Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[17] Jodoh dari Papa

Nunggu Zura ngga?? 😅😅😅

🕯🕯🕯


”Besok aku jemput kamu di sekolah.”

”Mau ngapain?” Jemariku melepaskan seat belt begitu Yuda memberhentikan mobilnya. ”Mampir dulu yuk ke Nenek. Nggak baik pergi gitu saja. Apalagi kalau Nenek lihat laki-laki yang mengantar cucunya langsung kabur aja.”

”Kesannya kamu sedang berusaha agar Nenek kamu nggak menolak aku,” kata Yuda yang berhasil memecahkan tawaku.

”Mampir atau tidak?”

”Iya iya.”

Nenek sudah berdiri di pinggir teras, seolah dari tadi telah menungguku. Janji pulang sore, aku tiba pukul setengah sembilan malam. Nenek pasti cemas, sementara aku malah keasyikan ngobrol dengan mantan ketua kelas. Wajah Nenek terlihat lega begitu aku mencium tangan dan memeluknya.

”Nek itu Yuda,” bisikku.

Pria yang kumaksud mengucapkan salam kemudian mencium punggung tangan Nenek takzim.

”Yuda langsung pulang aja katanya, Nek. Sudah malam. Iya ‘kan, Yuda?”

Aku mendorong punggungnya masuk ke mobil. Melihat gelagat Yuda, aku takut dia akan bicara melantur sesuai keahliannya kepada Nenek. Sungguh, ini bukan saatnya. Biarkan aku yakin dulu baru memberi tahu Nenek.

”Jangan lupa besok, jangan pulang duluan kalau aku terlambat datang.”

”Iya ... iya ....”

Saat aku berbalik sudah ada Tayara dan ... abangnya. Cepat kualihkan pandang pada Nenek yang mengawasi mobil Yuda menjauh.

”Zura kemalaman,” laporku.

”Sudah makan?” tanya Nenek saat kugandeng ke dalam.

”Sudah.” Saat itulah pandangan kami bertemu.

Zahfiyyan Sharnaaz.

Lelaki yang dulunya pernah membuatku gila itu nyata ada di rumah ini. Jarak kami sedekat nadi, tapi hati bagaikan langit dan bumi. Begitu jauh dan tak akan pernah bertemu. Perkara benci sudah tak masalah lagi. Aku ingin berdamai dengan perasaan itu. Kami bersaudara. Iya. Tayara dan Zahfiyyan itu sama. Mereka anak papa yang baru. Aku tak boleh ikut-ikutan membenci mereka.

”Yang tadi itu siapa, Kak?”

Kesempatan itu kugunakan untuk menarik Tayara ke kamar, menghindari pertanyaan Nenek dan Zahfiyyan. Tentang lelaki itu, aku ingin merelakan dia. Memulai hidup yang lebih baik adalah dengan membuka buku yang baru. Tidak ada lagi jejak masa lalu. Pikiranku ini harus direparasi, dibenari supaya bersih.

Lelaki yang kucap sebagai penyebab semua masalah  bukanlah Zahfiyyan. Betul kata Nenek. Kematian itu sudah suratan takdir semenjak ruh ditiupkan ke jasad. Aku tak boleh menyalahkan takdir apalagi manusia.

Kesedihan telah lama berlalu. Perasaan untuknya semestinya telah hilang. Tidak boleh ada rasa yang istimewa kepada lelaki milik wanita lain.

Setelah bertemu Yuda, aku bisa merasakan perbedaan. Antara Yuda dan Zahfiyyan, meskipun salah satunya tak patut kupikirkan, aku tahu akan memilih yang mana. Voni pernah bilang, pilihlah orang mencintai bukan yang kita cintai sampai mati.

”Bang Fiyyan ke sini untuk menceritakan tentang Papi pada Nenek. Kakak ikut, yuk.”

”Hah ... mood-ku tiba-tiba jelek lagi.”

”Maaf. Eh ... jadi Kak Zura ajak aku ke dalam pasti mau curhat antara wanita ke wanita. Soal cowok tadi, Kak? Apa ceritanya? Aku siap mendengarkan.”

Aku mengempaskan punggung ke tempat tidur, merentangkan tangan.

”Jangan kasih tahu Nenek dulu.”

Tayara mengangguk-angguk. Dia duduk di sebelahku. ”Apa dia seseorang yang spesial? Nenek bilang, Kak Zura tidak pernah diantar cowok. Sekalinya diantar mukanya ceria sekali.”

”Dia teman lama sih. Taya ... menurut kamu, apa saya cocok dengan laki-laki seperti Yuda? Biarpun dia bilang di hatinya saya selalu ada, tapi keluarganya belum tentu setuju. Sebelum saya membuka hati saya, saya harus yakin bila waktunya tiba, tak ada yang akan membuat hati ini sakit lagi oleh sebuah penolakan. Saya ini tidak suka main-main dalam berhubungan. Usia saya sudah nggak cocok pacaran. Dan jika dia serius, saya juga harus sama.”

”Kak ....” Suara Tayara pelan sekali. Wajahya sudah tak seriang tadi.

”Kakak apakan Bang Fiy?”

🕯🕯🕯

Bel akhir pelajaran masih bergema saat aku mengikuti arus siswa yang menuju ke halaman sekolah. Aku lupa memberitahu Yuda jika sekolah ini tidak memperkenankan guru perempuan dijemput lelaki yang bukan suaminya atau mahramnya. Pengawasannya sangat ketat sebab guru menjadi contoh bagi siswanya. Sebelum membuat aturan untuk siswa, gurulah yang harus ditertibkan.

Siswa yang tidak punya kendaraan pribadi, disediakan bus sekolah. Itu juga dibagi menjadi bus yang isinya laki-laki dan perempuan. Dibedakan berdasarkan warna, laki-laki putih dan perempuan hijau. Jika Yuda berdiri di depan dan bilang ke siapa pun dia sedang menungguku, akan terjadi lagi teguran KS jilid kesekian.

”Assalamu’alaikum, Zura.”

Dua kaki berhenti melangkah. Tubuh refleks berputar ke arah suara. Dua mata melotot heran melihat siapa yang berdiri di hadapan.

”Waa’alaikum salam.” Guru kelas sepuluh ini otomatis menjawab salam.

”Buru-buru?” tanyanya tenang.

Ingatkan Zura sudah berdamai. Damai.

Senyum! Aku memerintahkan sebelum menjawab pertanyaannya. ”Iya. Ada yang harus aku temui. Ada perlu dengan siapa di sini, Zahfiy?”

”Dengan kamu.”

”Kok bisa masuk?” tanyaku langsung setelah dia selesai bertanya. Tentu saja aku heran. Kenapa bisa? Mana aturannya?

”Bisa. Tadi di depan ditanya aku ini siapanya kamu. Aku bilang aku adalah anak sambungnya papa kamu.”

”Itu Tayara bukan kamu,” desisku.

Telinga ini tak suka saat dia mengatakan secara langsung. Kenyataannya memang bukan karena Zahfiy hanya keponakan maminya Tayara. Yah, Tayara sudah menceritakan seluk-beluk keluarganya dengan bersemangat kepadaku.

”Ada perlu apa?” Suaraku mulai tak bersahabat lagi. Kenapa sih dia sekarang selalu membuatku kesal?

”Sekarang ini di rumah, mungkin sudah ada papa kamu.”

”Mau apa dia ke sana?”

”Ketemu kamu, tidak mungkin mencari mamamu ‘kan?”

”Nggak lucu. Aku nggak akan pulang kalau gitu.”

”Kamu tidak mau bertemu papamu dan lebih memilih menemui laki-laki yang bukan siapa-siapanya kamu?”

”Iya aku pilih yang kedua. Dia sudah menunggu di luar pagar. Sudahlah, nggak ada waktu bicara dengan kamu di sini.”

”Ra.”

Suaranya yang tenang tanpa emosi itu bikin aku bertambah geram.

”Kamu butuh papamu, satu-satunya wali yang kamu miliki.”

🕯🕯🕯

“Assalamualaikum, Nenek. Zura pulang!”

Meskipun sudah tahu, aku masih tertegun melihat tamu yang duduk manis di ruang tamu bersama nenek.

Kata-kata Zahfiyyan yang terakhir itu sangat menggangguku. Dia bilang aku memerlukan papa. Selama ini tanpa bantuannya, aku baik-baik saja. Aku ingin menegaskan hal itu kepada pria yang bertandang ini.

“Ra, duduk di sini, Nak!”

Aku berjalan dengan malas ke samping Nenek. Setelah membanting tas sekolah ke kursi, aku duduk di kursi lain.

“Baru pulang dari sekolah ya, Ra?” tanya Heri. Pria itu tersenyum maklum. “Papa bawa cokelat kacang kesukaan Zura, ini ambil.” Heri menyerahkan sekotak cokelat.

“Nenek ke belakang dulu. Kamu mau minum yang dingin ‘kan, Ra?”

“Zura aja yang buat minum, Nek.”

“Biar Nenek saja, kamu temani Papa kamu di sini. Dia sudah menunggu sejak tadi,” bujuk Nenek.

“Akhirnya kamu jadi guru sungguhan,” ucap lelaki berkemeja hitam garis-garis. “Papa masih ingat waktu kecil, kamu sering bercerita jika sudah besar ingin menjadi guru. Kamu lari-lari membawa buku yang sudah kamu tulis waktu Papa pulang kerja. Kamu mengatakan bahwa kamu sudah bisa menulis papa dan mama. Kamu senang sekali waktu itu. Katamu kamu tak ingin menjadi dokter sebab kamu takut dengan jarum suntik. Lalu Mama tanya, apa kamu tetap tidak ingin menjadi dokter bila Mama atau Papa sakit. Kamu pun kebingungan. Kamu belum menjawab pertanyaan itu sampai beberapa hari. Kami lupa bertanya lagi dan kamu semakin sering bermain menjadi guru-guruan.”

Cerita itu adalah kenangan indah, masa yang penuh dengan kebahagiaan. Kenangan yang telah kusimpan erat agar tidak diambil orang dan hilang begitu saja.

Mendengar seseorang yang ikut hadir dalam kisah itu mengingatkannya dengan persis sama membuat air mata ini meluruh. Aku merindukan masa-masa itu.

“Papa meninggalkan Zura. Papa pergi. Mama pergi demi Zura, Mama juga meninggalkan Zura. Semua karena Papa.”

“Maafkan Papa, Nak. Sekarang Papa di sini, Ra.”

“Aku tidak bisa memaafkan Papa. Aku juga tidak ingin bertemu Papa. Aku masih sakit hati. Papa baru muncul, selama ini ke mana? Kenapa tidak dari dulu supaya sakitku belum separah ini? Papa bahkan tidak mau tahu Zura sehat atau sakit. Papa sudah lama tak peduli padaku, sekarang anggap saja Papa betul-betul sudah melupakan Zura. Kenapa masih kembali?”

Lelaki itu ikut menangis. “Papa akan menunggu kamu, Nak. Papa akan menunggu kamu memaafkan Papa. Tapi jangan halangi Papa bertemu kamu, Nak. Jangan halangi Papa melihat kamu. Papa merindukan Zura, Nak.”

Rindu? Kata-kata itu menyentuh sanubari ini. Ternyata hati ini juga merindukan dia. Namun, ada suatu sisi yang sangat berat menerima kata-kata maaf Papa. Aku belum siap berbaikan dengan puncak masalah yang menimpa hidupku selama bertahun-tahun.

“Nenek bikin masakan kesukaan Zura. Ayo kita makan. Ayo, Ri kita makan di meja makan di dalam!”

“Iya, Bu. Kita makan bersama, Ra. Papa rindu makan masakan Nenek.”

Heri memimpin doa. Kami mengikuti dalam hati kemudian menikmati makanan dalam diam.

“Zura sudah dua empat, ya?” Selesai makan, Papa memulai obrolan kembali.

“Masuk dua lima, Pa.”

“Kalau begitu kamu sudah berumur dua tahun saat mama seusia kamu sekarang.”

“Zura masih muda, iyakan Nek?”

“Iya, yang tua itu Nenek,” balas Nenek.

“Sudah waktunya Zura jadi istri orang. Iyakan, Bu?”

Nenek mengangguk dan tersenyum. “Tapi siapa yang mau dengan anak manja seperti Zura ini, Ri?”

“Sebenarnya Papa sudah menjodohkan Zura dengan anak kerabatnya Mami Tayara.”

“Papa jodohin Zura?”

Heri mengangguk dan tersenyum. Senyum yang kali ini makin tak kusukai. “Lelaki itu baik sekali. Papa yakin dia sangat cocok menjadi pendamping hidup Zura, yang akan membimbing Zura. Papa mengenalnya luar dalam.”

“Papa jangan seenaknya main jodohin Zura. Jadi Papa datang lagi sebenarnya ingin merusak kehidupan aku?”

“Zura, jaga bicara kamu! Dia Papa kamu, Nak. Tidak boleh berkata kasar kepadanya.”

🕯🕯🕯

Bersambung   ....

07 Desember 2019

Ketemu lagi.. Lama banget ya libur update nyaaa. 😄😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro