Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[12] Sahabat Kecil dan Gadis Aneh

12|Sahabat Kecil dan Gadis Aneh

💕💕

“Sekolah kita memiliki aturan kuat dan saya rasa Ibu Zura sudah memahaminya.”

Suara itu bernada rendah dan berwibawa. Kepala ini kutundukkan melihat motif batik pada ujung baju kurung. Berseberangan dengan meja ini, Pak Wisnu, kepala yayasan, melanjutkan bicaranya.

“Kita sebagai pendidik, tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak didik. Tetapi juga akhlak yang baik. Oleh karena itu, aturan di sekolah ini sangat ketat menyangkut adab berpakaian, adab menggunakan media sosial, juga sopan santun terhadap manusia yang lain. Semua manusia, baik itu yang umurnya di bawah mereka, sebaya, apalagi kepada yang lebih tua. Kalau akhlak gurunya saja sudah meragukan, bagaimana dengan akhlak anak didik?”

“Menurut Bapak, akhlak saya tidak baik?”

“Maaf, saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ingin minta tolong kepada Ibu Zura untuk membatasi pergaulan dengan anak-anak di luar sekolah. Saya hanya khawatir mereka akan mengikuti cara Anda.” Penekanan dilakukannya pada ‘cara anda’.

“Masalah aturan mengenakan hijab, saya tidak ingin berkomentar karena itu adalah urusan Anda dengan Tuhan. Tapi sebagai sesama muslim saya mengajak, ada baiknya Ibu Zura menerapkan pakaian seperti yang Anda kenakan sekarang!”

Saat ini aku menggunakan hijab yang terulur panjang berwarna biru. Setiap guru memang diharuskan memakai seragam yang telah disediakan oleh sekolah. Untuk guru wanita, aturannya wajib menggunakan hijab lebar yang hanya menampakkan punggung tangan.

Pembicaraan seperti itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, Pak Wisnu juga telah memperingatiku agar tidak terlalu dekat dengan siswa di luar jam sekolah. Aku menangkap poin utama dari teguran-teguran itu adalah seorang guru wajib pakai kerudung di depan siswanya.

Semua itu tidak berpengaruh sama sekali untukku. Aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Tidak mau didikte. Sudah lama telinga ini kutulikan dari suara-suara yang hanya pandai men-judge orang lewat penampilan.

Aku hanya ingin hidup berdasarkan kehendak sendiri. Zura Azzahra adalah manusia merdeka. Aku melakukan sesuatu jika hati menginginkannya. Sesimpel itu. Kebaikan seseorang tidak dipandang dari peci yang dikenakannya, panjang janggutnya, dan dari hijabnya. Banyak wanita berhijab, tetapi tidak menjaga pergaulan. Untuk apa?

Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang mengubah penampilan agar dipandang baik oleh masyarakat. Sudah cukup masa lalu mengajarkan itu. Aku akan menutup aurat ini lagi ketika hatilah yang menginginkan.

***

”Ren, jangan diminum dulu! Tunggu Kak Zura datang!”

”Hey, kalian dari tadi?”

Dua remaja di bangku kafe ini langsung berdiri begitu aku menyapa. Reaksi mereka masih sering kaget melihatku tanpa tutup kepala. Tadi buru-buru jadi rambut ini pun hanya aku gelung asal-asalan.

”Ada apa, Reen? Kenapa tadi di telepon menangis?”

Areena dan Nada adalah siswaku tahun lalu. Sekarang mereka sudah kelas sebelas. Dua remaja ini belajar denganku saat kelas sepuluh. Semenjak itulah kami jadi akrab. Namun, mulai keluar untuk ‘nongkrong’ seperti ini baru semenjak mereka naik kelas. Waktu masih kuajar, merekalah yang sering datang ke rumah. Meskipun pada waktu itu sudah banyak teguran dengan alasan takut terjadi kecemburuan sosial, kami tidak pernah menggubrisnya. Aku sih fine-fine saja para siswa datang ke rumah, belajar denganku. Hanya saja dua anak inilah yang paling sering bertandang. Kalau dapat izin dari orang tua, mereka malah senang kuajak tidur di rumah.

”Aku nggak boleh ikut paskib lagi, Kak,” adu Areena.

”Memang nilaimu menurun?”

Areena menggeleng. ”Nggak. Tapi tidak meningkat. Pas-pasan. Kemarin Mamih lihat kertas ulangan Kimia. Marah-marah karena nilainya cuman enam puluh.”

”Enam puluh belum sampai KKM, Reen. Pikir mamamu kamu banyak habisin waktu dengan latihan itu. Lagipula, Ibu lihat kalian sering sekali keluar malam sehabis latihan. Lalu belajarnya kapan?”

”Kimia itu susah, Kak,” kata Nada juga dengan nada lirih.

”Tapi Areena nilaimu harus ditingkatkan. Katanya mau masuk kedokteran.”

”Itu ‘kan maunya Mamih, Kak.”

Nah, jika sudah seperti ini seharusnya anak dan orang tua berdiskusi baik-baik. Jangan sampai masing-masing memaksakan kehendak. Orang tua juga tanya apa maunya si anak. Jika memang menginginkan anak masuk ke jurusan yang direkomendasikan, bujuklah pelan-pelan. Berikan alasan yang kuat. Seusia Areena ini sudah punya pikiran sendiri. Mereka tak ingin dipaksa. Sayangnya sebagai anak, mereka harus berbakti kepada orang tua. Jadi apakah rela orang tua melihat anak melakukan hal yang tidak mereka sukai? Amat dibutuhkan bicara dari hati ke hati.

”Bagus ‘kan nantinya jadi dokter.”

”Tapi aku mau jadi desainer, Kak. Suka seni. Kalau aku nggak mampu nanti, apa nggak jadi bunuh orang jadinya?”

”Ih sembarangan, ya nggak mungkin sampai bunuh orang kalau belajarnya bener!” kata Nada tak setuju.

Areena masih terus mengeluh ingin tetap menjadi anggota paskibra sekolah. Sementara itu, Nada memainkan ponsel dan tak menghiraukan teman sebangkunya yang sedang galau.

”Ibu ke toilet dulu. Kalau pesanan kita datang, makanlah duluan. Pada belum makan ‘kan?”

Mereka tak suka memanggilku ibu kecuali di dalam kelas. Katanya panggilan itu cocok untuk guru yang sudah menikah. Mereka anggap aku kakak karena Areena punya abang seusia denganku, sedangkan Nada yang putri tunggal mengikut sahabatnya.

”Ok sip!” jawab mereka kompak.

Di depan cermin, aku melepas kacamata. Mengeluarkan sisir dari tas lalu merapikan rambut. Pengaruh helm makin membuat ia acak-acakan.

”Hay, Kak, ada tisu basah?”

Seorang gadis berhijab biru tua yang menutupi dada tersenyum malu-malu. Setelah menyisir poni, aku mengeluarkan sesuatu dari tas.

”Ini,” tawarku.

”Terima kasih, Kak.” Dia mengelap bibirnya menggunakan tisu yang kuberikan.

”Kenapa dihapus?”

”Dimarah Abang, nggak boleh pakai lipstik,” katanya tertawa.

”Suami?”

”Bukan. Abang sepupu sih, tapi bawel kayak abang kandung.” Dia tertawa lagi.

Aku merasa tatapannya terlalu lekat saat menatapku. Perasaanku mengatakan gadis itu sengaja menyapaku untuk sesuatu yang tak aku tahu.

Eh, Zura pedenya selangit.

”Kakak cantik. Saya sepertinya pernah melihat Kakak. Di mana, ya?” gumamnya.

”Ah, bisa jadi. Saya sering ke kafe ini.”

”Mungkin. Eh aku penasaran banget sih, Kak. Aku kayak kenal Kakak di suatu tempat. Boleh tahu nama Kakak? Aku ini bukan orang jahat, sumpah Kak. Aku anak baik-baik. Aku mahasiswi STIE semester akhir. Kalau Kakak nggak percaya, lihat nih KTM-ku.”

Dia akan mengeluarkan kartu mahasiswa dari dompetnya sebelum kucegah. Dia memang tidak terlihat seperti penipu. Wajahnya cantik dan tutur katanya riang seperti Voni. Dia mengingatkanku pada kekasihnya Elrangga.

”Zura. Kalau kamu siapa?”

”Tayara, Kak. Aku harus kembali ke tempat Abang!” katanya dengan semangat banget.

”Iya, sekalian kita bareng ke depan. Saya juga sudah selesai,” kataku sembari mengemasi peralatan make up. Aku sempat menambah sapuan bedak serta lipstik merah muda yang tak pernah alfa di dalam tas.

Memakai kacamata lagi, aku mengajaknya untuk kembali ke bangku masing-masing.

”Kakak ke sini dengan siapa?”

”Sendirian. Ada dua teman saya yang sudah menunggu di sini. Itu yang melambai-lambaikan tangan. Saya jalan ke sana, ya, sepertinya mereka nggak jadi makan duluan nungguin saya.”

”Siiap, Kak. Sampai ketemu,” jawabnya sangat antusias untuk dua orang yang baru tahu nama saja.

”Ketemu siapa, Kak?” tanya Areena begitu aku telah mengempaskan tubuh ke bangku.

”Dia tadi minta tisu basah. Kalian kenapa tidak makan? Nggak harus menunggu Ibu kok. Lapar jangan ditahan-tahan.”

Mereka berdua tersenyum lebar. Areena terlihat sudah tak galau lagi masalah paskib.

Sementara itu,  Nada memandang ke arah lain. ”Kakak tadi jalan dari toilet bareng kakak yang pakai jilbab biru itu ‘kan?”

Rupanya Tayara sedang berjalan ke luar dan posisinya tampak punggung. 

”Iya, dia.”

”Yang di sebelahnya itu tadi yang rebutan kursi sama kita ‘kan, Ren?” tanyanya minta pendapat.

”Iya om-om itu tadi mau duduk di tempat ini. Ini ‘kan meja favorit kita, nggak bisa dong dia main tempatin aja.”

”Kamu nggak beli meja ini, Ren,” protesku. ”Pasti tadi galak ke om-om itu.”

”Dibentak sama Rena, Kak. Nggak sopan ini orang sama yang lebih tua dari dia. Untung si om itu baik langsung cari meja lain. Tapi bukan itu yang mau aku bahas. Om itu dari pas Kak Zura datang, lihat ke Kakak terus.”

”Masa sih? Kalau gitu kamu juga lihat ke dia terus sampai tahu.”

”Orangnya ganteng sih, Kak,” aku Nada perlihatkan rona di wajah.

”Nggak juga ah.” Areena menolak.

”Ih beda kamu beda aku, Ren. Kamu tipenya EXO yang manis kayak anak gadis, sedangkan aku yang kebapakan kayak om itu tadi.”

”Tuh dengar, Kak, Nada suka om-om.”

”Dia belum kayak om-om. Kamu saja yang dari tadi menyebutnya om-om bikin aku ikut-ikutan. Menurutku, dia masih sepantaran dengan Kak Zura kok.”

Mereka biasa seperti ini. Banyak hal yang bikin mereka tidak sepakat. Perbedaan itu tidak membuat mereka menjauh. Nada akan mengalah dan mengikuti maunya Areena.

Sementara itu, aku jadi kepikiran dengan informasi yang disampaikan oleh Nada tadi. Sejak awal aku memang merasa aneh kepada Tayara. Seakan-akan dia mengikutiku ke toilet dengan sengaja, meminta tisu basah, dan mengucapkan sampai jumpa lagi saat akan berpisah.

***

Bersambung....

OKI, 9 November 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro