25. Ketuk dan Menutup
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy Reading!
•••
Langkah kaki ini kian berat saat berusaha kembali memupuk iman. Ini tidak mudah. Tidak sesederhana air pegunungan yang mengalir pada lereng yang rendah. Iman adalah sebuah keyakinan. Bila yakin maka bertaqwa jangan ragu-ragu dalam melangkah karena Allah akan selalu bersama hamba-hambanya yang taat.
“Rania sadar!” kata Alisha dengan mata berbinar. Tak perlu ditanyakan apalagi yang mereka lakukan setelah itu. Rasanya berlari secepat apapun jarak ke ruangan Rania tetap terasa begitu jauh.
Matanya terbuka menatap langit-langit kamar dengan sayup. Kulit wajahnya begitu pucat dengan alat ventilator mengantung pada hidung mancung gadis ini. Orang-orang berjubah putih menjadi serba sibuk di sekeliling Rania. Rania sadar! Ini seperti mimpi.
Zoya menangis melihat gadis itu mencoba mengapai tangannya. Dadanya sesak bak ditimbun ratusan ton besi. Rania mengusap lembut pipi Zoya dengan gerakan kaku. Zoya tak pernah bermimpi akan menangis di depan banyak orang seperti sekarang. Suasana mengharu biru sampai setetes air mata Rania jatuh.
“Maaf,” tutur Zoya tertunduk dihadapan Rania.
Tak ada kata yang mampu mendeskripsikan begitu bahagianya Zoya dapat melihat kedua mata itu terbuka lagi. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan berubah dan menjadi lebih baik lagi.
Semua itu karena Zoya sadar, kita tidak tahu kapan kita akan mati.
***
Beberapa bulan kemudian.
“Eh bodat! Kau ambilkan dulu sembako di mobil belakang,” ujar Bona
Haikal terkejut bukan main. “Kaki lo masih sehat walafiat kenapa gak dimamfaatin!”
“He’ei! Nurutlah sama yang lebih tua!” titah Bona tak ingin dilawan.
“Susah ngomong sama orang tua,” ledek Haikal sambil melengos kesal menuju mobil.
Hari ini mereka mengadakan syukuran untuk Rania. Tepat di panti asuhan mereka membagikan berbagai peralatan belajar dan sembako. RS Central Medika juga menjadi donator tetap di panti asuhan ini.
Langkah Haikal melambat saat melihat sosok yang ia kenal kewalahan memindahkan segoni beras dari mobil. Salah satu sudut bibirnya terangkat dan menghampirinya. “Lo emang avengers? Sok kuat!” celetuk Haikal sambil mengambil ahli beras itu.
Zoya tersentak kaget. Posisi mereka begitu dekat sambil tak sengaja Haikal menyentuh tangan Zoya. Anehnya, ada sesuatu yang Zoya rasakan. Haikal beranjak pergi namun terasa ada yang tertinggal.
Apakah itu?
Wanita berkemaja kotak ini langsung membuang napasnya kasar. Dia langsung memperbaiki rambutnya dan bergerak mengikuti langkah Haikal. Ini gila! Sudah entah berapa kali Zoya merasakan hal aneh ini. Tolonglah, usia Zoya sudah tidak pantas merasakan hal anak-anak seperti ini.
Acara berlangsung meriah. Beberapa dokter dari RS Central Medika juga melakukan cek kesehatan gratis untuk seluruh anak dan petugas panti. Warga di daerah sekitar juga diperkenankan datang. Lalu, bagaimana bisa bocah tengil itu di sini? Yah, Haikal. Siapa lagi jika bukan lelaki itu. Ternyata Haikal di sini menjadi donatur konsumsi. Restorannya memberikan makanan gratis untuk acara kali ini. Rania yang mengusulkannya dan diterima oleh pihak manajemen RS.
Ah, Rania. Berita tentang Rania sudah tersebar ke seluruh penjuru rumah sakit. Fakta bahwa ia adalah putri Profesor Ali menggemparkan banyak orang. Dia sekarang menjalani perawatan pasca koma. Belum diperkenankan pulang karena harus melakukan fisioterapi sampai tuntas.
Profesor Ali juga menjaga ketat kesehatan putri semata wayangnya itu. Perihal hubungannya dengan Zoya masih belum membaik. Keduanya masih tak saling tegur sapa saat berjumpa. Namun bagi Zoya, Profesor Ali tetap role model-nya.
“Halo!” sapa Zoya pada salah satu anak panti. Aneh, bahkan Zoya sendiri merasa aneh dengan sikapnya sekarang. Dia memang tidak terlalu dekat dengan anak kecil, tapi mau bagaimana lagi.
Anak perempuan berumur 8 tahun itu menarik tangan Zoya dan memintanya pergi ke kamarnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Anak itu diam dan Zoya ikut bungkam. Entah mengapa ada perasaan menyesal menyapa anak perempuan ini. Kedua bibir Zoya melengkung sempurna menatap lembut anak perempuan ini. Tiba-tiba dia memberikan sebuah hijab dan Zoya tertegun.
“Pakain aku dong,” ujar anak perempuan itu.
Tubuh Zoya mematung. Harus apa dia sekarang?
Sehelai kain itu berada pada tangan Zoya. Ada desiran tersendiri yang ia rasakan. Antara marah atau binggung semuanya bercampur aduk. Benda yang ada ditangan Zoya adalah alasannya membenci sosok ayah dalam hidupnya.
“Aku mau pakai ini tapi tangan aku lagi sakit,” jelas anak perempuan itu lagi.
Zoya mengamati tangan kanannya dan benar, terbalut oleh perban putih. Rupanya anak ini mengalami luka bakar seminggu yang lalu. Jujur, Zoya merasa iba. Lalu apa yang harus kulakukan?
“Kamu mau aku yang pakaikan?” tanya Zoya.
Anak itu menganggu dan tersenyum manis. Zoya menarik napas dan melepas seulas senyuman. Dengan perlahan tangan Zoya membentang sehelai kain itu. Melipatnya dan memakaikannya dengan rapi. Jantungnya berdegub kencang saat kepala anak itu sudah tertutup hijab dengan rapi.
Zoya ingat dengan jelas bagaimana dulu bundanya memakaikan hijab untuknya. Mendadak dada Zoya sesak dan matanya berlinang. Tiba-tiba sebuah pelukan hangat membalut tubuh wanita yang terkucir kuda ini. Hangat.
“Terima kasih. Ini dari om ganteng.” Tangan mungil itu menyerahkan sehelai kain lain pada Zoya lalu berlalu pergi.
Zoya terdiam. Apa yang harus ia lakukan?
***
Hari sudah mulai senja. Semua perlengkapan mulai disusun kembali. Semua spanduk juga sudah diturunkan lima menit yang lalu. Langit bahkan mulai mendung dengan suara guntur yang mulai bersahut-sahutan.
“Wah, selesai juga!” keluh Alisha sambil merenggangkan otot-ototnya. Padahal dia baru saja datang dan tidak melakukan apapun tapi sudah tampak seolah dia yang paling berkerja keras. Bona dan Haikal hanya melengos kesal.
Zoya melangkah mendekati mereka, “Mau makan malam?”
“Kau traktir?” tanya balik Bona sambil memainkan alisnya.
Zoya menatap sinis Bona. Bahkan sinar laser dari kedua manik mata Zoya sudah hampir menempus kulit dokter asal Medan ini.
“Aku yang traktir hari ini,”
Semua mata pun tertuju pada sosok lelaki yang bersuara bariton itu. Haikal, dia menebar senyuman pada semuanya. Bona menepuk punggung Haikal dengan bangga, “Tindakan yang tepat!”
“Jangan sentuh-sentuh gue! Alergi sama bulu babi soalnya.” canda Haikal.
Mata membuat sempurna. “Eh, bodat! Muncungnya emang minta dijait!”
Zoya dan Alisha pun tertawa lepas melihat wajah Bona memerah sempurna. Perkataan Haikal berhasil menyindir Bona sampai ia jatuh ke Palung Mariana. Mereka segera berberes dan berpamitan pada pengurus panti. Bona dan Haikal tampak masih tak akur dan melempar tatapan sinis satu sama lain.
“Bang Bona kalah telak, Mbak.” Alisha tertawa melihat Bona yang sudah kesal sampai ubun-ubun. Zoya ikut tersenyum kecil dan mengiyakan pernyataan Alisha itu.
“Z-zoya...,”
Zoya lantas membalikan badannya. Suara guntur pun kembali bersahutan. Tubuh Zoya membeku dan tak bergerak sama sekali. Aliran darah terpompa lebih cepat bahkan pupil matanya membesar. Napas Zoya tercekat ketika melihat sosoknya.
Tampak lelaki tua itu tersenyum memandang Zoya dari ujung kepala sampai kaki. Kaki Zoya mundur dan bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran, lidahnya keluh, dan matanya bergerak resah. Bibir Zoya terbuka namun suaranya mengantung diudara.
“Masih ingat denganku?”
Tubuh Zoya limpung dan terduduk di antara rerumputan. Setetes air matanya jatuh dan wajahnya begitu pucat. Tangan dan kaki Zoya begitu dingin. Alisha, Haikal, dan Bona jugakaget. Deru napas Zoya tak karuan, dadanya begitu sesak. Ia tak bisa bernapas.
“Aku ... ayahmu,”
Dia kembali.
Pembunuh itu kembali
Bersambung
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro