[06] Ditemani Tidur
Naskah ini tetap terlupa yaa ampun.
Ya udin ini lanjutan 2Z
Happy Reading
De javu.
Cowok Masjid yang bernama Zahfiyyan itu mengejutkanku seperti yang sudah-sudah. Sepeda motor, jalan raya, Zura, dan Zahfiyyan. Bedanya dari yang lalu: sekarang ini malam sedangkan saat itu siang.
”Kenapa lagi dengan motornya, Ra?”
Kenapa juga harus pakai ‘lagi’, Zahfiy?!
Aku segera bangkit dari posisi jongkok. Yang terjadi setelahnya, kakiku bagai tak lagi menapak di tanah. Kedua mata ini tertuju kepada dua netra yang sedang menantiku bicara. Sementara itu, kepalaku sedang sibuk merekam suara yang baru saja melewati liang telinga.
”Motor kamu kenapa, Ra?” Lambaian tangan Zahfiyyan di depan hidungku yang membangunkan dari keterpanaan.
”Nggak tahu nih, ngambek lagi kali.”
Zahfiyyan tersenyum seolah ada yang lucu dari jawabanku.
”Sudah malam. Kalau gini aja gimana? Kamu pulang bawa sepeda motorku, dan ini biar aku yang akan mengurusnya,” tawarnya.
”Kalau gitu kamu pulangnya gimana?”
Zahfiyyan menarik napas, mencoba menjelaskan duduk perkaranya kepada otakku yang lemot gara-gara dia. Biasanya aku tidak seperti ini.
”Motor kamu biarkan aku yang memperbaiki. Aku yang akan bawa ke bengkel. Besok aku kembalikan setelah bisa jalan lagi. Bagaimana?”
”Intinya kita tukaran motor?”
Zahfiyyan bersedekap sambil mengangguk. Ih, dia memang senang senyum atau sedang tertawakan aku sih? Aku jadi curiga sebab Zahfiyyan sedikit-sedikit akan tersenyum setiap aku kasih komentar.
”Aku nggak apa-apa kok menunggu di bengkel sampai malam betul. Aku akan SMS Ibu Kos.”
Saat akan mengeluarkan ponsel, Zahfiyyan menyela, ”Maaf,” katanya ketika tidak sengaja menyentuh pergelanganku, ”Kamu pulang saja dengan motor ini. Bensinnya sudah aku isi full.”
”Jadi ... aku nggak bisa ikut ke bengkel?”
Dia menggeleng.
Sebelum aku pergi dia berseru, ”Ini. Simpan nomor handphone-ku. Kalau ada apa-apa di jalan, hubungi aku.”
Di kelas Sanggar waktu itu, dia tidak menuliskan kontaknya. Kupikir memang tidak suka diganggu lewat telepon, tapi ini dia sendiri yang memberikannya.
Bagaimana aku tidak berteriak saat sampai kos-kosan hingga mendapat satu pukulan keras dari Kak Naila? Hari ini kami tukaran sepeda motor juga tukaran nomor ponsel. Dan ... Zahfiy! Kali ini sepeda motorku yang kamu bawa pulang. Besok-besok aku!
Satu pesan teks masuk.
Zahfiy
Sudah sampai di rumah, Ra? Motornya sudah aku masukin bengkel. Ini sedang dikerjakan sama montir. Mudah-mudah sebentar lagi selesai. Jangan dibalas. Kamu istirahat aja.
***
”Bangun hey, Zura! Abang Zahfiy lagi azan tuh.”
Aku menggeliat dan membuka kedua kelopak mata. Lalu langsung digantikan oleh seruan salat Zuhur yang sayup-sayup terdengar, namun tetap indah. Saat ini aku berada di kamar indekos Vayola bersama Voni dan Avika. Sekitar dua puluh meter dari mushala fakultas. Kekhasan suara Zahfiyyan terpantul merdu di telinga dan merasuk pelan ke dada. Membuat perasaan tenteram dan hati adem saja.
”Ckckc ... Kenapa baru sekarang sih kita tahu suara Zahfiyyan punya efek kejut untuk bangunin Putri Tidur?” Vayola bergeleng-geleng.
Vayola memakai kerudung instan dan menurunkan roknya hingga menutupi seluruh aurat tak yang tersingkap. Begitulah dia sebelum keluar dari kamar karena ada bapak kos yang bisa saja sedang berada di dapur.
”Hm ... tahu gitu kalau Mama telepon, bilang aja dari Zahfiyyan. Kasihan nggak sih si Mama, sudah luangin waktu tiap siang untuk menelepon anaknya, tapi malah di-reject. Dia ini kalau tidur benar-benar pantang diganggu,” katanya lalu ke kamar mandi untuk berwudhu.
”Kapan aku reject telepon Mama? Mungkin cuman nggak kedengaran. Mama nggak pernah bilang tuh.”
Voni menyela, ”Zura ngantuk, Ma, eeungh ... Terus tepar lagi.”
”Ish!”
”Tahu nggak, Ra, kita sekelas dengan Zahfiyyan waktu ambil PP?” Avika mengalihkan topik.
”Nggak tahu dong, Vik. Zura ini telat puber. Waktu itu dia ‘kan belum kenal laki-laki. Vayola bilang ketua kelas mereka sudah lama kasih kode, tapi Zuranya nggak peka. Zura ini pikirannya cuman tugaaaas aja.”
”Kamu pikirannya Aneeel melulu.”
Voni tertawa mengejek. ”Namanya juga pacaran, LDR-an lagi. Kalau aku nggak mikirin dia, terus mikirin siapa? Sekarang terasa ‘kan, Ra, gimana rasanya? Setiap mau tidur pasti ingin dengar suara dia dulu. Eh, kalian sudah sampai mana? Sudah tukeran pin BB belum?”
”Jangan ajarin Zura yang aneh-aneh, Von. Nanti dia beneran minta pin lagi ke Zahfiyyan. Dia ini selalu makan omongan kita mentah-mentah.”
”Enggak segitunya kali, Vik. Aku nggak berani.”
”Dengar apa tadi, Vik? Kalau dia berani, pasti sudah dia lakukan. Habis dapat pin lalu minta foto Zahfiyyan terus dijadiin DP.”
Voni tertawa sangat keras.
Ckckck ... kalian tak tahu ‘kan, semalam kendaraan kesayangan Zahfiyyan tidurnya di mana?
Usai bersiap, Voni dan Avika kembali ke fakultas mereka di FMIPA. Aku dan Vayola pun ada kuliah Kritik Sastra siang ini.
”Vay, ada Zahfiyyan,” bisikku saat kami menuju Gedung Hijau.
”Kamu memang suka, ya, sama dia?” tanyanya serius.
Kami berjalan santai, tak takut akan terik matahari. Karena berada di dekat pantai, kampus kami ini lumayan sejuk oleh angin yang berembus.
”Aku bingung suka apa nggak. Gini deh Vay, dulu aku bilang cuman ngefans sama dia, ‘kan?”
Vayola mengangguk.
”Setelah itu, aku jadi rajin merhatiin dia. Otakku sama mataku pasti nyariin dia ke mana-mana. Jika dia nggak ada, otomatis aku mencari dan menunggu sesuatu. Gelisah. Kalau dia ada, secara nggak sengaja akan curi-curi pandang ke dia. Leherku kayak diputar secara otomatis.”
”Wah, parah.”
”Itu belum apa-apa. Kamu sampai bilang aku menguntit dia. Aku nggak sengaja itu, Vay. Gini deh eehm ... sepertinya ada kekuatan yang aku tak kenal, minta aku untuk tinggal selama mungkin di kampus agar dapat terus melihat dia. Cuman melihat dia aja, Vay, rasanya senang. Aku jadi suka jamaah di mushala. Apalagi saat keluar bisa lihat dia sedang duduk di teras mushala sedang memasang sepatunya. Aku aja malu untuk mengakui ini, tapi itulah kegilaan yang aku lakukan setahun belakangan ini.”
”Deg-degan nggak lihat dia?”
Aku menggeleng. ”Aku nggak tahu. Waktu itu aku sudah yakin banget aku sudah jatuh cinta.” Aku tertawa miris. ”Tapi sewaktu di kampung, ketemu Mama dan Ayah Nazril—” Aku telah bercerita soal ini kepada para sahabatku, ”—Aku nggak pernah mikirin dia, jadi kesimpulan tentang jatuh cinta itu pasti salah. Sampai kita ketemu lagi di perkuliahan semester ini.”
Aku mengembus napas pelan. ”Aku kayak orang gila mikirin dia. Lompat-lompat sendiri saat tiba di kosan setelah beberapa jam latihan puisi bareng.”
”Terus kalau memang kamu suka, kamu mau gimana? Nembak dia gitu?”
Aku juga tidak tahu mau ngapain.
”Saranku sih, kamu harus tegas sama diri sendiri. Kamu paksa seluruh organ kamu agar tidak sampai terpengaruh oleh dia. Misalnya kamu sampai jatuh cinta benaran, kamu bisa apa memangnya? Memendamnya terus-terusan sampai kamu jadi gila beneran?”
Aku menggeleng.
”Kamu masih belum tahu dengan perasaanmu, jadi jangan perparah apa yang sedang mulai tumbuh di hatimu. Kita ini kodratnya menerima cinta, bukan mengejar cinta. Aku takut nanti kamu hanya punya harapan ini sendirian.”
Aku mengangguk.
”Ingat ‘kan gimana Voni dan Elrangga? Kamu nggak mau jadi Voni kedua ‘kan? Cukup dia aja yang rela disakiti berkali-kali karena terlalu sangat mencintai. Aku harap kamu jangan seperti dia.”
”Vay ....”
Kami sudah duduk di ruang kelas BI4, tepat di bawah kipas angin yang menjadi sarang debu.
”Aku juga jadi sering merasa nggak pantas mengharap disukai dia. Kamu lihat aku.” Aku tergelak kecil. ”Aku nggak setaat kalian. Nggak sebaik kalian. Belum punya pemahaman agama yang bagus. Masih suka melalaikan salat. Jarang jamaahan ke masjid. Jarang tadarusan. Masih sering ria. Dan sekarang terlalu sering mikirin cowok. Aku beda jauh dengan dia. Kalau kamu yang bilang suka dia, lebih pantas dan mungin lebih gampang disukai olehnya.”
”Kamu men-judge diri kamu sendiri, Ra. Siapa bilang kamu nggak baik? Tapi kalau kamu tetap merasa seperti itu, kenapa kamu nggak coba berubah menjadi lebih baik? Ingat ‘kan kalau perempuan baik untuk laki-laki yang baik dan sebaliknya?”
***
”Mau pulang jam berapa, Fiy?! Bangunkan aja beres. Ngapain nungguin orang tidur? Seperti tidak ada pekerjaan saja.”
Suara-suara kesal seseorang membuat mataku perlahan terbuka. Aku menegakkan kepala dari meja kursi dan melihat ke sekeliling. Lalu terkesiap saat menyadari sekarang telah malam. Mengecek waktu di ponsel android putih, mata ini semakin tebuka dengan lebar.
01.37 am
”Hay, Nona. Baru bangun?”
Aku langsung berdiri begitu menyadari di ruangan ini hanya ada aku, Rusdi, dan ... Zahfiyyan.
”Ayo cepatlah bersiap, Non, pulang! Aku sudah ngantuk sekali menemani kalian tidur.” Rusdi merangkul bahu Zahfiyyan.
”Kenapa kalian tidak bangunkan aku?”
”Ada yang melarangku melakukannya,” kata Rusdi. ”Ada yang kasihan, katanya kamu sudah berusaha keras hari ini. Kamu capek banget habis latihan seharian ini. Hasilnya memang sudah bagus. Kamu semakin jago baca puisi.”
Apa iya? Rusdi ini bisa banget bikin orang besar kepala.
”Karena yang ngajarin telaten banget. Habis ngajarinnya pakai sayang sih.” Rusdi kembali melantur bicaranya. ”Non Zura sampai ditemani tidur segala. Makanya nih si Abang ngajakin aku supaya tidak berduaan dengan Non Zura.”
Mengabaikannya aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
”Ini kuncimu.” Aku menyerahkan kontak sepeda motor kepada Zahfiyyan.
Zaffiyyan juga menyerahkan kunci berbandul merah muda milikku.
”Hari ini kamu berusaha banget, Ra. Terima kasih, ya, dan maaf aku nggak membangunkan kamu. Kasihan melihat kamu tidurnya nyenyak banget.”
Dia tersenyum manis. Semakin malam, semakin indah senyumannya. Atau mataku yang baru bangun tidur ini yang terlalu berlebihan memberikan penilaian? Ah, memang betul kok Zahfiyyan makin ganteng dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena kata Rusdi dia pun tadi tidur juga.
”Makasih, ya, sudah dibenarin. Jadi berapa?” Aku bersiap untuk mengambil dompet.
”Nggak usah. Nanti kalau biayanya mahal, baru aku akan minta uang gantinya. Dompet mahasiswa kamu tahu ‘kan? Kalau cuman benarin sedikit seperti semalam, aku masih sanggup.” Gigi-giginya mengintip dari bibir saat dia tersenyum.
”Woy, kalian. Disambung besok aja bisa ‘kan? Ngantuk nih, Bro ... Sis!”
Mereka berdua menemaniku pulang, mengiringiku sampai masuk ke rumah. Memastikan aku telah mengunci pintu, mereka pun bergegas pergi.
Lagi-lagi dia menolongku. Gimana bisa mengendalikan perasaan kalau begini?
Lantai bawah lampunya telah dipadamkan. Kamar Ibu pun terlihat gelap. Beliau pasti telah lelap. Aku naik tangga pelan-pelan. Kamar Kak Naila masih terang, tetapi pintunya tertutup rapat. Kurasa dia masih begadang dengan tugas kuliahnya. Sementara itu kamar di sebelahku, milik Kak Hani, sama dengan keadaan kamar Ibu.
Zura ... camkan apa yang dikatakan Vayola. Jangan cari masalah untuk urusan hati. Kamu harus tegas dan tidak boleh cepat baper. Zahfiyyan baik, semua orang juga tahu. Kamu tidak spesial. Dia melakukannya terhadap semua orang. Jangan berharap tinggi-tinggi, nanti bisa sakit hati.
***
Bersambung.....
11 Oktober 2019
Aku baper, abaaaaaangggg. Dede gk kuat diberi perhatian. Meleleh seluruh badan huhuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro