Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Bau Anyir

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Happy Reading!

•••
A

ku baru saja keluar dari ruangan operasi. Tengkukku terasa begitu pegal sampai digerakan terdengar suara yang memekakan telinga.

Kecelakaan tadi menjadikan perkerjaanku semakin menumpuk. Aku melewatkan satu operasiku. Alhasil, jadwal operasi berantakan. Namun aku tak menyesal menolong anak-anak tadi.

Mereka mengingatkan pada diriku dulu. Walaupun karna hal itu aku jadi kesulitan mengatur waktu istirahatku. Mungkin sebentar lagi aku yang akan berada di ranjang pasien.

Rania berjalan lesu di belakangku. Dia menjadi perawat scrub bersamaku tadi. Ya, harus kuakui kecekatannya sebagai perawat yang mendampingku boleh diacui jempol. Namun sayangnya aku sama sekali tak berniat memuji. Itu hanya semakin membuatnya besar kepala nantinya. Hal itu juga hanya akan membuang-buang waktuku.

“Eh Zoya!” teriak Bona memanggil namaku. Rupanya dia berada di ruang operasi di sebelahku. Dia ada jadwal operasi juga rupanya. Kupikir dia hanya akan membesarkan perutnya dari gaji seorang dokter.

“Minggir. Wajahmu merusak pemandanganku.” usirku tajam.

Dia malah tertawa mengertak giginya dihadapanku. Aish, kodok bancet ini minta dibedah rupanya. Namun syukurlah, aku sangat lelah untuk mengeluarkan energiku memutilasi dia.

Kadang aku merasa heran. Logat bataknya tak hilang-hilang meski dia tinggal bertahun-tahun diluar kampung halamannya. Namun yang lebih membuatku heran, kenapa bisa aku berteman denganya? Dari masa kuliah kedokteran sampai menjadi dokter. Aku hampir gila memikirkannya.

“Zona merah.” Kudengar Rania membisikan itu pada Bona. Akhirnya mereka berjalan di belakangku. Aku benar-benar kelelahan. Lambung kosong dan dia pasti terus mengiling tanpa henti. Ini tak baik.

“Huh, apa kita tak ada hari libur? Badan Rania pegel banget.” keluh Rania sendirian. Bona pun mengiyakan pernyataan Rania.

Walaupun sejujurnya di dalam hati aku juga ingin berkata seperti itu. Namun, tidak! Orang lain tak boleh melihatku lemah. Aku benci dikasihani jadi untuk apa aku mengungkapkan apa yang kurasa. Toh, pada akhirnya mereka hanya akan bungkam dengan apa yang ada dalam diriku.

“Mba Zoya...” jerit Alisha begitu melihatku.

Gadis berhijab merah maroon itu berlari menubruk diriku. Aku melempar sorot tajam sampai dia mengulum bibirnya dan menyengir seperti kuda. Aku berjalan lagi tanpa menoleh saat dia memanggilku lagi.

“Pasien anak-anak yang tadi itu Mba Zoya yang tanganin kan? Wah, Mba Zoya keren. Alhamdulilah, berkat penanganan cepat Mba Zoya mereka semua baik-baik aja. Hanya anak laki-laki itu yang mendapat operasi sama dokter bedah saraf, Dokter Jailani. Allah Maha Baik mengirim Mba—“

“Cukup!”

Langkah kakinya terhenti. Dia terdiam. Aku berdiri menghadapnya. Dia gelagepan mengelak dari sorot mataku. Kenapa dia begitu banyak bicara? Aku tak suka! Aku terus mengintimidasi Alisha. Tangannya mencengkram erat jas dokternya. Moodku buruk dan dia mengacaukannya. Allah, Allah, dan Allah. Jangan bicarkan keagungannya dihadapanku.

Kutahu dia dokter IGD yang menerima pasien kecelakaan mini bus tadi. Namun mengapa dia begitu heboh? Ah iya, aku tak suka seseorang yang terlalu mencampuri dan mengurusi hidupku. Sejak awal aku mengenalnya dia selalu ingin ikut campur dengan kehidupanku. Dia pikir siapa dirinya?

“Menyingkir dari hadapanku.” titahku dengan nada dingin.

Kulihat tubuhnya menegang. Rania langsung menarik tubuh Alisha menjauh dariku. Bona menarik lenganku aku menyentaknya kasar.

“Hey Zoya, ada apa sama kau ha? Kutengok sensitif kali kau belakangan ini.” tuturnya.

Aku mempertahankan wajah datarku. Entahlah, aku juga tak tahu apa yang terjadi pada diriku. Namun sejak aku pergi ke makam Bunda aku merasa ketakutan. Mungkinkah karna itu?

Belakangan ini mimpi buruk itu datang lagi. Aku selalu banjir keringat ketika bangun tidur. Aku seolah terjebak dalam kubungan dan tak mampu bangkit lagi. Bayangan itu mulai muncul lagi. Tawa itu mulai mengema lagi. Napasku mulai memburu saat aku mulai memikirkannya. Aku terdiam tiba-tiba. Ada jeritan yang mengaung-gaung dikepalakku. Udara terasa mencekik diriku. Kakinya gemetaran. Aku memegangi kepalakku.

“Eh Zoya, kenapa kau?”

Halusinasi. Ini pasti hanya delusi. Kenapa aku mencium bau anyir? Kenapa aku seolah kembali pada aku 12 tahun lalu? Sekelabet kilaun pisau terbesit dalam ingatanku. Aku ingin tangaku yang berlumuran darah.
Tidak! Jangan mengingatnya, Zoya. Jangan!

“Dokter Zoya baik-baik aja?” ujar Rania khawatir.

Dia menyentuh bahuku. Aku menepisnya. Tanganku mulai gemetaran lagi. Keringat dingin bercucuran. Aku kehilangan kendali pada tubuhku sendiri.

Aku berdiam terdiam. Mataku bergerak tak karuan. Dan mataku bertemu dengan sepasang manik Dokter Akbar di sebrang sana. Dia menghentikan langkahnya memandangku sesaat. Tanganku terkepal kuat.

Ilusiku jadi semakin nyata sekarang. Dia berdiri di depanku seperti ini tepat 12 tahun yang lalu. Dia! Aku tak akan pernah melupakan itu. Aku mengertakan gigiku saat Dokter Akbar masih saja berdiri di sana. Seolah tahu aku tak suka dengan kehadirannya dia beranjak pergi meninggalkanku.

“Hey Zoya kamfret! Hentikan. Kau membuatku takut. Dasar kucing garong!”

Bau anyir itu semakin kuat. Kepalaku pusing menciumnya.Tenggorokanku terasa tercekik. Aku mengadahkan tanganku ke atas. Apa ini? Mengapa aku melihat tanganku penuh darah? Tanganku bergetar hebat. Aku terisak ketakutan. Kenapa tanganku penuh darah? Bau darah terasa begitu kuat. Aku memandang Bona berkaca-kaca.

“B-bona ... kenapa ... kenapa tanganku penuh darah?”

Bona menyergap matanya. Seketika Bona sadar,“Kita bawa Zoya ke ruangannya.”

***

Aku merasa hampa. Aku duduk dengan mataku terpaku lurus ke depan. Tanganku menutup kedua telingaku erat. Kenapa suara itu terus menjerit pada indera pendengaranku? Sepertinya aku harus pergi ke bagian THT. Pasti ada yang salah dengan telingaku.

Aku yang pembunuh atau kamu yang membunuh?

Tidak! Tidakkkk. Hentikan! Tutup mulutnya. Usir suara itu pergi. Mengapa suara itu datang lagi? Aku menarik napasku panjang dan menghembuskannya perlahan. Aku harus bisa mengendalikan tubuhku. Aku bisa.

Aku yang pembunuh atau kamu yang membunuh?

“Akkhhh! Pergiiiiiii.” teriakku.

Bona, Alisha dan Rania terkejut. Sepersekian detik selanjutnya aku tersadar. Apa yang kulakukan? Kenapa aku berteriak? Mata berkedip ketiga kali. Ada yang salah denganku. Aku kemudian tersenyum menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Lalu aku tertawa hambar memecah keheningan. Aku pasti sudah gila.

“Mba Zoya...” kata Alisha lirih.

“Dokter Zoya, dokter kenapa?” seru Rania berusaha menyentuhku.

“Keluar. Keluarrrrr!” bentakku di depan wajah mereka.

Tubuh mereka tersentak kaget. Mata mereka menatapku penuh iba. Itulah yang kubenci! Orang-orang selalu memandangku seperti itu. Hentikan tatapan itu! Bona menyeret mereka keluar. Aku memeluk tubuhku sendirian. Kali ini, aku benar-benar ketakutan. Kenapa? Ada apa denganku?!

Kulihat pintu ruanganku kembali terbuka. Bona kembali masuk tanpa Alisha dan Rania. “Sadar Zoya! Hiya, kenapa kau ini ha? Kau buat kami khawatir saja.” ujarnya sambil mendekat padaku.

Aku tercenggang, “Tidak. Kalian bukan khawatir denganku.” Aku mengantung ucapanku sambil melempar sorot pada Bona. Dia bungkam. “tapi kalian takut padaku.”

Mata Bona mengelak dari tatapan tajamku. Aku kembali tertawa sinis. Kemudian Bona berdecak pinggang berani membalas tatapanku. “Eh kamfret! Iya! Kami takut kamu kau. Puas kau ha? Cobalah sapa yang tak takut lihat wujud manusia kayak kau ha?”

Aku memberi plototan padanya, “Ha kayak gitu lah kau mandang orang. Mata kau mendelik kayak mau keluar macem itu. Anak kucingku di rumah juga pasti lari terbirit-birit tengok kau.” ungkapnya menilaiku.

“Hey Zoya. Kau baik-baik aja kan?” tanya Bona dengan tangan terlipat di dada. “Keluar. Aku merasa hawa panas jika dekat denganmu.” jawabku datar.

Bona menendang meja kerjaku. Tangannya bergerak menjambak rambutku namun sebelum itu aku sudah menusuk jantungnya dengan peluru api dari mataku. Dia terlihat begitu gemas mengepalkan tanganya tersenyum cerah padaku.

“Kenapa ada manusia macem kau ha? Mau kupukul kau cewek. Aish, tapi mulutmu pedas, pukulanmu juga tajam. Kan jadi takut akunya.” ucapnya kesal. Aku berdesis. Aku melirik pada Bona. Aku mengangkat tanganku menunjukan padanya.

“Bona ... kenapa tanganku penuh darah?”

Kulihat Bona terdiam. “Zoya ... tak ada darah ditangan kau itu.” jawabnya lemah.

Bohong. Kenapa Bona tak melihat tanganku penuh darah dan bau anyir? Aku mengambil tisu di mejaku. Aku mengusap tanganku. Dan aku tercenggang. Mengapa darahnya tak mau hilang?

“Gunakan matamu, Bona! Lihat, tanganku penuh darah. Aku mencium bau anyir!”

“Sadarkan dirimu, Zoya!!!” Bona membentakku, “Zoya, ini sudah bertahun-tahun. Bahhh, sebelumnya kau tak pernah ingat-ingat itu lagi. Dulu kau pernah kayak gini kupikir kau dah sembuh. Kenapa? Ada apa sama kau ha? Sudahlah, jangan kau pusatkan pikiran kau sama hal-hal tak penting.”

Aku terdiam. Pandanganku kosong.
“Zoya ... aku tak pernah tahu apa masalah kau. Mau pecah kepalaku kalau sampai kayak dulu lagi. Aku tahu, kau tak suka kalau ada yang ganggu hidup kau. Tapi dengarlah, aku, Alisha, Rania khawatir sama kau. Jauh sebelum mereka kenal kita, aku sudah jauh mengenal kau. Sewaktu kita kuliah dulu kau pernah kayak gini jangan sampai itu terulang lagi. Ilusi, itu hanya ilusi. Kendalikan dirimu Zoya!”

Aku jatuh terduduk lemas. Bona benar, aku tersangku pada kejadian itu lagi. Kurasa aku kembali terpengkap pada masa lalu. Dan aku terjebak di sana.

Bersambung

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro