Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Akhir?

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

Aku tak tahu harus berbuat apa. Seluruh saraf dalam otakku mendadak tak berfungsi. Ini semua karnaku. Ini adalah salahku. Andai saja aku tak bersikap acuh tak acuh pada Rania ini semua tak akan pernah terjadi. Rania tak akan pergi menemuiku. Ia tak akan pernah mengendarai sepeda di jalan jika bukan karnaku. Ia juga tak akan pernah mengalami hal ini juga bukan karnaku. Aku adalah penyebab semua ini.

Aku adalah kematian bagi orang sekitarku. Pertama Bunda, lalu Pak Wahab dan sekarang Rania. Kupikir bahwa diriku ini adalah makhluk yang tak seharusnya lahir di bumi. Aku hanyalah sebuah kesalahan yang turun di bumi.

Aku adalah si tangan kematian.
Hatiku benar-benar remuk tak bersisa. Tak ada tempatku untuk bersandar dan mengeluh tentang semuanya. Kuhanya mampu diam dan berbisik pada kesepian. Aku benar-benar bodoh. Zoya yang malang.

Aku memandangi wajah Rania yang setengah sadar di dalam ambulan. Rasanya begitu menyakitkan. Aku seperti melihat Bunda disaat-saat terakhirnya. Mendadak gemuruh dalam hatiku saling bersaut-saut. Tanganku bergetar dengan air mata yang jatuh berderai. Wajah teduh dengan senyum manis Rania yang biasa menyapa tiap pagi menghantuiku.

Bagaimana jika Rania benar-benar lumpuh karnaku?

Atau bagaimana jika Rania benar-benar tak terselamatkan?

Beribuan spekulasi mengerihkan muncul dibenakku. Ini gila. Aku penyebab semuanya. Zoya yang bodoh membiarkan ini terjadi. Tuhan tak adil. Ia tak pernah adil padaku. Ia ambil Bunda, lalu Pak Wahab dan kini ia buat sekarat Rania. Rasa benci pada-Nya kian memuncak. Padahal entah apa yang merasukiku sampai aku menyalahkan ini semua karna-Nya.

Berkali-kali tubuh Rania tak stabil selama diperjalanan menuju Central Medica. Sampai akhirnya Rania berhasil dilarikan ke IGD rumah sakit kami dengan cepat. Ia langsung mendapatkan penanganan yang utama karna ia merupakan kerabat dari Central Medica pula. Aku dan Bona langsung mengkontak Dokter Jailani untuk mengoperasi Rania. Kali ini, akanku lakukan segalanya untuk Rania.

“Baiklah, kita harus cepat. Kalian ingin masuk juga?” tawar Dokter Jailani pada aku dan Bona. Aku terdiam begitu juga dengan Bona.

Kupikir kami tak akan sanggup melihat Rania dioperasi di depan mata kami. Hal yang paling kutakutkan adalah aku tak mampu mengkontrol diriku saat terjadi hal buruk selama kami ikut mengoperasinya.

Aku tak akan sanggup ... sungguh.

Aku berdiri di depan pintu operasi dengan was-was memperhatikan mereka mengoperasi Rania. Bertahun-tahun aku kuliah kedokteraan miris rasanya saat aku hanya mampu mematung menyaksikan sahabatku kritis di depan wajahku. Aku benar-benar tak akan mampu memaafkan diriku sendiri jika aku tak mampu menyelamatkan Rania.

“Mbak Zoya...” panggil Alisha yang baru datang bersama Haikal.

Ia menatapku dan langsung memelukku erat tanpa banyak bicara. Dan lagi-lagi aku tak mampu menahan tangisku dalam dekapannya. Kepalaku terasa berat dengan semua peristiwa ini. Sedetik dalam hidupku dapat berubah dratis begitu saja. Baru saja aku tersenyum bahagia dan dengan sekejap tawaku berubah menjadi tangis.

“Ini karnaku ... aku bersalah. Rania, dia ... aku penyebabnya.” kataku di sela tangisku.

“Rania akan baik-baik saja, Mbak. Rania kuat. Dia pasti bisa melaluinya.”

“Tapi—“

“Sttt ... Mbak ingetkan kalau Rania itu wanita yang luar biasa. Dia pekerja keras. Hal ini tak akan melemahkannya. Rania wanita yang paling kuat yang pernah kutemui, Mbak. Dia pasti baik-baik saja.” hibur Alisha.

Padahal aku yakin ia sendiri tak begitu yakin akan ucapannya. Aku tahu cederanya cukup serius. Operasi ini juga memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Air matanya juga ikut larut dalam tangisku.

Hampir 2 jam lebih kami menunggu dengan khawatir. Bona bahkan tak mampu duduk tenang di tempatnya. Aku milih pergi sejenak untuk menguatkan diriku. Aku ingin percaya bahwa Rania akan baik-baik saja. Namun entah mengapa firasatku berkata lain. Saatku ingin berdiri aku mendengar langkah kaki dengan cepat mendekati kami. Lantas semua indra penglihatan kami menyorot sosok itu.

Profesor Ali?

Tak salahkah kumelihat ia berlari terburu-buru menuju ke arah kami?
Kami semua masih tak bergerak memperhatikan raut khawatir dari wajah Profesor Ali. Di belakangnya kulihat Dokter Akbar mengekor dengan beberapa staf rumah sakit. Aku melihat Alisha yang berdiri di sampingku dengan binggung dan ia pun sama halnya denganku.

“Apa operasinya sudah berjalan? Sudah berapa lama? Beritahu dokter yang mengoperasi bahwa aku akan masuk ke dalam.” ucap tegas Profesor Ali pada Dokter Akbar. Beberapa dari mereka pun akhirnya masuk dan memberitahu tenaga medis yang berada di dalam. Tak berselang lama mereka akhirnya masuk ikut mengoperasi Rania di dalam.

Mengapa Profeor Ali masuk ke dalam?

Rania, ada hubungan apakah ia dengan Profesor Ali?

Pikiran itu pun memenuhi isi kepalaku. Dan pertanyaan yang sama itu juga ikut ditanyakan Bona dan Alisha padaku. Tak lama kemudian aku melihat seorang lelaki keluar dari ruang operasi. Lantas aku langsung mencegatnya dan bertanya, “Apa semuanya baik-baik saja?”

“Operasinya masih berlangsung. Profesor Ali dan Dokter Akbar juga ada di dalam ruangan operasi.” tuturnya. Kami menautkan alis kami heran. Kami tahu Profesor Ali memang dokter ahli saraf rumah sakit. Namun apa gerangan yang membuatnya ikut masuk ke sana padahal kami tahu bahwa ia kini bekerja fokus mengurusi management rumah sakit.

“Ah, mungkinkah ini karna kondisi Rania yang benar-benar serius?” sahut Haikal dari belakang. Tiba-tiba saja dia memberikan spekulasi yang membuat jantung kami copot. Aku kembali khawatir dan takut.

“Kalian memangnya tak tahu?” kata lelaki itu lagi pada kami.

Aku kembali bertanya, “Tahu apa?”
“Kudengar tadi pasien yang sedang dioperasi adalah anak dari Profesor Ali. Itu mengapa Profesor Ali terburu-buru datang ke sini. Padahal kupikir dia akan pergi ke Jerman untuk penandatanganan kontrak kerja sama dengan perusahaan farmasi di sana. Kalian tahu kontrak—“

“Rania anak Profesor Ali?!” potong Alisha kaget.

Setelah mengetahui itu semua kami terkaget-kaget. Rania tak pernah bercerita pasal hal itu. Yang kami tahu ia tinggal dengan neneknya yang berada di sekitar rumah sakit ini. Tentang kedua orang tuanya ia tak pernah bercerita. Pernah kudengar isu bahwa kedua orang tuanya meninggal karna kecelakaan mobil sewaktu ia kecil.

Namun benarkah Rania anak Profesor Ali?

Aku berjalan di lobi rumah sakit sambil memikirkan kondisi Rania sekarang. Aku telah membuat seorang anak kehilangan ayahnya beberapa waktu lalu dan sekarang aku berhasil membuat seorang ayah khawatir dengan anaknya.

Benarkah aku adalah pembawa sial?

Lalu mengapa Tuhan membiarkan aku hidup? Kenapa ayah yang brengsek itu tak sekalian membunuhku malam itu? Mengapa tak sekalian saja aku menghilang dari bumi ini jika sekarang aku harus hidup menjadi malaikat maut bagi orang di sekitarku?

“Hey...” sapa lembut seorang lelaki dari sampingku. Aku menoleh dan ternyata itu adalah Haikal. Dia mencekal tanganku karna tanpa sadar aku hampir menabrak pot bunga di depanku. Ia tersenyum lembut padaku.

“Hati-hati...” ujarnya mengkhawatirkanku. Aku benar-benar tak berniat mengobrol dengannya. Langsung aku beranjak pergi darinya dan berjalan ke taman rumah sakit. Dan ia pun mengikutiku.

Aku membalikkan badan dan menatapnya, “Jangan ikuti aku! Pergilah! Tak bisakah kau membiarkanku sendirian. Aku benar-benar tak ingin diganggu sekarang. Ini bukan waktu kau bisa mengangguku.” bentakku padanya dan ia mematung di tempat.

“Gue enggak ngikutin lo. Kita cuma kebetulan berada di jalan yang sama saja.”

Mataku memerah membalas tatapannya yang teduh. Tanganku terkepal menahan emosiku. Aku serasa akan meledak-ledak ketika ia berjalan melewatiku dengan santai dan duduk di kursi taman dengan santai.

Aku memukul dadaku yang terasa sesak. Mengingat aku membentak Haikal membuatku mengingat saat aku membentak Rania. Kurasa sudah sering kali aku memperlakukannya dengan kasar. Dan sekarang aku menyesalinya.

Aku mulai terisak di tengah malam sambil berdiri di tengah taman. Menutupi kesedihanku tampaknya malah semakin memunculkan rasa bersalah dalam diriku. Wajah Rania terbayang-bayang dalam memoriku. Oh bagaimana ini?

Isakku mengelegar di tengah malam. Mataku yang berkaca-kaca tak mampu kesembunyikan. Kakiku terasa lemas sampai perlahan aku mulai merosot jatuh tak berdaya. Kumerasakan uluran tangan membantuku untuk berdiri.

“Gak guna kalau lo cuma bisa nangis. Tangisan lo enggak akan mengubah apapun saat ini. Mau lo nangis sampai nangis darah atau sampe subuh nanti juga lo enggak akan bisa memutar waktu.” kata Haikal sambil menatap lurus mataku yang kosong.

Aku seperti anak kecil yang hanya mampu menangis di depannya. Aku tak seperti Zoya yang angkuh seperti biasa. Sekarang aku seperti wanita lemah yang hanya bisa menangis di depan lelaki yang berhasil membuat jantungku berdebar.

“Lo enggak ngelakukin apa-apa kan buat Rania?”

Pertanyaan Haikal berhasil menyasarkan panah tajamnya tepat dihatiku. Dia benar dan itu kenyataannya. “Iya ... aku yang salah! Aku penyebab semuanya! Aku yang buat dia ngejer aku sampai mobil itu tabrak dia. Dan ... dan ia jatuh gitu aja di depanku! Itu ... benar, aku tak bisa apa-apa di depannya. Tubuhku mati rasa! A-aku ... tak bisa melakukan apa-apa untuknya. Itulah sebabnya aku menangis! Karna hatiku tak mampu menahan semuanya! Dihidupku tak pernah ada yang berjalan dengan benar. Dan ... tahu apa kamu tentangku?!”

“Apa lo akan ngelakuin apapun untuk Rania?”

Aku termenung sesaat, “Tentu ... akan kulakukan segalanya untuk Rania. Akan kulakukan apapun walaupun itu sulit untukku lakukan akan tetap kulakukan untuknya ... segalanya.”

“Berdoa.” ucap Haikal sejurus memandang kedua manik mataku, “berdoalah pada Allah agar ia menyelematkan Rania. Minta pada Allah agar Rania tak apa-apa. Sujudlah dihadapannya dengan tulus untuk kesembuhan Rania ... dan untuk dirimu.”

Petir terasa menggelegar di sekilingku. Bahkan waktu terasa terhenti detik itu juga. Di depanku seorang lelaki yang tak kukenal memintaku bersujud pada-Nya yang begitu kubenci.

Allah, siapakah ia yang mengingatkanku pada-Mu?

***
Akankah Zoya menjemput hidayah yang mengetuk pintu hatinya?

Akankah Zoya bersedia dengan suka rela melupakan masa lalu dan rujuk dengan segala kebencian yang ia miliki.

Hidayah terkadang berkali-kali mengetuk pintu hatimu. Namun terkadang juga kamu yang menutup pintu itu dan menolak hidayah masuk ke dalam hatimu tanpa kamu sadari.

Bersambung
...

Nantikan versi bukunya💙💙💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro