ZIZI 17- Es Kepal Zidan
17- Es Kepal Zidan
"Bego! Ngapain gue terima sih!"
Sampai malam Zia terus menyesali kejadian tadi sore. Bagaimana tidak, dia sama sekali belum tahu latar belakang Rendra, dan apa motif cowok itu menyatakan cintanya padahal belum lama ketemu Zia. Bahkan belum pernah pdkt.
Zia memang sudah pernah pacaran satu kali saat masih duduk di kelas sepuluh. Itupun hanya bertahan sampai seminggu karena cowoknya dulu posesif. Zia mana tahan diatur sedemikian rupa sama orang yang bahkan belum jelas jadi masa depannya apa tidak.
Sekarang Rendra, Zia belum tahu apa Rendra cowok kasar, atau suka morotin uang, atau cemburuan, posesif, atau justru yang paling parah pasif. Namun, melihat dari sekian banyak pesan yang dikirim Rendra sebelumnya dan tadi di lapangan, Zia mencoret kata pasif dari cowok itu.
Banyak DM yang masuk, memberikan ucapan selamat dan jangan lupa PJ-nya. Zia memilih mengabaikannya. Iya, tadi banyak foto dan video yang menandai akun instagramnya, sampai notifikasinya penuh.
Tring! Notifikasi datang lagi. Zia yang tadinya malas melihat mengurungkan niatnya karena notifikasi itu menarik perhatiannya.
Malvino_zidan menambahkan foto baru.
Untuk pertama kalinya, Zidan mengunggah foto wajahnya sendiri. Meskipun diberi efek hitam putih. Namun, tulisan di bawahnya membuat Zia tertegun.
Terdengar suara patah di dalam sana. Tak apa patah, besok juga bisa nyambung lagi walau tidak sempurna.
Lima menit foto tersebut diunggah, sudah ada like setidaknya dua belas orang. Namun, yang menjadi perhatian Zia adalah komentar dari Shilla.
Kak Zidan kuat, Kak Zidan hebat. Semoga kelak kakak dapat penggantinya.
Maksudnya pengganti, apa? Apakah Zidan sekarang sedang menyukai perempuan tapi malah perempuan itu diambil cowok lain?
Apa ... jangan-jangan Zidan patah hati karena Zia?
Enggak, enggak. Zia menggelengkan kepalanya. Mana mungkin Zidan menyukainya? Kalau memang suka, kenapa tidak ada usaha sama sekali? Lagi pula, mana mau Zidan pacaran sama cewek boros seperti Zia.
***
Nindya menyibak gorden jendela kamar Zia. Cahaya matahari masuk, menyilaukan mata anaknya yang masih rebahan di kasur.
"Ayo Zia, bangun! Kita olahraga sekarang."
Zia mengucek kedua matanya. "Masih ngantuk, Mi. Entar siang aja."
"Eeeeh waktu yang paling pas buat olahraga ya sekarang. Kamu kan habis sakit, biar badan fit lagi kamu harus olahraga. Ayo cepet bangun."
Nindya menarik tubuh Zia hingga anak itu duduk. Zia perlahan membuka kedua matanya. Nindya sudah rapi dengan kaus warna putih, dipadu dengan celana training warna hitam, serta sepatu Adidas.
"Cuci muka sana. Mami tunggu di sini biar kamu nggak tidur lagi."
Zia bangkit. Dengan malas ia mengambil kaus dan celana olahraganya di lemari, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk cuci muka dan ganti baju. Mandinya nanti saja habis olahraga.
Tak butuh waktu lama Zia keluar. Wajahnya sudah kelihatan segar dari sebelumnya. "Ini kita mau olahraga apa, Mi?"
"Pertama kita pemanasan dulu di depan. Habis itu kita jogging sampai taman."
"Jauh itu, Mi. Kenapa nggak sampai ujung jalan aja?"
"Jangan malas! Tuh lihat lengan kamu, kendor kayak gini. Terus perut kamu juga keliatan buncit. Pipi kamu juga chubby. Lemaknya harus dibakar."
"Iya, Mi. Iyaaa."
***
Zia mengatur napasnya. Telapak tangannya menyeka keringat yang menetes di dahi. Benar kan, jogging dari rumah ke taman yang jaraknya kurang lebih lima kilo menguras tenaganya. Zia paling anti olahraga lari dan sejenisnya, karena itu bukannya bikin sehat tapi bikin capek. Jangan heran kalau nilai olahraganya merah.
Zia menoleh ke samping. Nindya masih terlihat biasa aja. Ah, Zia lupa, si Mami kan memang doyan olahraga. Fitness setiap hari Minggu tak pernah ketinggalan. Makanya diusianya yang sudah kepala empat, Nindya masih terlihat sehat bugar.
"Ayo Zi, lanjut."
"Zia mau istirahat aja, Mi. Capek."
"Ini belum masuk inti olahraga, Zi. Kamu udah ngeluh capek."
"Beneran capek, Mi."
"Ya udah, Mami kasih waktu istirahat lima belas menit. Habis itu kita keliling taman."
Zia mengangguk lemah.
"Nih, minum dulu." Nindya mengeluarkan tumbler dari dalam tas pinggangnya. Zia langsung menerimanya dengan senang hati dan meneguknya.
"Yuk lanjut!"
Malas-malasan, Zia menyeret kedua kakinya untuk menuruti perintah maminya.
"Jeng Anin, di sini juga?"
Tiga orang ibu-ibu menghadang jalan Nindya dan Zia. Nindya yang mengenalnya langsung cipika-cipiki para ibu itu satu persatu.
"Oh iya, arisan Minggu lalu kok Jeng Anin nggak datang? Padahal seru lho hadiahnya."
"Iya. Aku nggak sempat hadir karena ada klien yang manja, biasanya Jeng mau mediasi tapi gak dapet solusi."
Nindya yang asyik bercengkrama, menjadikan kesempatan Zia untuk kabur. Untung saja tadi Zia bawa HP dan dompet.
Di tengah jalan, Zia tak sengaja melihat sosok yang mirip Zidan duduk sendirian di bangku taman. Gadis itu berinisiatif mendekatinya.
"Sendirian aja, bro! Kesambet nanti."
Zia menepuk bahu Zidan keras, hingga cowok itu berjenggit kaget.
"Kesambet beneran kan ...." Tanpa permisi Zia menduduki tempat kosong di samping Zidan. "Lo ngapain di sini? Masih pakai piama pula."
"Bukan urusan lo."
"Lo kabur dari rumah?"
Terdengar dengkusan dari hidung Zidan.
Zia memilih tidak bersuara lagi. Percuma juga. Ditanya jawabnya 'bukan urusan lo', siapa yang tidak kesal?
"Oiya, selamat ya, lo jadian sama anak baru itu. Beruntung ya dia, belum ada seminggu udah berhasil dapetin elo," ujar Zidan tiba-tiba.
"Biasa aja tuh."
"Kalian berdua cocok."
"Lo tau dari mana gue sama Rendra cocok? Lo kan nggak kenal Rendra." Zia mulai gusar.
"Dan apa elo udah kenal Rendra?" Zidan menatap dalam wajah Zia. Dalam tempo yang lama.
Zia kehabisan kalimat.
"Lo nggak bisa jawab, kan?"
Zidan perlahan bangkit. Lalu berjalan meninggalkan Zia.
"Eh, Zidan, kenapa gue ditinggalin? Gue belum—"
Bugh!
Zia meringis. Niatnya ingin mengejar Zidan luntur sudah karena tali sepatunya lepas hingga menyebabkan dirinya terpelanting. Zidan hanya menoleh sebentar, lalu kembali meneruskan langkahnya tanpa membantu Zia berdiri.
"Ih, Zidan. Bantuin gue kek!" Zia berusaha berdiri tapi pergelangan kaki kirinya benar-benar sakit. Sepertinya terkilir.
Punggung Zidan mulai menghilang dari penglihatannya. Zia menarik napas dalam-dalam. Mencoba berdiri sekali lagi. Sesekali Zia mengumpat, menyalahi tali sepatunya yang lepas di waktu dan tempat yang kurang tepat. Juga memaki Zidan yang tidak menolongnya.
"Pakai ini dulu."
Zia menatap bongkahan es batu yang terbungkus plastik di tangan seseorang yang ia kenal. Seseorang yang barusan Zia maki.
"Cepet buka sepatunya!"
Zia menurut. Segera membuka sepatu yang membungkus kaki kirinya. Mengambil es batu dari tangan Zidan. Lalu menempelkan bongkahan es itu pada pergelangan kakinya.
"Gue nggak bisa bantuin lo berdiri karena lo berat. Makanya gue cari es batu buat ngobatin kaki lo."
Zia melotot. Tak terima tubuhnya dibilang berat. Namun, Zia tidak berani menyerang karena Zidan sudah mau berusaha membantunya. Yang Zia lakukan sekarang hanya membuang napas.
"Gimana? Udah bisa berdiri, kan? Kalo udah, lo traktir gue es kepal. Hitung-hitung sebagai balas budi."
"Jadi lo nggak ikhlas nolongin gue?"
"Gak."
Sebentar lagi, es batu yang berada di genggaman Zia berpindah ke wajah Zidan yang sama dinginnya.
***
Walaupun kekesalannya sudah menumpuk di ubun-ubun, Zia tetap membelikan Zidan es kepal sebagai balas budi.
Kaki yang masih nyut-nyutan Zia abaikan. Matanya memperhatikan wajah Zidan yang sedang asyik melahap es kepalnya itu. Wajah yang semakin hari semakin pucat dan tirus. Zia jadi heran, apa di rumah Zidan tidak pernah diberi makan atau emang Zidan-nya yang malas makan?
"Zia! Mami cariin ke mana-mana taunya ada di sini. Bener-bener pinter anak Mami sekarang, ya."
Baru Zidan menghentikan kegiatannya begitu mendengar suara perempuan memanggil Zia. Sedangkan Zia berdiri menenangkan perempuan itu.
"Maaf, Mi. Habis Zia capek, Mi."
"Halah alasan!"
"Jadi, lo kabur dari nyokap lo?" Zidan bersuara. Dan seketika menarik perhatian Nindya. Wanita itu mengabaikan anaknya.
"Kamu temannya Zia? Namanya siapa? Kelas berapa?"
"Nama saya Zidan. Kelas tiga, Tante."
"Oh, sekelas sama Zia? Apa jangan-jangan kalian berdua pacaran?"
"Nggak, Mami. Kami nggak sekelas dan nggak pacaran," jawab Zia cepat.
"Kamu kok nggak pernah cerita kalau kamu punya temen ganteng begini?"
"Hah? Ganteng, Mi? Mami kayaknya perlu periksa mata deh. Orang pucet kayak mayat begini dibilang ganteng."
"Ah, itu mata kamu kayaknya yang udah minus gara-gara sering live IG. Zidan ganteng kok."
"Itu gara-gara Mami udah lama nggak liat cowok ganteng. Zidan itu orangnya aneh, Mi. Mami bakal cepet tua kalo deket sama dia."
"Halah, kamunya aja kali yang galak. Jadi cewek jangan galak-galak."
Zidan diam memperhatikan interaksi Zia dengan maminya. Es kepal tadi sudah tak menarik lagi. Zia terlihat manis saat beragumen dengan maminya, dan itu membuat Zidan iri.
Argumen itu masih berlanjut bahkan sampai tidak menyadari suara batuk dari mulut Zidan. Cowok itu menutup mulutnya, takut jika darah lagi yang keluar. Benar saja, di telapak tangannya, ada noda darah. Zidan mengepalkan tangannya supaya Zia tidak melihat darah itu.
"Tante, saya pamit pulang duluan." Masih menyembunyikan tangannya, Zidan pamit kepada Nindya.
"Kamu mau pulang? Tante anter, mau?"
"Mami, kita tuh nggak bawa mobil!"
"Oh iya, lupa."
"Saya bisa naik taksi kok, Tante. Terus nanti tolong bawa Zia ke dokter, ya. Dia tadi habis jatuh," ujar Zidan sesopan mungkin.
"Lho, kapan kamu jatuh, Zi?" tanya Nindya.
"Barusan, Mi."
"Ya udah, Mami pesen taksi. Kita langsung ke dokter."
Zidan segera menjauh dari Nindya dan Zia. Dia tidak mau seorang pun tahu noda darah di tangannya.
❤❤❤
Done
141119
Published
161119
***
Next part...
"Lo itu statusnya cuma pacar. Jadi, nggak usah berani ngatur hidup gue. Ngerti!"
***
A/N
1461 word, Alhamdulillah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro