
11. Awal Tangan Kematian
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy Reading!
Jadwal operasi Pak Wahab langsung dijadwalkan nanti malam. Operasi pengangkatan ginjal akan dilakukan oleh Dokter Akbar dan Bona. Sedangkan Zoya dan satu dokter dari rumah sakit kota sebelah akan menjadi satu tim dalam mengoperasi Pak Wahab nanti.
“Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik. Selamat bekerja keras.” ujar Dokter Akbar seusai rapat pada seluruh tenaga medis di ruangan itu. Dan perlahan mereka mulai pergi.
“Zoya tunggu.” panggil Dokter Akbar menghentikan Zoya. Untunglah suasana sudah sepi dan hanya ada beberapa pekerja yang membersihkan ruangan rapat, “Ayahmu bertingkah laku baik di penjara. Jika dia terus mempertahankan sikapnya, dia bisa keluar lebih cepat dari hukuman yang dia terima.” sambung Dokter Akbar.
Zoya mengepalkan tangannya erat. Ada rasa ketakutan yang perlahan menyelusup dalam hati Zoya. Hati Zoya mulai tak tenang. Jika Ayahnya kembali maka tamatlah riwayat Zoya.
“Aku tak peduli. Aku lebih suka dia mendekam di penjara seumur hidupnya. Dia pembunuh! Dia lebih pantas mati. Jika dia hidup, penjara adalah tempat yang cocok untuknya, Bunda pasti juga setuju denganku.” kata Zoya lalu pergi dan hilang di perempatan lorong.
Zoya membuka pintu tangga darurat dan duduk dianak tangga lemas. Suara itu muncul lagi dan tangan Zoya jadi berkeringat. Ia mulai kesusahan menelan air liurnya sendiri. Bau anyir kembali menyeruak dengan bayangan merah pekat pada pikiran Zoya. Bibir Zoya bergetar dengan tubuh yang mendadak mengigil ketakutan. Kepala Zoya pusing dan perutnya mual.
Kilatan bayangan tangan besar yang memukulnya kembali menghantui pikirannya. Suara pecahan kaca membuat tubuhnya merinding. Dan teriak-teriak yang memilukan itu saling bersaut-sautan dalam kepala Zoya.
“Hentikan Zoya! Jangan dipikirkan! Jangan ikuti bayangan itu. Semua baik-baik saja. Dia tak ada di sini. Aku bukan pembunuh, dialah pembunuhnya. Jangan dengarkan suara-suara itu.” Zoya mensugesti dirinya yang ketakutan akan bayangan masa lalu.
Zoya yang dibesarkan dengan siksaan membuat trauma besar dalam dirinya. Ada bagian dalam jiwa yang terluka. Dan setia luka itu bertambah perih kala kenangan itu muncul, luka itu bagaikan tersiram air garam. Lukanya semakin mengangga, dan Zoya kesakitan.
Zoya beranjak ke ruangannya dengan seribu langkah panjang. Beberapa anak rambutnya terlepas dari kucir rambutnya. Wajah Zoya masih saja tegang dengan debaran jantung yang kencang.
“Mbak Zoya...” panggil Alisha menyapa dari depan Zoya. Di sana berdiri Bona, Rania dan Haikal. Zoya berhenti dan menatap mereka satu persatu. Alisha berlari menghampiri Zoya, “Sholat zuhur bareng yuk, Mbak.” ajaknya sambil merangkul tangan Zoya.
Tangan Alisha ternyata sudah membawa sebuah mukenah putih. Dia tersenyum menatap Zoya dengan teduh. Kepala Zoya menoleh ke kanan dan saat itu dia baru tersadar bahwa ia berdiri di depan mesjid rumah sakit. Kaligrafi arab pada dinding itu terasa menyejukan dipandang Zoya.
Jantung Zoya terhenyuh. Dan ada daya tarik untuk melangkah masuk ke dalam sana. Jiwa Zoya yang tak tenang terasa tentram menerawang jauh ke dalam mesjid itu. Untuk pertama kalinya, Zoya merasa perlindungan ada dari dalam sana. Namun ego Zoya terlalu tinggi.
“Kutak ingin ke sana.” katanya bernada datar.
Zoya berjalan menjauh meninggalkan mereka dengan begitu angkuh tanpa celah sedikit pun. Sorot mata yang tajam saat berjalan menusuk jantung siapa saja yang menghalanginya. Hati Zoya sudah terkurung oleh kabut kebencian yang pekat. Sehingga hatinya tak tahu jalan pulang karna tak ada cahaya yang memberi jalan petunjuk baginya.
“Dek Alisha, cemana pulak kau ini. Zoya pula kau ajak sholat.” celetuk Bona menghampiri Alisha. Alisha menatap Bona. “Bang Bona gak boleh gitu. Ngajakin orang sholat itu berpahala. Lagian Alisha gak pernah lihat Mbak Zoya sholat.”
“Dokter Zoya beneran Islam kan?” tanya Rania menimpal. Haikal mendekat sambil melipat tangannya di dada mengikuti alunan pembicaraan mereka dengan tenang.
“Islam.” jawab Bona.
“Tapi kok gak pernah sholat?” tanya Rania lagi.
Haikal mengaruk pangkal hidungnya sejenak, “Mungkin lagi dateng matahari.”
Sontak Bona menatap Haikal heran, “Hiya, siapa kau?”
“Gue?” Haikal merapikan rambutnya, “Kenalin, gue Haikal Malik, cowok ganteng idaman.” Bona berdecis tak suka memandang dari ujung kaki sampai ujung kepala Haikal. “Kau sama Opungku saja kalah saing. Gantengnya kau itu cuma upil Opung aku.”
Haikal jadi naik darah. Jika Rania dan Alisha tak melerai mungkin terjadi pertumpahan darah saat ini juga. Mereka yang tadinya ingin beribadah jadi melenceng niatnya.
“Haikal ini Mafia, eh, gengster—ehm maksudnya keluarga pasien tabrak lain kemarin itu.” tutur Rania menerangkan pada Bona, “dia yang kemarin itu dateng kayak preman minta dijahit tangannya sama Dokter Zoya itu lho.” lanjut Rania berbisik pada Bona.
“Oh kau orangnya! Sini, biar aku jait mulut kau itu!” kata Bona dengan nada suara yang cukup tinggi terlebih dengan logat bataknya yang kental itu. Alisha menepuk jidatnya kesal dengan Bona.
“Abang Bona...” panggil Alisha.
Bona langsung beralih pada Alisha berubah raut lembut layaknya hewan peliharaan yang jinak. “Iya Dek Alisha...”
“Abang Bona Islam kan?”
“Islam...”
Ah iya, Bona adalah seorang muslim. Kedua orang tuanya asli batak. Ayahnya bermarga Sinaga masuk Islam sejak menikahi Ibunya seorang wanita muslim dari kampung tetangga. Namun, Bona baru berumur 9 tahun saat Ibunya meninggal dan Ayahnya pun pergi merantau di negeri orang. Sejak saat itulah Bona tinggal dengan Opungnya yang notabenya beragama nasrani. Dia pun mendapatkan ajaran Islam dari pengasuhnya. Walaupun Islam, Bona tak sholat, tak mengaji atau menjalankan kewajibannya sebagai muslim kecuali sholat jum’at. Itu pun sekali sholat sekali tidak.
“Yaudah sholat yuk.” ajak Alisha.
“Kalau Adek Alisha yang ajak, Abang Bona sholatlah.”
Alisha tersenyum, “Abang Bona jadi imam ya?”
Bona terkikuk mengaruk tengkuknya sambil cengengesan tak jelas.
“Gue aja yang jadi imam.” sahut Haikal. Semua tercengang benar-benar terkejut dengan pernyataan yang dibuat Haikal. Haikal mendekati Bona, “gue jadi imamnya. Dan lo! Di belakang gue!” sambungnya sambil menunjuk Bona.
“Tidak! Aku di depan!” jawab Bona.
“Okay! Lo di depan gue. Biar gue sholatin sekalian.” kata Haikal memukul telak Bona. Alisha dan Rania terkikik masuk ke dalam mesjid meninggalkan Bona yang berdiri malu di tempat.
Karena, cowok keren itu adalah cowok yang berani jadi yang terdepan memimpin sholat bukan jadi yang terus dibelakang apalagi yang jarang sholat. Mau jadi pemimpin keluarga masa tak bisa memimpin sholat?
***
Haikal menarik selimut Joe sampai sebatas dada dan mengusap kening Joe lembut. Sehabis makan malam tadi Joe langsung tertidur. Dua hari lagi Joe sudah bisa keluar dari rumah sakit. Kini Haikal memandangi wajah Joe iba. Kenangan masa lalu mereka kembali timbul kepermukaan.
Joe bukanlah adik kandung Haikal.
Haikal pergi ke rooftop menikmati angin malam yang menerpannya. Ia mengeluarkan sebungkus plastik dari kantung celananya. Ada hasrat dalam diri untuk mengunakannya namun ada bagian dari hatinya yang mencegahnya. Dadanya naik turun tak tenang. Tiba-tiba pikirannya kacau. Haikal memandangi plastik itu getir sampai akhirnya suara derap langkah membuatnya kelimpungan.
“Apa itu?”
Haikal membalikkan badannya setelah menyembunyikan bungkusan itu di saku celananya. Keringat dingin langsung bercucuran. Ah, jantung Haikal hampir saja lepas dari tempatnya. Suara yang menginterupsi itu adalah Zoya.
“L-lo ngapaian di si-sini?” tanya Haikal tergagap.
“Seharusnya saya yang tanyak kenapa kamu di sini.”
Ah, ini bukan kali pertama mereka berada di rooftop di waktu yang bersamaan. Haikal tersenyum tipis namun mampu meluluhlantahkan hati Zoya dalam sekejap.
“Lo kangen gue ya?” tebak Haikal.
Aura angker langsung mengisi udara malam di sekitar. Raut wajah Zoya jadi menyeramkan usai diberi pertanyaan usil dari Haikal. Memandang sorot mata Zoya membuat Haikal terdiam detik itu juga.
“Yaelah, gue becanda kali! Mukak lo biasa aja dong. Gue jadi merinding nih.”
Zoya langsung berdecak kesal dengan satu makhluk di depannya. Namun suara deringan ponsel membuat perhatiannya teralihkan. “Iya ada apa?” ucap Zoya pada suara di ujung sana.
Usai menerima telepon itu Zoya langsung memutar balik tubuhnya membuka pintu untuk turun ke lantai bawah. Tiba-tiba dari belakang sosok Haikal ikut pula memegang gagang pintu berniat membukanya secara bersamaan dengan Zoya tanpa disengaja. Sontak, Zoya melepaskan tangannya dan menjauh dari tubuh jangkung Haikal.
“Kamu!” kata Zoya membulatkan matanya, “mau ngapaian?!”
“Gue mau turun juga. Lo gak usah baper.” jawab Haikal lalu berlalu meninggalkan Zoya di belakang. Sungguh, ini pertama kalinya Zoya mendapatkan perlakukaan seperti ini. Haikal mengatainya sekaligus membuat hatinya berdebar.
Ini gila!
Zoya berjalan menuruni tangga di belakang Haikal. Saat mereka keluar, sosok gadis berjilbab hijau mint berdiri di depan mereka. Haikal menautkan alisnya heran, sedangkan Zoya langsung menghampiri wanita itu dan tersenyum hangat.
Detik itu juga, Haikal mematung di tempat.
Haikal melihat Zoya tersenyum untuk pertama kalinya!
Dan itu ... sangat manis.
“Andriana, kamu ngapaian di sini? Operasinya 2 jam lagi.”
Dia adalah Andriana. Andriana memilin tangannya, “Dokter Zoya ... saya ingin berbicara.”
***
Lorong begitu sepi. Zoya duduk di samping Andriana yang menundukan kepalanya.
“Saya baru saja akan pergi ke ruangan kamu. Kamu tak perlu menemui saya seperti ini. Ini tak baik, operasinya akan dilakukan sebentar lagi. Kamu harus berada di ruanganmu, Andriana. Para perawat pasti mencari kamu.”
“Dokter Zoya...” lirih Andriana memandangi Zoya lekat.
“Ya?”
“Ayah akan sembuh kan?”
Zoya terdiam sesaat.
“Ayah akan baik-baik saja kan? Operasinya pasti berjalan lancar kan?” tanya Andriana dengan mata berkaca-kaca. Ia kabur tanpa sepengetahuan perawat karna ia ingin bertemu dengan Zoya. Andriana benar-benar seperti Zoya. Sama percis seperti Zoya 12 tahun yang lalu, “Dokter Zoya, Ayah pasti sembuh kan?”
“Ya, Pak Wahab akan sembuh. Dia akan baik-baik saja.” jawab Zoya.
Andriana mengenggam tangan kedua tangan Zoya. “Dokter Zoya sendiri yang akan mengoperasi Ayah kan? Tangan Dokter Zoya yang akan menyembuhkan Ayah kan? Iya kan?”
Zoya mengangguk sebagai jawabannya.
Andriana menarik napasnya panjang, “Ayah bilang Dokter Zoya sangat baik. Berkat Dokter Zoya Ayah memberitahu saya perihal sakitnya. Jika tidak karna Dokter Zoya, pasti sampai sekarang saya tak akan pernah tahu kalau Ayah sakit. Tolong selamatkan Ayah saya. Ayah satu-satunya yang saya miliki di dunia ini.
“Ayah adalah satu-satu lelaki di dunia ini yang tak akan pernah menyakiti saya. Dia perisai kehidupan putrinya. Ayah tak pernah meminta apapun selain kebahagian saya, malah dia mengorbankan apapun untuk saya. Dia guru yang terbaik dari semua guru. Dia Ayah tersayangku.
“Selamatkan dia. Akan saya korbankan apapun yang saya punya untuknya. Dia tak pernah menuntut apapun pada saya. Saya ingin melihat senyum lagi. Ayah bilang sakitnya adalah pertanda cintanya Allah padanya. Dengan sakit maka berguguranlah dosanya. Tapi, anak mana yang sanggup melihat Ayahnya kesakitan menahan sakit itu sendiri? Saya terus berdoa pada sang Kuasa untuk kesembuhannya. Dan melalui Dokter Zoya, saya mohon apapun yang terjadi, selamatkan Ayah saya.”
Hening.
Zoya diam memandang dalam kedua bola mata Andriana begitu tajam. Hatinya tergugah akan suatu hal. “Ya, saya akan membuat kamu melihat senyumannya lagi. Akan kupastikan itu terjadi.”
***
Cahaya lampu sorot di ruang operasi begitu tajam. Semua paramedis mengunakan baju scrub lengkap dengan handsoon, surgeon cap dan surgical mask. Rania mendorong bankar Pak Wahab menuju ruang operasi Zoya. Sedangkan bankar Andriana didorong Bona menuju ruang operasi di sebrang Zoya dengan Dokter Akbar. Andriana sempat melepas senyuman manisnya pada sosok ayahnya itu. Pak Wahab pun sempat berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Nak, semua insan yang hidup adalah milik Allah. Dia adalah penguasa bumi dan langit. Allah yang mengatur apapun di dunia ini. Saya adalah miliknya. Jika nanti ter—“
“Semua akan baik-baik saja.” potong Zoya cepat.
Pak Wahab tersenyum, “Saya amat percaya padamu, Nak. Dengarkanlah ini, jika nanti Allah ingin lelaki tua ini menghadap pada-Nya maka katakan pada putriku bahwa ayahnya ini sangat menyayanginya. Dan aku benar-benar beruntung sempat bertemu dengan dokter berhati mulia sepertimu. Ayahmu beruntung memilikimu, Nak.”
Itu terdengar seperti wasihat akhir Pak Wahab. Jiwa Zoya terguncang saat mendengar kata ‘ayah’ dari mulut Pak Wahab. Ayah Zoya beruntung memilikinya? Batin Zoya tertawa kencang sanking mustahilnya hal itu. Zoya hanyalah aib bagi ayahnya. Dan Zoya juga tak ingin memiliki ayah di dunia ini.
Dokter anestesi mulai membius Pak Wahab sampai akhirnya Pak Wahab tak sadarkan diri untuk melakukan operasi transplantasi ginjal. Zoya ditemani dengan Dokter Tio yang usianya setahun lebih muda darinya, namun jangan sepelekan keuletannya. Ketika semua berdoa menurut keyakinannya Zoya malah memandangi wajah Pak Wahab dalam.
“Aku yang pembunuh atau kamu yang membunuh.”
Kepala Zoya pusing dan jantung berdebar-debar. Napasnya mulai tak beraturan. Setiap kali suara itu muncul, Zoya mengalami ketakutan yang luar biasa. Dan mengapa harus muncul sekarang?
“Dokter Zoya?” panggil Dokter Tio.
“I-iya?” jawab Zoya terkejut.
Dokter Tio sebagai asisten Zoya berdiri di depannya. Zoya baru tersadar ia harus melakukan operasi sekarang. Namun semua terasa asing saat Zoya melihat ke sekeliling. Tak ada Rania sebagai perawat instrumen yang berdiri di sampingnya, karena Rania bersama Bona dan Dokter Akbar. Lagipula hubungan mereka tak begitu baik sekarang.
“Mess.” pinta Zoya dan langsung diberi pisau bedah yang mengkilau.
Detik pun berlalu. Semulanya Zoya mampu fokus mengerakan pisau bedahnya begitu lihai. Namun sejak lima belas menit yang lalu, pikiran Zoya buyar. Mendadak bayangan Andriana menghantuinya dan perkataan Pak Wahab berputar-putar dikepalanya. Tetapi yang lebih mengerikan lagi, suara itu terniang-niang dikepala Zoya.
Zoya berhenti sejenak. Tangannya bergetar dan keringat dingin bercucuran. Darah, bau anyir, pisau, dan lampu sorot ini mendadak mengerihkan bagi Zoya. Ia tak bisa konsentrasi dengan apa yang ia kerjakan.
“Ayah bunuh Bunda!”
“Kamu yang bunuh Bunda dengan tangan kamu sendiri!”
“Ayah bohong! Bunda mati karna Ayah!”
“Anak bodoh!Pisaunya ada ditanganmu!”
“Dokter Zoya, Anda baik-baik saja?” tanya Dokter Tio khawatir melihat gerak-gerik Zoya sejak tadi. “Dokter Zoya, tekanan darahnya terus turun. Kita harus cepat.” lanjutnya.
Kondisi Pak Wahab menurun, belum lagi ginjal yang diangkat dari tubuh Andriana belum tiba di ruangan operasi mereka. Mereka harus bergerak cepat sekarang.
Zoya memejamkan matanya lama sambil mengatur napasnya. Terlihat ginjal Pak Wahab rusak parah dan dipenuhi serabut berwarna putih. Perlahan dengan tangan yang bergetar hebat Zoya kembali mengeratkan pisau bedahnya dan menarik napas panjang melanjutkan operasi pengangkatan ginjal Pak Wahab.
“Kamu pembawa sial! Kamu hanya malaikat kematian!”
Suara itu mengema begitu tajam. Bersamaan dengan itu tangan Zoya yang bergetar melakukan sebuah kesalahan fatal.
Tiba-tiba cairan merah kental menyembur ke atas begitu cepat. Pandangan Zoya kabur karna wajahnya tersembur darah.
Seketika semua baju Zoya berwarna merah. Zoya pun mematung di tempat tak mampu bergerak. Secepat kilat meja operasi berubah menjadi lautan darah.
“Suction! Suction!” teriak Dokter Tio kelimpungan.
Suction sama dengan alat hisap yang digunakan dalam dunia medis terutama pada saat operasi. Dan suction akan menghisap darah yang perlu dikeluarkan dari tubuh.
Ruangan medis jadi kacau balau karna Zoya. Sedangkan Zoya hanya mampu perlahan berjalan mundur menjauh tanpa mampu bertindak apa-apa. Ia masih tak sadar dengan kesalahan yang ia lakukan. Zoya sendiri tak tahu apa yang terjadi saat ini.
“Dokter Zoya! Vital pasien turun dratis!” teriak dokter anestesi yang memantau monitor alat vital pasien.
Zoya seperti orang linglung tak merespon sedikit pun. Dokter Tio benar-benar kelawahan mengatasi pendarahan pasien.
“Sadar Dokter Zoya! Pasien kritis!” bentak Dokter Tio. Zoya layaknya orang bodoh yang memandangi wajah Pak Wahab tak bergerak dari tempatnya. Jiwa Zoya entah melayang kemana.
Bunya suara monitor terus menghiasi ruangan operasi. Sampai bunyi itu terus berpacu dengan keadaan yang sudah tak terkontrol. “Hey, vitalnya memburuk! Panggil Dokter Akbar cepat!” seru dokter anestesi kebingungan. Dia terus memanggil Zoya namun seolah telinga Zoya tuli.
Dokter Tio tak mampu melihat dimana luka pada tubuh Pak Wahab. Darahnya tak mampu dihentikan sedangkan bunyi monitor itu cukup membuatnya gemetaran. Para perawat terus menganti kantong darah yang mengantung.
Tittttt...
Sampai suara nyaring begitu keras terdengar memekakkan telinga. Barulah jiwa Zoya tersadar dengan apa yang sudah ia lakukan.
“Apa yang kalian lakukan?!!!” bentak Dokter Akbar yang baru datang. Pakaiannya sama seperti Zoya. Dia bahkan sedang mengoperasi Andriana di ruangan sebrang sana, namun di sini Zoya sudah membuat kesalahan fatal.
“Ambil defiblilator cepat!” titah Dokter Tio. Sementara itu Dokter Akbar sudah melakukan CPR pada jantung Pak Wahab. Napas Zoya memburu dengan tangannya yang menjambak rambutnya kalut.
“150 joules!” kata Dokter Akbar.
“Sudah, Dok.” jawab Dokter Tio setelah mengatur energy selector untuk mengatur energi yang dikeluarkan oleh alat kejut jantung. Dokter Akbar mengambil alih defiblilator.
“Shock!” kata Dokter Akbar dan saat itu tubuh Pak Wahab terangkat naik.
“250 joules!” perintah Dokter Akbar lagi. Namun sesudah tetap saja garis hijau lurus itu terpampang pada layar monitor. Walaupun seperti itu Dokter Akbar terus melakukan CPR tanpa henti.
“Dokter Akbar...” lirih Dokter Tio pasrah. Dokter Akbar berhenti melakukan upaya terakhirnya. Dan berdiri memandangi layar monitor itu dengan datar. Dadanya naik turun terpaku sejenak di tempatnya.
“Muhammad Wahab, 22.59. Pasien dinyatakan meninggal akibat pendarahan saat operasi.” ujar Dokter Tio terdengar lemah. Dan saat itu Zoya mendapatkan luka bagi dihatinya.
Dokter Akbar bergerak cepat mendekati Zoya cepat. Sampai kedua manik mata mereka bertemu pada satu titik yang sama. Dan Zoya mendapatkan ganjaran awal dari kelalaiannya saat itu juga.
Plak!
Bersambung
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro