa Fiy pulang semalam, Ra?" Umi tiba-tiba memutuskan obrolan kami.

Tuhan, kenapa aku mencium sesuatu yang tidak menyenangkan di sini?

Aku juga tidak tahu pukul berapa Zahfiy pulang.

"Jam dua belas, Mi."

"Tadi malam semuanya kacau. Untung ada Zahfi di sini." Lantas aku beralih dari Umi kepada Eya.

"Sebenarnya aku punya masalah, Ra. Aku dikejar para penagih utang. Sudah beberapa hari aku buron dari mereka. Sampai tidak sengaja aku ketemu Zahfi di depan kampusnya. Lalu aku ditawari bekerja di sana. Dan kemarin aku juga diajak Zahfi tinggal di sini sementara. Oh, semalam semuanya keruh. Mereka sudah tahu tempat sembunyiku. Tahukan, Ra, aku hidup sebatang kara dan terancam oleh beberapa pria beringas. Mengerikan, Ra. Alhamdulillah Zahfi mengurus mereka untukku."

Aku tidak ingin percaya! Kamu hanya mengarang cerita!

"Sudah, Nak. Jangan kamu pikirkan. Allah pasti akan membantu kita. Kamu pasti akan keluar dari masalah ini. Percayalah kepada-Nya."

Allah. Perhatian Umi kepada Eya mampu bikin aku cemburu. Apalagi jika dugaanku benar bahwa Zahfiy berperan penting dalam melindungi Eya.

Sebenarnya, ada hubungan apa mereka di masa lalu? Kenapa harus Zahfiy yang menolong Eya? Mengapa harus Eya yang dibantu suamiku?

"Bagaimana dengan calon cucu Umi?" tanya Umi seakan-akan punya telepati dalam membaca isi hatiku. "Umi sangat bahagia karena memiliki Zura dan sebentar lagi dapat cucu juga. Fiy itu girangnya bukan main waktu pertunangan Zura gagal dengan lelaki lain."

Aku belum pernah menceritakan Zahfiy bersama Umi. Jika sekarang waktunya dan didengar Eya, aku tak peduli. Zahfiyyan sudah jadi suamiku. Masa lalu antara mereka telah berdebu. Apa pun yang mereka miliki dahulu, pasti mengelupas oleh waktu.

"Umi lihat sendiri perubahan anak Umi sebelum pergi ke Jawa untuk lanjut kuliah. Seolah dia sudah membuat kesalahan besar. Lucunya Fiy tidak pernah lagi minum kopi manis sejak saat itu. Katanya ia tidak mau mengonsumsi minuman itu jika harus membayangkan senyum manis seseorang berubah pahit karena kesalahannya."

Aku?

"Pulang ke sini lagi setelah dua tahun, Fiy belum berubah. Beberapa waktu kemudian, dia cerita bahwa dia menemukan seseorang yang hilang. Umi tanya pada Tayara apakah dia tahu? Ternyata itu Zura. Saat Fiy ingin melamar kamu, ada pria lain yang mendahului. Jadi, dia datang ke sini bersama Tayara saat Mami dan Papamu menemani lamaran Zura. Kata Tayara, tampang Bang Fiyyan ngenes banget," kata Umi menirukan cara bicara Tayara.

Bagiku Umi sudah seperti Nenek. Kehadirannya menenangkan. Umi punya sisi keibuan yang mampu menebak hati ini tepat sasaran. Beliau tahu kapan aku butuh kata-kata hiburan.

***

"Mau kemana kamu?" Eya berhasil menyusulku ke tempat ini. Sebuah rimba kecil terhampar yang bernuansa dingin. Deretan pohon kulit manis serta cengkeh menghijau. Sungguh sejuk mata ini memandang. Hati direpi hingga terasa lebih tenang oleh keteduhannya.

"Pakailah," ucap Eya menyerahkan kain kepadaku, "di sini banyak nyamuk."

Kubiarkan Eya memegang pergelangan tangan ini. Seperti Umi, Eya menggandengku saat berjalan.

Bunga-bungaan cengkeh menyentuh indra penciuman. Udara pun tercium manis. Sesekali angin menggoyangkan dedaunan di ranting yang kecil. Gesekannya menimbulkan irama yang syahdu. Kami berdiri menghadap ke arah yang sama. Saat ini aku masih merasa tenteram—atau aku berusaha untuk tenang berdiri di sebelah Eya yang keseluruhannya membuat rasa percaya diri ini merunduk pelan-pelan.

"Aku senang bisa diterima dengan baik di keluarga ini. Keluarga Zahfi baik. Tante Runa sudah kuanggap ibu. Karena ketulusannya, aku merasakan kembali kasih sayang seorang ibu."

Cuaca terasa dingin. Aku mengetatkan kain pada tubuh. Sementara Eya, entah apa maksudnya memberiku kain, sedangkan ia tidak memakai apa-apa di luar pakaiannya. Mungkinkah ini tebusan rasa bersalah Eya karena mengambil alih perhatian suamiku?

"Suamimu ... memang lelaki yang tidak bisa hilang dari sini."

Eya menunjuk dadanya lalu kepalanya. Suhu masih rendah di perkebunan ini, tetapi dalam tubuhku serasa kebakaran.

"Aku masih sangat mencintainya, Zura."

Eya menjatuhkan tangkai korek api sehingga membakar seluruh pertahananku. Pegangan pada kain tak lagi sekuat tadi. Kedua tangan ini gemetar. Laju jantung bagai habis dibawa panjat tebing.

"Aku bisa melihat kalau dia—"

"Tadi malam ... dia bersamamu?" tanyaku dengan getar pada pita suara.

Tuhan, aku tak ingin memikirkan kemungkinan terburuk. Suamiku tidak mungkin mengkhianati pernikahan kami.

Namun, jika aku tidak tahu kejelasannya, kepalaku akan terus dikelilingi oleh tanya. Mungkin setelah ini aku akan hancur betulan. Kalaupun tidak ditanyakan, Eya pasti akan pamer betapa baik Zahfiy kepadanya.

Kedua bibir Eya mengembang. Sudut-sudut bibirnya menampakkan lubang kecil yang membuat ia begitu manis. Dia memang selalu tampak memesona bahkan oleh sesama wanita seperti aku. Dengan penuh percaya diri ia mengangguk sekali dan berikan aku senyum permintamaafan.

Eya mendekat dan memegang tanganku saat tubuh ini terhuyung. Ia memapahku kembali ke rumah.

"Kak Zura kok pucet? Kakak sakit?" Adik ipar bergegas hampiriku yang dipapah Eya ke sebuah bangku.

"Kakak nggak apa-apa. Ini Kakak mau pulang, nanti kesiangan. Umi, Zura pulang ya!" Aku berteriak pada Umi yang sedang berada di dapur basah. Suaraku ternyata tidak sekeras yang kuniatkan. Itu membuktikan bahwa tubuh ini betul-betul hancur oleh anggukan Eya.

"Aduh, menantu Umi ini bandel banget sih dibilangin. Diantar Zoffan, ya. Nanti takutnya ada apa-apanya di jalan. Umi tidak tenang kamu pulang sendirian. Diminta tinggal juga pasti enggak mau," omel Umi sambil mengusap-usap bahuku.

"Kak."

Kini aku dan Zoffan telah berada di halaman rumah Nenek. Dengan leluasa ia masuk.

"Maaf, aku nggak bisa mencegah Abang membawa wanita itu ke rumah."

Zoffan memejam. Tubuh besar ia sandarkan ke bangku. Kelihatannya dia sudah menganggap ini rumah sendiri.

"Wanita itu katanya diganggu preman," geramnya, "yang katanya diutangi orang tuanya. Dia berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari kejaran orang-orang itu. Aku nggak tahu Abang bisa segila itu sampai-sampai membawa wanita asing tinggal di rumah."

Kepalaku tiba-tiba pusing oleh kekacauan yang Zahfiyyan buat. Apa sih maksud suamiku membawa wanita lain ke rumah ibunya? Dia Eya, perempuan yang menyukainya. Sosok yang bahkan tidak menghargai perasaanku sebagai istri Zahfiyyan. Sebab dengan mudah, ia mengaku cinta kepada suamiku.

"Abang enggak pulang, ya, tadi malam? Nggak pulang?"

Kurasa kepala ini menggeleng sehingga Zoffan bisa semarah itu. Aku akhirnya menjelaskan bahwa Zahfiyyan memang pulang, walau agak telat dari biasanya.

Zoffan bercerita kalau semalam para pria berotot memaksa ingin membawa Eya. Zahfiyyan melakukan negosiasi. Hanya Zahfiy dan pria penagih itu yang tahu perjanjian apa yang mereka buat hingga Eya dilepaskan gitu aja.

"Mereka pernah dekat," ucapku pelan mengakui kebenaran itu pada diri sendiri.

Wajar Zahfiy segitunya membantu Eya.

Zoffan berdiri lalu berteriak, "Ini gila! Hah!!" Tangannya terayun setelah lebih dulu mengacak rambutnya.

"Zoffan! Apa yang sedang kamu lalukan?"

"Ke mana saja Abang semalaman?" Zoffan menghampiri abangnya.

"Ke mana apa maksudnya?" tanya suamiku, kelihatan sangat bingung.

"Bang Fiyyan ke mana tadi malam? Aku sudah bilang, Kak Zura lagi sendirian di rumah dan meminta Abang untuk pulang."

"Abang ada di rumah. Apa maksudnya yang Abang tidak pulang, memangnya menurut kamu Abang ke mana, Fan?"

Pemuda itu mengeloyor dan melupakan adab bersopan santun kepada orang yang lebih tua. Biar bagaimana pun Zahfiy itu kakaknya. Zahfiyyan sedang berbicara. Pertanyaan suamiku tak dijawab. Seharusnya Zoffan tetap hormat pada Zahfiy! Entah kenapa aku tidak tega Zahfiy diabaikan oleh adiknya sendiri.

Jika Zoffan bisa sebrutal itu dalam menunjukkan ketidaksukaan, aku tidak. Fisikku juga tengah tidak mendukung untuk membahas masalah ini. Setelah kepergian Zoffan, aku meninggalkan Zahfiy ke dalam. Kepalaku masih sakit akibat pengakuan Eya. Akibat perlakuan Zahfiy ke Eya.

"Zoffan kenapa marah-marah begitu?" Zahfiyyan mengekori langkahku.

Ya Allah. Kenapa dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi? Zahfiy tampak sangat polos dan tak punya salah. Ia mengabaikan kata-kata Zoffan tentang peringatan untuk pulang karena aku sendirian.

"Kamu enggak tahu kenapa dia seperti itu?"

"Kalau soal tadi malam, aku memang terlambat, tapi aku pulang. Dia tidak bisa marah-marah gitu 'kan, Ra? Anak itu betul-betul susah mengontrol emosinya."

Aku yang tadinya ingin duduk lalu berbaring lantas menghadap Zahfiyyan. "Pukul berapa kamu pulang?"

"Berapa, ya? Sekitar pukul tiga. Kamu sedang enak banget tidurnya."

Kadar ketampanan ketika ia tersenyum masih tetap sempurna di mataku, tetapi euforia di hati entah ke mana ia surut. Kapan ia bercerita tanpa diminta?

"Ada apa, Ra? Badan kamu hangat."

Telapak tangan Zahfiy mengusap dahiku. Matanya kini berubah kalut. Zahfiy membawaku untuk duduk kembali.

"Bukan badanku yang sakit, Zahfiy, tapi di sini." Kutekan tepat di dada ini, "Hatiku yang sakiit."

Air mata terasa menuruni pipi. Tidak mungkin aku diam saja saat hati ingin didengarkan. Saat diri ini ingin dimengerti sekali saja.

"Ra ... Ada apa?"

"Eya ... kenapa kamu bawa dia ke rumah Umi?"

"Eya? Kamu sakit hati kenapa, Ra?"

Tolong, Zahfiy! Kenapa kamu tidak bisa mengerti hati wanita? Aku istri kamu. Tolong baca aku!

Zahfiy memelukku dan menenangkan tangisan yang tiba-tiba meledak. "Dia diganggu preman yang menagih utang orang tuanya." Dia juga menceritakan hal yang sama seperti yang kudengar sebelumnya.

"Kamu tidak menyukai Eya, ya? Maaf kalau aku sudah membawa dia ke rumah Umi."

Ia masih belum mengerti.

"Abang ... aku minta tolong. Jangan dekat dengan Eya."

Pelukan terurai. Dua manik Zahfiy menatapku. Entah bagaimana caranya pesanku seolah tersampaikan. Zahfiyyan mengecup keningku lama. "Hmm. Iya, Sayang."

***


Bersambung  ....

12 Mei 2020

Selamat malam. Ajak teman-teman  baca yukkk.
Ouw, Kasev punya cerita Pernikahan Singgah. Baca juga karena di sana juga ada cogan hahahah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro