Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Who are you?

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Happy Reading!

•••

Pintu operasi terbuka. Zoya yang sudah steril dengan memakai baju scrub dibuat terpaku di tempat melihat Dokter Akbar sudah berada di ruangan operasi miliknya. Bagaimana tidak binggung sebab tak ada satu orang pun yang memberi tahu Zoya bahwa mereka akan berada dalam satu meja operasi.

Rania dengan sigap memakaikan Zoya jubah operasi dan atribut lainnya. Tangan Zoya sudah terbalut sarung tangan bedah. Zoya berdiri diam di depan Dokter Akbar yang berada di sebrang pasien yang sudah terbius.

“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Zoya. Dokter Akbar mengangkat alisnya, pertanyaan macam apa yang diajukan Zoya ini? Dokter Akbar dapat melihat mata sembab keponakannya yang tertutup masker operasi.

“Baiklah, sebelum kita melakukan operasi mari kita berdoa menurut agama dan keyakinan kita masing-masing. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Esa bersama kita sem—“

“Saya bertanya apa yang Anda lakukan di sini?!” potong Zoya cepat. Mood Zoya benar-benar hancur melihat Dokter Akbar berada satu meja operasi dengannya. Ini bukan keadaan yang baik untuk mereka, apalagi mengingat konflik batin antar keduanya.

Semua yang ada di ruangan operasi terkejut. Suara Zoya benar-benar tajam dan tegas. Dokter Akbar menghela napasnya. “Kamu adalah asisten saya dalam operasi kali ini.”

Mata Zoya membulat. Tidak mungkin! Hal yang paling dihindari Zoya saat di rumah sakit adalah Dokter Akbar. Dan bagaimana mungkin mereka berada dalam satu ruang operasi?

“Baiklah semuanya, berdoa dimulai.”

Saat semuanya tertunduk memejamkan mata berdoa pada Tuhan dengan keyakinan mereka masing-masing  Zoya malah termenung berperang dengan dirinya sendiri.

Berdoa selesai. Dokter Akbar maju lebih dekat dengan pasien. Dokter Anestasi memperhatikan tekanan darah dan vital pasien dengan seksama. Dokter Akbar memandang Zoya di hadapannya.

“Kamu tidak berdoa?”
Semua sorot mata melihat Zoya. Zoya memandang lekat Dokter Akbar. “Saya tidak berdoa. Tak perlu!” jawab Zoya begitu sombong. Dokter Akbar menyunggikan senyum, tersenyum pahit. Dia masih Zoya sama dengan 12 tahun yang lalu.

Dokter Akbar meminta pisau bedah pada perawat instrumen yang berkerja di ruang operasi. Dokter Akbar mengucap ‘bissmilah’ sebelum menyayat perut pasiennya itu. Zoya masih bungkam, sungguh pamannya ini sangat berbanding terbalik dengan dirinya sendiri.  Pamannya selalu mengingat Allah disetiap tindakannya sementara Zoya membuang jauh-jauh nilai itu pada dirinya.

Sepanjang operasi Zoya bungkam. Jika bukan karena pasien itu mungkin Zoya sudah keluar ruang operasi sejak tadi. Bagi Zoya, tidak ada yang lebih penting dari pasiennya.

“Dokter Zoya, apa kamu sehabis menangis?” tanya Dokter Akbar disela-sela waktu operasi. Zoya menghentikan aktivitasnya, dia memandang tajam Dokter Akbar. Semua perawat menutup mulutnya rapat-rapat tak ingin mengomentari Zoya, walaupun mereka semua tahu mata Zoya sembab.

“Wah, Dokter Zoya yang terkenal sadis ini rupanya bisa menangis ya?” sindirnya tajam. Sungguh itu bukan lelucon yang lucu. Zoya mati-mati tak bersuara. Dia menganggap semuanya hanya angin lalu. Ia benar-benar ingin operasi ini segera selesai.

Tenang Zoya! Jangan biarkan mereka tahu, cukup diamlah. Mereka tak mengerti dirimu, jadi biarkanlah.

Zoya mungkin adalah wanita paling angkuh sekaligus tangguh. Sejak Bundanya meninggal, dia hidup sendirian. Zoya mengurus hidupnya sendiri bahkan dia pernah hampir mati di pinggir jalan karena kelaparan. Syukurlah, Dokter Akbar selalu membantunya walaupun harus dengan cara yang tidak diketahui Zoya.

Zoya benar-benar mewujudkan hidupnya tanpa Allah. Dia melangkah berjalan di atas dunia tanpa Islam sebagai napasnya. Ia marah dan menolak Tuhan dalam hidupnya, tanpa dia sadar segala nikmat yang dia rasakan berasal dari Allah swt.

Ia tersesat pada jalan yang salah, dia jauh dari ajaran Islam walaupun saat kecil nilai Islam selalu tertanam dalam dirinya. Tapi itu dulu, saat Bundanya menjadi guru untuknya dalam beribadah.

Bahkan sajadah, mushaf atau pun mukenah tak pernah ada di dalam kamarnya. Zoya membuang jauh-jauh Allah dalam dirinya. Lidahnya tak pernah melantunkan ayat-ayat suci Allah, tangannya seperti alergi membuka kitab suci alquran, rambutnya terasa gatal jika terbungkus dengan kain suci bernama hijab.

Operasi selesai. Zoya berjalan keluar dengan cepat. Dirinya sudah terbakar api kemarahan sejak tadi.

“Zoya...” panggil Dokter Akbar.
Dan, Zoya sudah tak sanggup lagi menahannya.

“Dokter Zoya, panggil saya dengan sebuttan DOKTER ZOYA! Apa Anda mengerti?! Saya rasa indera pendengaran Anda masih berfungsi dengan baik!” ujar Zona dengan mengebu-gebu.

“Dengarkan Pamanmu ini sebentar, Nak.”

“HENTIKAN! Jangan panggil saya dengan kata ‘nak’ dari mulutmu itu!”

Dokter Akbar menatap dalam mata Zoya. Hatinya terasa teriris mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Zoya. Ia sudah mengenal Zoya sejak kecil, namun Zoya kecil yang dia kenal sangat jauh berbeda dengan sosok Zoya yang berdiri di hadapannya.

Dokter Akbar melangkah mendekat, “Allah itu ada. Percaya padanya termaksud rukun iman. Allah adalah Dzat yang Maha Suci, Zoya. Kamu sudah tersesat terlalu jauh. Kembalilah menjadi Zoya kecil yang Paman kenal. Kembalikan Zoya yang dulu selalu menutup tubuh dan menjaga lisannya.”

Air mata Zoya menetes. Hatinya terhenyuh mendengar penuturan Pamannya. Zoya tidak punya siapa-siapa lagi selain Pamannya ini. Namun, ego dalam diri Zoya jauh lebih besar.

“Allah? Aku tidak mengenal-Nya. Aku mati ingatan tentang-Nya! Dzat yang Maha Suci yang Anda maksud itu telah melumpuhkan sinar kebahagian dalam hidupku.” geram Zoya dengan mengertak giginya.

Mata Zoya memerah. Napasnya seolah tertekan dan menekan semua perkataanya barusan. Zoya melepaskan paksa sarung tangan dan surgeon cap lalu membuangnya tepat di depan Dokter Akbar dan berlalu begitu saja.

Dokter Akbar mengucap istighfar dalam hati. Sulit sekali ia rasa untuk menghancurkan batu besar yang berada di hati Zoya. Seolah pintu hatinya sudah tertutup rapat-rapat sampai ratusan bahkan jutaan kata tanpa mampu menjadi kunci untuk membuka pintu hati seorang Zoya.

***

Aku melangkah dengan malas keluar dari ruanganku. Kenapa semua orang selalu membuatku kesal hari ini? Dan sekarang apa lagi? Lift yang kunaiki terasa begitu lamban mengantarku ke lantai satu. Aku mengumpat dalam hati.

“Mba Zoya...”

Suara itu terdengar saat keluar dari lift rumah sakit. Aku menoleh. Siapa lagi yang manggilku dengan sebutan tua itu jika bukan Alisha. Aku benar-benar tidak dalam kondisi bagus maka sebaiknya menjauh dariku. Alisha memainkan tangannya memanggilku. Kulihat di sana ada bocah gendut itu, Bona!

Aku pun melangkah menghampirinya. Dan detik itu juga langsung kutimpuk kepalanya. Dia meringis kesakitan menatapku sampai bola matanya keluar. Aku tidak peduli! Aku sangat kesal.

“Eh, kurang garong! Apa-apaan kau pukul kepala aku, ha?!”

Aku tersenyum sinis. Gara-gara dia aku harus satu meja operasi dengan Dokter Akbar. Jika dia ada di tempat tentu Rania tak perlu menghubungiku. Ini semua karna Bona! Seharusnya sudahku tusuk perut sekarang.

“Akan kubunuh kamu, Bona!” gertakku marah. Dia menaikan alisnya satu. Alisha tampak sudah bungkam sejak tadi. Bagusnya, jika dia ikut campur, akan kujahit juga mulutnya.

“Hiya! Stress kau ini!” ungkap Bona dengan tenang. Aku mengepalkan tanganku erat. Sepertinya Bona selalu cocok menjadi tempat pelampiasan amarahku. Namun tiba-tiba suara melengking menginterupsi kami.

“Whoaaaaaaaaaa! Kopi susu kita datangggggg.” teriak Rania dari belakang sambil meneteng tiga buah cup kopi ditangannya. Aku menoleh dengan sorot tajam. Rania langsung mematung dan bungkam seketika. “D-dokter Zoya?”

Rania terlihat begitu kikuk di sana. Bodoh amat! Aku amat kesal. Alisha menepuk jidatnya cepat. Sepertinya dia paham tingkah Rania akan semakin membuatku mengamuk. Rania langsung berlari dan bersembunyi di belakang Alisha.

“Bona! Gara-gara kamu, aku harus satu meja operasi sama Dokter Akbar!” Aku menunjuk Bona dengan telunjukku, “dan kamu, Rania!” Telunjukku beralih pada Rania yang bersembunyi di belakang Alisha. Alisha dan Rania bergetar dengan suara tinggiku. “Kenapa kamu tidak bilang kalau saya akan satu meja operasi dengan Dokter Akbar?!”

Alisha menarik-narik tubuh Rania untuk berhadapan denganku. Tampaknya Alisha juga ikut ketakutan dengan suaraku. Mereka saling tarik menarik untuk berhadapan dengaku. Rania bergerak gelisah tak ingin bertatap mata denganku.

“E-itu ...  Dokter Zoya ... hmm.”

“Hey Zoya...” Bona merangkulku dari belakang dengan sok akrab.

Bugh! Aku langsung menghantam perutnya dengan tangan cantikku. Dia mengeram kedua kalinya. Sudah dapat kupastikan itu terasa amat nyeri. Aku sangat berpengalaman dalam memukul. Dia salah jika harus berhadapan denganku kali ini.

“Zoya kamfret!” lirihnya memegangi perutnya. Aku kembali melempar sorot tajam pada Alisha dan Rania. Aku melangkah mendekati mereka.

“Kabur! Ayok Lisha kita kabur!” bisik Rania.

Keduanya pun langsung lari menghindariku. Sungguh tak bisa dibiarkan. Aku menjerit memanggil mereka. Aku tak peduli bahwa di rumah sakit tak boleh berteriak. Aku kepalang kesal. Aku akan memakan orang hari ini. Kan ku mutilasi mereka!

“Alisha! Rania!” Aku melangkah lebar mengejar mereka di depan. Mereka terbirit-birit sambil melihatku ke belakang. Bona geleng-geleng kenapa melihat kamu. Dia berusaha menghentikanku. Tak akan kubiarkan!

“Kena kalian tikus kecil!” kataku saat berhasil mencengkal keduanya. Namun, mereka seolah tak bereaksi sama sekali. Bona menatap keduanya heran. Aku pun binggung. Kulihat mereka memandang lurus ke dapan.

Wah, apa ini? Seorang lelaki bertampang preman memarahi petugas adminitrasi rumah sakit. Dia masih mudah. Ah berapa kira-kira umurnya ya? Dua puluhan mungkin? Alisha dan Rania meneguk ludahnya kasar. Lelaki itu tampak menyeramkan. Dia membentak-bentak dengan nada tinggi. Aku berdesis tak suka. Sepertinya aku harus memusnahkan tikus kecil itu juga. Aku melangkah menghampirinya. Rania terpelonggo melihatku berjalan.

“Dokter Zoya ... jangan!” cengkal Rania.

Aku melempar sorot heran dengan Rania. Dia mengelengkan kepalanya cepat memohon agarku tak pergi ke sana. Aku mengebrak tangannya kasar. Aish, siapa dia berani menghentikanku? Dan siapa lelaki itu sampai berani membuat keributan? Aku berjalan mendekatinya.

“Gawat!” Rania berujar pada Bona dan Alisha. Bona melipat tangannya di dada sudah tak heran denganku pasti. “Kenapa? Niat Mba Zoya juga pasti buat nasihatin lelaki itu.” kata Alisha sambil memantap Rania dan Bona bergantian.

Bona tertawa kecil, “Iya kan Liss, baik bener kawan kita yang satu itu.”

Rania memukul kepalanya. Perawat berbalut hijab biru dongker ini tampak begitu kesal. “Dokter Alisha ... ini tuh bukan pertanda baik kalau Dokter Zoya ikut campur! Inget, kejadian 3 bulan yang lalu. Yang wali pasien datang marah-marah?”

Alisha menarik hijabnya ke belakang, “Yang mana?”

Bona berdecak sebal dengan Alisha. “Hiya! Masak kau tak ingat. Wali pasien itu ngamuk dan berantakan IGD. Dan Zoya ... beh! Mantap kali kalau anak itu. Dia bambambam. Boom!” tutur Bona dengan gaya begitu atraktif.

“Ha?” Alisha terpelonggo. Rania kembali angkat bicara mengingatkan Alisha. “Wali pasien itu ternyata dia mabuk datang ke rumah sakit. Dia ke IGD dan buat kacau semua yang ada di sana. Dan Dokter Zoya ... uh keren banget! Dia melumpuhkan wali pasien itu dengan gaya bambambam.”

Entahlah, Alisha tak mengerti apa itu gaya bambambam. Tapi lima detik kemudian dia membulatkan mulutnya. Dia ingat! Alisha baru sampai di IGD waktu itu saat aku berhasil menghentikan kekacauan. Mereka bertiga langsung berlari mengikutiku.

Aku memasukan kedua tanganku pada saku jas dokterku. Aku miringkan kepalaku memandang lelaki preman itu. Petugas admintrasi tampak mengetahui keberadaanku dan mengangguk hormat.

“Hey!” kataku menginterupsi kemarahan lelaki itu.

Dua pasang manik mata kami bertemu. Aku baru sadar dia berperawakan tinggi dan berkulit putih. Dia tampak blasteran. Jas kulitnya mengkilat begitu berbeda dengan jas putih bersih milikku.

“Gue mau diobati sama dia!” kata lelaki itu. Aku terkejut sesaat. Dia sakit? Tapi dia terlihat baik-baik saja.

“Dia! Gue cuma mau diobatan sama dokter cantik kayak dia!” tuturnya terus memandangiku tanpa berkedip.

Aku masih mempertahankan wajah datarku. Sepertinya dia salah masuk sarang. Pegawai admintrasi itu membulatkan matanya. Bahkan Alisha, Rania dan Bona sudah membuka mulutnya lebar tak percaya. Lelaki itu salah memilih sepertinya.

“Hey, Tuan Muda yang terhormat. Di sini bukan wilayah kuasa Anda.” Aku melangkah mendekat padanya, “jadi, jangan buat keributan di sini dan jangan pilih-pilih dokter. Ini bukan rumah sakitmu, anak berandal!” kataku penuh penekanan.

Rania mengayun-ayun tangan Bona membujuknya menghentikanku dari belakang. Bona malah tersenyum asyik tak mau. Sepertinya Bona ingin melihat aksi Zoya sekarang. Lelaki itu mengusap ujung hidung tersenyum tipis. Wajahnya cukup tampan membuatku ingin sekali menghancurkannya dengan tanganku.

“Maaf ya, gue cuma mau terima perawat sama dokter-dokter cantik aja. Di IGD tadi semua udah pada lumutan. Gue gak suka. Muka mereka buat mata gue jadi gatel. Gue butuh yang seger ... kayak lo!” Lelaki itu menyunggingkan senyum miringnya. “dan lo! Sebagai dokter juga gak boleh pilih-pilih pasien kan?” tanyanya.

Aku menoleh pada petugas admintrasi. “Maaf, Dokter Zoya. Mas ini terus minta dokter wanita yang menangani lukanya.”

Lelaki itu menjulurkan tangan kirinya padaku, “Lo! Jahit luka ditangan gue.”

Di belakang sana, Alisha dan Rania sudah ramai berbisik-bisik. “Tuh kan! Lukanya di telapak tangan itu kayak luka pisau!” ungkap Rania pada Alisha yang mengiyakan kata Rania.

Bona mendekatkan telinganya dengan Rania dan Alisha, “Bah, penasaran aku kek mana bisa dia dapat luka itu.” Rania langsung mengedipkan matanya tiga kali. “Jangan-jangan bener! Dia itu preman!”

Alisha menutup mulutnya tak percaya. “Gimana kalau dia itu gengster kota ini?!”

“Mafia! Mafia! Nanti dia mafia?” tebak Rania lagi.
Aku menoleh ke belakang terusik dengan perbincangan mereka.

“Hey Alisha!” panggilku. Kulihat punggung Alisha langsung tegak. Bona mendekat pada telinga Alisha, “Tamatlah riwayatmu.” Lutut Alisha langsung lemas tak berdaya. Dia mendekat padaku.

“Dokter Alisha kamu tangani dia.” kataku pada Alisha.

“Gue gak mau!” tolak lelaki itu. Dia membuat darahku mendidih. Ada apa dengannya itu? Apa yang salah? Sedangkan kulihat Alisha mengucap syukur. “gue udah bilang, gue mau lo yang jahit! Bukan dia.”

Aku geram. Kujelaskan padanya bahwa Alisha juga seorang dokter. Telebih lagi dia dokter IGD. Alisha juga cantik. Lalu kenapa harus aku? Aku sentak dia sampai tak mampu membalas perkataanku. Namun dia terus menjawab. Dasar pasien durjana!

“Gue udah lo! Gue cuma mau lo! Kalau lo gak mau gue bakal buat berita bahwa dokter rumah sakit ini gak guna dan nelantaran pasiennya.” ujarnya tenang. Aku hampir tertawa hambar. Kudapat melihat perlahan Alisha mundur ke belakang mendekati Rania dan Bona. Aku berada di puncak amarahku!

“Wah, Rania. Dia preman, gengster atau mafia apalah. Yang pasti luka ditangannya itu bener-bener luka pisau.” jelas Alisha. Sebagai dokter dia pernah menangangi pasien seperti ini. Namun kali ini jiwa Alisha gentar dengan perawakan lelaki ini. Angker sekali. Alisha jadi takut kalau salah jahit atau apalah dia akan tamat.

“Tuh kan! Mainan dia pasti pisau!” tambah Rania.
Aku semakin geram saat dia bersikukuh inginkanku.

“Alishaaaaa!” teriakku memanggil Alisha. Aku menoleh padanya. Dia terlihat terkejut. Tergagap menjawab pertanyaanku. Aku akan memaksa Alisha untuk menanganinya. Aku malas dengan pasien berandal ini. Baru inginku angkat bicara ponsel Alisha berdering dan dia menyegir memamerkannya padaku.

“Ini dari IGD Mba, Alisha pergi dulu.”

Aku mendesah kesal saat Alisha pergi. Sepertinya IGD juga penuh akibat pasien kecelakaan baru datang. Ancaman lelaki ini juga membuatku semakin kesal. Aku berjalan mendekat Rania. “Siapan alatnya bawa tikus kecil itu!” titahku.

Lelaki itu tersenyum puas. Sementara Rania mematung di tempat. Bona tertawa keras dan berbisik pada telinga Rania, “Tamatlah riwayatmu.”

***

Rania memakaikan handscoon pada Zoya. Dia ketar-ketir memandang lelaki yang duduk di hadapan Zoya itu. Sementara Zoya masih setia memasang wajah datar miliknya. Ekspresi datar abadi mutlak Zoya punya. Rania membisikan sesuatu pada Zoya, “Dokter Zoya ... lukanya cukup dalam. Pasti karna pisau. Dia mafia! Kita harus hati-hati.”

Semahir apa dia bermain pisau?

“Saya lebih manir dibanding dia. Kalau dia mahir sudah pasti takkan terluka. Dia masih amatiran. ” tutur Zoya sambil menghunus jantung lelaki itu dengan laser mata Zoya.

Zoya mulai menjahit luka lelaki itu dengan cekatan. Lelaki itu bahkan tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Zoya. Manik matanya setia menatap Zoya yang tampak begitu serius.

“Apa lo udah punya pacar?” tanyanya disela-sela aktivitas Zoya menarik benang menjahit luka. Zoya masih bungkam. Lelaki itu tak putus asa bertanya lagi. “apa jangan-jangan lo udah nikah? Ah tau udah ... gendong baby?”

Tangan Zoya mendadak diam. Mata Zoya teralih pada Rania di sampingnya. “Rania ...  sepertinya saya salah menjahit.”

Mata Rania membulat, “Hoh?”

“Seharusnya saya menjahit mulutnya bukan tangannya.” sambung Zoya sambil memandang tajam lelaki itu. Bukannya takut, lelaki itu malah tertawa. Dia setia memperhatikan setiap gerak-gerak Zoya. Sampai lukannya selesai dijahit.

Hal yang paling disesali Zoya adalah menyuntik bius lelaki ini. Akan lebih baik jika dia dibiarkan sadar akan rasa sakit.

“Terima kasih.” ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangan kanannya hendak bersalaman dengan Zoya. Zoya mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Terlihat begitu manis sampai lelaki itu tersenyum hangat.

“Tak usah berlebihan! Itu menjijikan.” ucap Zoya tanpa membalas uluran tangan lelaki itu dan malah mengebrak mejanya dengan handscoon yang Zoya lepas kasar dari tangannya.

Zoya bangkit meninggalkan lelaki itu yang tersenyum hambar mengepalkan tangannya yang tak terbalas oleh Zoya. Rasanya cukup malu. Tak ada satu wanita pun yang menolak dirinya sebelumnya.

“Oiya, Rania...” Zoya membalikan badannya. Rania terheran sesaat. Namun ucapan Zoya selanjutnya membuat Rani bertanya-tanya, “setelah dijahit, minta lelaki ini untuk pemeriksaan selanjutnya di rumah sakit lain.”

“Untuk apa? Gue harus pergi ke rumah sakit mana?” kata lelaki itu binggung.

Zoya memasukan tangannya di saku jas dokternya sebelum beranjak pergi, “Rumah sakit jiwa!”

Bersambung

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro