Gemini
Ba-thump! Ba-thump!
Brakk!
"KYAAAA!"
"Eh?! Eeeehh?!"
Sayup-sayup terdengar suara riuh orang meronta-ronta. Dari suara yang muncul, setidaknya ada sekitar lima orang dalam ruangan yang gelap itu. Tak ada yang tahu kenapa mereka bisa di ruangan tersebut. Pusing, hanya itu yang terasa ketika mencoba mengingat hal yang terjadi sebelumnya.
Posisi mereka juga tak memungkinkan untuk banyak bergerak. Rantai besi yang mengikat erat, membuat mereka semakin tak berdaya. Namun bukan hanya itu yang membuatnya semakin resah. Sebuah jarum besi dengan diameter 5cm dan panjang 30cm yang tertancap di meja, mengacung tegak tepat mengarah ke jantung.
"Arrgh! Sial! Dimana ini? Kenapa aku ada disini?!" umpat seseorang dengan setelan jas hitam yang berada di ujung meja.
"Aku gak tau. Ah brengsek!"
"Aku ingin pulang!"
"Tak bisakah kalian tenang sedikit!"
Suasana yang awalnya riuh kini mereda. Cukup lama mereka menenangkan diri seraya mengatur napas masing-masing. Ruangan itu begitu gelap. Hanya ada satu lampu gantung berdaya rendah tepat di atas meja. Isi dari ruangan itu pun tak dapat mereka lihat dengan pasti. Mata mereka akhirnya bisa menyesuaikan dengan penerangan yang seadanya. Mereka pun saling memandang satu sama lain dengan tatapan mengancam.
"Jadi, apa yang terjadi pada kita sekarang?" ucap Alvaro, salah seorang pemuda dengan kacamata yang menghiasi wajahnya.
"Gak tau kak. Aku gak bisa mengingatnya ..., aku ingin pulang, Kak Var!" balas Retha, perempuan yang duduk di
bagian kanan Alvaro.
"Hmm, aku menduga kalau di antara kita semua ..., gak ada yang tau alasan kenapa kita
berada disini." Alvaro melanjutkan kalimatnya, walau tak ada yang mendengarkan.
Mereka terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, untuk menemukan cara agar terbebas dari belenggu rantai. Hingga pria dengan jas hitam menemukan sebuah amplop dibalik kursi yang dia duduki.
"Coba periksa bawah kursi kalian masing-ma ...." ucapan pria tadi terhenti begitu dia membaca isi amplop yang ditemukannya. Dengan sedikit menggerutu, dia segera menendang sisi meja di hadapannya. Pandangan mata ke-empat orang yang lain segera menuju pria tadi, mereka pun meraba-raba amplop di balik kursi masing-masing. Dan ternyata benar, mereka menemukan amplop berisi secarik kertas lusuh.
"Apa isi dari amplop itu?" tanya perempuan setengah baya yang kala itu mengenakan kemeja dinas dengan nametag terjepit di saku bagian kiri.
"Bu-bukan apa-apa," sangkal pria tadi yang terkesan menutupi sesuatu.
"Baiklah, kalau tak ada yang mau membukanya. Aku yang akan memulainya," sahut Retha menengahi 2 manusia dihadapannya. Dia segera membuka amplop dan membacanya lantang.
"Aku akan membacakan isi dari
amplopku ...."
Cukup lama Retha terdiam. Nampak dia ragu dengan isi amplop miliknya. Namun Retha sudah memutuskan kalau ia yang akan memulainya.
"Orang di sebelah kiriku adalah pembohong. Semua yang dia katakan adalah kebohongan. Jangan ada yang percaya padanya."
Sontak semua orang dalam ruangan tersebut memandang Alvaro mengintimidasi. Tak mau dianggap sebagai seorang pembohong, pemuda itu lantas membela diri.
"A-apa maksudmu Reth? Kau tau aku gimana kan? Mana pernah aku berbohong? Percayalah pada kakakmu ini!"
"Alah, jangan banyak alasan! Apa maksudmu memasukkan kita semua ke dalam tempat busuk ini?!" tukas pria dengan jas hitam yang berada tepat di depan pemuda itu.
"Sungguh aku tak berbohong! Aku berani sumpah ..., jangan memandangku begitu, sialan!"
"Cukup! Tak bisakah kalian tenang!
Suasana kembali hening. Permainan pun dimulai lagi, dan kini giliran si perempuan paruh baya. Dengan pasti dan tenang dia membuka amplop miliknya. Raut wajah tegang tercetak begitu jelas di masing-masing orang dalam ruangan itu.
"Ucapan orang yang di samping kiri ku adalah benar. Siapa pun yang berbohong akan mati …." ucap wanita berkemeja dinas itu dengan suara getir nan parau. Dan tak ada satupun dari mereka yang mengangkat suara.
Kini giliran pria dengan jas hitam yang membacakan isi amplop miliknya. Tangannya ragu saat membuka kertas yang terliat dalam amplop. Keringat
mengucur deras dan matanya melotot tak percaya melihat isi kertas tersebut.
"Disini ada yang menyamar, aku lah si penyamar itu! …, Anjing! Brengsek! Aku bukanlah si penyamar itu, aku bahkan tak tau siapa kalian se-"
Dengan nada ketakutan pria itu melontarkan kalimatnya. Perhatian kini tertuju pada pria tersebut. Seribu binatang telah dia sebutkan dengan kasar dan meyakinkan dirinya kalau isi surat miliknya adalah kebohongan.
Sepersekian detik kemudian, kejadian tak menyenangkan terjadi. Pria itu kejang-kejang tanpa sebab. Matanya melotot tajam, tubuhnya bergetar hebat.
Ya, listrik bertegangan tinggi menyalur dari rantai di tangan pria itu menuju tubuhnya.
Semua tercengang menatap tubuh pria itu yang kini berbau gosong dan tergeletak pasrah. Kejadian itu lantas membuat Retha tercekat dan berteriak. Suaranya yang melengking sampai mampu tuk membius orang yang mendengarnya, seakan mengajak ikut berteriak. Orang kelima yang sedari tadi diam mengamati, kini mulai membuka suara.
Tatapannya yang kosong semakin membuat Retha menjerit histeris. Tak ada ketakutan sedikit pun yang terlintas di benaknya, atau mungkin dia memang tak bisa merasakan emosi.
"Aku Hendri, jaksa wilayah Distrik 19. Ini isi dari amplop milikku …," ucapannya terhenti sebentar seraya melihat sekitar. Memastikan lagi keadaan
manusia-manusia yang ada dalam ruangan ini.
Ketakutan masih menyelimuti
mereka akibat adegan tak terduga yang menimpa pria berjas hitam. Suara gemeretak gigi dan juga gemerincing rantai terus menemani mereka.
"Tak ada dari kita semua yang berkata jujur. Kita semua adalah pembohong," lanjut Hendri dengan tenang tanpa ada rasa takut.
"Siapa sebenarnya orang busuk yang melakukan ini semua?!!" umpat Retha kencang melebihi gelegar halilintar. Sesekali tangannya mencoba meloloskan diri dari rantai, tapi usahanya tak membuahkan hasil.
"Kak Var, aku gak mau mati kak! Aku masih mau hidup kak!" ujar Retha sekali lagi dengan isak tangis kepada pemuda berkacamata di sampingnya.
"Terdapat 6 orang di dalam ruangan ini …."
Hanya itu yang diucapkan Alvaro. Semua mata kembali tertuju padanya, mengintimidasi. Retha terkejut dengan ucapan kakaknya. Ia mulai melemparkan tatapan tak percaya, Retha mulai tak mengindahkan kalimat Alvaro.
Keadaan semakin kacau. Tak ada yang bisa berpikir jernih saat itu. Yang mereka tahu hanyalah bagaimana cara menyalamatkan diri mereka masing-masing. Hanya Hendri yang tetap tenang tanpa ada rasa takut. Walau pun keringat terus mengucur di kedua pelipisnya. Di saat suasana
tegang-tegangnya, si perempuan paruh baya itu menemukan sebuah gergaji yang biasa dipakai untuk memotong besi. Dengan tergesa-gesa dan seperti
kesetanan, dia segera memotong rantai yang mengikat tangannya. Retha dan Alvaro mencoba mengikuti usaha wanita itu, untuk menemukan gergaji di bawah meja. Nihil, tak ada apa-apa di bawah meja.
"HAHAHA!! Ini bukan keberuntungan kalian anak muda!! Aku akan segera
bebas!"
Perempuan tadi terus menggesek gergaji mencoba memotong rantai dengan beringas. Tawanya begitu menggelegar mengalahkan teriakan Retha. Hingga rantai itu benar-benar putus. Senyuman mengerikan terukir jelas di wajahnya yang mulai keriput. Dia segera membuang gergaji itu ke belakang tanpa tahu yang akan terjadi nanti.
"LIHATLAH!! AKU BEBAS! HAHAHA! MENYUSULLAH KALIAN KE TEMPAT PRIA BARUSAN!!! HAHAHAHA!!"
Namun begitu kakinya melangkah, alangkah terkejutnya dia ternyata ada rantai lagi yang menghubungkan tiap kursi satu dengan yang lainnya. Matanya
membelalak tajam saat dia tersandung rantai dan mendapati sebuah besi runcing menyambut datangnya wanita tersebut. Segera saja besi itu menusuk leher si perempuan yang jatuh bersama tarikan gravitasi.
Tubuh perempuan itu tergeletak tak berdaya di atas lantai. Darah mulai mengucur deras, baunya yang anyir membuat Retha semakin histeris. Alvaro hanya diam membisu melihat mayat si wanita yang melotot tajam ke arahnya. Hendri hanya berdecak kecil dan meludah ke samping kirinya.
"Dua sudah tumbang, yang tersisa hanya kita bertiga."
"Be-berempat," jelas Alvaro terbata-bata.
"Apa kau sudah gila? Disini hanya ada kita bertiga, idiot!!"
"Ta-tapi isi amplopku mengatakan ada 6 orang disini." sanggah Alvaro tak setuju.
"Ternyata kau memang pembohong, anak muda! Pikiranmu memang sudah kacau.
Haha!"
"Jadi kau ikut berbohong, kak?" tanya Retha dengan suara parau.
Alvaro hanya terdiam. Air matanya mulai mengalir deras menantikan besi tajam
itu memakan dirinya. Hendri kembali berdecak sinis. Tatapannya yang kosong memandang gadis di depannya. Seakan-akan ia telah memenangkan permainan setelah melihat reaksi Retha terhadap kakaknya.
Bats! Blub!
Kejadian aneh kembali hadir. Kini satu-satunya penerangan dalam ruangan itu padam. Gelap gulita, hanya itu yang tepat untuk menggambarkan kondisi ruangan saat ini. Retha terus saja berteriak minta tolong dan semakin memberontak. Suara gebrakan meja akibat tendangan juga terdengar jelas dalam temaramnya tempat itu. Alvaro masih saja menangis sesenggukan tanpa mampu untuk berkata lagi.
Hendri yang sejak awal tenang tanpa rasa takut, kini bergidik ngeri. Bagaimana tidak, sebuah besi tajam yang tertancap di meja, mulai menyentuh permukaan bajunya tepat mengarah ke jantung. Rasa takut itu akhirnya muncul. Penyesalan dengan perbuatan lamanya. Teriakan Hendri begitu kencang saat besi tajam itu menembus bajunya.
KRESSS!!!
Bau anyir darah semerbak mengisi seluruh ruangan. Hening. Suasana riuh tadi kini tiada. Tak ada lagi suara-suara menberontak. Tak ada lagi teriakan-teriakan memilukan dari Retha.
Lampu yang awalnya padam menyala kembali. Namun yang membedakan semua lampu dalam ruangan menyala. Kini penampakan ruangan itu tergambar jelas. Besi panjang dan tajam terlihat telah bersarang di jantung Hendri. Darahnya terus mengalir melalui
perantara besi.
"Kekeke! Mati sudah orang-orang busuk ini! Bukan begitu, Var?
"Benar Al ...." ucap pemuda itu tersenyum aneh melihat bayangan dirinya yang berada dalam cermin besar tepat di sebelahnya. Tawa Alvaro mulai menggema di ruangan itu. Sebuah halaman koran lusuh terbang terbawa angin. Berita tentang insiden di 5 tahun lalu. Dimana sebuah kasus pembunuhan yang jelas tertutupi
karena uang suap. Juga seorang wanita yang menduduki posisi direktur, karena direktur yang lama meninggal. Hingga kini masalah itu tak pernah terselesaikan, tentang apa penyebab terjadinya kasus tersebut. Namun yang jelas, ada satu pihak disitu yang menjadi
korban. Ya, Alvarolah korbannya.
Retha yang sedari tadi pingsan kini mulai tersadar. Pandangannya yang samar menatap kakaknya tertawa tanpa sebab. Rasa penasaran tergambar sangat jelas. Begitu dia benar-benar tersadar, Alvaro menolehkan kepalanya dan menatap kosong Retha. Senyuman mengerikan lantas terukir di wajah Alvaro. Belum sempat Retha berteriak pandangannya jadi menghitam. Tak ada yang tau apa yang terjadi setelah itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro