Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Arah

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••

Aku berdiri bersandar di pintu mobil Bona yang sudah kehilangan energi sejak tadi. Beberapa kali aku menendang ban mobil itu kesal karna tak mau diajak kompromi. Kupikir ini akan menjadi hari yang menyenangkan tapi apa? Dasar mobil jelek! Sama seperti yang punya!

“Dokter Bona gimana sih, masak bisa mogok?” tanya Rania ikut kesal pula. Aku melirik malas Bona yang sedang menggaruk tenguknya. “Hiya, bercakap pulak kau macam itu. Kalau tau ini bakal mogok pasti aku tak akan bawa mobil ini!” jawab Bona bernada jengkel.

Entah apa yang mereka lakukan bahkan sampai 30 menit kuda besi itu masih saja tak bisa dihidupkan. Apa aku harus mengancamnya dengan pisau bedahku? Ah, suntik saja dia biar tahu rasa! Tunggu, ini gila. Aku dokter bukan montir. Kurasa semakin sering aku bergaul dengan Bona aku jadi ikut ketularan begonya dia.

Alisha sejak tadi sudah menelpon bengkel namun mereka bilang sudah diperjalanan. Dijalan mana sih? Kurasa banyak sekali jalan di kota ini. Si bocah gendut ini pun tak tahu apa-apa tentang mobil mungkin dia hanya hafal bagian tubuh manusia saja.
Tintin!

Bunyi klakson keras yang berasal dari mobil hitam ternyata bersumber dari belakang kami. Tampak mobil itu berhenti tepat di depan mobil Bona. Sontak kami berempat terfokus pada mobil itu. Siapakah dia?

Cuaca siang begitu terik sampai saat seorang pria turun dengan jaket hitam dan kacamata hitam yang bertengker di hidungnya. Sekilas aku tak mengenalnya, cahaya matahari cukup menyilaukan mataku. Bahkan aku menyipitkan mataku untuk dapat melihat dengan jelas.

Dia berjalan kearah kami namun aku masih belum mengenalinya. Sampai perlahan aku mati rasa berdiri di tempat tak bergerak sama sekali. Dia menyunggikan senyumnya padaku. Aku tahu dia siapa sekarang.

Bocah berandal itu!

Haikal!

“Haii...” sapanya pada kami berempat. Dia melambaikan tangannya memandangi kami satu persatu. Dan satu hal yang dapat kupastikan bahwa ia menatapku cukup lama berbeda dengan durasinya menatap yang lain. Aish, dasar bocah tengik!

“Wah mafia!” celetuk Rania tanpa sadar. Sedetik kemudian dia langsung membungkam mulutnya. Yah, coba lihat penampilan bocah ini. Dia memakai jas kulit hitam lengkap dengan kacamata hitamnya itu. Apa warna hitam itu warna favoritnya? Dia selalu memakai pakaian hitam. Kupikir dia pergi melayat tiap hari.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona Manis?” tanyanya.

Hwek!

Aku sangat membenci caranya berbicara itu. Alisha menceritakan semuanya pada Haikal. Oh tidak, kumohon semoga ia tidak menolong kami. Aku tak ingin terlalu lama berada di dekatnya. Karna ada hal yang lain yang kurasakan dalam diriku ini.

“Oh ya? Kebetulan gue juga mau ke puncak. Gue ada beberapa urusan di sana.” sahutnya sambil sesekali tersenyum tipis ke arahku. Aku menghentak kakiku geram. Aku tak ingin berpergi bersamanya!

“Wah, rezeki Zoya nih kita dapet tumpangan sama tuyul satu ini.” celetuk Bona sambil menepuk-nepuk punggung Haikal dengan keras tanpa dosa. Haikal pun menolak dengan kasar. Dan Alisha hanya mampu tertawa melihat tingkah mereka. Kupikir lebih bagus jika Bona menepuknya dengan sangat kuat.

“Emang kamu ada urusan apa di sana?” tanya Alisha saat kami sedang memindahkan barang-barang dari mobil Bona ke mobil Haikal. “Gue mau ambil sayuran dari kebon gue yang ada di puncak. Kebetulan stok di restoran gue udah pada habis. Sekalian gue ketemu sama seseorang di sana.” jawab Haikal.

Aku berani bersumpah aku tak menguping pembicaraan mereka. Aku hanya sekilas mendengarkan mereka saja. Saat aku beranjak masuk ke dalam mobilnya aku langsung mengambil posisi dipinggir sebelah kiri. Haikal tampak menatapku dari sejenak lalu secepat mungkin kupalingkan wajahku darinya.

Sepanjang jalan aku hanya menatap keluar jendela mobil. Aku membisu tak bersuara sama sekali. Lagipula semakin lama rasa kantuk menghantuiku. Lama kelamaan mataku terasa berat seperti tertimpa jutaan besi sampai akhirnya aku sudah terlelap dalam tidurku.

***

Mobil hitam Haikal berhenti di pom bensin untuk mengisi bahan bakar yang sudah tampak menepis pada spidometer mobilnya. Alisha dan Rania pergi ke toilet sedangkan Bona pergi membeli beberapa makanan ringan di supermarket dekat pom bensin. Dan menyisahkan Haikal bersama Zoya yang tertidur di dalam mobil.

Dengan usil Haikal menurunkan kaca mobil tempat Zoya menyandarkan kepalanya. Alhasil kepala Zoya terjulur keluar saat kaca mobil itu semakin lama semakin turun ke bawah. Sontak Zoya terbangun dengan rasa kaget. Dan hanya menertawakan Zoya diam-diam.

“Kamu sengaja ya?!” seru Zoya bernada tak suka. Siapa yang tak akan marah jika diperlakukan seperti itu. Apalagi bangun dengan posisi terkejut pasti sangat menyakitkan. “Makannya lo jangan tidur aja! Temen-temen lo pada ke toilet tuh. Kali aja lo mau ikut.” balas Haikal.

“Makasih atas perhatiaan Anda, Tuan Muda!” kata Zoya lalu keluar dari mobil Haikal. Zoya yang masih belum sadar dari tidurnya terpaksa sempoyongan pergi ke toilet.

Haikal melihat punggung Zoya yang menjauh dari pandangannya. Terbesit dalam hati Haikal sebenarnya bagaimana kehidupan Zoya yang sesungguhnya?

Haikal ingat bagaimana Zoya menangis usai operasi Pak Wahab gagal. Bagaimana Zoya menuduh Allah tak adil pada dirinya. Menghakimi dirinya sendiri sebagai penyebab dari segala ketidakberuntungan dalam dirinya. Dan Haikal jadi semakin penasaran akan masa lalu Zoya.

Mungkin karna Haikal pernah seperti Zoya. Tak mengenal Tuhan dan tak paham agama. Mungkin Zoya tersesat dan kehilangan lampu penujuk arahnya dan Haikal tahu bagaimana rasanya. Karna sesungguhnya Haikal pernah seperti Zoya.

“Mungkin kisah gue lebih parah dari lo, Zoya...”

***

Udara sejuk langsung menebus lapisan kulit Zoya yang hangat. Pipinya terterpa angin pengunungan yang dingin. Sepanjang mata memandang hamparan pohon hijau menyambut dirinya. Dahan pohon yang rimbun seolah melambaikan tangannya pada Zoya.

“Ini villa kita.” kata Alisha saat mereka turun dari mobil. Haikal, Bona, Rania dan Zoya langsung memonitor sekitar. Indra penglihatan mereka langsung takjub dengan keindahan villa ini.

“Ini villa siapa?” tanya Zoya polos. Rania memandanginya tak berkedip membuat Zoya terheran. “Ini villa Dokter Alisha. Dokter Zoya gak tau?” sahut Rania tak percaya. Zoya menggelengkan kepalannya.

“Ini tuh kampung halaman Dokter Alisha, Dokter Zoya. Dokter Alisha ajak kita liburan ke rumah dia. Villa ini punya keluarga Dokter Alisha. Nah, diujung jalan sana itu rumah orang tua Dokter Alisha.” jelas Rania secara rinci. Zoya menganggukan kepalanya paham.

“Ayo masuk,” ajak Alisha. Zoya pun mengikuti dari belakang disusul dengan Rania. Dan saat Bona bergerak ikut Haikal langsung mencekalnya.

“Lo mau kemana?” tanya Haikal.

“Masuklah...”

“Gak tau diri lo ya! Barang-barang lo tuh.”

“Hiya, jadi apa gunanya kau di sini?”
Secepat kilat Bona langsung berlari mengikuti rekannya yang sudah masuk ke dalam villa. Rupanya Haikal kalah cepat dengan Bona. Ia mengerutu kesal melihat banyaknya bawaan para dokter itu.

“Gila, sejak kapan gue jadi babu mereka?” tanya Haikal bergidik ngeri melihat bagasi mobilnya sendiri.

Selang beberapa lama kemudian pinggang Haikal terasa nyeri hebat. Ia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di villa. Bukan main lelahnya membawakan barang-barang itu. Jika tahu dirinya akan jadi seperti ini lebih baik ia tinggal saja tadi mereka di pom bensin.

Bona berjalan mendekati Haikal yang kelihantan sangat lelah. “Alamak baru angkat segitu aja udah encok kau! Opungku saja kalau disuruh angkat barang-barang itu masih sanggup, nah, ini—“

“Opung gigi lo!” potong Haikal kesal. Dan Bona tertawa terbahak-bahak.
“Ketawa deh sebahagia lo aja!” kata Haikal sinis.

“Ini buat kamu.” Tiba-tiba Alisha muncul dari belakang dan langsung memberikan sebotol air mineral pada Haikal. Bahkan sekarang Haikal meminumnya sampai kandas tak bersisa sama sekali. Alisha terkikik kecil melihat Haikal yang begitu lelah.

“Maaf temen-temen saya ya. Mereka memang keteraluan gak bantuin kamu tadi padahal kamu udah nolongin kami semua.” kata Alisha dengan lembut. Haikal tersenyum tipis, “Ahhh, gak papa kok. Gue ikhlas anggap aja gue lagi baik hari ini.” ujar Haikal.

“Oiya, nanti malam kita mau buat makan-makan di sini. Kamu datang ya. Anggap aja ucapan terima kasih kami sama kamu karna udah nolong kita, ya kan Bang Bona?” Alisha melempar tatapan pada Bona. Bona memandang setengah hati pada Haikal, “Yah ... bolehlah ajak dia.”

“Datang ya...” bujuk Alisha. Haikal diam sejenak, “God willing!

Selepas itu Haikal kembali ke parkiran mobilnya. Ia harus pergi menemui seseorang di sini karna memang itu tujuan awalnya. Namun sebelum ia kembali ke parkiran, tanpa sengaja ia melihat Zoya yang sedang berdiri sendiri mandang lurus pada pemandangan bukit di depannya.

Haikal dapat melihat pandangan kosong pada mata Zoya. Haikal diam sejenak tak berkutik mengikuti alunan dalam diri Zoya yang ia rasakan seperti terombang-ambing dalam lautan kegelapannya. Tanpa ia sadari Zoya mengalihkan pandangannya pada arahnya lain. Dan itu pada dirinya. Zoya memandang Haikal dan Haikal melihat satu titik dimata itu. Saat itu Haikal tahu, Zoya sama seperti dirinya.

Kehilangan arah...

***

Mobil Haikal sedikit terguncang ketika berjalan pada jalan yang berbatuan. Jalan itu tampak sepi dengan suasana sore yang mulai mendung. Tampaknya sang surya enggan bersinar menunjukkan jingganya pada sore hari ini. Lampu mobil Haikal menyorot sosok lelaki yang berdiri bersama sepeda motor diujung jalan sana.

Mobil Haikal berhenti. Sosok lelaki bertopi hitam itu mendekat ke mobil Haikal. Meskipun suasana sudah tampak seperti malam namun dijalan yang cukup kecil itu Haikal masih dapat melihat jelas wajah lelaki bertopi dengan codet di pipi kirinya.
Haikal menurukan kaca mobilnya, “Gimana? Lo bawa barangnya?”

Lelaki itu menganggukan kepalanya dan mengeluarkan bungkusan dari saku celananya

Bersambung

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro