
20. Rindu Rania
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy Reading!
***
Kepalaku terasa begitu berdenyut tak karuan. Aku mengelengkan kepalaku cepat sambil menjahit luka di tangan salah satu pasienku. Waktu menunjukan pukul tiga lewat dini hari. Tengkukku terasa begitu pegal.
“Cut.” titahku pada perawat di sampingku. Sejenak aku merasa Rania bersamaku namun, aku kembali tersadar. Rania tak di sampingku. Selepas menjahit aku meminta perawat mengurus pasien itu.
Aku pun bergegas menuju ruang operasi untuk melihat kondisi Rania. Pasti sekarang operasinya sudah selesai. Kupercepat langkahku bahkan sambil berlari-lari kecil sangking tak sabarnya diriku.
“Zoya...”
Aku menoleh ke belakang saat merasa namaku dipanggil. Ternyata Haikal yang berdiri di depanku. Apakah jangan-jangan sejak tadi dia menungguiku? Ah, benarkah? Aku tak begitu yakin.
“Operasinya sudah selesai?” tanyaku dengan suara serak. Dia terdiam sejenak entah memberi jeda sebelum menjawab atau sengaja bungkam. Aku mengedipkan mataku berkali-kali menatapku. Ada percikkan gemuruh yang siap meledak dalam diri. Beribu angin berhembus membawa berbagai pikiran buruk ke dalam otakku.
“Haikal?” panggilku lemah padanya yang diam seribu bahasa. Dia menghela napas sambil menundukan. Hatiku bergemetar melihatnya. Aku menepis jarakku dengannya, “Tidak terjadi apapun pada Rania kan? Benarkan? Rania baik-baik saja, Kan? Operasinya pasti lancar kan? Haikal ... semua baik-baik aja pasti.” Napasku mulai memburu menatap manik matanya yang sayup.
“Sepertinya, lo harus nemui Rania sekarang.” jawab Haikal. Sungguh, aku tak mengerti arti dari tatapan itu. Bibirku terbuka tak bersuara, kali ini aku menangkap arti lain dari setiap makna kata-katanya.
Aku tersenyum getir, “Ya, saya memang ingin menemui Rania sekarang.”
Ada nada getar pada ujung lidahku. Dia mengangguk pelan melihatku seolah berkata aku pasti kuat. Tidak, tidak, tidak! Aku tidak boleh berspekulasi yang aneh-aneh. Aku mundur dan berlari pergi meninggalkan Haikal.
Pikiranku kalut. Aku diterpa awan hitam sekarang. Awalnya aku berlari-lari kecil namun sekarang aku berlari secepat mungkin seakan aku adalah penumpang yang ketinggalan pesawat. Aku jadi takut saat kejadian itu adalah saat terakhir Rania memanggil namaku.
Rania, aku datang.
Napasku berderu tak beraturan sampai akhirnya manik mataku melihat Alisha dan Bona berdiri di ujung sana. Aku berhenti terdiam tak bergerak sama sekali. Sejenak aku terheran, mengapa Alisha dan Bona di sana? Itu bukan ruangan rawat inap.
Kakiku bergetar berjalan menghampiri mereka. Lidahku mendadak keluh untuk sekedar menyapa Bona yang sekarang menyadari keberadaanku. Seketika jarakku makin dekat Alisha menoleh dengan mata berkaca-kaca. Tolong, jangan beri tahu aku hal buruk!
“Zoya...” lirih Bona begitu lemah sampai aku tak lagi mendengar logat tegas bataknya itu. Alisha menutup mulutnya berusaha menahan tangis melihatku kebingunggan mengartikan semuanya.
Aku menatap sekelilingku gamang. “Rania ... dimana?”
Hening.
“DIMANA RANIA!” bentakku kuat.
Keduanya membisu tanpa kata lagi. Lalu dari arah timur sebuah pintu terbuka dan Professor Ali keluar dengan mata berair. Dokter Akbar pun menyusul dari belakang. Mereka melihatku dan tak berkata apapun dan langsung meninggalkanku. Kucekal tangan Dokter Akbar dan ia menoleh.
“Dimana Rania? Ah, tidak! Operasinya ... sukseskan? Kenapa Rania ada di sini?!” tanyaku padanya namun lebih tepatnya mengintimidasi Dokter Akbar. Beliau menarik napas sejenak menundukkan kepalanya dan menatapku lagi.
Tatapan itu! Aku membencinya. Dia sedang iba padaku.
“Mereka belum memberitahumu?” Dokter Akbar malah bertanya balik padaku. Aku memutar kedua bola mataku jengah. Mataku bergerak gelisah sekarang berusaha menahan emosi entah air mata, “Apakah aku terlihat sedang ingin bercanda?!” bentakku padanya.
“Operasinya ... lancar.” jawabnya dengan nada jeda. Lalu berlalu meninggalkanku begitu saja. Aku memejamkan mataku bernapas lega. Akhirnya, semua benar-benar baik-baik saja.
Aku melihat pintu di sampingku. Kini aku baru tersadar aku sedang berada di area ruang ICU. Aku hampir pingsan saat kupikir ini ruang jenazah. Karena seingatku bentuk area ini mirip seperti area ruang jenazah ternyata aku baru benar-benar waras saat kutahu ini hanya bentuk belokkannya saja yang mirip.
Buktinya tertulis ICU di depan pintu ruangan. Aku mengalami dejavu rupanya. Ruang jenazah berada di lantai yang berbeda dengan ICU.
Sistem sarafku sampai kaku karenanya.
Baiklah, mungkin kondisi Rania belum stabil sampai dibawa ke ICU. Hal itu biasa terjadi memang, aku dapat memahaminya karena aku pun juga seorang dokter bedah.
Tanpa mempedulikan Bona dan Alisha, aku masuk ke dalam namun sebelum itu aku harus memakai melapisi pakaianku dengan jubah yang biasa dipakai untuk mengunjungi ICU. Mengapa ICU memiliki tingkat atau etikanya sendiri? Karena unit intensive ini harus steril dari human terutama untuk keselamatan pasien. Tubuh pasien yang sudah rentang dan lemah akan mudah terjangkit kuman yang datang dari penjenguk maupun staf rumah sakit yang tidak steril.
Bunyi bep dari berbagai alat kedokteraan yang berada di ruangan tak lagi membuatku asing. Aku melihat di bangsal itu Rania terbaling lemah dengan selang infus mengantung. Alat bantu napas tampak terlihat nyaman bertengker pada Rania yang kulihat pucat pasif dengan mata terpejam damai. Hatiku mencetus.
“Rania....”
Bibirku bergetar tak sanggup melanjutkan perkataanku lagi. Lidahku keluh dan saraf motorikku tak berkerja sama sekali. Wajahnya terlihat damai dan teduh walaupun dalam keadaan seperti ini. Aku berusaha menahan mati-matian untuk tidak menangis.
Bayangan Rania jatuh tak berdaya datang. Suaranya yang terbata-bata memanggilku membuatku lemas. Hanya satu harapanku, selamatkan Rania. Aku sangat menyayanginya.
Aku berjanji akan baik padanya.
Aku berjanji tak akan memarahinya.
Dan aku berjanji aku akan menjaganya.
Perlahan tanganku melayang dan mencoba mengusap kepalanya lembut. Setetes air mataku jatuh tanpa kusadari. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya, pada siapapun itu. Rania, kamu membuatku merasakan bagaimana indahnya memiliki saudara yang menyayangiku. Aku tak sanggup jika kedua matamu itu tak lagi terbuka.
Aku mencoba tersenyum pahit. Kedua tanganku mengenggam tangan Rania yang lunglai tak bergerak. Kugenggam begitu erat sampai aku enggan melepasnya. Tangan ini adalah tangan Tuhan yang sebenarnya. Tangan ini adalah tangan ajaib yang menyelamatkan banyak orang. Dan tangan ini adalah milik Rania.
Masih segar diingatanku saat aku melihat Rania dengan gesit dan semangatnya yang tak pernah pudar masuk ke ruang operasi. Hari itu aku dan Rania akan mengoperasi pasien transplantasi organ hati. Pasien berusia 45 tahun, Khadijah namanya. Saat pertama kali pasien itu datang Rania adalah perawat pertama yang menanganinya. Dia selalu tersenyum dan lembut pada Khadijah.
Bahkan suatu waktu saat jadwal shif Rania habis dia merelakan waktunya untuk menemani pasien ini. Rania menyulanginya, membantunya buang air, bahkan sampai mengantarnya berjalan-jalan. Dia bahkan yang paling khawatir saat tahu kondisi Khadijah drop.
Dan sekarang, aku ingin melihat Rania itu.
“Pasti sakit ya?” bisikku padanya lembut.
Demi langit dan bumi, baru kali ini aku berbicara lembut pada Rania. Senyumku tersungging sejenak. Menertawai sikapku sendiri. Aku? Benarkah yang tak berbicara adalah aku? Rania, kamu pasti senang aku berbicara lembut padamukan?
“Cepat sembuh. Saya tak ingin didampingi perawat lain.” lanjutku padanya.
Namun, Rania hanya diam.
Aku melihat alat-alat yang terpasang ditubuh Rania, “Akan kuhancurkan kalian jika tak membuat Rania sembuh. Aku serius. Aku akan benar-benar memusnahkan kalian nanti!” tegasku dengan suara serak khas abis menangis.
***
Bona terduduk di kursi tunggu pasien bersama Alisha. Tak lama kemudian Haikal datang menyodorkan mereka berdua minuman mineral. Bona tersenyum tipis mengucap terima kasih.
“Sekarang bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Alisha dengan mata gamang menatap kosong ke depan. Matanya bengkak dan sayup secara bersamaan. Tak ada lagi wajah ceria dan gairah semangat yang biasa berkobar dalam dirinya. Semua mendadak hancur baginya.
Beberapa saat yang lalu.
Dokter Jailani mengajak Bona, Alisha dan Haikal masuk ke ruangannya. Mereka bertiga duduk gusar menanti apa yang hendak Dokter Jailani katakan. “Apa ada kondisi yang serius, Dok?” tanya Bona pembuka bicara.
Dokter Jailani menatap tegas kedua bola mata Bona, “Hm, ada kondisi serius pada Rania.”
Duar! Langit terasa gelap dan awan mulai bergumul menjadi satu. Alisha tak sanggup berkata-kata dan terduduk lemas bersandar pada kursinya. Sungguh, walaupun ia seorang dokter tapi saat berada disituasi ini ia masih tak bisa menerimanya. Terlebih ini soal Rania, kolega dan sahabat karibnya.
“Maksudnya operasinya gak berhasil gitu?” sambung Haikal tak mengerti dengan semua ini. Bona menyatukan kedua tangannya di atas meja dan siap menerima penjelasan dari Dokter Jailani.
“Saya dan Zoya telah melakukan pertolongan pertama yang tepat saat kejadian. Apa hal tersebut kurang tepat? Saat kejadian, kami ... memang mengindikasikan bahwa ada masalah dengan sistem syaraf Rania. Dia tak bisa bergerak. Bahkan menggerakan jemari tangannya saja dia tak mampu. Tapi-“
“Operasinya berhasil. Rania mengalami cedera pada otaknya yang menyebabkan ada gumpalan darah pada otak Rania. Namun akibat dari operasi itu memicu hal lain.” tutur Dokter Jailani. Lalu ia menatap Bona dan menghela napas panjang, “Dokter Bona pasti tahu apa yang saya maksudkan?”
Bona membisu otaknya tak mampu berpikir lagi, “Maksud Dokter?”
“Ada resiko Rania mengalami kelumpuhan saat ia sadar.” jelas Dokter Jailani.
Gelegar tangis Alisha memenuhi ruangan. Isaknya tak tertahankan. Menangis, menangis, dan lagi. Alisha tak percaya bahkan Haikal terdiam tak percaya. Ia menerawang ke langit-langit ruangan mencoba mempercayai setiap kata dari apa yang sudah ia dengar.
Seharusnya dia mengajari Rania naik sepeda dengan benar. Haikal merasa ini adalah salahnya juga. Dia malah memarahi Rania dan mengkhawatirkan sepedanya daripada Rania. Berkali-kali Haikal menarik napas untuk mengendalikan dirinya sendiri.
“Saat Rania terjatuh ada sistem saraf pada otak pada pergerakan motorik yang rusak dan menyebabkan gumpalan darah pada otak Rania. Kami hanya bisa mengatasi gumpalan darahnya karena kondisi Rania yang sangat kritis dan lemah. Namun, kita harus menunggu Rania sadar terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi masalah ini. Kita hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik untuk Rania.” jelas Dokter Jailani.
Dan sekarang mereka hanya bisa berharap pada Sang Ilahi yang mengatur semua takdir makhluknya. Karena tiada tempat yang paling indah untuk berharap selain pada Sang Pencipta. Allah SWT.
***
2 hari berlalu.
IGD hari ini tampak lenggang. Tak banyak pasien darurat yang datang dan hanya beberapa anak-anak dengan keluhan flu. Zoya berkerja seperti biasa di IGD semenjak kejadian memilukan yang membuat Zoya dilarang masuk ruang operasi. Setelah hari itu, hati Zoya menjadi sunyi. Ruang operasi adalah rumahnya dan berada di IGD sama seperti berdiri di depan rumahnya tanpa diperbolehkan masuk.
Alisha menghampiri Zoya yang termenung di nurse station. “Mbak Zoya, jenguk Rania yuk.” ajak Alisha.
Sejak hari itu berlalu, Alisha tak bisa tidur nyenyak dan selalu tidur di ruangan dokter di RS karena ia tak ingin jauh dari Rania. Bahkan ia meminta dipindahkan kerja di ICU hanya karena Rania. Ia takut, Rania tak bangun. Dan bahkan sampai saat ini Alisha belum memberitahu perihal kondisi Rania yang sesungguhnya pada Zoya. Bona dan Haikal bahkan ikut bungkam. Takut Zoya makin syok dan menyalahkan dirinya sendiri. Terlebih Bona, ia takut Zoya makin tertekan dan berhalusinasi seperti dulu.
Zoya masuk ke ruang ICU bersama Alisha. Baru sampai mereka di depan pintu ruangan tampak suasana ICU ramai dan semua terlihat panik.
“Pasien gagal jantung!”
Sontak pandangan Alisha dan Zoya tertuju pada seorang perawat yang berteriak itu.
Bep bep bep.
Suara itu mengisi seluruh ruangan. Suara itu juga sangat mengerihkan.
Code blue!
Dan suara itu berasal dari alat detektor Rania.
B
ersambung
***
Maaf ya, aku kurang riset kayaknya deh. Maaf kalau ada yang salah dari isi cerita ya.
Aku juga lagi revisi :)
Jangan lupa nabung buat Zoya! Masih lama juga kok inshaAllah bakal ditamatin di sini kok!
Hari dan besok aku lagi sibuk banget sama tugas kuliah. Dosenku serem banget model ngeluarin mahasiswa dari kelas! Gelegar ga tu :)
Pengalaman apa yang masih kalian inget tentang pengalaman waktu sekolah/kuliah?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro