[24] Diwejangi Suami
Tolong koreksi typo redaksi dan isi ya... makasih kalau mau kasih masukan tentang muatan agamanya hehehe..
Yang jomblo yang di hari Minggu nih aku kasih hidangan...
Happy reading ...
”Zahfiy! Jangan tidur dulu. Aku ingin bicara.”
Kakiku bersilang menghadap Zahfiyyan yang baru saja berbaring. Zahfiyyan juga ikut duduk dengan bersandar pada kepala tempat tidur dan menyilangkan tangan di dada.
”Aku nggak mau pindah ke mana-mana.”
Zahfiy mengelus dagu dengan ibu jari dan telunjuk. ”Pindah ke mana kita?”
”Aku nggak mau pindah ke mana-mana, Zahfiiiy. Aku tidak akan meninggalkan Nenek,” ucapku berapi-api.
“Ya sudah.”
“Ya sudah? Jangan sampai kamu memaksaku ikut kemana pun kamu tinggal karena aku tidak akan pergi dari rumah ini.”
Setelah selesai mengungkapkan itu, aku berbaring. Malas melanjutkan pembicaraan karena akan bertambah emosi oleh jawaban santai Zahfiyyan.
Sepertinya Zahfiyyan berdiri dari tempat tidur, berjalan ke arah lemari di depanku. Cepat aku memejamkan mata karena tidak ingin mengetahui apa yang sedang direncanakannya. Lalu sebuah tangan memegang daguku akibatnya aku membuka mata.
Zahfiyyan berlutut di samping tempat tidur sehingga mata kami hanya berjarak tiga puluh sentimeter.
Wajah Zahfiyyan luar biasa tampan. Mulus tanpa jerawat apalagi bekasnya. Baiklah, besok aku akan maskeran supaya tak kalah saing dari muka lelaki ini yang bersih dan putih. Bibirnya merah mungkin karena tidak terbakar oleh tembakau.
Untuk warna bibir, aku tidak minder karena bibirku juga berwarna pink meskipun tidak memakai lipstik.
Hidung Zahfiy sempurna menurutku. Dipahat dengan apik oleh Tuhan sehingga sangat indah. Meskipun tidak ada manusia yang sempurna, namun bagiku Zahfiyyan adalah pria paling tampan sejagad raya.
”Ini kamu yang simpan, ya,” ujar Zahfiyyan yang membuatku sadar bahwa sejak tadi bengong memperhatikan wajahnya.
Aku langsung duduk melihat kartu yang disodorkan Zahfiyyan. Mataku tiba-tiba mengerjap tak percaya.
”Kartu ini untuk apa?”
”Kamu yang pegang buku tabungan gajiku,” jelas Zahfiyyan. Ia menyerahkan buku tabungan serta satu dompet untuk uang belanja bulanan yang dimaksud.
”Zahfiy, kamu nggak sakit ‘kan?”
Zahfiyyan menggeleng. Matanya kelihatan serius.
”Kamu nggak takut nanti aku bawa kabur uangnya?”
Zahfiyyan menggeleng.
Aku mencari-cari kalimat lain untuk meyakinkan diri, ”Kamu nggak takut nanti aku belanjakan semua uangmu?”
Zahfiyyan menggeleng lagi.
”Kamu mau nyogok supaya aku mau pindah?”
Zahfiyyan tertawa. Aku terpana melihat Zahfiyyan tertawa lepas seperti saat ini. Ajaib, ya? Seorang Zahfiyyan yang hanya bisa tersenyum sekarang tertawa.
Tapi dia mentertawakanmu, Zura.
”Ketawa terus, ayo ketawa! Ini uangnya aku habisin baru tahu rasa.”
”Tahu nggak ini untuk apa?” tanya Zahfiyyan mengangkat kedua tangannya
”Banyak gunanya, tangan multiguna,” ucapku yakin.
”Gunanya untuk ini. Jangan marah-marah, ya.” Zahfiyyan mencubit kedua pipiku.
Aku memekik minta dilepas, tapi suamiku hanya tertawa dan tidak mau melepaskan.
Satu ide terpikir dan langsung kulaksanakan. Zahfiyyan menjerit ketika aku menjambak rambutnya. Akibatnya ia melepaskan tangannya dari pipiku.
”Sekarang giliran kamu lepaskan tangan kamu, Ra. Rambut aku bisa rontok dan habis.”
”Ini hukuman karena kamu udah membuat pipi aku makin melar,” ucapku sambil merapikan rambut Zahfiyyan dengan jari. Kuusap rambutnya karena kasihan. Uh, pasti sakit banget karena aku mengerahkan seluruh tenaga.
***
Paginya aku berbaik hati untuk membuatkan Zahfiyyan kopi. Pun Mama pernah bilang, hal pertama yang dilakukan untuk suami di pagi hari adalah membuatkan suami minuman.
”Ini kopi untukmu.”
Kelihatannya Zahfiyyan sedang kebingungan ingin mengenakan pakaian yang mana. Aku meletakkan gelas kopi di meja bedak dan mencari kemeja dalam lemari.
Sepertinya, kemeja biru akan membuat Zahfiy lebih tampan. Aku menaruhnya di tangan Zahfiyyan. Dia cepat-cepat memakai kemeja itu. Aku duduk di karpet dengan berselonjor kaki, kemudian Zahfiy ikutan duduk. Di tangannya ada kopi yang kubikinkan.
”Ini kopi pakai gula, Ra?”
”Hmm.” Aku sengaja membuat si hitam ini dengan pemanis agar lebih enak. Ngapain dia minum yang pahit-pahit kalau di dapur banyak stok gula sisa acara kemarin?
Kujelaskan bahwa, ”Pakai gula itu manis, manis itu enak, enak itu bikin ketagihan. Coba rasakan dulu kopiku, ntar ketagihan. Ayo diminum kopinya sekarang. Eh, panas ya, mau kubantu tiup biar dingin? Sini kopinya.”
Aku merebut cangkir dari tangan Zahfiyyan. “Nah.” Kuarahkan sendok kopi di depan bibir Zahfiyyan.
Dia langsung meminum dari sendok di tanganku.
”Enak ‘kan? Mau lagi?”
Belum sempat dijawab dan karena dia sepertinya tak menolak, aku melakukan hal yang sama hingga pada sendok ketiga. Sendokan selanjutnya tanganku ditahan olehnya.
”Kenapa, Zahfiy?”
Seluruh tubuh ini membeku ketika Zahfiyyan melabuhkan ciuman di pipiku, kiri dan kanan.
”Kamu cantik sekali, yaa zahrata qalbii,” ucapnya tanpa melepaskan pandangan dari wajahku.
Aku menelan ludah sebelum menjawab, ”Apa artinya?”
”Arti apa?” tanyanya pelan nyaris berbisik. Sebelah tangannya mengusap pipiku hingga membuatku memejamkan mata. Merasakan kehangatan yang dihantarkan oleh telapak lembut dan halus itu.
”Panggilan kamu tadi.” Dalam pejam kurasakan Zahfiyyan menyibak poniku, kemudian mengecup keningku lama.
Dadaku, Mama. Ada dentuman hebat dalam rongga dada ini.
Aku belum berani membuka mata sampai Zahfiyyan menjauhkan wajahnya. Dia mengusap lembut kepalaku di bagian belakang. Rambutku yang panjang dia selipkan ke telinga. Mataku pun terbuka.
”Bunga hatiku,” jawabnya.
Telanjur membuka mata, aku tak ingin menutupnya lagi ketika Zahfiyyan kembali mengusap tulang pipiku. Dia pun menatapku dengan begitu lembut. Dia sangat tampan dengan kemeja biru itu.
”Kamu juga ganteng—eh.” Aku langsung menutup mulutku dengan tangan.
Dengan pelan Zahfiyyan menjauhkan tanganku dari bibir. Dia menatap bagian itu lama-lama.
”Izinkan aku,” ucapnya masih menatap bibirku sehingga membuatku semakin palpitasi.
Tatapan mata Zahfiyyan memerangkapku, mengakibatkan anak Mama Faralyn ini tak bisa bergerak ke mana-mana.
Wajahnya semakin mendekat. Mungkin karena sering menonton drama Korea semasa kuliah, mataku refleks menutup. Dadaku berdetak tambah kuat. Telapak tanganku bertelekan pada karpet. Sementara Zahfiyyan, mengusap rambut belakangku hingga turun ke punggung. Mengusapku di sana.
Kamar ini biasanya tak panas. Namun, aku tidak merasa gerah sama sekali. Aku tidak mampu menghentikan diri ini saat ikut hanyut dalam setiap bisik kata mesra dan sentuhan yang menjadi pengalaman baru pagi ini.
Aku menyadari sudah tak ada kesempatan untuk berhenti. Lillahi ta’ala kuserahkan diri ini kepada dia, lelaki yang menghalalkanku.
***
Zahfiyyan tak langsung pergi sesuai dugaanku. Jadi, sejak setengah jam yang lalu kami hanya berbaring menatap langit-langit kamar yang dicat merah muda.
Matahari pagi semakin meninggi dan cahayanya menembus kaca jendela. Lelaki di sebelahku bagai tak menyadari jika kami sudah sangat terlambat untuk sarapan pagi. Nenek pun tak kedengaran seperti biasa selalu memanggilku untuk keluar dari kamar.
Zahfiyyan bergeser ke sampingku, semakin dekat sehingga aku tergesa memiringkan badan.
Aku pikir dia yang lebih dalu beranjak dari kamar ini. Dugaanku salah karena lelaki yang dulu hanya mimpi bagiku ini menarik tubuhku dalam lingkaran tangannya. Dia memutar tubuhku ke arahnya tanpa membuat selimutku turun dari dada.
Aku menunduk. Tidak berani melihat wajahnya lagi. Kedua tangan kulipat di depan dada untuk melindungi agar tak bersentuhan langsung dengan tubuhnya.
Zahfiyyan mengusap rambutku. Dia menyibak poniku dan mencium keningku lagi bagai tak ada bosannya.
”Selamat pagi, istriku yang cantik.”
Sapaan Zahfiyyan membuat wajahku terasa makin hangat.
Aku berdeham agar suaraku tidak melengking aneh seperti tadi. ”Selamat pagi, Suami.”
Aku akhirnya menyerah akan kesempurnaan nyata di hadapanku ini dan memeluk pinggang Zahfiyyan erat. Tak peduli pada bagian tubuhku yang tadinya kulindungi tertekan ke dadanya.
Dia mengelus punggungku sambil tertawa kecil. Kepalaku kuletakkan di ceruk leher Zahfiy yang membuat wajahku makin terasa hangat.
”Aku malu,” aduku.
”Aku juga,” katanya lalu tertawa.
Kami sama-sama tertawa. Zahfiyyan menarik tubuhku makin merapat dan mencium pucuk kepalaku.
”Kamu ... nyaman?” bisik Zahfiyyan.
Lama waktu yang kuperlukan untuk mencerna pertanyannya. Aku hanya mengangguk dan kurasa dia mengerti.
”Tapi aku malu,” kataku lagi. Teringat dengan lemak di perutku.
”Jangan malu padaku.”
Aku sedikit menjauh agar bisa menatap wajahnya. ”Aku ini ....” Tidak cantik seperti Eya.
”Zahfiy ... aku minta kamu janji satu hal.”
Zahfiyyan kembali menyibak poniku. Hobi barunya?
”Jangan ada orang ketiga.” Kutatap matanya membuktikan jika aku serius.
”Cukup kita berdua?” tanyanya terheran, sementara aku sudah akan menyela sebelum dia melanjutkan, ”Nanti kita akan bertiga, berempat, berlima dengan anak-anak kita,” jelasnya sehingga aku mengeluarkan napas lega.
Hah? Anak?
Aku menarik selimut hingga menutup seluruh wajahku. Uh, apakah mukaku seperti tomat busuk?
Zahfiyyan seolah tak mengerti pun melanjutkan, ”Aku ingin hidup kita dikelilingi anak-anak yang manis seperti kamu. Yang seimut kamu ketika tersenyum. Dan selucu kamu saat berbicara.”
Aku tetap bersembunyi dalam selimut walau kekurangan pasokan oksigen.
”Aku selalu suka saat kamu bicara dan bertingkah aneh. Lompat-lompat sendiri. Panik sendiri. Gemas sendiri. Terlihat aneh, tapi lucu. Sampai isi kepala yang kadang lolos dari kontrol otak ini terpikir untuk membuatmu diam, menarikmu ke pelukanku saking gemasnya.”
Abang, adek deg-degan.
”Kamu menarik sejak pertama kali aku melihatmu. Cuma kamu yang membuat aku melanggar semua ajaran Om Heri dan Abi bahwa aku enggak boleh berteman dekat dengan wanita. Tapi ... menjauh dari kamu rasanya rugi sekali. Kamu seperti magnet yang membuatku nggak ingin jauh. Sampai sahabatku sering mentertawakan kebodohanku saat nggak sengaja terlalu fokus melihatmu.”
Aku menurunkan selimut hingga dada. Akhirnya, aku dapat menghirup udara segar lagi. Sesak dan panas di dalam sana.
”Sahabat kamu yang namanya Rusdi? Yang ketawa paling keras waktu saliman?”
Zahfiy pun tertawa lagi. Mama, suami Zura ganteng banget. Pernah bikin kebaikan apa aku sehingga Allah memberikan dia sebagai suamiku?
”Dia satu-satunya orang yang tahu kalau aku naksir pada satu perempuan yang kujumpai di pinggir jalan.”
Oh, aku jadi kepo. ”Dia ketawa karena kamu akhirnya nikahnya dengan aku? Berarti dia mentertawai aku?”
Aku jadi ingat kelakukan Rusdi zaman dahulu. Dia senang mengejekku yang ketahuan sedang melihat Zahfiyyan.
”Hahaha ya dia mentertawakan kita berdua.”
”Rusdi memang ngeselin seperti Ale.”
”Sebentar,” ucap Zahfiy sambil berdiri yang kontan membuatku menutup mata.
Sesaat kemudian, suaranya kedengaran lagi. Dia mengangsurkan daster bergambar tedy bear setelah terlebih dahulu berpakaian.
”Boleh aku yang memasangkan?” tawarnya.
Boleh enggak, ya? Perlahan aku duduk. Zahfiyyan menarik tanganku ke atas.
”Aku ingin ngobrol lagi, tapi sebaiknya kita makan dulu. Aku sudah minum kopi, sedangkan kamu belum makan apa-apa. Aku tidak mau kamu sakit di hari pertama kita,” jelasnya sembari memasangkan seluruh pakaianku.
Seluruh, camkan itu!
Aku mengipas-ngipas wajah dengan tangan. Apa semua suami akan melakukan hal ini kepada istrinya? Sampai ... mandi juga berdua.
Rasanya aku ingin menggaplok kepala tampan Zahfiyyan yang rada geser. Ya, aku gemas sekali. Jadi, untuk apa tadi pake baju kalau ternyata mandi dulu sebelum sarapan?
Eh, ya, jalan ke kamar mandi dalam kondisi er ... aku tak berani sih.
”Apa nggak berlebihan sih?” bisikku saat kami berjalan ke luar dari kamar.
Tepat di depan pintu kamarku, ada jam dinding bundar terbuat dari kayu jati. Bandulnya bergerak kiri dan dan kanan. Sedangkan jarum pendeknya menunjuk angka sebelas. Jarum panjang pada angka dua belas lebih sedikit.
Gila, sampai siang begini berduaan di dalam kamar. Untung di rumah ini cuma ada Nenek. Aku nggak perlu mendengar ledekan orang seperti dalam novel yang sering kubaca.
”Apanya?” tanya Zahfiy melongokkan kepala ke ruang tengah. ”Nenek mana, Ra?”
Aku memberengut mendengar pertanyannya. Kok tanya saya, Pak? Saya juga baru balik dari surga dunia.
Bukan itu yang kujawab, tapi mengulang pertanyaanku. ”Ya itu ... kamulah.” Lantas aku mendekat untuk berbisik.
”Enggak apa-apa. Rasul saja mandi dalam satu bak dengan istrinya Aisyah r.a,” jawabnya tak acuh.
Kuat-kuat lagi penjelasannya. Ntar kalau Nenek dengar, nggak enak.
”Awas kalau bohong. Aku nggak tahu apa-apa, jangan dibodohi,” ancamku.
”Kamu bikin aku gemas terus sih, yaa zahratii.” Zahfiyyan menusuk dua pipiku.
”Apa lagi itu? Nama saya jangan dipelesetin, Bang. Nama udah bagus dikasih Om Herimu.”
”Yaa zahratii, istriku Zura Azzahra. Artinya bungaku.”
”Zura. Zahfi. Kalian mau makan?” Nenek menghentikan dialog kami. Nenek berjalan mendekati kami dengan langkah-langkah yang lambat.
Aku merapikan pakaianku. Menyisir rambut dengan jari. Oh Tuhan, basah. Sebelah tanganku hinggap di leher dan mengusap-usapnya sambil mengulum bibir. Hal terakhir yang bisa kulakukan adalah menunduk.
Apa aku kelihatan berbeda? Apa Nenek melihat ada sesuatu yang kurang padaku? Aduh, demi Tuhan aku malu kepada Nenek. Lebih malu daripada telanjang di depan Zahfiyyan.
”Nenek sudah makan?” tanya Zahfiyyan juga.
”Sebentar lagi makan siang,” kata Nenek sambil berjalan ke arah dapur.
Itu tadi apa?
***
Bersambung ....
Lempuing, 19 Januari 2020
Ya Tuhan .... Aku baper baca bagian ini.... Maafkan kejombloanku yang cuma bisa bayangin dan tak mampu praktekin... Dan apa semalu itu yaaaa sama suami sendiri... mak oi jawab sayah. Zura... gimana perasaan kamu???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro