10. Pak Wahab
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرّ َحِيم
Happy reading!
•••
“Lo pergi sana! Jangan deket-deket gue!”
“Eh Wanda, gue pun ogah nemenin lo kalau kagak permintaan Bunda tercinta gue!”
“Gue mah lebih seneng kalau Bunda yang ada di sini daripada sama lutung kayak lo!”
“Adik durjana lo!”
“Lo Abang bangsat!”
Rania dan Alisha terdiam sambil mendesah kesal melihat perdebatan Haikal dan Joe. Hari ini Joe harus melakukan fisioterapi pada kaki dan lehernya. Jadi, Alisha dan Rania membantunya untuk menghantarkan mereka.
Sejak dirawat di rumah sakit, Haikal selalu menemani Joe walaupun setiap menit bahkan detik harus dihiasi dengan berbagai adu mulut dan pertikaian yang hampir merusak perabotan rumah sakit. Alisha tak menyangka mendapat pasien seperti Joe ini.
“Kalian bisa bawa dia ke ruang mayat aja gak?” tanya Haikal kepalang emosi dengan Joe yang duduk di kursi roda dengan santai. Rania dan Alisha saling bertukar pandang. “Setelah melakukan fisioterapi beberapa kali lagi pasien sudah bisa pulang. Tahap pemulihannya juga tidak akan lama. Semoga lekas sembuh.” ujar Rania sambil meletakan kedua tangannya pada saku jasnya.
“Oh gitu. Kalau enggak biar gue aja yang buat lo ke rumah mayat!” seru Haikal melajukan kursi roda Joe begitu kencang. Joe pun menjerit ketakuan sambil terus mengumpat Haikal dengan berbagai kata. Rania dan Alisha hanya bisa mengelengkan kepala mengikuti keduanya.
Sungguh percayalah, Haikal suka serius dengan ucapannya. Bisa mati terduduk Joe jika sampai Haikal membawanya ke ruang mayat. Dulu saja saat mereka kecil Haikal pernah meninggalkan Joe di rumah hantu sendirian sampai Joe pipis dicelana sanking takutnya. Haikal bahkan pernah menguncinya di gudang bawah tanah saat tengah malam.
Haikal langsung berhenti mendorong kuris roda Joe saat melihat sosok wanita yang memakai sweater putih itu berjalan dari sisi barat. Lengkungan bibirnya langsung mengembang seketika.
“Selamat Siang, Dokter Cantik.” sapa Haikal begitu percaya diri. Zoya melirik mereka singkat lalu berjalan melewati mereka tanpa membalas sapaan Haikal. Zoya benar-benar menganggap Haikal tak ada, apalagi saat mata Zoya bertemu dengan dua manik mata Rania di belakang mereka. Jelas sekali raut wajah Zoya tak suka.
Joe yang melihat itu pun terkekeh, “Lo bilang seorang Haikal Malik kagak pernah ditolak sama cewek di seluruh dunia ini. Tapi, noh, gue barusan liat lo dikacangin sama sebiji cewek tuh! Ckck, kadar buruk rupa lo itu emang udah kagak ketulungan!”
Plak!
Haikal langsung menimpuk kepala Joe sekuat tenaga. “Diem lo kuda lumping!”
Rania yang disembur Zoya dengan tatapan tak suka langsung menciut nyalinya. Sejak kejadian ia ditampar oleh Zoya, ia sama sekali tak pernah bercakap langsung ataupun bertegur sapa. Rania tak punya keberanian berdiri di samping Zoya lagi.
Zoya berhenti di nurse station meminta beberapa berkas pasien yang memang sudah ia titahkan pada salah satu perawat di sana. Saat ia ingin beranjak ke ruangannya seorang remaja laki-laki menghentikannya.
“Tunggu, Dokter.” katanya, “ini buat, Dokter.”
Zoya menautkan alisnya saat disodori sebuah jinjingan berukuran cukup besar. Sontak Zoya pun terkejut. Ia tak mengenal sang anak dan tiba-tiba dia diberi sesuatu yang entah apa isinya oleh orang yang sama sekali tak ia kenal.
“Saya anak dari bapak yang Dokter tolongan di IGD kemarin.”
Ah, Zoya baru ingat. Ayahnya adalah sebab Zoya menampar Rania waktu itu.
“Ini hasil panen buah di ladang kami. Saya sangat berterima kasih sama Dokter. Berkat Dokter, Ayah saya selamat. Saya pikir saya bakal kehilangan Ayah saya untuk selamanya, tapi Dokter luar biasa. Saya ingin seperti Dokter di masa depan nanti. Ini janji saya bahwa saya akan menjadi dokter di rumah sakit ini kelak.”
Jujur, ini bukan ucapan terima kasih dari keluarga pasien yang pertama Zoya dengar. Namun entah mengapa Zoya cukup terharu. Zoya menerimanya jinjingan itu dan tersenyum tipis. “Semua Dokter pasti akan melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan. Jaga Ayah kamu ya. Kamu harus berkerja keras untuk bisa menjadi seperti saya.”
“Pasti! Saya akan benar-benar mewujudkannya. Terima kasih banyak, Dok.” ucapnya lalu berlari pergi meninggalkan Zoya.
Zoya pun pergi ke ruangannya. Ia bergegas memakai jas dokternya dan pergi keluar. Hari ini dia ada jadwal pengecekan pasien di ruangan VIP.
Dan saat Zoya baru saja menutup pintu ruangannya, Rania sudah berdiri di depannya tertunduk takut. Alisha dan Bona sudah tahu kabar tentang ricuhnya hubungan Rania dan Zoya. Bona pun meminta agar Rania tetap profesional dan segera menemui Zoya untuk meminta maaf.
Dosalah Rania jika tak bercakap lebih dari 3 hari dengan Zoya. Apalagi jika sampai masalah ini memutuskan silahturahmi keduanya. Tidaklah akan masuk surga orang yang memutuskan silahturahmi (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Zoya memilih melangkah duluan disusul Rania di belakangnya. Sudah menjadi kewajibaan bagi keduanya untuk berkerja bersama-sama. Zoya tanpa Rania itu cacat dan Rania tanpa Zoya itu tak ada artinya.
Mereka tetap mengumbar senyum dan bicara sewajarnya saat mengunjungi dan melakukan beberapa pengecekan pada pasien di ruangan VIP. Meskipun sejujurnya keakraban itu hanya kebohongan semata. Kecanggungan benar-benar merubah Rania yang ceria menjadi kikuk. Sampai selesai keliling ruang VIP pun Rania terus menghindari dari tatapan laser mata Zoya.
“Maaf.” tutur Rania duluan saat mereka berada di lift rumah sakit.
Seperti biasa, Zoya mengangkat dagunya dan menegakkan punggungnya berjalan keluar lift tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Rania mendesah pasrah atas kelakukan Zoya. Sudah dikatakan Zoya itu angkuh. Gelegar kegelapan saja selalu menghantuinya. Seperti ada tulisan pada jidatnya; jangan mendekat, ini dokter galak.
Zoya memeriksa beberapa dokumen di atas meja kerjanya. Dia melihat hasil medis supir truk yang menjadi pasiennya kemarin. Pak Wahab, itulah namanya. Catatan medisnya sangat buruk. Kondisinya sangat parah dengan dua ginjal rusak. Dia perlu donor ginjal secepatnya. Selepas itu Zoya pergi menemui Pak Wahab.
Tadi Bona menelepon Zoya, ia mengatakan sesuatu yang membuat Zoya kaget. “Dari data pasien ginjal polikistik yang kau kirim itu aku teringat kawan aku, Poltak. Andriana Kalisya itu kawan Poltak waktu ikut kejuaraan internasional di Korea. Putri bapak itu atlit nasional rupanya. Beh, si Poltak itu klepek-klepek kalau tengok cantiknya si Andriana. Sholehah benar katanya. Dia pernah cerita kalau si Andriana kuliah di Singapore sekarang.”
Mendengar itu Zoya jadi semakin khawatir, bagaimana jika Andriana tahu ayahnya sedang sakit parah?
Zoya mengintip dari pintu ruangan melati 205 yang menjadi kamar inap Pak Wahab. Dari sana Zoya dapat melihat Pak Wahab yang sudah memakai baju kaosnya bukan lagi baju pasien. Sontak Zoya masuk tanpa mengetuk pintu.
“Pak Wahab mau kemana?” tanya Zoya. Pak Wahab tersenyum, “Saya harus pulang, Nak. Saya harus kerja besok. Kondisi saya sudah lebih baik sekarang. Esok saya harus mengirimkan paket hadiah untuk putriku.”
“Bapak tidak boleh pulang tanpa seizin saya!” bentak Zoya.
Pak Wahab tersenyum lagi, “Nak, kamu benar-benar baik. Orang tuamu pasti bangga padamu. Tapi saya harus keluar dari rumah sakit sekarang. Saya tak sanggup membayar biaya rumah sakit yang mahal. Lagi pula, putriku perlu biaya banyak, lebih baik untuk biaya kuliahnya kan?”
“Apa bapak tidak memikirkan perasaan Andriana saat tahu Bapak sakit parah?”
Pak Wahab terdiam dan mematung di tempat tak bergemih sama sekali. Andriana adalah kelemahan Pak Wahab. Pak Wahab terduduk di ranjang pasien memikirkan pertanyaan Zoya tadi. Zoya pun ikut duduk di tepian ranjang itu pula.
“Rumah sakit belum punya pendonor yang cocok untuk Bapak. Dua ginjal Bapak itu rusak, Bapak tak akan bisa bertahan lama dengan kondisi seperti ini. Manusia memang bisa hidup dengan satu ginjal jadi sekarang Andriana adalah harapan terakhir kita.”
Pak Wahab tertunduk mendengarkan Zoya, “Andriana sangat suka karate. Dia tumbuh sehat sejak kecil karna bimbingan Ibunya. Mendali peraknya di kejuaran dunia dia menangkan untuk saya. Dia bilang saya adalah alasan dia sampai pada titik ini. Dia jatuh saat kehilangan Ibunya setahun lalu. Semua kebutuhannya harus saya penuhi. Saya tak akan pernah membiarkan dia kehilangan sosok Ibunya. Tapi bagaimana mungkin saya meminta dia hidup dengan satu ginjal?” lirih Pak Wahab dengan mata yang berair.
Sungguh beruntungnya Andriana memiliki ayah seperti Pak Wahab. Zoya jadi iri hati. Ia jadi teringat masa lalunya saat Zoya pernah mengikuti kejuaraan karate di sekolahnya.
“Ayah! Lihat, Zoya menang mendali emas lho.” sorak Zoya kegirangan setelah pulang bersama Bundanya dari kejuaraan turnamen karate di sekolah SMP Zoya. Zoya yang masih memakai baju karate itu memamerkannya pada Ayahnya yang duduk di sofa depan televisi sambil tersenyum cerah.
“Kamu pikir karna kamu menang lomba Ayah bakal sayang sama kamu? Mimpi!”
Raut wajah Zoya langsung berubah sedih. Bunda Zoya langsung angkat bicara, “Mas, Zoya dapet juara 1 lho dari seluruh peserta kareta perempuan yang diadain di sekolahnya. Zoya anak kita yang membanggakan, Mas.”
Ayah Zoya tersenyum sinis, “Dia anakmu bukan anakku!”
Air mata Zoya langsung jatuh. Secepat kilat Zoya menghapusnya berusaha tersenyum lagi, “Ayah, Zoya ikut lomba karna Ayah lho. Ayah kan dulu atlit karate juga. Biar nanti Zoya yang terusin perjuangan Ayah. Zoya bakal jadi atlit karate nasional kayak Ayah nanti.” Zoya memberikan mendali emas itu pada Ayahnya, “Ayah adalah alasan Zoya untuk menang.”
Mendali emas itu langsung terlempar ke lantai dalam sekejap mata. Mata Ayah Zoya membara, “Aku gak butuh itu! Denger ya! Dari dulu aku cuma mau anak laki-laki! Bukan perempuan! Anak perempuan itu gak akan bisa menerusin apa mauku!”
“Emang anak perempuan gak bisa jadi apa yang Ayah mau? Zoya juga bisa nerusin perjuangan Ayah! Apa salah jika Zoya terlahir menjadi perempuan?! Apa salah, Yah?” teriak Zoya berderai air mata.
“Dasar kamu anak durhaka sama orang tua!” Tangan Ayah Zoya langsung melayang ke udara. Dan saat itu Zoya mendapatkan jawaban atas pertanyaan.
“Nak? Kamu menangis?”
Zoya tersentak. Raganya terasa tertarik kembali ke dunia nyata. Ia menghapus cepat air matanya. Benar-benar memalukan sekali. Ayolah, Zoya tak pernah terlihat lemah. Jangan pernah biarkan orang lain melihat air matamu.
“Jangan buat Andriana menyesal karna terlambat mengetahui tentang sakitmu ini, Pak. Dia sudah kehilangan Ibunya jadi jangan biarkan dia kehilangan Ayah terbaik sepertimu. Tidak semua anak seberuntung Andriana yang lahir dari keluarga yang menyayangi dan mencintainya setulus hati. Andriana anak yang beruntung. Kumohon, beritahu dia agar kelak dia tak menyesal terlahir di dunia ini.”
“Dia masih muda. Kutak sanggup melihatnya hidup dengan satu ginjal.” kata Pak Wahab lemah.
“Bagaimana jika ia membenci dirinya yang tak bisa memberikan Bapak ginjalnya? Bagaimana jika ia menyesali seumur hidupnya atas keegoisan Bapak? Apa Bapak ingin dia hidup seperti itu?” tutur Zoya dalam. Dia seperti menceritakan dirinya sendiri.
Pak Wahab pun hanya terdiam tak mampu membalas Zoya. Zoya berdiri, “Izinkan diri Bapak sendiri untuk bisa melihatnya bersanding dengan lelaki pilihannya. Jangan buat membuat luka dihati Bapak dan Andriana. Jangan pernah izinkan keadaan mengalahkan segalanya.”
Zoya pergi keluar ruangan itu. Pak Wahab pun menatap langit ruangan pedih. Dan Zoya menyadarkannya. Detik itu juga ia langsung menghubungi putrinya dan memberitahukan segalanya.
***
Pada keesokan harinya Zoya berdiri sambil melipat tangannya di dada dengan jas dokter yang melekat pada tubuhnya. Bibirnya terangkat walaupun hanya sedikit dan nyaris tak terlihat saat melihat Andriana yang sudah tiba di rumah sakit memeluk Pak Wahab dengan air mata keduanya yang berguguran.
“Ayah dan anak yang luar biasa.” ucap Bona yang berdiri di belakang Zoya. Tak lupa di sana juga ada Alisha dan Rania, “Alisha jadi sedih. Semoga Allah selalu menjaga ayah kita semua ya.”
“Aamiin.” kata Rania mengamini.
Mendadak Zoya membeku, jantungnya terasa diremas-remas oleh kebencian yang membara dalam diri. Ayah, sosok macam apa yang Zoya pantas Zoya panggil Ayah? Allah menakdirkannya hidup dengan Ayah yang suka memukul dan tak pernah menganggapnya ada.
Lantas haruskan Zoya mendoakan ayahnya jika ia sendiri berharap bahwa ia akan menjadi alasan Ayahnya tersiksa di neraka kelak.
“Ayo, kita ke ruang rapat. Andriana sudah menyetujui untuk mendonorkan satu ginjalnya pada Pak Wahab. Kita akan membicarakan ini di ruang rapat nanti. Dokter Akbar sudah meminta kita berkumpul di sana sejak tadi. Ayo cepat, Alisha gak mau dimarahin sama Dokter Akbar.” ajak Alisha sambil mengedipkan matanya tiga kali.
Dokter yang memakai hijab tosca ini membuat Bona tersihir dalam hitungan detik, “Hiya, ayoklah kita pergi. Kalau Adek Alisha yang ajak yah Abang Bona mau-mau saja. Apalagi diajak ke pelaminan. Ya kita gas!” Bona merapikan jasnya berlagak percaya diri.
Zoya mengelengkan kepalanya tersenyum kecil. Rania hanya terdiam tak berani bersuara dan hanya sesekali ikut tertawa. Mereka pun langkah bersama-sama menuju ruang rapat.
Bersambung
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro