Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Kejadian

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••


Malam itu suasana begitu hening. Rintikan hujan menyapu bersih aspal jalanan yang berdebu. Aku menarik selimutku setinggi dada. Suhu memakin dingin membuat kantung kemihku terasa penuh. Hm, aku benci sekali harus pergi ke kamar mandi malam-malam begini.

Menyebalkan! Aku turun dari tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi. Matanya masih sayup ketika kulihat seseorang berdiri pada kegelapan. Sosok seperti orang yang kukenal.

Ayah?

Terukir lengkungan dibibirku. Aku berlari ke arahnya namun sebelum itu aku merintih kesakitan. Pecahan kaca tertancap pada kakiku. Pedih sekali. Aku meringis kesakitan ketika darahku mengalir keluar. Kumelihat sekitar dan ternyata semua vas dan foto di rumahku sudah hancur.

Saat mulutku terbuka ingin memanggil bunda tiba-tiba suara piring pecah mengurungkan niatku. Kulihat ayah memecahkan semua barang dapur. Aku kaget dan mencoba melangkah mendekat sambil memanggil bunda. Tapi, bunda ternyata berada di sudut dapur.

Cahaya bulan samar-samar membuatku dapat melihat bunda menangis dan bersimpuh di depan ayah. Mataku membulat melihat ayah mendorong bunda dengan kasar.

Lampu rumahku memang sedang rusak jadi keadaan gelap menyulitkanku melihat ayah dan bunda. Aku ingin bersuara tapi takut.
Ayah pasti mabuk lagi. Entahlah, belakangan ini ayah sering pula tengah malam dengan keadaan mabuk. Bunda bilang ayah sedang banyak pikiran. Sebulan lagi aku ada pertandingan karate yang cukup bergensi. Pihak sekolah mengusulkanku ikut bertanding pada perlombaan itu. Aku yakin akan memenangkan emas lagi pada pertandingan ini. untuk kesekian kalinya, emas itu akan kupersembahkan untuk ayah.

Ayah selalu membuang mendali yang kuberikan. Selalu. Sosok pahlawanku ini dulu adalah atlet karate yang terkenal bahkan sampai memenangkan emas di kejuaraan olimpiade. Namun itu tak berumur panjang, ayah mengalami kecelakan yang merusak tulang belakangnya. Ada keretakan yang membuat ayah harus pensiun dari atlet.

Ayah ... dia ingin anak laki-laki. Aku tahu itu. Dia ingin penerus untuk karirnya. Aku juga bersedia mewujudkan impiannya itu. Apapun untuk ayah. Tapi, aku tak suka ayah yang kasar pada bunda. Belakangan ini aku sering mendengar kabar ayah suka bermain judi di salah satu klub malam di kotaku. Seminggu yang lalu juga ada rentenir yang datang menagih hutang ke rumah. Apa keluarga akan hancur?

Ayah jadi suka main tangan dengan bunda, seperti sekarang. Aku mencoba mendekati mereka untuk melerainya. Langkahku tertatih sepertinya serpihan kaca itu masuk ke kakiku cukup dalam. Padahal esok hari aku ada latihan kareta gabungan dengan klub sekolah lain.

“Ini semua salahmu! Kamu yang membuatku seperti ini!”

“Mas, cukup. Nanti Zoya bangun.”

“Aku tak peduli dengan bocah sialan itu! Impianku hancur karenamu dan anak itu!”

“Massss, ampun! Jangan bawa Zoya ke masalah kita. Dia sangat menyayangimu.

“Dia anak sialan!Aku membencinya sama sepertiku membencimu!”

“Istighfar, Mas! Inget Allah.”

Ayah menyudutkan bunda sampai menabrak tembok begitu kuat. Aku mencoba sekuat tenaga menghampiri mereka.

“Ayah...” panggilku.

Ayah melihatku. Dia melepaskan cengkramannya pada bunda dan menuju ke arahku. Bunda panik melihatku. Aku mencoba mendekat melihat mereka dengan jelas. Samar-samar aku mencium bau aneh dari tubuh ayah. Dia tersenyum dan tubuhku bergetar. Di bawah kegelapan, aku bergidik ngerih melihatnya.

“A-ayah,” ujarku terbata.

“Kau adalah aib! Matilah kau.” Ayah mencekikku dengan erat. Aku terkejut dan merontah-rontah. Matanya berubah merah dengan giginya yang mengertak padaku. Ayah sangat mengerihkan, aku ketakutan.

Bunda mencoba melepaskanku. Namun gagal, ayah malah semakin mencekikku dan menyandarkanku ke tembok. Punggungku terasa remuk tapi hatiku lebih remuk melihat apa yang ayah lakukan. Ayah mencoba membunuhku.

“Mas! Lepas! Ya Allah, istighfar Mas!”

Paru-paru mengempis tak dapat menghirup oksigen. Kakiku bahkan sudah tak lagi menatap pada lantai rumah. Ayah semakin gencar menekan leherku. Bunda semakin panik melihat mataku sayup-sayup.

Prank!

Ayah melepas cekikannya. Sebuah botol kaca pecah usai bersentuhan keras dengan kepala ayah. Darah berserakan di lantai, ayah meraung kesakitan dan memegangi kepalanya. Bunda langsung memeluk erat dan menjauh dari ayah. Tubuhku begitu lemas sampai aku tak mampu berbuat apa-apa saat ayah menyeret paksa bunda.

“Bu-bunda ... enggak! Jangan bawa bu-bunda.”

Ayah mengusap matanya yang terhalang darah dari kepalanya. Dia murka melihat kami. Entah apa yang ia lakukan, ayah pergi ke dapur. Bunda membangunkanku, dibalik cahaya rembulan aku dapat melihat wajah bunda yang penuh dengan goresan.

“Ayo Zoya. Kita pergi! Ayo, ayah berbahaya sekarang. Kamu harus pergi, Sayang!”

“A-ayah kenapa, Bun?”

“Ayah ... mabuk. Ayah ga sayang sama kita.”

Belum sempat kami keluar rumah, ayah sudah menarikku paksa. Bunda menjerit histeris. Ayah menjambak rambutku dan membawaku menuju kamar. Rasa perih menjalar ke sekujur tubuhku. Sakit sekali ayah memperlakukanku seperti ini.

“Masss, jangan sakiti Zoya! Mas, ampun! Ampun!”

“A-ayah!!” jeritku.

Dia mengunciku di kamar. Aku mendengar bunda berteriak ketakutan. Detik-detik demi detik yang kurasakan begitu menakutkan. Ternyata selama ini bunda hidup di neraka. Aku begitu takut terjadi sesuatu pada bunda.

Namun semua semakin menakutkan ketika bunda tak lagi bersuara. Kutempelkan telingku pada pintu. Hening. Benar-benar tak lagi kudengar suara bunda. Bibirku mengatup sempurna. Kulihat cahaya dari jendela kamar. Aku kebinggungan.

Sesekali aku meringis sakit pada kakiku. Aku mengangkat kursi belajarku. Bunda, aku akan datang. Kursi itu terlempar dan meretakkan kaca jendela. Tidak pecah hanya retak saja. Berulang kali aku melempar kursi untuk memecahkan jendela dan berhasil. Aku mencoba keras untuk keluar kamar. Kulitku tergores kaca namun aku tak berhenti. Aku berlari menuju pintu rumah dan membukanya.

Gelap. Aku mencoba mencari bunda.
Dan saat kumenemukannya, dia sudah bersimpah darah.

Ayah berdiri dan menatapku gugup. Tangannya penuh dengan noda darah. Aku tercenggang sampai tak tahu harus apa. Ayah mendekat padaku, ah lebih tepatnya dia melewatiku begitu saja.

Dia pergi.

Mataku tak berkedip sama sekali. Kakiku lemas saat mendekati bunda. Aku menggoyangkan tubuhnya. Posisinya yang tengkurap membuatku tak dapat melihat wajahnya. Kubalikan badannya. Sebuah pisau tertancap di dadanya. Bahkan aku dapat melihat kilat pisau itu dengan manik mataku.

“Bunda ... bangun,” pintaku sambil menguncang tubuhnya.

Dia tak bergerak. Dan aku panik.

***

Kuda besi merah itu melaju memecah kelenggangan jalan raya. Seorang wanita berada di balik kemudi sambil melamun. Dia tak peduli dengan laju kecepatannya. Entah sudah berapa kali mobil di belakangnya memberi klaskon dan memakinya berulang. Dia bersikap tak acuh.

Tinn!

Wanita itu malah makin menambah kecepatan dan menyalip dari kanan mobil lain. Dia adalah Zoya. Pikirannya sedang kalut sampai melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Ada gemuruh didada yang membuatnya kacau. Ada yang selalu diam tapi punya guntur yang kuat di dalam diri.

Zoya memang lampu ke kiri dan berhenti di pinggir jalan. Kepalanya terus berdenyut. Bayangan itu kembali menghantui. Kenapa? Kenapa ini tidak bisa berakhir saja? Zoya pun juga lelah. Tapi, ada bagian dari dirinya yang tak ingin melupakan kejadian itu. Amarah, kebencian, dan pengkhiatan seorang ayah membuatnya tak lagi percaya pada Tuhan.

Air mata Zoya jatuh berguguran. Sosok yang ia sebut ayah, sang pelindung keluarga tapi merenggut nyawa ibunya. Zoya marah dan merasa tak adil. Allah Maha Baik tapi membuatnya merasakan kepedihan ini. Dia ingin membangun kepercayaan lagi pada-Nya tapi kenapa Allah kembali memberi cobaan? Zoya membuang napas kasar. Dia melajukan mobilnya ke tempat yang tak pernah dia duga sebelumnya.

Rumah Allah.

Hari ini. Mesjid Al-Ikhlas menjadi saksi Zoya melangkah pada-Nya. Langkah kaki Zoya kokoh menuju jalan-Nya. Tak ada paksa ketika hidaya telah mengetuk. Wanita yang telah kehilangan arah ini mencoba menemukan arti iman pada Allah. Iman itu soal kepercayaan. Dan Zoya mulai membangun itu.

Deras air wudhu menyapu wajah Zoya. Tekad untuk pasrah pada-Nya adalah pilihan satu-satunya. Hilang, selama ini Zoya telah menghilangkan semua keyakinannya pada Islam. Lafaz suci Allah tidak lagi menjadi alunan napasnya. Tapi sekarang, Zoya menyerah dan kembali pada-Nya.

Bacaan salat terucap dari bibir Zoya dengan lancar. Semua tentang Allah yang telah ia lupakan kini mulai kembali dia ingat. Berdiri angkuh di semesta ini membuat Zoya lelah dan tak sanggup bertahan. Katanya, jika tak ada lagi bahu bersandar masih ada lantai untuk bersujud.

Maka hari ini, terimalah sujudku.

***

“Apa ini RS Central Medika?”

“Iya benar.”

“Kondisi darurat. Seorang pria tertabrak mobil di jalan raya. Kondisinya kritis, ia kehilangan banyak darah ada kebocoran pada organ hatinya dan tulang rusuknya patah.”

“Oh, IGD kami sedang penuh. Bisakah kalian ke RS lain?"

“Apa kalian becanda?!” Petugas ambulan berdecak kesal. “kami sudah ditolak 2 rumah sakit! Pasien bisa mati di jalan jika tidak ditangani.”

Perawat itu binggung sambil melihat ranjang IGD rumah sakit yang penuh. Central Medika tidak sanggup lagi menampung pasien. Belakangan ini banyak kecelakaan lalu lintas terjadi karena cuaca yang sedang tidak bersahabat. Letak rumah sakit yang berdekatan dengan jalan dua tol membuat rumah sakit penuh dengan pasien kecelakaan lalu lintas.

“Dokter! Ada pasien kecelakaan lalu lintas. Organ hatinya bocor dan patah tulang rusuk.”  jelas perawat IGD yang menerima telepon dari ambulance pada sosok dokter yang terkucir kuda itu. Zoya.

“Bawa pasien kemari.” ujar Zoya lantang.

Perawat itu langsung berbicara di balik telepon, “Kami akan siapkan ranjang untuk pasien.”

“Oke. Kami akan tiba dalam 3 menit.”

Tak berselang lama. Suara sirine ambulance terdengar di area rumah sakit. Dua petugas ambulance dengan gesit turun dan mengiring bankar.

“Panggil Dokter Bona dan siapkan ruang operasi. Suruh Dokter Alisha ke IGD sekarang.” titah Zoya pada salah satu perawat sambil merapikan jasnya dan beranjak menemui pasien itu.

“Pasien kecelakaan datang!”

Zoya membuka salah satu tirai salah satu ranjang. “Bawa pasien ke sini.”

Tubuh Zoya membeku di tempat. Matanya mengikuti gerak bankar tanpa berkedip. Mulutnya terbuka tak percaya dengan apa yang dia lihat. Tubuh itu berlumur darah dengan alat pemasok oksigen bertengker pada hidung pria itu.

“Dia telah kehilangan darah selama 10 menit. Saturasi oksigennya terus menurun sejak 2 menit yang lalu. Tulang rusuknya patah. Dok, Anda mendengarkan saya?” tanya petugas ambulance itu saat menatap Zoya tak bergemih sejak tadi.

Pasien itu ... ayah Zoya

Bersambung
•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro