Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Aku pembunuh

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم

Happy Reading!

•••


Aku terduduk sendirian dengan tangan yang bergemetar ketakutan. Jantungku berdegub begitu kencang bahkan dadaku sesak memikirkan apa yang telah kulakukan tadi. Ini semua pasti mimpi. Kumohon siapapun tolong bangunkan aku sekarang.

“Bodoh. Apa yang telah kulakukan?” gumanku bernada getir.

Bahuku naik turun menghalau setiap isakan. Aku penyebab semuanya. Pak Wahab meninggal karnaku. Tanpa terasa air mataku tumpah. Aku terpejam meresapi setiap rasa sakit yang memukul hatiku begitu keras. Isakan pun lolos dari bibirku. Butiran air mata itu tak ingin berhenti meskipun aku melawan sekuat tenagaku.

“Bunda...” lirihku dalam sela tangisanku.

Aku menutup telingaku berusaha menghentikan semua suara yang berteriak-teriak dalam kesunyian.

Aku bukan pembunuh! Aku berani bersumpah aku tak sengaja. Bukan aku penyebab itu semua. Tapi, aku, tetap bersalah.

Aku kebingungan sekarang. Zoya yang begitu malang. Kesedihan dan penderitaan selalu saja menjadi teman baikku. Air mataku terus mengalir deras tanpa mau berhenti. Aku sungguh bersyukur kantin rumah sakit ini sunyi tanpa ada satu orang pun.

Aku rindu Bunda.

Bunda, bantu aku.

Bukan aku yang menyebabkan semuanya. Bunda, aku ketakutan, peluklah aku. Biarkan aku bersembunyi dalam dekapanmu yang hangat.

Bunda, engkau bilang jika ada yang membuatku takut maka engkau akan menumpasnya. Tapi sekarang dimana Bunda?!

Bunda, aku bukan pembunuh.

Aku ingat bagaimana wajah saat pertama kali bertemu dengannya. Tatapannya yang teduh dan suara yang lemah lembut membuatku semakin merasa bersalah. Aku tak percaya, sungguh-sungguh tak percaya bahwa sekarang ia sudah tiada. Dan itu semua karna tangan sialan ini.

“Nak, semua insan yang hidup adalah milik Allah. Dia adalah penguasa bumi dan langit. Allah yang mengatur apapun di dunia ini. Saya adalah miliknya. Jika nanti ter—“

“Semua akan baik-baik saja.” potongku cepat.

Pak Wahab tersenyum, “Saya amat percaya padamu, Nak. Dengarkanlah ini, jika nanti Allah ingin lelaki tua ini menghadap pada-Nya maka katakan pada putriku bahwa ayahnya ini sangat menyayanginya. Dan aku benar-benar beruntung sempat bertemu dengan dokter berhati mulia sepertimu. Ayahmu beruntung memilikimu, Nak.”

Zoya bodoh!

Apa yang telah kulakukan?

Aku memandang kedua tanganku nanar. Karna kedua tangan inilah aku kehilangan sosok yang sudah kuanggap sebagai ayahku. Karna tangan inilah aku memisahkan seorang ayah dari putrinya dan seorang putri dari ayahnya. Dan karna tangan inilah aku menjadi malaikat maut bagi pasienku sendiri.
Mataku bergerak resah dengan tangan yang bergetar sejak tadi, “Ini semua karnamu Zoya! Aku pembunuh! Seharusnya aku tidak melakukan operasi itu! Seharusnya aku tak pernah bertemu dengan Pak Wahab! Seharusnya aku tak pernah berjanji pada Andriana!”

Andriana. Apa yang harus kukatakan padanya?

“Dokter Zoya sendiri yang akan mengoperasi Ayah kan? Tangan Dokter Zoya yang akan menyembuhkan Ayah kan? Iya kan?”

“Ayah bilang Dokter Zoya sangat baik. Berkat Dokter Zoya Ayah memberitahu saya perihal sakitnya. Jika tidak karna Dokter Zoya, pasti sampai sekarang saya tak akan pernah tahu kalau Ayah sakit. Tolong selamatkan Ayah saya. Ayah satu-satunya yang saya miliki di dunia ini.”

“Ayah adalah satu-satu lelaki di dunia ini yang tak akan pernah menyakiti saya. Dia perisai kehidupan putrinya. Ayah tak pernah meminta apapun selain kebahagian saya, malah dia mengorbankan apapun untuk saya. Dia guru yang terbaik dari semua guru. Dia Ayah tersayangku.”

Kepalaku tertunduk sampai menyentuh meja. Apa salahku sampai aku mendapatkan siksaan ini? Apakah salah jika kuingin menyelamatkan Pak Wahab? Apakah salah aku menjadi dokter yang mengoperasi dirinya? Apakah aku salah?!

“Angkat kepala kau, Zoya Raizel!”

Aku terdiam. Isakkanku terhenti. Suara itu, aku mengenalnya. Perlahan aku mengangkat kepalaku dan saat itu juga mataku bertemu dengan kedua manik mata Bona di depanku.

Dia berdiri dengan sanggar menatapku tajam amat sangat berbeda sekali cara ia menatapku sekarang.

“Dokter bodoh!” bentaknya keras.

Aku tersentak. Mataku tak berani membalas pandangannya. Dia memplototiku selayaknya aku adalah santapan lezat baginya.

Tidak! Seorang Zoya tak akan pernah takut pada apapun. Zoya itu kuat, dia pemberani. Jadi aku tak boleh terlihat lemah sedikit pun. Dan aku pun kembali memandang dua bola matanya.

“Kau!” Dia menunjukku dengan telunjuknya, “gara-gara orang bodoh macam kau ini semua orang dalam bahaya! Pakai otak kau, Zoya! Kesalahan fatal yang kau buat melukai pembuluh darahnya. Kesalahan paling bodoh yang pernah seorang Zoya Raizel. Mereka semua bilang Zoya adalah master dalam ruang operasi. Tapi, itu semua omong kosong!

“Seseorang yang seharusnya selamat dan bisa kembali sehat malah hilang dari dunia ini karna dokter gak berguna kayak kau! Kau dengar itu?! Pendonor pun dalam bahaya gara-gara diri kau itu. Aku gak pernah habis pikir dengan kau itu! Biarku beri satu hal sama kau, biar mikir yang ada di kepala kau itu! Zoya adalah penyebab semuanya! Semua ini karnamu!”

Bona menendang mejaku sekuat tenaganya sampai meja itu jatuh terbalik dan menciptakan suara yang begitu keras. Aku sempat menahan napasku beberapa detik saat itu. Sampai Bona pergi meninggalkanku sambil mengumpat kesal. Dengan kesunyian air mataku jatuh tanpa kusadari.

Dia benar, aku seorang pembunuh. Aku hanyalah malaikat maut yang menjelma sebagai tangan Tuhan.

Mereka bilang aku adalah peri yang menolong mereka menghalau semua rasa sakit yang mereka derita namun nyatanya akulah penyebab rasa sakit itu sendiri.

Zoya adalah seorang pembunuh. Dan itu benar. Kenyataan yang coba aku sembunyikan dari diriku sendiri ternyata sebuah kebenaraan. Aku juga yang telah melakukan itu semua pada Bunda. Aku ... seorang pembunuh.

Aku termenung sampai tak sadar Alisha sudah berjongkok di depanku. Dia tersenyum hangat menghapus air mataku. Ia mengangkat kembali meja yang dijatuhkan Bona dan mengambil kursi duduk di depanku.

Aku masih membisu menolak menatap dirinya. Sekarang aku benar-benar terlihat lemah sekali. Dan untuk pertama kalinya Alisha melihat kumenangis seperti ini. Kuyakin mataku pasti merah dan sembab.

Lah tahzan, Mbak Zoya.” ujarnya lembut. Aku menatap dalam diam dirinya. Dia mengambil kedua tanganku dan mengenggamnya erat. Bahkan sekarang aku merasakan dirinya sehangat Bunda.

Alisha mengusap tanganku lembut sambil berkata, “Allah tak akan pernah memberi ujian diluar batas kemampuan hambanya. Percayalah, Dia Tuhan pemilik seluruh jagad raya ini amat mencintai setiap hambanya. Ia berikan sebuah ujian agar kita selalu mengingat-Nya. Dia limpahkan sakit dihatiku sebab Dia rindu kita bersujud dihadapanya.”

Entah ada apa dengan hatiku sampai aku merasakan ada yang menyentuh ke dalam lubuk hatiku. Sampai aku pun tak sanggup menahan isakanku. Sontak dengan kasar aku menepis tangannya.

“Aku tak pernah rasa kasihanmu itu! Pergiiii!” jeritku.

Alisha kaget. Sedetik kemudian ia tersenyum sambil menghela napas panjang. Dia perlahan pergi meninggalku yang sudah terbakar api kemarahan. Mendengarkan ia membicarakan Allah membuatku geram. Ini semua karna-Nya.

Aku melipat tanganku di meja dan membenamkan kepalaku di sana. Tiba-tiba sebotol susu coklat tergeletak di atas mejaku.

Sontak aku langsung mendongak melihat siapa itu. Dan ternyata itu adalah Rania.

Rania masih di rumah sakit pada pukul segini? Hijab hijau daun yang menyatu dengan senyum manisnya mampu menghipnoptis siapa saja. Dia sempat tertunduk tak berbicara selama beberapa detik. Dia hanya mematung dan aku pun terdiam.

“Jangan mendzalimi diri sendiri, Dokter Zoya.” katanya begitu lantang. Aku membuang wajahku kearah lain menolak secara tegas keberadaan ini di dekatku. Percayalah, aku sedang tidak dalam mood yang bagus.

“Rania enggak mau bilang ini bukan salah Dokter Zoya. Nyatanya ini memang kecelakan medis yang Dokter Zoya buat sendiri. Rania paham Dokter Zoya pasti ingin melakukan yang terbaik untuk setiap pasien Dokter Zoya. Rania tidak pernah marah sedikipun saat Dokter Zoya menampar Rania waktu itu. Malah, Rania sangat berterima kasih sama Dokter Zoya. Berkat Dokter Zoya, Rania paham bahwa selama ini Rania masih menganggap remeh pekerjaan Rania sebagai perawat. Selama ini Rania masih belum bisa menjadi perawat yang baik.” sambung Rania.

Jika ia mengatakan dia belum bisa menjadi perawat yang baik, maka apa kabar dengan diriku? Apa aku sudah menjadi dokter yang baik? Ah, tunggu. Sebenarnya apa arti dokter yang baik itu?

“Tindakan Dokter Zoya pasti akan ditindak lanjuti. Tindakan dispiliner pasti menunggu Dokter Zoya. Tapi percayalah, Rania akan selalu mendukung Dokter Zoya dari belakang.” katanya lalu berlalu pergi.

Aku memandangi sebotol coklat susu itu. Aku pun bangkit mengambil pemberian Rania itu dan membuangnya ke tempat sampah lalu berjalan menegakkan punggungku serta mengangkat dagu.

Dan di sinilah aku di depan sebuah mesjid dalam rumah sakit central medika. Tanganku terkepal kuat dengan sorot mata berapi-api. Sungguh, aku semakin membenci-Nya. Dia selalu mengambil apa yang ada di sekitarku.

“Sudah puas? Engkau telah mengambil semuanya. Apakah Engkau masih kurang puas dengan ini semua? Engkau tunjukan semua kekuataanmu dan aku tak bisa melakukan apa-apa. Apa itu sudah membuat Engkau puas?! Yah, Engkau menang! Dan aku kalah!”

Butiran air mata itu luruh dan meluncur bebas membasahi pipiku, “Aku yang tak akan pernah membiarkan-Mu memisahkan dia dengan putrinya malah menjadi alasan mereka tak akan pernah bertemu lagi! Aku kalah. Engkau mengambil dia dan menjadikan Zoya-Zoya yang lainya tumbuh. Aku benar-benar membenci-Mu! Engkau tak pernah membiarkanku bahagia sedikitpun!” Kakiku yang lemas menompang tubuh langsung terduduk tak berdaya. Aku pun menangis sejadi-jadinya menepuk-nepuk dadaku yang begitu nyeri.

***

Dan Zoya tak pernah tahu bahwa saat itu juga Haikal berdiri dari kejauhan memantau dirinya yang menangis senggugukan tanpa henti. Selalu ada saja yang menarik Haikal kearah Zoya. Dan Haikal baru tahu jika Zoya sangat membenci Tuhan yang menciptakan dirinya sendiri.

***

Pemakaman telah dilakukan beberapa hari yang lalu. Dan kini tindakan disipliner Zoya telah ditetapkan. Zoya amat sangat beruntung lisensi dokter bedahnya tak dicabut. Dia bahkan tak dikeluarkan dari rumah sakit central medica.

Padahal tindakan Zoya murni kesalahan dirinya sendiri. Menjadi dokter nyawa taruhan. Dan Zoya merasa gagal menjadi seorang dokter.

Dan Zoya juga tak pernah tahu bahwa Dokter Akbar merendahkan dirinya dirapat agar tidak melakukan itu pada dirinya. Dokter Akbar mengeluarkan semua koneksinya untuk menolong Zoya. Walaupun Dokter Akbar bertindak sebaliknya dihadapan Zoya. Tapi bagaimana pun juga Dokter Akbar sudah menganggap Zoya sebagai anaknya sendiri.

Zoya dilarang keras memasuki ruang operasi sampai batas waktu yang tak ditentukan. Itu berarti ada kemungkinan Zoya tak akan pernah memasuki ruang operasi untuk selama-lamanya.

Jika Zoya keluar dari rumah sakit ini pun ia tak akan pernah diterima dimana pun karna sejujurnya kejadian ini sudah sedikit tembus keluar dinding rumah sakit walaupun tidak dijelaskan secara terang-terangan dan hanya satu dua yang mengetahui.

Gaji Zoya dipotong. Ia ditempatkan di IGD dimana shift kerjanya menaik dua kali lipat. Untunglah, masalah kecelakaan medis yang Zoya buat tidak masuk ke meja hijau. Andriana memaafkannya dengan sukarela dan menerima semuanya dengan lapang dada. Meskipun awalnya sulit bagi Andriana.

“Andriana percaya Ayah sudah baik-baik saja di sana. Andriana senang jika Ayah tak perlu merasakan rasa sakit lagi. Ayah pasti sedang tersenyum di surga sana. Andriana baik-baik saja. Ini semua sudah qadarullah-Nya, Andriana ikhlas. ” kata Andriana lirih menatap Zoya lembut.

Terbuat dari apakah hatimu, Andriana? Cantiknya berlian pun kalah dengan tulusnya hatimu.

Kematian adalah takdir yang akan dilalui oleh semua manusia yang hidup dimuka bumi ini. Tak peduli seberapa jauh berlari dari tali kematian, toh, ia akan tetap menjemputmu dimanapun, kapanpun, dan kepada siapapun.

“Jangan terlalu menyakiti diri Dokter Zoya. InshaAllah, ini semua yang terbaik untuk kita semua. Jangan menyalahkan diri Dokter Zoya untuk ini semua. Andriana percaya Dokter Zoya melakukan yang terbaik untuk Ayah. Manusia ini hanya mampu berusaha dan berdoa. Setelah itu, semuanya berada diluar jangkauan manusia lagi.” ujar Andriana sambil memeluk Zoya sebelum ia keluar dari rumah sakit.

Zoya benar-benar tak mampu menahan air matanya. Ini memalukan! Zoya benar-benar malu dengan kedewasaan dan keikhlasaan gadis ini. Umurnya jauh lebih muda dari Zoya namun ia bertingkah begitu dewasa melebihi Zoya.

“Maaf.” Itulah satu kata yang mampu Zoya ucapkan dengan lirih.

“Semoga Allah selalu menjaga Dokter Zoya.” balas Andriana tersenyum hangat.

Bersambung

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro