23. Openness
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy Reading
•••
Aku ingat sekali bagaimana pertama aku dan Rania bertemu. Hari itu adalah hari pertamaku berkerja di Central Medika. Tak banyak yang bisa kujelaskan tentang perasaanku saat itu. Aku adalah dokter yang resign dari RS lamaku karena masalah internal yang kumiliki. Aku jatuh pingsan saat di ruang operasi karena delusi yang kualami. Dan mereka memutuskan untuk memberiku pilihan antara aku yang milih keluar atau mereka akan mengeluarkan tindakan displiner. Tapi, aku tak ingin semakin banyak yang tahu tentang sakitku. Ah, sakit? Mungkin ini lebih seperti trauma. Trauma masa kecilku.
Akhirnya aku memilih keluar dari RS itu. Nasib baik mungkin masih menyertaiku tak ada berita apapun tentangku. Dan Dokter Akbar merekrutku untuk pindah ke Central Medika.
Dia perawat yang baru saja dipindahkan ke departementku. Saat pertama kali aku mengenalku dia senyumnya merekah sambil menjabat tanganku dengan hangat. Binar dimatanya begitu indah sampai kupikir dia bukan manusia sangking cantiknya ia, kupikir. Dia biasa saja namun entah mengapa sekarang dia jadi sesuatu yang harus kujaga. Dia tahan banting dengan semua omelanku. Dia tak pernah marah dengan sikapku yang kelewat batas.
Dia adalah Rania.
Rania sosok yang hampir bersamaku 24 jam saat awal-awal kubekerja di Central Medika. Selalu ada kopi hangat setiap pagi di meja kerjaku, itu adalah ulah Rania. Setiap stok makanan dan minuman yang selalu tersedia di ruanganku pasti karena Rania. Bahkan dia selalu menelponku untuk mengingatku rapat, cek pasien, atau seminar yang akan kuhadiri.
Namun saat dia terluka karenaku semua jadi hancur dan menyakitkan.
Ah, mungkin karena tak ada yang pernah bersamaku sebelumnya dan saat ia hadir aku jadi sangat membutuhkannya. Aku tak punya keluarga sebagai tempatku mengadu atau berteduh dengan semua hiruk pikuk kehidupanku. Dan aku hanya punya Rania yang berada di sisiku.
Kini Rania berada di depanku. Tatapannya begitu teduh sambil menyerahkan cacatan pasien padaku. Aku tersenyum getir melihatnya. Dia memanggil namaku dengan suaranya yang sangat kurindukan.
“Dokter Zoya...”
Aku menitihkan air mata. Sorot matanya berubah jadi marah. Dia berceloteh dan memarahi dengan berdecak sebal. Aku tersenyum kali ini. Duniaku seperti hidup kembali mendengar semuanya namun semua berubah saat kurasa seseorang nepuk pipiku.
“Zoya!”
“Beri dia infus dan regulator oksigen!”
Perlahan semua pandanganku buyar dan aku mulai tersadar. Semua tak jelas dan begitu buram. Kumulai merasakan sekujur tubuhk sakit dan dadaku ikut sesak sekali. Kepalaku sangat pusing dan entah mengapa kini suhu terasa sangat dingin sampai menusuk kulitku.
“Dia sadar!” teriak seorang lelaki di sampingku. Dia tampak begitu khawatir sambil memanggil-manggil namaku. Mataku memonitor sekitar dan semua berwarna putih. Kulihat seseorang yang lain datang mereka ikut memanggil namaku.
“Mbak Zoya! Mbak Zoya kenapa?! Ini Alisha di sini, liat Alisha!”
Aku masih kesulitan bernapas namun perlahan pandanganku mulai jelas. Aku menggerakan tanganku perlahan walaupun terasa sangat lemas. Dia, wanita yang bernama Alisha ini mengenggam erat tanganku.
Sedangkan lelaki itu terus berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
Aku bergerak melepaskan alat bantu napasku dan ditahan, “Apa yang mau lo lakuin!” kata lelaki itu. Haikal? Ah, benar aku baru sadar ia adalah Haikal. Aku menyentak tangannya dan membuka alat bantu napasku dan bergerak berdiri untuk pergi.
“Mbak Zoya gak boleh berdiri dulu!” titah Alisha sambil menangis mendudukkan di ranjang yang kutempati. Aku menarik napasku dan terasa sangat berat tak seperti biasanya. Aku kenapa? Kepalaku juga sangat pusing. Kupejamkan mataku sejenak.
“Lo harus rawat inap pokoknya! Sekarang lo pasien dan enggak usah ngebangkang. Kalau lo mau mati seharusnya jangan nyusahin orang!”
Haikal menatap mataku tegas lalu berlalu pergi sambil merangkul jaket kulitnya dengan tangan terkepal kuat. Aku dapat merasakan dia sangat marah padaku.
“Mbak ingat semuanya? Sekarang Mbak di IGD dan Haikal yang gendong Mbak ke sini. Dia bahkan enggak ninggalin Mbak semenit pun dari tadi. Sebenarnya apa yang terjadi Mbak? Mbak sakit apa?” tanya Alisha sambil terisak.
Mungkin dia sangat terkejut mendapatku masuk IGD. Aku sungguh berharap Alisha tak dapat shift malam hari ini.
“D-dia bilang apa aja?” tanyaku begitu lemah tak bertenaga.
Alisha mengusap air matanya, “Dia bilang Mbak tiba-tiba pingsan di jalan. Suhu badan Mbak juga tinggi, Mbak Zoya demam. Alisha berniat buat jalani beberapa tes buat Mbak Zoya. Mbak Zoya mau aja, biar kita tahu Mbak Zoya sakit apa.”
“Enggak usah. Saya gak papa.”
“Gimana bisa gak papa?! Gimana saat Mbak jatuh ada kenapa-kenapa sama kepala Mbak atau ada masalah syaraf. Bisa ajakan ada sesuatu dan kita harus cari tahu itu!” Baru kali ini aku mendengar Alisha membentakku dengan nada tinggi. Biasanya dia sangat lembut tapi kusadar dia khawatir padaku.
“Saya cuma kecapean dan telat makan saja.”
“Sekarang Alisha itu dokternya Mbak. Dan Mbak Zoya pasiennya!”
Aku ingin membantah tapi dia tampak tak ingin didebat. Aku pasrah dan mengikuti semua keinginannya. Sekarang aku menjalani beberapa tes seperti yang Alisha anjurkan.
Dia memeriksa denyut, tensi, dan mengambil darahku. Ia juga menemaniku pergi untuk CT-SCAN. Sejak aku berpikir dimanakah lagi kudapatkan seorang sahabat seperti mereka? Aku menitihkan air mataku sejenak. Kupikir sekarang saatnya kubersyukur.
Setelah semua selesai aku dipindahkan ke ruang perawatan. Alisha masuk sambil tersenyum hangat, “Semuanya normal. Diagnosa Alisha sekarang Mbak mengalami dehidrasi berat dan kecapean seperti kata Mbak tadi.”
Aku tesenyum, “Terima kasih, Dok.”
Dia ikut tersenyum dan memeriksa infusku. Tiba-tiba ponselnya berdering dan kelihatnya dia sangat sibuk, “Pergilah, everything gonna be okay. I’m good, Dok.”
“Alisha bakal balik lagi.”
Aku mengangguk dan ia pergi sambil menutup pintu kamarku dengan pelan. Dunia terasa berhenti sejenak dalam pikiranku. Haikal mendadak muncul dalam kepalaku. Benarkah ia tak menceritakan yang sebenarnya? Mengapa? Kenapa ia melakukan itu?
Namun yang membuatku penasaran, diakah yang menyelamatkanku?
Saat itu aku benar-benar melepaskan tanganku dan melimbungkan tubuhku untuk terjun ke sungai malam itu. Namun ingatku jadi samar setelah itu. Aku melihat lenganku yang memerah, diakah yang menahan tanganku agar tak jatuh?
Aku ingin mati dan Haikal menyelamatkanku. Aku binggung antara ingin membencinya atau bersyukur karena ia menyelamatkanku. Ketika kubertemu dengannya lagi haruskah kuberterima kasih atau memakinya? Dasar! Dia selalu membuatku bimbang.
Aku bangkit dari ranjang dan pergi keluar mencari udara segar. Semua benar-benar terasa pengap. Sambil mendorong infus aku menaiki lift namun saatku ingin masuk dan membeku di tempat. Sosok yang berdiri di depanku juga ikut terkejut.
Dia Haikal.
“Lo mau kemana?” tanya dengan suara serak. Lidahku keluh sampai tak bisa berkata apa-apa. Dia menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke dalam lift.
Baiklah Zoya, tenang! Aku menekan lantai paling atas dan berpura-pura tenang. Aku memutuskan menganggap semua kejadian di jembatan itu tak pernah terjadi. Lift bergerak bersama keheningan kami berdua bungkam sampai suara pintu terbuka memecahkan kesunyian.
Aku keluar dan perlu ke rooftop tanpa menoleh ke belakang. Namun, aku tahu dia mengikutiku. Aku akan menganggapnya tak ada dan terus berjalan menuju ke pembatas rooftop.
“Jangan lompat!”
Suaranya menginterupsiku sampai aku tak sadar menoleh padanya. Wajahnya terlihat serius sekali sampai dia terlihat lebih dewasa dari biasanya. Aku mengigil dengan kharismanya. Dia berjalan mendekatiku dan menyuruhku duduk.
“Saya gak niat lompat.” kataku dengan tak menatap matanya. Dia terus melihatku tanpa berkedip. Aku salah tingkah, tolong siapapun suruh dia berhenti.
“Kapan?” tanyanya. Tolong itu sangat ambigu, aku menoleh padanya sambil menautkan alisku, “Kapan apanya? Saya gak mau bahas hal yang kamu liat hari ini. Saya memutuskan untuk menganggap tidak terjadi apa-apa hari ini. Dan ... terima kasih untuk tidak memberitahu Alisha dan siapapun tentang ini.”
“Hanya itu?”
“Ha?” Dia duduk di sampingku. Aku pun menjauh menjaga jarak dengannya. Sungguh aku tak begitu nyaman sekarang dengannya. Antara malu atau marah dengannya.
“Terima kasihnya. Hanya untuk itu?”
Tanganku terkepal kuat, “Juga untuk menyelamatkanku. Terima kasih.”
Hening.
Aku hanya menatap bintang yang tak begitu banyak hari ini. Kurasa dia pun juga menatap langit malam. Aku meliriknya, ternyata dia sedang termenung menatap sepatunya. Aku salah ternyata.
“Gue pernah bunuh diri.”
Kepalaku tergerak melihatnya. Dia meliriku sejenak dan bernapas panjang, “Saat gue baru masuk SMA, saat gua lulus SMA, bahkan setahun yang lalu. Gue capek idup di dunia yang gila ini. Lo liat tangan gue ini.” Dia memperlihatkan tangannya dan kulihat ada bekas di pergelangan tangannya.
“Gue bolak balik masuk RS dan dioperasi. Gue pernah overdosis obat. Gue motong nadi gue sendiir tapi gue gak berani terjun dari jembatan. Nyali gue gak sekuat lo yang gak takut ketinggian.” katanya sambil tertawa tanpa beban. Aku hanya bisa diam mendengarkannya tanpa berani berkomentar.
“Gue lahir dan tinggal diluar negeri. Bokap gue punya saham gede di luar dan keluarga gue hidup nyaman. Waktu gue umur 6 tahun, rumah gue dimasuki orang. Yah, kemalingan gitulah. Bokap gue ketembak dan dipukuli di depan mata gue. Waktu itu nyokap gue lagi keluar dan untungnya dia gak sempet ketemu sama mereka.” Mataku mulai panas saat Haikal berhenti sejenak dengan ceritanya. Dia menatap langit sambil menngedip-ngedipkan matanya berkali-kali. Dia tampak terisak namun ditahan sekuat mungkin.
“Mereka masukin gue ke lemari di dapur dan nyuruh gue megang pisau dan nyucuk siapa aja yang berusaha nyakiti gue. Setiap hari gue gak bisa tidur dan kejadian itu terus mengebayangi gue setiap hari bahkan setiap detik. Bokap gue meninggal dan nyokap gue mutusin buat pindah ke sini dan gue tinggal sama Joe sekarang. Nyokap gue juga berusaha keras buat suasana rumah gue jadi hangat. Tapi, banyak banget yang ga suka sama gue waktu di sekolah. Gue dibully dan gue gak bisa tinggal diem waktu mereka sebut-sebut bokap gue. Mereka bilang bokap gue gangster, mafia, bahkan bilang keluarga gue terkutu—“
“Kamu enggak perlu ceritain semuanya.” tuturku. Aku tahu itu sulit jadi hentikan. Dia hanya akan menyakiti dirinya sendiri jika terus bercerita. Aku tahu dia kesakitan sekarang dan aku dapat memahaminya.
“Gue pingin ceritain.” katanya sambil menatapku, “gue pernah jatuh. Gue pernah kehilangan. Tapi, gue punya Allah. Nyokap gue mondokin gue setahun yang lalu. Gue berubah. Kita boleh ngerasa sendiri tapi Allah gak pernah pergi. Lo harus tahu itu.”
“Zoya gak kenal sama yang kamu sebutin. Saya ... meninggalkannya.”
“Karna itu lo harus balik sama Dia.”
Aku tersenyum, “Kalau Dia punya kuasa dan memberikan kepahitan sama saya itu buat apa? Allah menarik semua kebahagian itu dari saya!”
“Itu semua karena Allah percaya sama lo!”
Aku diam sejenak, “Saya punya keluarga. Tapi sekarang itu udah gak ada. Saya hidup tanpa keluarga sejak saya kecil. Kamu tahu apa yang paling nyakitkan? Ayah adalah penyebab semuanya. Ayah yang paling saya banggakan yang paling saya cintai dan kasihi melebihi diri saya sendiri. Dia berpaling dan mengkhianati kamu. Dia berbuat jahat!”
“Kita punya luka yang sama.”
Mataku berkaca-kaca menatapanya, “Beda Haikal.”
“Bokap lo dan bokap gue sam—“
“Ayahku membunuh Bundaku.”
Bersambung
...
Gimana?
Ada yang tau soundtracknya ga?
Hihi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro