Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Shif Malam

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••

Malam ini Zoya mendapat shift malam di IGD rumah sakit Central Medika. Seperti biasanya IGD rumah sakit Central Medika tak pernah sunyi. Pasti ada saja pasien yang datang hilir mudik.

Rambut Zoya terikat kuda di belakang dengan asal. Beberapa anak rambut pun berkeliaran bebas. Jas putih yang melekat pada Zoya tampak sedikit kusut. Wajah Zoya pun memancarkan sirat kelelahan yang luar biasa.

“Serahkan CT-SCAN pasien ini pada saya nanti. Dan minta Dokter Fuad menangani pasien laki-laki yang datang bersama anaknya tadi. Saya ada operasi sebentar lagi.” titah Zoya. Rania menganggukan paham.

Berkerja dengan Zoya yang cekat membuat Rania kewalahan awalnya. Namun harus Rania akui, Zoya bagaikan malaikat yang turun di bumi. Tangannya amat luar biasa, Rania berdecak kagum setiap kali Zoya keluar ruang operasi. Sejak awal melihat Zoya, Rania punya keinginan yang harus ia penuhi, yakni menjadi perawat instrumen yang mendampingi Zoya setiap meluncur di medan tempur.

Perawat instrumen adalah perawat yang berada di ruang operasi. Bukanlah hal yang mudah untuk bisa masuk ke ruang operasi. Nyawa terbaring di atas ranjang operasi. Harapan keluarga pasien tergantung pada langit-langit ruangan operasi. 

Meskipun Rania harus sabar dengan sorot matanya yang tajam, perkataanya yang pedas dan sikap dingin bak batu es.

Zoya itu unik. Dan itu menjadi daya tariknya. Zoya itu sebenarnya baik namun cara penyaluran kebaikkannya saja yang terkadang salah. Ia sulit mengekspresikan diri.

Sifatnya yang menjadi introvet membuatnya dicap wanita angkuh di seluruh jagad Central Medika. Menyandang sebagai dokter bedah yang ketus adalah penghargaan bagi Zoya. Pasien juga lari ketika melihat sorot matanya yang tajam.

Namun sejak mengenal Zoya, Rania tak pernah melihat Zoya melakukan ibadah agama apapun, terkadang Rania binggung. Sebenarnya agama apa yang dianut Zoya? Rania pernah melihat status agama Zoya dan tertulis di sana Zoya beragama islam. Namun menyentuhkan kaki ke rumah Allah saja Rania tak pernah melihatnya.

“Pasien kecelakaan!”

Suara sirena meraung-raung di depan pintu IGD. Petugas ambulance berteriak sambil mendorong brankar. Belum lagi kaki Zoya beranjak pergi ke ruang operasi pasien kecelakaan datang. Zoya mendesah dalam hati. Hal seperti ini selalu saja terjadi padanya.

“Bawa ke sini.” titah Zoya sambil menunjuk pada salah satu ranjang pasien IGD yang kosong. Zoya sontak terkejut saat melihat korban kecelakaan itu.

Dia adalah remaja laki-laki yang masih menggunakan seragam sekolah putih abu-abu pada tubuhnya. Bukankah ini sudah sangat larut malam untuk memakai seragam sekolah? Ini sudah jam sebelas malam.

“Ah sakit! Brengsek, tolongin gue cepet!” teriak remaja itu meracau.

“Dia terjatuh dari motornya.” ujar salah satu petugas itu.

Zoya pun menganggukan kepalanya paham sambil melipat tangannya di dada santai. Remaja lelaki itu menjerit-jerit kesakitan. Dia terus mengeluarkan umpatan kasar miliknya.

“Sepertinya kakinya keseleo, Dokter Zoya. Dia terus memegangi dadanya. Apa yang harus kita lakukan?” tanya Rania yang sedang berdiri di samping korban kecelakaan itu. Dia melihat Zoya penuh tanya.

“Lo dokter kan? Tolongin gue cepet! Gue kesakitan woy!” kata remaja itu sambil menunjuk Zoya dengan jari telunjuknya.

Zoya menyunggikan senyumnya, benar-benar terlihat menyeramkan. Rania bahkan sampai meneguk salivanya takut. Matanya berkedip tiga kali memandang Zoya lekat. Zoya mendekat pada remaja lelaki itu. Ia sengaja menyentuh kaki remaja itu, ah bukan, namun lebih seperti mencengkramnya.

“Akhhh! Sakit!” teriak remaja lelaki urak-urakkan itu.

Zoya kembali menekan dada remaja itu dan ia pun kembali meraung kesakitan. Zoya pun mencengkram dagu remaja itu. Dia miringkannya ke kanan dan kiri bertingkah seolah benar-benar memeriksa korban kecelakaan ini.

“Ah, ini parah.” kata Zoya. Remaja itu pun ketar-ketir, keringat dingin langsung bercucuran, dan matanya pun bergerak resah. Zoya berbalik menghadap Rania, “Siapkan ruang operasi untuknya.” titah Zoya sekali lagi.

“Ha?” Rania melonggo tak percaya. Operasi? Benarkah? Biasanya tidak semudah itu untuk mengeluarkan perintah operasi. Zoya bahkan hanya memeriksa lewat keadaan fisik saja. Tidak ada perintah pindai CT-SCAN, MRI, atau sonogram bahkan tak ada monitor apapun yang terpasang.

“Rania, perlu saya ulang?” tanya Zoya penuh intimidasi.

“OPERASI?! Kenapa gue perlu dioperasi? Ha?!” jerit remaja itu tak percaya. Gendang telinga Zoya bahkan hampir pecah mendengarnya. Zoya menghadap pasiennya itu, “Ya, Anda perlu operasi segera.” jawab Zoya datar.

“GAK! Gue gak perlu operasi! Gue gak mau.” Remaja itu pun bangkit dengan mudah. Rania terpelonggo. Dan Zoya pun tersenyum tipis. Remaja itu tadi mengeluh kesakitan dan sekarang dia berdiri sempurna layaknya orang sehat.

“Dokter gadungan lo!” tuding remaja itu pada Zoya.

Rania menutup mulutnya saat mendengar itu. Remaja laki-laki itu benar-benar cari mati mengumpat Zoya seperti ini. Dia sudah bosan hidup rupanya. Zoya bergerak mendekati remaja itu sambil menyorot tajam matanya. Seolah peluru melesat begitu cepat pada jantung remaja itu. Dia bergegas mundur lalu kabur sebelum Zoya benar-benar memasukan ia ke ruang operasi.

“Dasar tikut kecil!” desah Zoya melihat punggung remaja itu yang menghilang dari pandangannya. Rania masih tak mengerti ini, “Dokter Zoya gimana bisa tahu dia baik-baik aja? Tapi tadi dia mengeluh sakit di dadanya dan wajahnya pucat, dia terlihat benar-benar kesakitan.”

Rania menatap Zoya tanpa berkedip. Zoya pun melirik Rania dari atas sampai bawah tanpa kata lalu beranjak meninggalkan Rania tanpa penjelasan apapun. Rania tak percaya ini, Zoya pergi bergitu saja! Tanpa penjelasan apapun terkait pertanyaanya.

“Ya Allah, wahhh, Bagaimana bisa, dia, ah! Memangnya aku patung?!” geram Rania.

Zoya berjalan keluar IGD sambil meletakan kedua tangannya pada saku jas dokternya.

Tentang remaja laki-laki itu sebenarnya Zoya sudah tahu sejak awal kedatanganya ia hanya berpura-pura saja. Remaja itu sudah tiga kali datang ke rumah sakit ini dengan tingkah yang sama. Dia berlagak seperti orang kesakitan, Zoya muak melihatnya.

Ia sengaja melakukan itu agar terhindari dari polisi dan teman-temannya yang mengejarnya. Dia sendiri yang menelpon ambulance dan mengabarkan bahwa ia jatuh dari motor dan terluka parah. Ah, sepertinya ia cocok masuk kelas akting. Remaja itu akan menjadi aktor hebat di masa depan.

Beberapa bulan yang lalu, saat Zoya baru pulang dari rumah sakit di tengah malam, ia melihat remaja itu sedang balap liar di jalanan. Bahkan remaja itu hampir menabrak bemper mobil Zoya.

Dan siapa yang menyangka sehari selepas itu, remaja itu datang sebagai korban kecelakaan motor di rumah sakit ini juga. Dia mengeluh dengan keluhan yang sama. Dari awal Zoya melihatnya, firasat Zoya berkata dia bohong. Dan benar, setelah dokter IGD memeriksanya dan menyuruhnya untuk menghubungi walinya diam-diam dia menyelinap pergi tanpa sepengetahuan siapapun. Tapi, Zoya melihat itu semua.

Awalnya Zoya tak tahu bagaimana cara dia bermain. Usut punya usut dua minggu yang lalu, Zoya melihat remaja urak-urakkan itu lagi.

Zoya ingat betul di malam hari itu sehabis mengambil berkas kasus kelainan jatung di rumah sakit Permata Indah, ia bertemu dengan remaja itu lagi. Dan seolah kejadian beberapa bulan lalu terulang kembali. Mobil Zoya hampir ditabrak oleh remaja itu lagi.

Dan kali ini, Zoya membuntuti remaja itu, Zoya sangat hapal perawakan remaja si Pembalap Liar yang masih amatiran itu. Jika dibandingkan dengan Zoya, keahliannya segampang membalikan telapak tangan bagi Zoya.

Keberuntungan benar-benar berpihak pada Zoya. Dari kejauhan dibalik kaca hitam mobilnya, Zoya melihat bagaimana remaja itu melakukan aksinya menghindari polisi dan memakai topeng menghubungi ambulance, tertidur di aspal lalu berguling-guling kesakitan. Ah, ingin sekali Zoya menjabak rambutnya.

“DOKTER ZOYA!”

Zoya naik darah. Dia bersumpah akan mengumpat siapa yang memanggilnya. Ia ada operasi 15 menit lagi. Zoya membalikan badannya bersiap menyemprot si pelaku itu. Namun mendadak Zoya terdiam. Wajah Rania tampak serius sambil mendorong brankar. Zoya mengerutkan keningnya.

Remaja laki-laki itu!

Zoya berdecak pinggang, “Dia pasti cum—“

“Dia tertabrak mobil di depan rumah sakit!” potong Rania cepat.

Zoya membulatkan matanya, dia berlari memeriksa keadaan remaja itu. Ini seperti karma. Namun Zoya tak pernah mempercayai karma. Hidup ini pilihan diri. Untuk apa percaya dengan hal-hal seperti itu. Toh, di dunia ini tak ada hal semacam takdir.

Zoya sudah membuktikannya dengan tangannya bahwa kuasa itu berada pada pilihan manusia bukan pada hal lainnya. Apalagi Tuhan. Zoya mati-matiian menolak keberadaan-Nya.

Rania sibuk memasang cervical collar atau alat yang biasa digunakan untuk menyangga leher dan kepala pasien. Dan Zoya sibuk memeriksa denyut nadi dan pernapasan remaja itu. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya, remaja itu masih saja meracau tak jelas dan mengumpat ini dan itu, namun kali ini dia benar-benar merasakan kesakitan. Kaki remaja itu keseleo dengan lengan yang terluka dan perlu dijahit.

“Bawakan alat jahit.” pinta Zoya. Rania sontak bergegas mengambilnya.

“Gak! Gue gak mau dijahit! Gue mau pulang! Pulang...”

Zoya terdiam sesaat. Jangan beritahu Zoya jika remaja urak-urakkan ini takut pada jarum jahit. Ia pasti juga takut di suntik. Rania datang dan langsung mempersiapkan alat jahitnya. Zoya tersenyum sinis. Kali ini dia akan mengerjai remaja tengil ini.

“Baiklah, luka Anda sudah dibersihkan, saya akan menjahit luka di lengan Anda pasien yang terhormat.” kata Zoya begitu mengelegar ditelinga remaja itu. Jantungnya terpacu dua kali lebih cepat melihat Zoya memakai handscoon.

“Gak! Gue mau pulang. Tolong! Siapapun tolong guee!”

Zoya tersenyum manis kali ini, “Lengan Anda akan infeksi jika tidak dijahit.” tutur Zoya amat lembut. Rania menahan tawa sekarang, baru kali ini Rania melihat Zoya bersikap manis pada pasiennya. Tapi ini malah terlihat mengelikan bagi Rania.

“Bodo amat! Gue gak pedu—“

“Anda ingin diamputasi?” potong Zoya cepat.

Bibir remaja itu bungkam. Tampak dia menelan salivanya kasar. Zoya dapat melihat bulir-bulir keringat pada kening remaja itu.

Zoya pun menyusap-usap kepala remaja itu manis, “Good boy!

Remaja itu menutup matanya dengan tangannya yang satu lagi. Menahan napasnya sanking takutnya. Alat jahit, pisau, suntik, dan aroma rumah sakit ini semakin membuat debaran jantungnya berkerja lebih cepat. Walaupun tak merasakan apapun akibat dibuas tetap saja ia ketar-ketir.

“Dia sudah menghubungi walinya?” tanya Zoya pada Rania sambil menarik benang jahitnya ke atas. “Sudah Dokter Zoya. Walinya akan datang sebentar lagi.” jawab Rania yang berdiri di samping Zoya.

Cut.”

Cut.” Rania langsung membalas ucapan Zoya dan memotong benang jahit itu.

“Wanda! Wanda! Ooo Wandaaaaa...” teriak seorang pemuda yang baru masuk di IGD bergaya dramatis.

Semua manik mata yang ada langsung tersorot pada pemuda itu. Ia tampak kebinggungan mencari orang.

“Gue di sini!” jawab malas remaja yang ditangani Zoya.

Zoya langsung mengerutkan keningnya heran.

Lantas pemuda tadi pun langsung menghampiri remaja itu, “Oh adikku tersayang...”

Pemuda itu langsung memeluk erat remaja yang ditangani Zoya. Mata Zoya tak berkedip sama sekali.

“Lepas bangsat!” tolak remaja yang diduga bernama Wanda itu, “Oh Wanda, betapa khawatirnya Masmu ini denganmu. Oh adikku.”

Remaja itu berdesis, “Gue belum mati goblok!”

Inikah yang dinamakan drama pada sinteron-sinteron televisi?

Pemuda itu tersenyum sambil mengacak-acak rambut remaja itu gemas. Senyumannya terumbar kemana-mana. Zoya berubah seperti patung yang tak bergerak sama sekali. Mendadak kaki Zoya lemas dan matanya tak mampu teralih. Jiwa Zoya terbang melayang seketika.

Rania menutup mulutnya kaget, “Dia ... mafia itu!”

Bersambung

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro