[04] Kehadiran Lelaki Baru
Happy Reading
Orang yang baik-baik saja setelah tahu dibohongi artinya dia terbiasa berbohong. ~Zura~
Aku senang bisa kembali ke rumah ini lagi. Ada Nenek dan Kakek yang sangat aku cintai. Mereka bilang ikhlas jika aku mengekos di Kota Padang. Biarpun mereka akan sendirian saat aku pergi, mereka bilang semua ini demi cita-citaku.
Saat kecil, aku senang digendong Kakek. Setiap beliau pulang bekerja, tak peduli Kakek capek sehingga aku dimarahi Nenek. Aku selalu naik ke punggungnya. Minta Kakek membawaku keliling halaman depan rumah.
Sekarang mereka berdua sudah tidak setegap dulu ...
Aku berupaya untuk tidak menangis melihat tubuh Kakek yang duduk di kursi roda. Ya Allah, aku ingin beliau sehat lagi. Namun, semakin hari keadaan Kakek bertambah lemah. Renta perlahan memakani usianya. Nenek begitu telaten menyuapi Kakek makan. Membesihkan mulut Kakek yang bernasi. Memberikan minum kepada Kakek dengan perlahan.
Kuusap cairan yang menuruni pipi saat mendengar Kakek bicara kepada Nenek. Kata-kata Kakek sudah tak terlalu jelas. Semua itu akibat stroke yang pernah menyerang tubuh Kakek. Sejak itu Kakek tidak bisa berjalan dan bicara benar seperti biasa.
”Oh, Zura,” ulang Nenek akhirnya mengerti perkataan Kakek. Nenek melihat ke belakang ke tempat aku berdiri menyaksikan cinta mereka.
”Kenapa berdiri di sana, Nak, ayo sini.”
Aku mendekat ke Nenek dan berjongkok di depan kaki Kakek.
”Belum habis. Gantian Zura yang suapi Kakek.”
Kakek mengusap puncak kepalaku. Itu membuat perasaanku semakin ngilu. Kakeklah yang dulu memintaku mengenakan hijab. Saat itu aku baru tamat dari SMA. Ketika ingin keluar untuk menemui trio V, mengabarkan bahwa aku gagal SNMPTN, Kakek mencegat langkahku. Beliau menagih janjiku untuk berhijab setamat sekolah.
Waktu itu aku merasa terpaksa. Aku mendumel walaupun tetap melakukan apa yang Kakek minta. Ketiga sahabatku tercengang melihat penampilanku kala itu. Voni yang paling keras ejekannya. Avika—kupanggil Vika—juga tertawa, tapi masih bilang aku cocok pakai hijab. Sementara Vayola yang lebih dulu berhijab, memuji perubahanku. Setelah itu, Voni menarik paksa hijab sekolahku hingga rambutku awut-awutan. Ya, aku hanya mengenakan kerudung petak empat yang jadi atasan seragam putih abu-abu. Itu pun sudah diledekin habis-habisan oleh Voni dan Avika.
”Zura sayang Kakek. Zura kangen banget sama Kakek dan Nenek. Kakek dan Nenek sehat terus, ya. Insya Allah Zura akan jadi cucu yang membanggakan, tapi nanti. Zura sekolah dulu yang tinggi.”
”Kami selalu mendoakan,” sahut Nenek.
”Kunjungilah Papa kamu. Zura harus memaafkan Papamu.” Kakek mengucapkannya secara susah payah.
”Iya, nanti,” dustaku.
Aku tidak ingin melawan di depan Kakek. Aslinya aku masih enggan mengingat laki-laki itu. Papa siapa? Aku tidak memilikinya sejak dia meninggalkanku dan Mama. Aku tidak mau bertemu dengannya. Untuk apa? Aku tidak butuh. Karena tanpa adanya dia, aku bisa hidup dengan curahan kasih sayang dari Nenek, Kakek, dan Mama.
”Betul kata Kakek.” Nenek menimpali. ”Nenek tidak mau Zura jadi durhaka karena masih kesal dan dendam pada Papa sampai sekarang. Maafkanlah papamu. Semuanya sudah lebih baik sekarang. Nenek dan Kakek sudah tua. Nenek takut saat kami sudah tak ada, Zura sendirian di sini. Kalau sampai waktu Nenek dan Kakek habis, Zura masih punya Papa dan mami baru. Juga Mamamu walaupun tinggalnya tidak di sini.”
”Nenek dan Kakek harus selalu temani Zura. Nggak boleh ke mana-mana.” Mataku berat dan tenggorokanku sakit saat mengatakannya.
Nenek menepuk pundakku. ”Nenek harap juga begitu, Nak. Ingat, ya, pesan Nenek dan Kakek ini. Bukalah pintu maaf untuk Papa.”
Ketika sendirian di kamar, aku membongkar kembali kenangan masa laluku saat masih ada lelaki itu. Heri Maryadi namanya. Dia pria yang saat itu sangat aku sayangi. Papaku yang juga sangat menyayangiku.
Papa dan Mama menikah di usia belia. Sangat muda juga dari segi kestabilan ekonomi dan emosi. Awalnya semua berjalan dengan baik. Menjadi anak satu-satunya dari Papa yang tampan dan Mama yang cantik. Mereka berdua bekerja sehingga setiap pagi aku dititipkan di rumah Nenek. Sorenya aku dijemput dan bisa bermanja dengan mereka.
Lama-kelamaan sering terjadi pertengkaran. Papa kerap membentak Mama. Mama tak kalah keras saat bicara kepada Papa. Aku pernah mendengar bantingan barang-barang. Akhirnya, sore itu Mama bilang kami akan pindah ke rumah Nenek. Sejak itu, aku tak pernah bertemu dengan Papa. Mereka tidak menjelaskan kepadaku tentang perceraian, tapi kurasa mereka melakukannya. Lalu Mama pergi ke Malaysia untuk bekerja.
Semua yang terjadi di hidupku ini akibat lelaki itu. Aku tidak bisa melupakan segala yang telah dilakukanya. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkannya. Dia menyebabkan aku harus berpisah dengan Mama. Mamaku terpaksa bekerja jauh untuk sekolahku dan masa depanku. Aku benci lelaki itu.
***
Kejutan apa lagi ini, Ya Allah?
Kedatangan Mama yang tiba-tiba pagi ini membuatku sangat kaget. Apalagi dengan kejutan yang dibawanya seolah membuat jantungku ingin berhenti berdetak. Aku tidak sanggup menyaksikan segala kegilaan ini. Momen yang seharusnya kusyukuri sebab akhirnya bisa bertemu dengan Mama menjadi sebuah perkara yang berusaha kuhindari.
Sejak membuka pintu dan melihat Mama berdiri dengan laki-laki asing, aku tidak ingin keluar kamar. Nenek telah bicara dan memintaku untuk mendengar penjelasan Mama. Kecewaku saat ini sedang menggunung. Kenapa takdir begitu jahat kepadaku? Tidak hanya kehilangan Papa, kini aku benar-benar kehilangan Mama. Memang Mama tinggal sangat jauh denganku selama ini dan hanya pulang sekali setahun, tapi hatiku merasa sangat dekat dengannya. Lain dengan sekarang. Aku merasa Mama menjadi orang asing. Menjadi istri dari pria yang tidak kukenal. Sudah memiliki keluarga baru tanpa pernah memberitahuku apa-apa.
Oh, Ya Allah. Aku tidak sanggup kehilangan Mama. Namun, aku kecewa. Aku ditinggalkan oleh Mama. Sebentar lagi Mama akan melupakan diriku. Dia akan hidup bersama keluarga barunya.
”Nenek ingin masuk, Zura. Buka pintunya, Sayang.”
Kasihan Nenek sejak tadi bolak-balik ke kamarku. Memelas agar aku membukakan pintu. Aku merasa kurang ajar kepada beliau. Jadi aku menguak kayu jati yang mengisolasiku dengan luar dan langsung menutupnya lagi.
”Zura belum makan. Makan dulu, ya,” kata Nenek mengelus rambutku.
Aku menggeleng, memeluk tubuh tua Nenek.
”Nenek jangan tinggalin Zura. Jangan lupakan Zura juga.”
Nenek menepuk-nepuk punggungku pelan.
”Zura hanya punya Nenek dan Kakek. Kalian jangan ke mana-mana.”
Nenek tetap tidak menanggapi. Mengingat Mama dan suaminya, tubuhku bergetar lagi. Nenek merangkulku semakin erat.
”Mama jahat. Kenapa nggak bilang mau nikah lagi? Apa Zura sudah tidak penting? Oh iya, sebenarnya Zura ini sangat merepotkan Mama. Karena Zura, Mama harus kerja keras, pergi jauh, dan tidak bahagia. Zura yang salah. Mama pasti marah. Mama kesal pada Zura ‘kan, Nek? Mama menikah diam-diam supaya Zura tidak egois melarang Mama. Iya ‘kan, Nek?”
”Maafkan Nenek, Sayang, Nenek tidak bilang pada Zura.”
Pelukan kuurai. Melihat ke kedalaman mata Nenek yang diliputi rasa bersalah. ”Apa maksud Nenek?”
”Faralyn, Mama kamu, menelepon Nenek. Fara minta restu pada kami. Kalau bisa, dia ingin menjemput Kakek untuk jadi wali nikah. Kakek Zura tidak bisa bepergian jauh, jadi perwalian kami serahkan kepada Uwan Dirhan di sana. Nenek yang bilang sama Mama kamu supaya tidak memberitahu Zura. Nenek tidak ingin Fara bingung kalau Zura akhirnya melarang Fara untuk menikah lagi. Mama butuh seseorang, Nak. Dengan menikah, Mama ada yang menjaga di sana. Nenek dan Kakek merestui ayah baru kamu.”
”Zura tidak mengerti, Nenek.” Masih kucoba untuk menolak fakta yang dijabarkan Nenek. ”Zura merasa semuanya kacau. Papa. Dia yang menyebabkan semua ini terjadi pada Zura. Zura benci, Nek. Dia membuat Mama terpisah dari Zura. Kalau bukan karena dia, Mama nggak akan ke Malaysia. Mama tidak akan bertemu pria itu. Mama nggak mungkin menikah lagi. Apa Mama nanti akan semakin jarang pulang dan akhirnya tidak pulang-pulang?”
”Ya Allah, Nak, ikhlas ya, Sayang. Mama akan sedih melihat penolakan Zura. Mama pulang untuk Zura karena ingin menjelaskan semuanya kepada Zura. Fara tidak mau memberitahu kamu lewat telepon. Tidak adil untuk Zura.”
”Apa yang begini, Zura yang dibohongi ini adil, Nek? Zura merasa sangat asing untuk Mama. Zura seakan sudah nggak punya Mama lagi. Dia sudah jadi orang yang beda, Nek.”
”Nenek yang salah. Marah kepada Nenek, Sayang, jangan Mama. Mamamu hanya mengikuti kemauan Nenek. Nenek yang menyuruh Mama untuk rahasiakan semua ini dari Zura.”
”Tidak. Bukan Nenek, tapi Zura. Jauh sebelum itu, semua ini karena dia. Heri. Jangan minta Zura untuk memaafkan dia, Nek. Zura mohon jangan. Zura bisa terima suami Mama, tapi Zura nggak bisa menerima Papa dan keluarga barunya.”
”Iya, Sayang, iya. Sekarang temui Mamamu, Nak. Dia sangat sedih.”
Aku mengangguk. Dengan tekad yang kuat aku mengetuk pintu kamar Mama. Suara berat dari dalam menyilakan aku langsung masuk. Mamaku bersandar di kepala ranjang sambil memeluk bantal dengan bahu berguncang. Pria di sebelah Mama turun untuk membimbingku menemui Mama.
”Ma ....” Mama menatapku dengan mata basahnya. ”Maafin Zura, Ma.”
Tangisan Mama bagai dipompa. Dia merengkuh tubuhku dan memelukku sangat kuat. Mama juga meminta maaf berulang-ulang. Malam itu aku berdamai dengan Mama. Ayah baruku tidak buruk. Semoga dia memang tulus mencintai Mama. Tidak seperti lelaki masa lalu Mama yang bisanya hanya menciptakan sengsara di hidup Mama.
🖤🖤🖤
Bersambung
29 September 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro