Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. PTSD

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••

Dia pantas mati.

Itu satu-satunya yang ada dipikiran Zoya. Dia menolak menanggani pasien itu. Tubuhnya berangsur-angsur menjauh. Jujur saya, lehernya seperti terjerat dan kesulitan bernapas. Berulang kali Zoya memegangi lehernya gusar.

"Saya menolak menanggani dia."

Para perawat binggung. "Dok! Pasien kritis sekarang!"

"Dia ... pantas mati." ujar Zoya dan beranjak pergi begitu saja.

Bona terkejut saat Zoya menabrak tubuhnya begitu saja. Kepalanya miring dan tubuhnya berputar 180 derajat melihat Zoya yang aneh. Lantas dia mengangkat kedua bahunya, "Eh kamfret! Ada gilanya anak satu tuh,"

"Dok! Pasien kritis." Seorang perawat mendatangi Bona. Mereka pergi ke ranjang pasien ayah Zoya. Kedua mata Bona membuat sempurna melihat pria itu. Pria yang sama dengan yang ia temui beberapa hari yang lalu. Matanya memonitor seluruh tubuh pasien dengan jeli.

"Dimana walinya?" tanya Bona.

Hening. Semuanya diam. "Petugas ambulance sudah berusaha menghubungi keluarganya. Tapi, tidak ada kabar. Teman dekatnya akan datang 10 menit lagi ke sini, Dok."

"Lakukan CT-SCAN dan bawa pasien ke ruang operasi 4." perintah Bona pada perawat itu. Bona membuka jas dokternya dan pergi ke ruangan ganti. Sepanjang perjalanan dia berpikir keras mengenai hal ini.

Apa hubungan Zoya dengan pria ini?

***

Tak ada luka yang mendalam jika tak ada harapan yang begitu menjulang. Bukan manusia jika tidak mengantungkan harapannya pada manusia lain. Rasa cinta yang berkhianat adalah kedukaan bagi diri. Mungkin jika orang asing yang berkhianat tidak akan sesakit ini. Tapi sayangnya orang itu adalah ... sosok ayah.

Zoya tak bisa bernapas jika mereka ulang kejadian itu. Seluruh syarafnya membeku berhadapan kembali dengannya. Ya Tuhan, disaat dia mulai kembali melangkah kepada-Mu mengapa Engkau jatuhkan beban lagi padanya?

Tak ada jalan yang lurus untuk mendaki sebuah gunung. Ada jurang dan tebing pada setiap sisinya. Manakah yang akan kamu lalui? Sebuah jurang yang bisa membawamu jatuh kapan saja atau sebuah tebing yang akan sulit kamu daki?

Zoya berdiri di depan cermin toilet. Dia dapat melihat sosok lain dalam dirinya yang sedang memandangnya. Diri ini ingin marah tapi tak sanggup. Harus apa dia sekarang? Lelaki yang sedang kritis itu adalah ayahnya. Ada gejolak dalam diri inginkan dia mati saja, tapi mengapa? Hari ini hatinya begitu sakit? Bukankah saatnya ia bersenang sekarang? Atau benarkah masih ada cinta dalam hati seorang Zoya padanya?

Zoya terisak. Bahunya naik turun menghalau badai air mata yang mendesak keluar. Bibir Zoya bergetar menarik napas panjang. Ingatan bersimpah darah itu kembali menghantui. Bulir-bulir keringat dingin membuat tubuh Zoya makin merinding. Teriakan itu kembali terdengar. Wanita berjas dokter itu berusaha menutup telinganya rapat-rapat tapi suara itu tak mau hilang.

"Kau adalah aib! Matilah kau."

Ada sebuah tangan yang mencekik leher Zoya. Dia sontak panik. Tangannya berusaha keras melepas tangan itu. Dari kedua manik mata Zoya, dia dapat melihat dua mata pria itu memerah. Dia ... ayah Zoya.

Tubuh Zoya bergetar dan terduduk di lantai. Mulutnya terbuka ingin berbicara namun tak kuasa. Wajahnya memucat seringin erat tangan itu mencekiknya. "Le-lepas! Akk-hhh ... to-tolong," kata Zoya terbata.

Mata Zoya menerawang langit-langit toilet sesak. Ini mungkin akhir hidupnya. Mati ditangan ayahnya sendiri. Dada Zoya naik turun mencari oksigen namun gagal. Semakin dia mencoba bernapas semakin sakit dia rasa.

"Kamu pembunuh,"

Tenaga Zoya semakin melemah bersamaan dengan mata yang mulai sayup-sayup. Dengan jelas dia dapat melihat sosok ayahnya yang begitu mengerihkan semakin gencar mencekiknya tiada henti. Salah satu sudut bibirnya naik menatap Zoya sini.

"A-ayah," panggil Zoya lemah.

Semuanya menjadi hitam.

***

"Bagaimana keadaanya?"

"Hm, sejauh ini kondisinya mulai baik-baik saja,"

"Kenapa ... ada apa dengan kondisinya?"

"Secara fisik dia baik-baik saja. Tapi kesehatan mentalnya terganggu, Dok."

"Apa?!"

"Profesor Ali belum memberitahu Anda?"

"Ah, Profesor Ali telah memberitahu saya keadaannya. Tapi ... saya tidak percaya keadaannya separah itu. Selama ini dia selalu terlihat tegar dan kuat. Saya tidak menyangka dia menyimpan duka ini sendirian."

"Saya paham situasinya. Dokter Akbar pasti khawatir dengan keadaan Zoya."

Dokter Akbar memandang kosong sosok Zoya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangannya terinpus dengan alat ventilator duduk manis di atas hidung mancung Zoya. Dokter Akbar berbicara dengan Dokter Vina yang merupakan dokter psikiatri.

"Hm, Dokter Akbar. Saya mendengar kabar dari Profesor Ali sebelum ke sini tadi,"

Dokter Akbar memiringkan kepalanya, "Apa itu?"

"Ayahnya di sini."

Dokter Akbar terkejut bukan main. Jujur saya, dia tak percaya adik iparnya ada di rumah sakit ini. Banyak rentetan pertanyaan berkumpulan di kepala Dokter Akbar. Dia menatap Dokter Vina seolah meminta penjelasan lagi.

"Ayah Zoya ada di ICU sekarang. Dia korban kecelakaan dan baru saja selesai dioperasi. Bukankah Zoya sekarang bekerja di IGD? Saya pikir dia pasti tahu keadaan ayahnya. Mungkin itu yang menyebabkan Zoya shock dan pingsan di toilet tadi." tutur Dokter Vina sambil melipat tangannya di dada.

"Dia pasti bertemu ayahnya,"

Dokter Vina mengangguk setuju dengan spekulasi Dokter Akbar. "Kondisi psikisnya sangat terganggu, Dok. Dia bahkan sampai pingsan karena shock. Zoya sudah pada tahap delusi dan halusinasi parah. Trauma masa kecilnya terus ditekan selama ini sampai masuk pada tahap ketidaksadarannya."

"PTSD?" tanya Dokter Akbar.

Dokter Vina menghela napas, "Post Traumatic Stress Disorder. Melihat ibunya meninggal di depan mata sendiri itu pasti ... sangat menyakitkan."

"Ayahnya ... juga memberi perilakuan buruk sampai dia mengalami kekerasan fisik." imbuh Dokter Akbar sambil menyentuh ubun kepala Zoya lembut. Sosok itu masih menutup matanya seakan tak ingin membukanya lagi. "saya juga merasa bersalah padanya karena tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Andai, andai saya tahu keadaanya saat itu."

"Zoya pasti kesulitan selama ini."

Dokter Akbar tersenyum lembut memandang Zoya, "Dia sangat menyayangi ayahnya."

"Itu! Pasti traumanya kembali karena dia bertemu dengan ayahnya lagi. Dia merasa bersalah tak mampu menyelamatkan ibunya dan mengalami keterguncangan emosional yang hebat."

"Dia tak pernah bertemu denga ayahnya sejak kejadian itu. Kami berdua juga menjadi tak akrab. Dia menjadi anak yang penyendiri dan pemarah. Zoya, dia marah pada ayahnya, padaku, dan ... pada Tuhannya. Selama ini dia hanya punya bundanya. Tapi sekarang dia telah kehilangan tempat bersandarnya. " Dokter Akbar berlinang-linang mengingat semua kepiluan yang dialami Zoya. Buru-buru dia membuang napas kasar.

"Dokter Akbar, kalau saya boleh tahu. Mengapa Zoya menjadi dokter? Menurut saya itu terlalu beresiko dengan kondisi traumanya. Rumah sakit penuh dengan pasien bukankah itu semakin membuat trauma Zoya bertambah parah?" tanya Dokter Vina ingin tahu.

"Oh, mungkin dia ingin menjadi sepertiku?"

Mereka terkekeh sejenak. "Dokter Vina, darimana Anda tahu semua tentang Zoya? Informasi yang Dokter Vina tahu terlalu detail menurut saya." tanya Dokter Akbar mulai heran.

"Profesor Ali. Dia memberitahu saja dan membuat saya bertanggung jawab atas Zoya mulai sekarang." jawab Dokter Vina.

"Bertanggung jawab atas Zoya?"

Dokter Vina mengangguk. "Seorang dokter tidak boleh memiliki gangguan mental. Zoya juga sudah mendapat tindakan dispiliner dari rumah sakit karena kesalahannya di meja operasi. Kira-kira mengapa kesalahan itu terjadi, Dok?" Dokter Vina tampak sedikit mencela tindakan Zoya. Sementara Dokter Akbar hanya bungkam.

"Dokter Akbar, Zoya sudah menjadi buah bibir di rumah sakit. Dia beruntung hanya diskor, potong gaji, dan dilarang masuk ruang operasi. Bukankah seharusnya lisensi dokternya ditangguh? Zoya beruntung memiliki koneksi dengan Profesor Ali dan Anda. Tapi, bagi saya. Ini kondisi yang berbeda, Dok. Zoya sekarang adalah pasien saya. Saya bersedia memberikan kesaksian jika Zoya menolak mengambil pengobatan. Saya paham dia sulit menerimanya. Tapi saya tidak bisa membuat seorang dokter yang terganggu psikisnya melakukan operasi dengan sepengetahuan saja. Dia diberhentikan sementara dari departemen bedah umum mulai sekarang." ujar Dokter Vina tegas.

Dokter Akbar hanya bisa terdiam, "Baiklah. Saya percayakan Zoya padamu."

***

Bona merengangkan otot-otot tubuhnya. Lehernya terasa sangat kaku sehabis melakukan operasi tadi. Dia pergi ke ICU untuk mengecek kondisi lelaki tua itu. Dia adalah ayah Zoya tapi Bona masih belum mengetahuinya.

"Dokter Bona?" panggil perawat yang berjaga di depan pintu ICU. Bona membalikan badanya sambil menautkan alisnya. "Adek cantik, ada apa nih?" goda Bona dan wajah perawat memerah.

"Wali Pak Bakri ada di luar."

Bona mengerjapkan matanya tiga kali, "Pak Bakri? Siapa?"

"Pasien yang Dokter Bona operasi tadi." tutur perawat itu heran.

"Ah! Maaf, karena abang ingetnya nama adek aja," rayu Bona lagi.

Jika Zoya melihat ini dia pasti langsung munta di tempat. Sungguh menjijikan sekali Bona. Dia langsung menemui wali dari ayah Zoya itu. Ternyata dia adalah seorang lelaki berumur 40-an yang Bona terka jauh lebih muda dari pasiennya tadi.

"Wali Pak Bakri?" tanya Bona.

Lelaki itu mengangguk. "Iya, Dok. Saya wali Pak Bakri. Gimana keadaanya sekarang? Dia baik-baik saja? Boleh saja menjenguknya sekarang?" tanya lelaki itu tanpa jeda.

"Yah, dia baik-baik saja. Tapi maaf jam jenguk sudah lewat. Besok pagi ICU baru buka jam jenguk, Pak. Bapak ini ... anaknya?" tanya Bona konyol.

"Ah, bukan. Saya Murdi, temen dekat Pak Bakri. Sebenarnya dia punya seorang putri tapi sudah lama tidak saling bertukar kontak. Saya tidak tahu dia ada dimana dan Pak Bakri juga sama halnya dengan saya. Tapi saya akan mencoba mencari putrinya." tutur Pak Murid.

Bona mengangguk paham. "Ya. Ada baiknya putrinya tahu tentang ayahnya. Tapi, ada hal yang harus saya sampaikan, Pak."

"Kenapa itu, Dok."

Bona menyatukan tangannya di depan. "Kami memang berhasil menjahit organ hatinya yang robek. Tapi, kondisi organnya tidak baik. Telah terjadi kerusakan jauh sebelumnya. Rusaknya benar-benar parah saat kecelakaan terjadi."

Pak Murdi kaget dan menutup mulutnya. "Saya enggak tahu perihal itu."

"Bukankah Bapak dekat dengan pasien?" tanya Bona.

"Ya, kami memang dekat sempat saling bertukar cerita. Tapi tidak sejauh itu. Dia narapidana di penjara dan saya sipir di penjaranya." Pak Murdi meremas rambut kepalanya dan Bona beroria dengan penjelasan Pak Murdi.

"Apa Pak Bakri pecandu alkohol?" tanya Bona tiba-tiba membuat Pak Murdi kaget.

"Oh, saya kurang tahu." Pak Murid mengigit ujung kukunya. "tapi, dari kasusnya saya tahu dia melakukan pembunuhan pada istrinya karena mabuk berat," sambung Pak Murdi.

"Sepertinya dia telah menjadi pecandu sebelu-hoh?! Apa kata bapak tadi? Dia ... membunuh istrinya?!" tanya Bona sedikit menjerit tak pecaya. Jujur saya ini pertama kalinya dia melakukan operasi pasien seorang pembunuh.

Pak Murdi menganggukan kepalanya. Bona hampir tak percaya. Tapi bagaimana pun sesuai sumpah dokternya dia akan melayani dan memberi pengobatan kepada siapa saja tanpa memandang status dan kastanya. Tapi bohong jika Bona tak gemetar sekarang.

"Tak apa, Dok. Dia telah bertaubat." kata Pak Murid menenangkan Bona.

•••

Bab ini sepertinya aku kurang riset. Mohon maaf kalau ada yang salah ya :"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro