Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[18] Perkenalan Dua Keluarga

”Kamu yakin, Ra?”

Anggukan sekali, namun mantap kujadikan jawaban. Aku sudah memilih dan inilah pilihanku. Aku terlihat tergesa saat memutuskan. Itu karena aku merasa dikejar. Aku berlari karena tak ingin tertangkap. Sebelum Heri Maryadi betul-betul datang membawa laki-laki yang dia maksud dan paksa aku menerima perjodohan darinya.

Alasan itu memang terlalu lemah, tapi aku tak bisa menampik ada rasa sukacita membayangkan hidup bersama Yuda. Intinya aku tidak salah apalagi gegabah saat mengungkapkan ini kepada Yuda.

”Mamaku sudah datang semalam. Itu bukti kalau aku mau mencoba menjajaki hubungan yang serius denganmu. Tergantung kamu kapan membawa orang tuamu ke rumah.”

”Segera, Ra, tentu saja ini yang aku nantikan dari dulu.”

Bismillah. Semoga Yuda bisa membawaku pada kebahagiaan.

Tak berselang lama karena ketika akan tidur di malam hari, Yuda mengabarkan bahwa orang tuanya akan datang besok malam. Mereka akan berkenalan dulu.

”Ma ....”

Malam ini aku tak mungkin bisa tidur sebelum bercerita dengan Mama.

***

Mama dan Nenek telah menyiapkan aneka makanan untuk suguhan tamu malam ini. Aku membantu mengupas-ngupas dan membersihkan apa yang diperlukan kedua wanita kesayanganku. Jika untuk dimakan sendiri, aku boleh dikatakan bisa memasak. Kalau untuk para tamu—khususnya orang tua Yuda, aku tidak berani ikut campur. Nanti rasanya pasti akan ditolak lidah.

”Cucu Nenek ini sudah berani mengambil keputusan besar,” kata Nenek dengan tatapan teduh sambil mengaduk randang.

Wangi daging dan bumbunya telah menyesaki indra hingga liur ingin menetes. Nenek punya resep rahasia sebab setiap rendang yang dibuatnya selalu bikin selera makan bertambah.

”Ada satu hal penting yang Nenek minta dengan sangat pada Zura.”

Nenek tidak pernah berkata seperti ini. Nenek selalu mendukung apa pun yang kupilih, mengabulkan semua yang kuinginkan, dan melakukan apa pun yang kuminta.

”Berdamailah dengan Heri papamu.”

Bukan hanya aku yang terdiam, Mama juga sama. Nenek terus menggoyangkan spatula dalam kuali. Mama mendekatiku, menyentuh bahuku setelah menyeka tangan agar tak basah.

”Zura sudah bertemu Papa?”

”Sudah dan kedatangan Papa hanya untuk merusak kehidupan Zura lagi. Bagaimana Zura bisa memaafkan dia? Zura sudah coba, sudah mulai mau bicara dengannya. Namun, Papa mulai seenaknya mengatur-atur kehidupan Zura yang bukan miliknya. Papa menjodohkan Zura, Ma. Dia tidak punya hak untuk melakukan itu.”

”Bu ... itu betul?” tanya Mama sangsi.

”Heri memang bicara seperti itu. Tapi dia punya alasan. Nenek tahu apa yang terjadi sebenarnya.”

”Zura enggak mau mendengar alasannya. Zura akan memilih Yuda. Papa harus mau menerima pilihan Zura ini. Yuda bukan laki-laki sembarangan. Nenek bayangkan, orang sehebat dia mau dengan Zura. Dia punya segalanya. Dia pintar, baik, jujur, sopan, beragama baik dan sayang pada Zura. Dia nggak aneh-aneh orangnya. Dan yang paling penting dia tidak pernah mengecewakan Zura. Dia datang setelah sekian tahun enggak ketemu hanya untuk mengajak Zura berhubungan serius.”

”Nanti Mama yang akan bicara dengan papamu.”

Kulihat kilat sedih di bola mata Nenek. Untuk kali ini, Nek, aku membantah Nenek. Aku tak bermaksud menyakiti hati Nenek. Selain Mama, Neneklah orang pertama yang kucintai. Namun, jika Nenek memaksaku menuruti perintah Papa, aku pasti mengambil jalan berbeda dari Nenek.

Saatnya tiba. Aku telah duduk dengan perasaan waswas di dalam kamar. Mama dan Nenek berada di luar menunggu tamu spesial malam ini. Aku semakin gemetar ketika suara mobil memasuki pekarangan. Tanganku kuremas-remas di atas pangkuan.

Malam ini hanya perkenalan, bukan lamaran. Telah kudikte kepala ini dengan kalimat seperti itu, ia tetap saja gelisah.

”Assalamu’alaikum.”

Heri Maryadi!

”Mau apa Papa datang ke sini?!” teriakku melihat Heri telah berdiri di ruang tengah. Bersamanya  ada mami Tayara.

”Sssttt ... Mama yang minta Papa kamu datang. Papa juga harus kenal ‘kan dengan keluarganya Yuda?” kata Mama menarik tanganku ke dekatnya.

”Zura tidak ingin melihat dia. Apalagi hadir di momen penting keluarga kita. Dia orang lain.”

Heri Maryadi berjongkok di depan sofa yang kududuki. Mama bergeser setelah melepaskan tangannya yang merangkulku. Telapak besar Papa merangkum wajahku. Matanya berkaca-kaca, mungkin punyaku juga.

”Papa minta maaf. Papa akan menerima siapa pun pilihanmu. Papa akan mendukung dan merestui pria yang ingin bersamamu. Papa tidak akan memaksa Zura lagi. Papa berjanji. Papa tidak akan merusak hidup Zura. Papa akan memberikan apa yang kamu mau.”

Saat Papa memelukku, aku tak dapat bergerak. Tidak mampu memberontak. Di balik punggung Papa, mami Tayara menyeka matanya. Dia bahkan telah terisak dengan bahu bergetar. Entah mengapa aku tak yakin tangisanya karena terharu. Alih-alih bahagia, dia terlihat nestapa. Seolah kesedihan yang dalam bercokol dalam hatinya.

”Zura hanya ingin dicintai, Pa. Yuda orangnya.”

Papa mengangguk dan mengusap kelopak bawah mataku. ”Kamu mau memaafkan Papa?”

Hanyut sudah kekesalan dan kebencian yang kurasakan untuk pria ini. Dengan lembut Papa mengusap rambutku dan mendekapku semakin erat di dadanya.

”Papa enggak mengajak Tayara?”

Papa telah duduk di bangku lain bersama mami Tayara. Wanita itu kelihatan cantik dan lebih muda dari Mama. Wajahnya putih dengan hijab lebar menutupi dada. Dia kelihatan ramah seperti Tayara. Sejak tadi tidak sungkan diajak Nenek berbicara.

”Dia ke rumah uminya dengan Zahfi.”

Aku hanya menjawab oh dan segera diam. Jangan sampai malam ini aku memikirkan Zahfiyyan.

Kami lantas bercerita banyak hal. Tak segan-segan mami Tayara menanyakan apakah Mama sudah menikah lagi. Mami Tayara adalah orang yang ekspresif. Dia ikut bahagia saat Mama bercerita tentang pengalaman bekerja yang menyenangkan di Malaysia, tentang pertemuan Mama dengan Ayah Nazril, dan mengerutkan kening saat Mama mengatakan betapa susahnya hidup jauh dariku.

”Betul sekali, Kak. Saya juga tidak bisa berpisah dengan anak-anak. Kalau saja di daerah kita ada kampus bagus, saya tidak akan melepaskan Zahfi kuliah jauh-jauh. Tayara untungnya mau diminta tinggal di rumah. Kuliahnya yang dekat rumah saja. Jadi saya enggak terlalu sepi. Namun, saya ini mana bisa tenang kalau sehari saja tidak menelepon Zahfi. Bagi saya anak-anak adalah kehidupan saya. Jauh dari mereka bikin saya susah tidur.”

Inilah sosok Mami Rana yang pernah Zahfiyyan ceritakan. Perempuan yang sayangnya menyaingi cinta uminya sendiri. Yang tidak membeda-bedakan kasih sayang antara Tayara yang anak kandungnya dengan Zahfiyyan.

Lantunan salam dari beberapa orang menyebabkan kami semua menoleh ke pintu. Yuda dan kedua orang tuanya telah tiba. Seketika aku langsung merasa rendah diri. Kedua orang tua Yuda berbanding terbalik dengan anaknya yang bersahaja. Ayah dan ibu Yuda berbalutkan satu kata ‘mahal’. Keduanya tersenyum formal ketika dipersilakan duduk.

Papa sebagai juru bicara memperkenalkan kami satu per satu. Sekilas aku melihat keterkejutan di mata Tante Riska saat Papa mengungkapkan bahwa Mama dan Papa telah berpisah.

”Jadi Zura punya dua orang tua sambung?” tanya Tante Riska. Mata di balik lensa ber-frame kotak itu mengamatiku dan mamaku. Mungkin menilai kesamaan antara kami.

Mamaku tidak mengenakan penutup kepala seperti Tante Riska dan mami Tayara. Mama mengecat pirang rambutnya yang dipotong pendek. Ada poni di dahinya sepertiku juga. Pakaian Mama juga tidak berlebihan, biasa saja. Namun, kulihat Tante Riska menipiskan bibirnya seolah menemukan cacatnya Mama. Jadi, selain ingin mengenalku kedua orang tua Yuda juga ingin ‘mengenal’ keluargaku.

Mereka melakukan penilaian dari apa yang ditangkap dua netra. Sementara itu, Om Taufik masih berbicara lancar dengan Papa mengenai topik yang tidak berhubungan dengan kelanjutan hubunganku dengan anaknya.

”Yuda ini anak kami satu-satunya. Kami sudah menyediakan posisi yang bagus di kantor, tapi anaknya ingin mandiri. Dia masih ingin bekerja sesuai dengan bidanganya, menjadi dosen linguistik. Sekarang sedang memilih-milih kampus yang menawarkan lowongan untuknya.” Tante Riska menjelaskan.

”Kami sudah sering bilang ke dia, carilah pendamping yang setara dengannya. Iya, dia kami sekolahkan sampai pascasarjana—malah ingin melanjutkan doktoral, tapi dengan uang sendiri katanya. Tidak mau dibayari lagi. Jadi kami juga ingin mencari pasangan yang pendidikannya juga tinggi. Yuda ini selalu menjadi mahasiswa berprestasi loh di setiap kampusnya. Kamu pasti tahu ‘kan, Zura, kata Yuda kalian satu kelas sewaktu S satu.”

Aku mengangguk.

”Di Solo juga begitu. Ya kami tidak bisa memaksa Yuda mengambil alih perusahaan tekstil ayahnya kalau dianya saja bisa sukses di bidangnya sendiri. Mungkin nanti usaha ayahnya diturunkan pada cucu kami. Perlu anak yang pintar seperti Yuda dan tentunya yang menjadi istri Yuda harus pintar juga. Yang terpenting bagus agamanya. Berpenampilan yang sesuai syariat.”

Aku paham semua perkataan Tante Riska dan pernyataan terselubung dari kalimatnya.

”Kami juga ingin mencarikan Zura pasangan yang mampu menjaga dan mencintainya serta menghargainya apa pun yang dia miliki. Semoga Yuda bisa kami andalkan,” kata Papa.

”Insya Allah, Om.”

Yuda ... kamu memang baik. Kamu mau menerimaku dan keluarga yang tak sebanding, tapi tidak dengan kedua orang tuamu. Semua akan sulit tanpa restu orang tua.

”Kami adalah orang tua yang tidak ingin memaksakan keinginan anaknya. Kami ingin anak kami melihat dan menilai sesuatu secara objektif. Saya beserta istri saya juga menerapkannya. Kami sebenarnya ingin mengenalkan Yuda dengan anak teman kami. Oleh karena objektif tadi, kami juga ingin mengenal perempuan yang disukai Yuda. Baru setelah itu Yuda harus melakukan hal yang sama, bertemu dan berkenalan dengan perempuan yang kami sukai.”

”Ma ....” Aku meremas tangan Mama.

Mama melirik kepadaku, kemudian aku menggeleng. Mama menatap Papa kemudian mengangguk kepada suami mami Tayara.

”Mama dan nenek Zura sudah menghidangkan makan malam untuk Pak Taufik dan Ibu Riska serta Yuda. Mari kita nikmati makanannya sebelum jadi dingin. Ibu mertua saya punya rasa masakan yang takkan bisa ditolak oleh lidah siapa pun.”

”Oh, mari.” Pak Taufik berdiri disusul Tante Riska dan Yuda.

Aku menghampiri Yuda, menyentuh punggung tangannya saat semua orang telah menuju meja makan.

”Semua ini tidak lancar, Yud.”

”Jangan bicara seperti itu, Zura. Kamu harus yakin.”

Aku menggeleng. ”Cukup aku saja yang memiliki hubungan tak baik dengan Papa. Kamu jangan, Yuda. Aku tidak ingin kamu menjadi sepertiku hanya karena memilihku. Jujur, Yud, rasa ini mulai ada untukmu. Aku ingin bersamamu. Sungguh.”

”Aku bisa bicara dengan Ayah dan Bunda, Zura. Mereka bukan menolak hubungan kita. Mereka akan memikirkannya.”

”Yud ... aku takut, aku ini pengecut. Aku enggak punya nyali yang besar untuk mencoba kepada hal yang terlihat punya potensi bikin aku luluh lantak lagi. Di dalam sini sudah tidak baik-baik saja. Aku enggak mau menambah sakitnya lagi. Aku yakin kamu yang tepat mengisi hati yang rusak ini, tapi kita tidak hidup berdua saja. Kamu punya orang tua. Aku juga. Aku tak ingin kamu bingung memilih antara aku dan orang tuamu.”

”Ra ... aku ingin kamu sabar. Ini ‘kan yang namanya perkenalan? Butuh beberapa kali pertemuan dan banyaknya konunikasi agar hubungan kedua keluarga kita berjalan baik. Aku sadar, kedua orang tuaku sengaja menyombongkan hal yang mereka punya. Aku minta maaf untuk mereka.”

”Kamu baik, Yud. Aku penakut. Maafkan aku jika aku enggak kuat berjuang. Aku hanya tak mau kamu seperti aku dan papaku. Kami tidak memiliki hubungan yang baik.”

”Ayah dan Bunda pasti merestui kita, Zura.”

Semua yang hadir di sini juga tahu, Yuda. Kedua orang tuamu telah mendapatkan kesan buruk saat mengenal keluarga kami. Selain harta dan pendidikan yang tak sepadan, kegagalan rumah tangga orang tuaku juga menjadi alasan.

Aku menyelubungi tangan Yuda yang besar dengan kedua tanganku. ”Maafkan aku jika kita tidak bisa meneruskannya. Aku betul-betul bahagia saat kamu mengucapkan janji ingin serius denganku. Namun, aku memiliki syarat untuk diriku. Laki-laki yang datang padaku harus punya tujuan yang sama dengan orang tuanya, menyukaiku apa adanya.”

”Yuda ... Bunda tidak pernah mengajarimu menyentuh perempuan yang tidak halal untuku.”

Secara refleks aku segera melepaskan tangan Yuda. Terlihat mata Tante Riska tertuju kepadaku, bukannya Yuda.

***

Bersambung  ....

18 Desember 2019 

Yaaaah. Setelah sekian lama akhirnya update lagi...

Ada yang tahu cara mengembalikan mood nulis itu gimana??? Sekian hari libur nulis Sayla, saat mau dimulai kok jd stuck gitu...  Jdi kalau ada pembaca Sayla yang baca ini, mohonaaf Kasev lagi ngumpulin mood ynag berceceran akibat duta yang teramat kacau sejak awal Desember ini. Untuk Zura file nya sudah ada. Tinggal up aja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro