Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[19] Kandas Sebelum Berlayar

No edit lagi loh ini. Tunjukin typo ya.

Happy Reading  ....



Acara makan malam telah selesai. Papa mengajak kedua orang tua Yuda untuk kembali ke ruang tengah. Semua orang menempati kursi semula. Papa berdeham untuk mencari perhatian tamunya.

”Terima kasih Pak Taufik dan keluarga sudah berkenan hadir ke rumah keluarga kami,” kata Papa yang sebenarnya keliru besar. Ini sudah bukan rumah keluarganya.

”Sudah malam juga, Pak Heri. Kita sudah harus kembali ke rumah masing-masing, ya,” balas Pak Taufik.

”Betul. Jadi ... bagaimana putri kami Zura menurut Pak Taufik?”

”Papa ....” Aku menyela obrolan mereka. Sebelum mendengar sindiran lebih jauh dari orang tua Yuda, ada baiknya aku menyelamatkan harga diri kami yang tersisa.

”Zura sudah memutuskan untuk membatalkan hubungan Zura dan Yuda yang masih dalam tahap penjajakan ini. Zura tidak mau Yuda nanti menyesal telah memilih Zura dan mengorbankan banyak hal.”

”Ra,” cegah Yuda.

”Yud ... kita masih bisa menjadi teman. Seperti tadi aku bilang, aku tidak mau membuat kamu bingung.”

”Kami juga sudah memutuskan secara objektif.”

Kata itu lagi yang diucapkan Pak Taufik ini.

”Yuda dan Zura masih muda. Masih banyak waktu yang mereka butuhkan untuk mencari pasangan yang lebih cocok.” Pak Taufik menyudahi.

”Saya setuju!” seru mami Tayara. ”Saya juga telah punya penilaian secara objektif. Boleh saya menyampaikannya di forum ini?” tanya mami gaul itu dengan wajah ceria.

”Yuda tidak cocok untuk Zura. Saya mengenal laki-laki yang lebih cocok jika dilihat secara objektif. Jadi, menurut saya Yuda lebih baik mencari perempuan yang sesuai kriteria keobjektifan dari Bapak dan Ibu Taufik.”

Wajah Tante Riska tertekuk masam. ”Jadi saya rasa perkenalan dua keluarga kita hanya sampai di sini saja. Oh, tiga keluarga. Kalau begitu, bisa kita selesaikan dan putuskan di sini?” tanyanya.

”Tentu saja. Ayo, Pi, kita juga harus segera pulang dan menyiapkan segala hal untuk anak-anak kita.”

”Maafkan istri saya yang terburu-buru, Pak Taufik dan Bu Riska. Yuda terima kasih telah mengistimewakan putri kami. Saya sangat menghargai itu. Semoga Yuda menemukan perempuan lain yang sama-sama baiknya seperti putri kami.”

”AAMIIN,” balas Tante Rana.

Besok kita bicarakan lagi, Yud, bisikku pada Yuda sebelum ia membawa kedua orang tuanya pulang.

Dia juga anak yang berbakti pada ayah dan ibu. Tak sekali pun Yuda menyela perkataan ayah ibunya sekadar untuk membelaku dan keluarga. Atau bersikap menolak saat keluarganya menyanjung-nyanjung kelebihannya. Semua perkataan Pak Taufik dan Tante Riska dia terima di depan, meskipun menolak di belakang. Dia laki-laki yang terlalu patuh. Bagaimana mungkin akan mengajakku berjuang?

”Mami lega. Zura betulan, ya, tidak jadi dengan Yuda?” tanya Tante Rana yang tiba-tiba sudah menyebut namanya ‘mami’.

”Ya itu kalau orang tuanya enggak setuju, Zura nggak bisa maju,” balasku.

”Iya iya, Mami dengar itu tadi. Kak Fara, maafkan saya yang terlalu senang dengan batalnya jalinan kekeluargaan kita dengan Pak Taufik. Saya yakin bukan Zura yang tidak cocok dengan Yuda, tapi keluarga Yuda yang tidak bisa melihat kelebihan Zura.”

”Saya rasa juga begitu,” kata Mama kalem.

”Kak Fara bagaimana kalau kita eratkan tali kekeluargaan kita? Saya yakin putra kami jauh lebih pantas untuk Zura dibanding lelaki mana pun. Secara moral, kami sudah menggemblengnya sedari kecil. Secara agama, jangan ragukan lagi. Kami yakin anak kami mampu membimbing Zura, putri kita serta calon anak-anak mereka, ke jannah. Secara ekonomi, insya Allah putri kita Zura tidak akan kelaparan. Kalau hatinya, jangan ditanya. Mungkin saat ini dia sedang patah hati akuuut akibat acara silaturahmi ini. Dia yang lebih dulu mengungkapkan niatnya ingin bersama Zura kepada satu-satunya wali Zura, tapi sayang keduluan oleh Yuda. Alhamdulillah wa syukurillah, tidak lancar dengan Yuda sehingga putra kami masih punya kesempatan. Satu lagi, putra kami dididik langsung oleh Papi soal akhlak. Jadi kami tahu baik buruknya luar dan dalam.”

Satu nama terlintas, mungkinkah ....

”Siapa orangnya? Boleh saya kenalan dulu dengan anaknya, Dek Rana?” tanya mamaku.

”Boleh sekali. Besok langsung saya suruh datang ke sini. Iya ‘kan, Papi, boleh? Datang sama Papi supaya Zura ada mahromnya saat ketemuan.”

”Boleh juga kalau cuman berkenalan saja, lanjut atau tidaknya tergantung Zura. Mumpung saya masih di sini,” balas Mama tersenyum sopan.

”Zura sudah kenal. Zahfi, Ra. Zahfiyyan namanya, Kak Fara.”

”Besok kenalkan ke Mama ya, Ra.”

”Kok mintanya ke Zura?” tanyaku sedikit kesal.

”Bang, besok diajak anaknya ke sini, ya,” kata Mama pada Papa. ”Saya penasaran pada anak ini.”

”Sebenarnya, laki-laki yang mau Papa jodohkan dengan kamu itu Zahfi, Ra. Papa tahu ini tak pantas Papa lakukan pada pertemuan pertama kita. Ketemu kamu saja Papa merasa senang sekali. Malah mau jodohkan kamu lagi. Namun, Papa juga pernah bilang ke Zahfi dulu sekali saat dia mulai beranjak remaja. Dia harus menjaga jarak dengan perempuan. Tidak boleh bergaul yang terlalu dekat dengan lawan jenis. Kalau sampai dia punya perasaan yang berlebih untuk perempuan, dia harus langsung ambil langkah baik. Meminangnya kepada yang berhak. Papa pun tahu ini tak pantas keluar dari mulut Papa. Suatu malam dia datang pada Papa dan bilang ingin  mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya Papa emban atasmu. Dia meminang putri Papa. Anak yang Papa didik sedari kecil ingin bersama putri kandung Papa.”

”Saya tambah ingin berkenalan dengan dia. Namanya Zaafy apa?”

”Zahfiyyan Sharnaaz. Kami semua memanggilnya Zahfi atau Fiy atau Fiyyan. Mana saja boleh, Kak. Dia ini ganteng, Kak Fara. Cocok dengan si cantik putri kita Zura.”

”Besok ajak ke sini ya, Dek Rana. Saya ingin tahu dia punya kelebihan apa yang bikin Zura ....” Mama menoleh kepadaku. ”Besok sepulangnya Zura dari sekolah.”

”Zura rasa Papa dan Tante Rana salah tentang Zahfiy. Besok tidak ada kunjungan apa-apa. Zura ingin istirahat. Selamat malam, assalamu’alaikum.”

”Aduh ... bagaimana ini anak Mami?”

”Tidak apa-apa, Dek Rana. Besok Zahfi disuruh main ke sini. Yang mau berkenalan kan saya. Kalau Zura tidak suka, dia bisa diam di kamarnya saja.”

***

”Assalamu’alaikum, Zura.”

Yuda dengan kemeja putih dengan lengannya tergulung hingga siku melontarkan salam diikuti senyuman.

Belum. Aku tidak merasakan degupan saat melihat wajahnya yang teduh itu. Mungkin jika hubungan kami lancar, tak susah untuk mencintainya. Dia Yuda Azziora, ketua kelas dengan IPK nyaris empat sewaktu S1. Seorang lelaki dengan sopan santun yang tinggi dan disukai banyak orang.

Lelaki ini semenjak dulu telah menyukaiku. Walaupun pernah ditolak ia masih menyimpan perasaannya itu. Lantas kini masih bisa melebarkan senyuman setelah kejadian tadi malam.
”Wa’alaikum salam,” jawabku. ”Ambil dan tarik sendiri bangkunya, Yuda,” pintaku memulai agar tak awkward.

”Kita makan dulu, ya,” katanya.

Aku setujui dengan sebuah anggukan. Sepulang sekolah aku langsung mampir ke mari. Ini beda dari biasanya, aku tak mengganti busana seperti halnya saat berkumpul dengan Areena dan Nada. Jadi, aku masih mengenakan seragam sekolah sekarang.

Cacing di perut juga mulai meronta ingin dikasih makan. Pesanan datang, kami makan dalam diam. Sesekali aku melirik Yuda. Dia tak hentinya memperhatikan tanganku menyuapkan makanan. Saat mata kami bertemu, aku melepaskan senyuman. Sama sekali tidak terasa canggung bak sedang makan dengan gebetan.

”Aku cantik, ya, Yud?” tanyaku yang membuat Yuda menyemprotkan sesuatu yang belum sempat dia telan.

”Yuda ... kamu mengotori piringku,” keluhku.

Untungnya aku memang telah menghabiskan isinya. Yuda sih kebanyakan melihat gadis di depannya jadi makannya lama.

”Kamu ini bikin aku kaget. Sejak kapan kamu cablak?” Yuda sudah mulai menguasai diri.

”Kamu dari tadi melihatiku, kena tegur Bunda ntar kamu.” Aku ingat yang tadi malam. Saat kami berdua pegangan tangan dan Tante Riska marah kepadaku.

Yuda menggaruk hidungnya. ”Khilaf sedikit.”

Jika sudah begini, lebih mudah membahas perihal hubungan kami.

Mengetes suara dengan berdeham, aku pun mulai bicara. Wajah Yuda juga kehilangan senyuman.

”Maaf, ya, Yud.” Lebih dulu memang inilah yang wajib aku ucapkan. Siapa pun akan bilang aku telah mempermainkan perasaan anak orang.

”Aku takut menyakiti orang sebaik kamu. Sekarang belum terlambat untuk membatalkannya,” jelasku.

”Aku juga sudah bicara dengan Ayah.” Yuda menarik napas. Punggung ia sandarkan ke kursi berusaha rileks. ”Ayah orangnya keras. Baru kali ini Ayah dan Bunda melarang apa yang kuinginkan.” Dia menatap mataku.

”Kamu menyerah juga, Yud?” Tanggapanku siratkan kekecewaan dan mungkin berhasil ditangkap oleh Yuda.

”Kalian sama-sama kucintai. Kamu takkan percaya kalau aku bilang kamu punya tempat khusus yang sama besarnya dengan mereka.”

Kutelan saliva.

”Bunda punya riwayat jantung. Aku tak bisa keras dalam ambil keputusan. Sejak dulu keinginan Bunda selalu aku dahulukan.”

Tanganku bergemetaran. ”Kamu sama sekali enggak akan melanjutkannya walaupun aku nanti berubah pikiran?”

Entah kenapa lidahku gatal untuk mengatakannya. Sosok seperti Yuda yang sayang pada ibunya, dialah lelaki yang akan menyayangi istrinya.

”Zura?” Yuda tampak bingung.

Aku menggeleng lalu tertawa uraikan keseriusan. ”Rugi sih nggak jadi sama kamu. Ke mana aku cari lelaki yang mencintaiku sebesar kamu?”

”Ah, untung aku tahu kamu bercanda. Aku enggak merasa ragu-ragu,” balas Yuda dengan senyuman indah itu lagi.

”Kita ini tidak berjuang sama sekali sih, Yud? Aku jadi enggak percaya kata-katamu yang tadi.”

”Kalau Bunda mau kubujuk, Ayah merestui kita, apakah kamu tetap ingin lanjut?”

Tawaku terkunci. Bibirku terkatup.

”Aku tahu jawabannya,” simpul Yuda.

”Yud, aku boleh jujur?”

Yuda menaikkan sebelah alisnya.

”Aku pernah patah hati dua kali. Itu parah sekali. Sekarang aku sudah menata kembali hati yang rusak itu. Lalu kamu datang menyanjung aku dengan kata-kata suka. Mengajakku untuk serius sebagaimana maunya Nenek. Aku sempat melayang. Kupikir aku siap mengubah hidup sendiri jadi berdua denganmu.” Aku menggeleng. ”Satu sandungan ini membuatku sadar, aku belum siap membuka hati lagi, Yuda. Akulah di sini yang salah. Penolakan Tante Riska dan Om hanya alasanku saja. Aku minta maaf.”

Kening Yuda berkerutan. ”Zura ....” Yuda terdengar ragu-ragu sekarang.

Aku tak mendesaknya bicara, tetap diam hingga beberapa saat berlalu.

”Aku pernah punya salah ke kamu.”

Sontak mataku melebar.

”Tentang Zahfi dan Eya,” lanjutnya.

Kembali aku menelan ludah dalam geming.

”Semua yang kukatakan hanya dari satu sisi. Eya. Dia menyukai Zahfiyyan, tapi aku tak tahu perasaan Zahfi. Eyalah yang menyebarkan berita jika setamat kuliah, mereka akan menikah. Aku mengambil keuntungan dari ceritanya untuk membuatmu menjauh dari hidup Zahfiyyan.”

”Kenapa kamu menceritakan hal ini?”

”Matamu. Aku seharusnya tidak kamu berikan sikap sebaik ini. Aku ada salah besar kepadamu karena perasaan egois di masa lalu.”

*** 

Bersambung .....

Lempuing, 20 Desember 2019

Nah gk lama ya kan heheheee...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro