Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. V-fib

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••

Bak air es tumpah di atas kepalaku. Mataku mendelik melihat perawat ramai menghampiri ranjang Rania. Aku dan Alisha berlari sekuat tenaga menghampiri Rania. Tidak, tolong jangan katakan ini nyata. Aku bermimpi kan? Oh malangnya Raniaku.

“Apa yang kalian lakukan!” bentak Alisha.

Untuk pertama kalinya aku mendengar suara Alisha setegang dan sekeras itu bahkan hampir memekakkan kedua telingaku. Aku mendorong perawat yang tampaknya masih magang. Dia terlihat gemetar melihat kejadian ini dan aku pun begitu. Kakiku hampir tak bergerak melihat layar monitor yang hanya menampilkan garis lurus beriringan dengan bunyi nyaring yang mendebarkan.

“Alisha lakukan comm
presion!” perintahku setelah mengecek layar monitor dan salah satu perawat memakaikan alat bantu napas pada Rania. Tanganku bergetar namun kukepalkan dan mencoba tegar.

Alisha melakukan compresion sambil naik ke ranjang pasien. Peluh keringat mulai membanjiri Alisha sedangkan aku keringat dingin melihat wajah pucat Rania. Mataku mulai berkaca-kaca, entah mengapa aku jadi cenggeng sekarang.

“Panggil Dokter Jailani!” tintahku pada perawat magang itu. Dia gelagepan dan langsung berbalik. Sedangkan perawat lain sudah lebih gesit dan mendatangiku dengan raut pasrah, “Dokter Jailani sedang di ruang operasi, Dok!”

Sial! Aku terlalu takut untuk menangani Rania. Takut aku membuatnya seperti Pak Wahab.

“Berhenti Alisha. Saya akan periksa detak jantungnya.”

Alisha berhenti. Aku melihat monitor yang masih terus menunjukkan garis lurus. Tidak ada perubahan! Alisha bahkan tak berkedip menatap monitor sembari melihatku.

V-fib!” seruku menyatakan bahwa ada gangguan pada jantung yang tak berdenyut seperti seharusnya. Sementara Alisha melanjutkan commpresion. Aku dapat melihat air mata Alisha gugur. Sontak perawat langsung menyerahkan defibrillator padaku. Sebuah alat kejut jantung yang dapat mengembalikan irama jantung pasien.

Aku langsung mengoleskan jel pada permukaanya, “150 joule.” suruhku dan perawat itu memutar sebuah tombol yang berfungsi mengisi ulang daya defibrillator. Tanpa aba-aba lagi Alisha menghentikan commpresion dan membiarkan aku mengambil ahli.

Shot!

Aku menempelkan alat itu dada Rania dan tubuh Rania terangkat karena terkena rangsangan listrik dari defibrillator. Aku mengangkat alat itu sejenak dan melihat layar monitor.
Nihil.

“Alisha, compresion!

Irama jantung Rania belum kembali. Alisha berdecak kesal sambil melakukan compresion lagi. Perawat yang memegang kendali untuk saluran pernapasan Rania langsung memasang lagi alat itu untuk membantu Rania. Saat defibrillator menyentuh pasien maka semua paramedis harus menjauh dan tak berkontak fisik dengan pasien.

“Saya akan mengambil ahli.” sahut seorang perawat laki-laki yang entah darimana mengantikan Alisha yang mulai kelelahan dan berkurangan tenaganya. Alisha turun sambil mengambil napas sejenak. Semua kejadian ini terjadi dengan begitu cepat dan cekatan. Mungkin jika kuceritakan akan terlihat lambat tapi percayalah semua adegan ini begitu cepat.

“200 joule!” titahku kembali. Perawat itu menaikkan daya.

Shot!

Tit....

Suara itu sepertinya enggan pergi. Aku sudah gemetaran sejak tadi.

Tidak! Rania, kumohon! Kembalilah, setidaknya jika kamu ingin pergi lakukan salah perpisahan denganku. Kamu tidak sopan! Aku membencimu.
Perawat laki-laki itu melakukan kembali compresion tanpa henti. Aku menarik napas panjang. Aku adalah Zoya! Seorang Zoya akan berusaha keras dan melakukan segalanya. Rania akan sembuh. Ia akan kembali.

“Dokter Zoya! Rania....” isak Alisha mulai tersendu-sendu.

Tit.....

“Berhenti, aku akan periksa denyut nadinya.” ucapku terdengar sedikit lemah. Perawat itu turun dengan napas tak beraturan dan menghentikan compresion. Untuk pertama kalinya tanganku bergetar untuk memeriksa denyut pasien. Namun yang dipikiranku sekarang adalah Rania.

Aku tak sanggup untuk merasakan denyut nadi Rania. Aku terlalu takut. Bagaimana jika aku tak merasakan denyut nadinya? Bagaimana jika aku mati rasa pada tanganku sehingga aku salah penafsiran? Bagaimana, ah bagaimana sekarang? Tanganku terulur memeriksa dengan nadi Rania di leher. Monitor masih terus berdering nyaring tiada henti.
Ya Allah, kumohon! Kali ini saja, kembalikan Raniaku.

Deg.

Monitor EKG Rania berubah. Denyut jantung Rania kembali.

“Dok, pasien kembali!” kata perawat laki-laki itu girang dn tersenyum lebar.

Aku lemas dan terjatuh bertumpu pada lutut di lantai sambil menyandarkan kepalaku pada ranjang Rania. Kukepalkan tanganku begitu erat takut orang lain melihat kugemetaraan. Kupejamkan kedua mata ini sambil menahan setiap derai air mata. Aku marah namun bersyukur.

Allahkah yang mengembalikan Rania padaku? Benarkah?

“Apa yang kalian lakukan!!!”

Aku tersentak ketika mendengar suara bariton itu begitu lantang. Kedua indera penglihatanku memonitor pria yang baru saja masuk ke ICU. Matanya berkobar dan wajah merah padam. Ia menatapku sangggar seakan ingin menelanku sekarang juga. Belum hilang gemetar pada tanganku tadi sekarang malah bertambah parah.
Dan kali ini, aku benar-benar ketakutan.

“Professor Ali....” lirihku memanggil namanya. Dia berjalan cepat ke arahku. Tangannya mendorong dan menyeretku keluar ICU dengan kasar.

Aku kaget bukan kepalang dengan sikapnya. Professor Ali adalah role modelku sebagai seorang dokter sejak dulu. Dia adalah alasanku menjadi dokter. Sakit sekali saat orang yang kupuja dan kagumi memperlakukanku sekasar ini. Hatiku sakit berkali-kali lipat.

“Ada apa ini, Prof? Kenapa Prof—“

“Diam kamu! Seharusnya saya sudah usir kamu sejak dulu! Saya baru sadar kalau saya sudah melakukan kesalahan besar dalam hidup saya dengan mendidik kamu menjadi seorang dokter! Kamu memang tidak pantas memakai jas ini!” cercah Professor Ali tanpa belas kasih.

Ia menyentak jubah dokterku dengan kasar lagi. Kali ini air mataku benar-benar jatuh tanpa kusadari. Pedih sekali rasanya mendengar setiap bait dari kalimat yang keluar dari mulut sosok panutanku ini. Aku sampai tak mampu berkata-kata untuk sekedar mempertanyakan apakah kesalahanku sampai ia menganggapku adalah kesalahan dalam hidupnya?

“Prof, Dokter Zoya sudah menyelamatkan Rania. Rania mengalami gagal jantung beberapa saat yang lalu. Dokter Zoyalah yang menolong Rania, Prof. Semua ini berkat Dokter ZO—“ Pembelaan Alisha terpotong oleh Professor Ali.

“Jauhi Rania! Jangan pernah tampakkan wajah kamu di depan saya dan putri saya! Kamu hanya kemalangan bagi kami! Seharusnya saya tidak mengizinkan Rania pergi menemui kamu! Ah, seharusnya saya tidak memindahkan Rania ke departemen kamu itu! Semua akan baik-baik saja jika saya tidak menyetujui permintaan Rania saat itu.

“Dokter Zoya sudah berapa kali kamu melakukan kesalahan medis di rumah sakit ini?! Dokter dengan gangguan jiwa seharusnya tidak berhak berada di RS ini. Kamu mencemarkan nama baik RS ini dan kamu tau? Kamu telah mencoreng martabakat kamu sebagai seorang dokter!” hardik Professor Ali tiada henti.

Jantungku diserbu oleh puluhan peluru. Tanganku terkepal keras dengan kepala tertunduk. Aku tak bisa memungkiri semua kebenaraan perkataan Professor Ali. Itu benar dan aku melakukannya. Aku hanyalah semua kemalangan.

Aku berisak tiada henti di depannya. Semua perawat ICU melihatku iba bersama dengan Alisha yang memegang kedua pundakku untuk menenangkanku. Professor Ali menutup ICU dengan kemarahan yang mengelegar ke setiap sudut ruangan.

“Dokter Zoya....” panggil lembut Alisha.

“Pergi Alisha,” kata sambil mengusap kedua sudut mataku. Aku malu sekali terlihat lemah. Zoya Raizel tak boleh seperti ini, aku harus kuat! Tapi ini terlalu menyakitkan. Alisha enggan meninggalkanku namun ia paham kondisiku. Dia memelukku sejenak menyandarkan kepalanya padaku.

“Ada Alisha di samping Dokter Zoya. Ada bahu Alisha untuk bersandar. Dan selalu ada lantai untuk bersujud, Kak.”

Alisha merapikan rambutku dan tersenyum hangat sekali sampai aku dapat merasakan ketulusan dari setiap kata-katanya. Aku terhenyuh ketika ia memanggilku dengan sebutkan Kak. Aku membalas senyumannya dengan getir.

Namun aku gagal.
Aku menangis.

Alisha langsung memelukku erat. Aku menumpahkan semua kesedihanku pada Alisha. Aku dapat merasakan tubuhnya ikut bergetar menangis bersamaku. Aku terisak senggugukan tak lagi mampu menampung semua beban di dadaku.

Aku tak peduli lagi dengan orang-orang yang menatapku. Aku hanya ingin menangis sekarang. Aku juga seorang manusia dan perempuan. Hatiku juga bisa sakit dan hancur oleh kata-kata. Dan aku juga bisa menangis.

***

Dari kejauhan sosok lelaki menatap Zoya dalam diam. Ia tertunduk sejenak. Dan ia adalah Haikal

Bersambung
•••

Mohon maaf banget minggu kemarin aku enggak update. Kemarin mau double up cuma bermasalah jaringan susah banget hadeh...

Kamis aku bakal double lagi ya!
Semangatt!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro