17. Rania
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy Reading!
Senandung angin sore begitu ceria membawa burung-burung terbang rendah. Dahan dedaunan pun berayun-ayun menyapa kesepian malam yang mulai bertandang. Warna jingga mulai tampak menyapu birunya langit. Perlahan daun kering mulai jatuh tertiup angin yang menerpa tanpa perasaan.
Haikal tak mampu berhenti menatap punggung Zoya yang mengayuh sepeda di depannya. Sejujurnya bagi Haikal, Zoya tampak begitu cantik jika ia berbalut dengan hijab. Salah satu bibir Haikal berkedut naik setiap kali membayangkan kembali cantiknya wanita itu. Bahkan jantungnya mendadak berdebar tak karuan saat tak sengaja matanya bertemu dengan binar Zoya.
Perasaannya semakin lama semakin jauh melangkah. Bahkan ingatnya tak ingin memberinya sedikit ruang untuk melupakan Zoya. Penasaraan pun membawanya untuk mengenal lebih dalam wanita itu.
Satu yang selalu ada dibenak Haikal.
Seperti apa kisah Zoya yang sebenarnya?
Namun lamunan itu terhenti ketika Rania melancangi sepedanya dari belakang dengan lagak bak pembalap sepeda. Hampir saja Haikal mengumpatnya jika Haikal tak menahan dirinya. Mereka baru saja beranjak pulang dari rumah Alisha untuk kembali ke villa. Kali ini Alisha tak ikut pulang bersama karna ada beberapa barang yang ini ia ambil di ruma temannya. Kini Rania yang tampak sudah sedikit lebih mahir dari tadi pagi mulai menunjukkan kehebatannya mereka.
Sejenak mereka berhenti di grosir untuk membeli beberapa makanan ringan untuk nanti malam. Rania dan Bona tampak begitu bersemangat namun tidak dengan Zoya yang banyak termenung sejak kejadian tadi. Zoya begitu ingin pulang sampai tak sabar menunggu yang lain.
"Lo gak papa?" tanya Haikal.
"Bukan urusan kamu!" cetus Zoya lalu meninggalkan Haikal begitu saja.
Mendapatkan jawaban ketus membuat Haikal tersenyum menganggukan kepalanya. Batinnya mengatakan Zoya baik-baik saja karna terbukti dari perkataan cetus yang terlontar olehnya.
Malam pun datang. Bukan Haikal dan Bona jika tak saling bersahut bertekak karna masalah sepele. Karna ini adalah malam terakhir mereka mengadakan api unggun di depan villa Alisha.
Zoya duduk diam tak banyak bicara. Pikiran dan hatinya masih saja bergelut. Berdamai dengan masa lalu adalah masalah terbesar Zoya. Apalagi tentang keyakinanya pada masa lalu. Rania yang datang dengan senampan minuman memecahkan suasana. Semuanya jadi berisik dan menghancurkan mood Zoya.
"Dokter Zoya mau—"
"Enggak!"
Rania langsung membeku di tempat dibentak oleh Zoya. Bona dan Haikal pun terdiam suasana pun mendadak hening. Zoya memejamkan matanya lalu bangkit meninggalkan mereka tanpa suara.
"Dokter Zoya!" panggil Rania namun tak digubris oleh Zoya. Rania pun merasa bersalah dan bertanya pada hatinya adakah salahnya pada Zoya? Mungkinkan Zoya marah padanya? Lantas ia pun mengejar Zoya yang sudah tampak jauh dari pandangannya.
Entah dirinya yang lambat mengejar Zoya atau Zoya yang terlalu cepat menghilang kini Rania kehilangan jejak Zoya. Terakhir ia melihat Zoya yang berjalan keluar villa. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tampak tak ada satu orang pun. Mungkinkah Zoya keluar areal villa?
Rania melihat sepeda berjejer di depannya. Tanpa ragu ia mengambilnya dan mengayuhnya keluar areal villa dan menelusuri keberadaan Zoya.
Pasalnya Rania takut Zoya marah lagi padanya namun yang lebih ia takutkan oleh Zoya seperti dulu yang tak sadarkan diri dan mengalami halusinasi seperti orang yang kehilangan arah. Rania juga tak suka dan merasa tak nyaman jika ada orang yang marah padanya.
Sementara itu Zoya berjalan di jalanan yang menurun berusaha mencari udara segar. Dadanya begitu sesak sampai pikirannya kacau. Ia juga tak bermaksud memarahi Rania tadi namun entah kenapa emosi Zoya sulit terkendali. Kakinya terus melaju tanpa arah dengan pikiran kosong sampai tak sadar dengan suara klaskon mobil di depannya.
Tin!
Zoya terkejut dan langsung menepi. Ia hampir saja tertabrak.
Di tempat lain pun, Rania sedikit kesulitan mengayuh sepedanya. Ia berhenti sejenak melihat ke sekeliling. Dan saat itu kedua indra penglihatnnya melihat keberadaan Zoya.
"Dokter Zoya!" teriaknya namun tak terdengar oleh Zoya.
Zoya menoleh ke belakang mendengar suara tak bersumber. Ia mencoba menghiraukannya dengan berjalan lagi sambil menatap langit yang penuh dengan bintang. Tiba-tiba kunang-lunang muncul di depannya dengan cahaya terangnya. Dan ia membuat termenung sesaat.
Suara itu mirip dengan ... Rania?
Dengan semangat Rania mengayuh sepedanya sampai tanpa sadar ia melaju terlalu kencang pada jalanan menurun.
Awalnya terasa menyenangkan bagi Rania. Sepedanya terasa melaju begitu cepat sampai angin malam meniup jilbab dan bajunya begitu kencang. Namun mendadak Rania kewalahan mengkontrol laju sepedanya. Laju sepedanya mulai tak terkendali.
"Loh, kok gini?!"
Samar-samar ia melihat cahaya lampu mobil di depannya. Jantungnya berdegub kencang. Ia berusaha mengerem namun sama sekali tak berfungsi bahkan kini ban sepedanya sudah oleng karna fokus Rania yang pecah. Sampai klakson mobil membuat Rania menjerit kuat.
"AKHHHH!!!!"
BRUK!
Zoya menjerit, "RANIA!!!"
***
Zoya benar-benar merasa familiar dengan suara itu. Benarkah itu Rania? Ah, ataukah hanya firasatnya saja karna ia baru saja memarahi Rania. Namun semakin mencoba untuk menghiraukannya malah semakin Zoya penasaran.
Ia membalikkan badannya mencoba berjalan mencari sumber suara itu yang sangat ia yakini adalah Rania. Matanya menerawang ke depan dengan cahaya yang minim.
Namun waktu terasa terhenti ketika ia melihat sosok yang ia kenal melajukan sepeda dengan begitu kencang dengan sebuah mobil yang ikut melaju ke arahnya.
Bibir Zoya terbuka mencoba menjerit namun tertahan tak bersuara.
"AKHHHH!"
BRUK!
Sampai suara yang begitu keras membuat mata Zoya tak mempu berkedip melihat tubuh mungil pengendara sepeda itu melambung seolah terbang lalu jatuh dengan keras membentur aspal. Kemudian tak bergerak sama sekali.
Seolah petir menyambar dengan gemuruh menghentak bumi begitu keras. Napas Zoya tecekat dengan air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Jantungnya merosot jatuh, kakinya yang tak mampu menompang tubuhnya langsung membuat Zoya jatuh terduduk. Tangannya bergetar ketakutan dan dada Zoya sesak.
Zoya terisak dan menjerit kuat, "RANIA!!!"
Secepat kilat Zoya bangkit dan berlari kencang menghampiri tubuh Rania. Rambut Zoya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan anak rambut yang ikut tertiup angin malam. Bibir Zoya bergetar bahkan seluruh tubuhnya luruh jatuh melihat Rania terbaring di hadapannya.
"Ra ... rania." gagap Zoya.
Air mata Zoya jatuh berguguran tanpa henti. Ia tak mampu bernapas dan berbuat apa-apa melihat sosok Rania yang tak mampu bergerak di depannya.
Zoya memegangi kepalanya binggung dan matanya bergerak tak jelas ketakutan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Padahal diirnya adalah seorang dokter yang biasa berkerja di lapangan dengan keadaan darurat seperti ini.
Namun ini berbeda, ia melihat sosok yang ia kenal sekarat di depannya. Ini pukulan telak yang membuat Zoya tak sanggup bergerak sedikit pun. Perlahan Rania mulai kesulitan bernapas dengan matanya yang mulai sayup-sayup.
Zoya mulai panik, "RANIA! LIHAT SAYA!"
Mata Rania mulai berkedip-kedip tak pasti.
"Rania kamu harus sadar! Lihat saya! Kamu kenal saya?!" tanya Zoya mulai memastikan tingkat kesadaran Rania.
Rania sedikit menyunggingkan senyumnya, "Dok-dok ... dokter Zo..."
Rania tak sanggup menjawabnya karna ia merasakan sakit yang luar biasa. Napas Zoya memburu. Dahinya berkeringat dingin dan tangannya bergetar hebat. Ia menarik napasnya panjang dan menghapus air matanya.
Zoya mulai menganalis keadaan Rania.
Benturan itu pasti begitu kuat. Rania bersepeda dan jatuh begitu keras. Beberapa rusaknya pasti patah. Hal yang paling Zoya takutkan adalah kepala Rania yang terbentur tanpa helm pengaman saat ia bersepeda.
"Coba gerakin kaki dan tangan kamu." titah Zoya dengan napas senggugukan.
Rania mencoba mengerakkannya namun Zoya tak melihat kaki atau tangannya bergerak barang kali sedikit pun. Tangis Zoya langsung pecah dan air matanya langsung banjir.
"Dok ... dokt—"
"JANGAN BICARA!" bentak Zoya pada Rania yang mencoba berbicara, "jangan coba-coba gerakan lehermu dan bicara padaku! Jangan lakukan!!!" sambung Zoya tak ingin dibantah.
Dengan tangan bergerak Zoya menelpon ambulan lalu menghubungi Bona. Tak berselang kemudian Bona datang menghampiri mereka dengan Haikal yang tampak jelas wajah keterkejutan mereka. Bona tampak tak jatuh berbeda dengan Zoya yang khawatir namun Bona terlihat jauh lebih tenang. Zoya benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa.
***
Di dalam ambulan Zoya terus menangis sambil memegangi tangan Rania. Rania dalam kondisi yang tak baik-baik saja namun ia masih sadarkan diri. Bona terus meminta supir untuk berkendara lebih cepat. Sekarang mereka menuju rumah sakit di dekat kota.
Zoya menatap Bona di depannya, "Bo-bona ... tulang lehernya Rani—"
Belum sempat Zoya melanjutkan perkataanya, Rania yang terbaring dengan meleher mengunakan penompang terlihat kesulitan bernapas bahkan memuncratkan darah dari mulutnya.
Rania tak bisa bernapas!
Zoya tampak panik.
"Ambilkan stetoskop!" perintah Bona. Lalu ia pun menghela napas, "Kita harus cepat sampai rumah sakit."
Setelah sampai di IGD, dokter rumah sakit memeriksa Rania. Zoya mencoba masuk namun tak diberi izin, bagaimana pun ini bukan Central Medika. Zoya dan Bona berada diluar kuasanya. Namun bukan Zoya jika tak berbuat sesukanya. Dia tetap bersikukuh menemani Rania. Sementara Bona mencoba menghubungi rumah sakitnya.
Tak lama kemudian Zoya dan Bona berada mendapatkan hasil pemeriksaan dari sang dokter. "Kami sudah mengeluarkan darah dalam paru-parunya. Ini adalah hasil CT-SCAN pasien."
Bona dan Zoya langsung melihat hasilnya. Sang dokter mulai melanjutkan perkataanya dengan ragu, "karna retak ditulang belakang pasien bisa mengalami kelumpuhan. Dia harus dioperasi. Tapi—"
"Tapi kenapa?!" sentak Bona.
"Tak ada dokter saraf di rumah sakit ini."
Zoya memejamkan matanya. Ia baru sadar ini bukanlah rumah sakit besar. Rumah sakit tentu tak memiliki perlengkapan yang lengkap dan dokter yang banyak. Hal yang paling disesali Zoya adalah dirinya yang tak mampu berbuat apa-apa. Ia dan Bona bukan dokter spesialis saraf. Karna Rania mengalami cedera di tulang leher ia membutuhkan dokter ahli saraf.
"Bisakah kita membawa Rania ke rumah sakit kita?" usul Zoya cepat.
"Jarak rumah sakit cukup jauh itu penuh dengan resiko!" protes sang dokter.
Bona menegakkan punggungnya, "Ayo cepat kita bawa Rania!"
Ini adalah keputusan ternekat mereka.
Bersambung
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro