Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[25] Jadi Istri Penurut

[25]  Jadi Istri Penurut

Aktivitas dimulai seperti biasa. Aku mengajar dan Zahfiy pun mengajar. Aku dengan siswaku dan Zahfiy dengan mahasiswanya.

"Abang," katanya sebelum membukakan pintu untukku. Kami sudah berada di depan gerbang SMA IT. Tampak siswa berjalan kaki masuk ke halaman sekolah. Pun ada yang mengendarai roda dua.

"Mana?" Aku menoleh ke luar. Barangkali dia melihat seseorang yang dikenal.

"Panggil aku abang."

Mataku melebar. "Zahfiy, jangan aneh gitu. Kita seumuran—ralat, aku lebih tua dari kamu. Sepuluh hari." Aku tertawa sambil bergeleng.

"Kamu mau aku panggil kakak?"

Tawaku menyembur lagi. "Mana boleh? Jangan anggap istrimu kakakmu, nanti nikahnya batal. Enggak ada adik yang menikah dengan kakaknya," kataku dengan bijak. Duh, Zura, kamu mengajari suamimu.

Jika untuk kebenaran, tak ada salahnya mengingatkan.

"... makanya panggil aku Abang atau Abang Fiy seperti Tayara dan Zoffan."

Aku terdiam. Dia serius?

"Kamu nggak gila panggilan hormat 'kan, Bang?"

"Tidak, yaa zahrata hayaatii."

Menggerutu aku bertanya lagi apa yang dia maksud barusan.

Katanya, "Bunga hidupku."

"Bunga bank sekalian," sindirku.

Aneh-aneh panggilannya. Tapi aku suka mendengar istilah-istilah itu dia ucapkan. Seolah anaknya Papa Heri ini sangat berharga bagi Zahfiyyan.

"Abang," katanya mengejakan kepadaku.

"Abang," sambarku dengan cepat. "Mudah kok."

Zahfiy menusuk pipiku dengan jari. "Kalau nurut gini 'kan tambah imut."

"Abang ... Dek Zura ...." Dan tawaku tak bisa dikendalikan lagi. Kami seperti sedang main film Melayu.

"Cium tangan Abang sebelum kerja." Dia mengulurkan tangan ke wajahku.

Dengan cepat kujabat, kemudian ....

Zahfiyyan hendak menarik tangannya, tapi kutahan kuat-kuat. Punggung tangan yang putih itu kukecup lama dengan bibir hingga lipstikku mengecap.

"Kalau begini, kita satu satu. Abang satu, Zura satu. Kamu juga kelihatan tambah imut pakai lipstik," kataku sebelum keluar dari mobil.

Suara klakson mobil Zahfiyyan terdengar. Mobilnya mulai meninggalkan sekolahan. Aku pun mulai melangkah ke dalam.

"Ibu Zura! Waaah, pengantin baru!"

Dua siswa berlari-lari menghampiriku.

Nada.

Areena.

***

"Artagfirullah!" seru Zahfiyyan saat masuk kamar. Tangannya ditekan ke dada.

"Kamu, Sayang. Abang pikir setan dari mana."

Bahasanya agak aneh, mungkin karena telingaku belum terbiasa.

"Kalau mau akuin istrinya setan sih anggap aja begitu," kataku masih duduk bersandar di ujung tempat tidur. Kepalaku nyaris seperti posisi berbaring hingga pandanganku dapat menatap warna pink langit-langit kamar.

"Maskeran?" tanyanya duduk di sebelahku.

"Kenapa? Kamu mau juga?"

Zahfiyyan menusuk pipiku—lagi. Sudah jadi kebiasaan jugakah?

"Laki-laki tidak merawat wajah seperti perempuan," balasnya kedengaran cuek.

Oh, begitu?

Aku pun bangun dan membuka tautan mata. "Abang," ucapku berusaha terdengar manis, "tolong ambilkan masker aku sama kuasnya di sebelah kamu."

Zahfiyyan pun segera menyerahkan kedua benda itu padaku. Aku meletakkannya di atas paha. Kubuka bando dari rambutku kemudian memasangkan ke rambut suamiku.

"Untuk apa ini?" tanyanya.

Aku mulai membuka penutup makser bengkoang. "Zura mau maskerin Abang supaya tambah cakep," jawabku dengan senyum tipis takut maskerku retak.

Enggak apa-apa sih. Ini sudah waktunya aku basuh muka.

"Nggak perlu, Sayang. Sudah kubilang laki-laki—Ra, jangan!"

Kuasku telah menyapu pipi Zahfiyyan, tapi dengan cepat dia hentikan. Aku pura-pura merajuk dan membelakanginya. Sebaiknya aku cuci muka deh.

Baru hendak berdiri, tanganku ditarik.

"Ya sudah, pakaikan."

Aku ingin tertawa kencang-kencang. Zahfiy kira aku betulan merajuk. Dia tak tahu jika aku ingin ke kamar mandi. Semangatku berkobar. Aku mau lihat wajahnya dimaskerin. Pasti lucu.

"Bang, lihat ke sini!"

Wajah kami berdua yang putih seperti mukena Nenek menghadap kamera ponsel. Aku mengambil beberapa foto kami berdua.

"Jangan dibagikan ke sosial media mana pun," cegah Zahfiyyan saat ikon Instagram me-loading.

Sebelum aku bertanya, Zahfiyyan langsung menjawab, "Rambutmu, lehermu, lenganku, dan kakimu yang kelihatan ini hanya boleh dilihatkan ke aku saja."

Aku menggaruk rambut yang tidak gatal. Bersikap sok manja agar Zahfiyyan tak jadi berceramah soal pentingnya menutup aurat, aku merangkul lengannya.

"Cuci muka, yuk, Bang. Kamu bersihkan mukaku dan aku bersihkan wajah Abang," ucapku manis-manis.

"Sekalian mandi deh." Aku tersenyum lebar.

Maaf. Aku mengerti maksud kamu apa, Zahfiy. Aku belum siap. Wallahi, aku akan melakukannya kalau hatiku yang bilang mau.

***

"Nenek kelihatan kurang sehat akhir-akhir ini. Maafin Zura kurang memperhatikan Nenek," sesalku.

Tubuh Nenek kupeluk dan kepalaku kutumpangkan ke pundaknya.

"Zura bahagia, Nak?"

Aku langsung mengangguk.

"Orang itu Zahfi, Sayang?"

Aku mengunci mulut dengan mengatupkan kedua bibir.

"Antara cinta dan benci tidak ada sekatnya, Sayang. Kamu sempat membenci Zahfi karena Zura sangat mencintai dia. Nenek langsung tahu siapa dia saat pertama kali Zahfi datang ke rumah saat Nenek pingsan.

Kamu tidak pernah membenci Zahfi, Nak. Cucu Nenek hanya terlalu sedih hatinya karena perpisahan kedua orang tuanya. Kamu kecewa kepada papamu sehingga lelaki lain pun kamu anggap sama. Zahfi tidak salah, Nak, akuilah itu. Jujurlah, Zura."

"Nek."

"Kamu punya sak wasangka tak baik kepada suamimu dahulu. Selesaikanlah hal itu. Meski Zahfi tidak tahu, Allah tahu, Sayang. Ucapanmu belum dilupakan oleh Yang Maha Mendengar. Minta maaflah, Zura."

"Sama Zahfiy, Nek?"

Aku memeluk Nenek. Nasihat Nenek terlalu dalam seakan-akan esok hari Nenek tak lagi memberiku beragam hasihat. Seperti permintaan terakhir Kakek dulu agar aku memaafkan Papa.

Setelah mengantarkan Nenek ke kamar, aku membuka pintu kamarku sendiri. Zahfiy sedang membaca buku. Melihatku yang datang, dia segera melepas kacamata dan meletakkan buku.

"Gimana Nenek?" Zahfiy sengaja memberikan waktu agar aku dan Nenek bisa berduaan. Dia pergi ke kamar setelah makan malam.

"Sudah tidur."

Aku menyilangkan kaki dalam posisi bersila di atas karpet. Zahfiy kukode agar duduk di depanku dengan menepuk-nepuk karpet.

"Zahfiy."

Zahfiyyan pun duduk. "Aku suka saat kamu memanggil namaku yang berbeda dari orang lain. Tapi, Abang lebih senang kamu panggil saya abang karena itu menunjukkan bahwa kamu istri yang patuh dan penurut. Aku bukan gila panggilan hormat. Abang hanya ingin menggiring kamu ke hal kecil dalam menghormati suami, kepala keluarga di rumah tangga kita. Panggilan hanya langkah kecilnya."

"Iya, Abang."

Zahfiyyan tersenyum manis. Kalian tahu enggak sih, kalau Zahfiyyan tersenyum, aku akan salah tingkah berlebihan?

"Bang ... ada yang aku ingin tahu. Jawab yang jujur, ya. Jangan bohong agar aku percaya dengan kamu setelah ini."

Zahfiyyan sepertinya ingin berbicara, tapi tak jadi. Dia hanya mengangguk.

"Gosip anak-anak tentang kamu yang akan menikahi Eya setelah selesai kuliah itu apa benar?"

"Oh?" Zahfiyyan menggaruk bawah bibirnya. "Ceritanya panjang."

"Kalau begitu ceritakan. Waktu kita masih panjang. Malam ini sampai malam berikutnya, sampai kita mati pun kamu enggak bisa mengelak."

Zahfiyyan menarik napas, lalu mengeluarkannya pelan-pelan.

"Yang aku sukai itu kamu, Sayang."

Jadi, perempuan yang dia temui di pinggir jalan itu aku? Pengalihan topik yang bekerja dengan baik.

"Waktu itu, kamu sedang kesal karena sepeda motornya mogok. Kasihan melihat perempuan menendang-nendang kendaraanya, aku segera menghampiri kamu."

"Jadi, sejak waktu itu?"

"Aku minta Pak Zal mengizinkan satu shift kuliah denganmu." Zahfiy tersenyum tipis, menyentuh punggung tanganku. "Pak Zal menawari aku mau nggak sekelompok sama kamu."

"Kamu bilang iya?"

Zahfiyyan mengangguk lagi. "Asal nilaiku harus A di mata kuliahnya."

"Zahfiy!" panggilku tak tahu akan bereaksi apa atas pengakuannya.

Nenek menyuruhku untuk jujur. Ini justru Zahfiyyan yang mengakui semuanya kepadaku. Aku lain kali saja. Toh semua hanya masa lalu. Aku sudah tak lagi menyalahkan Zahfiyyan atas kematian Kakek. Aku sudah enggak membencinya. Justru aku mencintainya dengan segenap hati.

***

Biasanya Nenek bangun di waktu Subuh. Beliau akan duduk di kursi ruang tamu dan membaca kitab suci Al-Quran. Saat terang mulai datang, Nenek pergi ke dapur dan membuat segelas teh. Beliau duduk di teras. Namun, ketika aku keluar kamar pada pukul delapan, aku tidak menemukan Nenek di mana-mana.

Cepat aku mengetuk kamar Nenek. Keheninganlah yang menjawab. Aku menguak pintu yang tidak terkunci lalu masuk. Kamar Nenek berpenerangan remang-remang. Bahkan sudah sesiang ini, jendela Nenek belum dibuka. Aku pun menghampiri tempat tidur Nenek.

"Oh, Nenek masih tidur."

Wajah Nenek terlihat damai. Kusentuh wajah tua Nenek dengan ujung-ujung jari dan tersentak saat kurasakan tubuh Nenek yang dingin.

"Abang!" teriakku. Perasaanku semakin tak menentu saat suaraku yang keras tak mengganggu tidur Nenek.

"ABANG! KE MARI!"

Aku coba memegang tangan Nenek. Hanya ingin memastikan. Kutekan nadi di lengan Nenek.

"Nenek." Air mata yang tadinya mengumpul di sudut mata pun jatuh.

"Nenek bangun!" teriakku lagi berulang-ulang.

"ABANG! ZAHFIY!"

Zahfiyyan masuk terburu-buru dengan sarung masih melekat di tubuhnya, bukti bahwa ia tadi sedang salat Dhuha. Zahfiy juga mengecek tangan Nenek kemudian hidung Nenek.

"Innalillahi wainna ilaihi raji'un."

***

Sekarang tepat satu minggu setelah Nenek memberikan nasihatnya. Seminggu pula semenjak Nenek tak tidur di rumah yang sama denganku.

"Kamu tidak menangis?" tanya Zahfiyyan.

Kami baru selesai membacakan Yaasin untuk Nenek. Selama pemakaman, aku tak bicara apa-apa, menjadi manusia paling diam.

"Nggak baik menangisi orang meninggal," ucapnya.

Zahfiyyan membawaku ke dalam pelukan. Aku bertahan untuk tidak menangis. Aku rela jika Nenek menyusul Kakek asalkan Nenek bahagia di sana.

"Abang mau berjanji satu hal?"

"Jika tidak bertentangan dengan keyakinan dan jika Abang mampu melaksanakannya, insya Allah Abang akan memenuhi keinginan kamu," ucap Zahfiyyan yakin.

"Jangan tinggalkan aku."

"Jangan meminta sesuatu yang memang sudah menjadi kewajibanku."

***

Bersambung ...

OKI, 26 Januari 2020

*** 

Bersambung ...

OKI, 26 Januari 2020

Pegang janji Zahfi yaaa rek

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro