Bab 4 : Canggung Segitiga
Siang ini sangat terik, yang meski di dalam toko sudah terdapat AC untuk menyejukkan, tetapi tetap saja untuk Zia ini terasa pengap—di kepalanya. Gadis itu tengah mencatat pesanan, sementara Medina merangkai bunga. Saking jenuhnya, Zia harus menopang dagu agar wajahnya tidak berbaring di atas meja. Mata malas gadis itu mengarah ke televisi yang menayangkan berita para selebriti.
"Lesu amat, Zia," tegur Medina.
Mendengar namanya disebut, Zia hanya menoleh sekilas, sekadar memamerkan wajah lemas pada sang sahabat, kemudian kembali ke mode awal; mengetik di keyboard menggunakan sebelah tangan.
Helaan napas Zia terdengar sampai ke Medina yang berjarak dua meter darinya, padahal saat-saat ini termasuk berisik karena suara kendaraan di depan toko. Medina tergelitik melihat keresahan sahabatnya itu.
"Nungguin Allan?" tebak Medina, sembari melirik sekilas pada Zia.
"Nggak." Tidak lebih sedetik setelah Medina menyebut nama pria yang memenuhi kepala Zia sekarang ini, gadis itu langsung menyanggah tegas. "Males aja."
Jawaban yang pertama memang bohong, tetapi yang kedua adalah kejujuran. Zia malas dengan takdirnya sekarang ini. Padahal ... ia sudah berpisah dari pria pengganggu itu selama beberapa tahun. Butuh waktu lama bagi Zia untuk mengabaikan ingatan mengenai Allan, lalu saat gadis itu sudah benar-benar hidup tenang dalam kesendiriannya, pria itu datang sekali lagi.
Seperti remedial ujian hidup, tetapi Zia sama sekali tidak bisa belajar dari kenangan masa SMA mereka. Bahwa mereka tidak bisa-mustahil-tidak akan bersama. Namun, gadis itu selalu gagal melupakan sosok Allan sejak mereka bertemu lagi.
Bahkan lebih buruk lagi, ketika Zia mengedarkan pandangan ke arah pintu toko, ia sekali lagi melihat sosok pria itu tersenyum hangat padanya. Helaan napas gadis itu kian kasar dibanding sebelumnya, ketika ia berusaha lupa, tetapi otaknya berkhianat. Zia bahkan tidak bisa amnesia mengenai satu pun detail diri Allan, terutama yang menggantung di leher pria itu. Ketiga kalinya dalam kurun kurang 20 menit, mulut Zia mengeluarkan udara secara kasar.
"ZIA!" panggilan tegas dari Medina berhasil mengalihkan tatap Zia dari pintu.
Kali ini, karena ia juga dikejutkan dengan nada tinggi Medina, Zia menegakkan punggung saat menghadap langsung pada sosok Medina.
"Itu Allan panggilin kamu dari tadi," ucap Medina memberitahu, sembari menunjuk ke arah pintu menggunakan dagunya.
"Allan?" Zia dua kali lebih terkejut, saat ia kembali menatap pintu kaca, dan menyadari bahwa sosok di pintu itu bukan bayangan dari pikirannya, melainkan memang Allan asli.
Mengetahui itu, Zia susah payah menahan detakan keras yang jantungnya ciptakan khusus ketika melihat pria itu. Tangannya kembali menyanggah dagu, sembari ia melihat layar monitor.
"Males, Din. Kamu layanin sana. Kan temenmu," kata Zia datar.
"Yakin ...?" Medina bertanya dengan nada menggoda. Karena mendapat tanggapan berupa bahu terangkat tak acuh, Medina akhirnya meninggalkan tugas sebentar demi mendekat ke pintu toko. "Cari apa, Allan?"
"Ini, Din, saya lagi cari bunga. Katanya langka banget, cuman ada di toko ini. Kamu bisa bantu, nggak?" tanya Allan—biasa saja padahal, tetapi Zia seketika menimbulkan suara berisik dari ketukan jarinya dan keyboard. Allan melirik sekilas pada gadis itu, dengan senyum tertahan.
"Kamu tau namanya, Lan? Atau fotonya?" tanya Medina.
"Fotonya ... eh kayaknya nggak ada deh, Din. Namanya ... saya inget-inget dikit. Kalau nggak salah, nama bunganya ... Aamna Kenzia Rabab, deh. Cuman ada di toko ini."
Tawa ringan Medina mengalun, bersama tatap nyalang dari Zia ke kedua manusia di ambang pintu itu.
"Astaga, Lan. Gombalan kamu nggak ketebak beneran." Medina membuka pintu semakin lebar. "Sana, masuk. Jangan sampe nyuri sesuatu di sini, ada CCTV yang ngerekam."
"Astagfirullah, Dina, masa' orang kayak saya mencuri, sih?"
"Nyuri hatinya Zia .... Itu 'kan kebiasaan kamu!"
"Medina kalau ngomong suka bener."
"Sana, masuk!" Sekali lagi, Medina mempersilakan. Allan juga langsung menuruti dengan mudahnya.
Pria itu sudah menyiapkan senyum terbaiknya ketika datang mendekat, tetapi sisa dua langkah lagi berdiri di samping Zia, gadis yang ia tuju menunjukkan kepalan tangannya tanpa mengalihkan tatap dari layar monitor.
"Jangan ganggu! Aku lagi sibuk!" kata Zia dengan nada tegas.
"Iya, iya." Allan mengalah dengan tenang. "Saya cuman berdiri di sini. Nggak bakalan ganggu."
Zia menurunkan tangannya kembali ke atas keyboard. Dalam ruangan tidak ada lagi yang angkat bicara. Hanya ada suara keyboard, serta dari Medina yang membungkus bunga.
Allan sendiri masih betah berdiri di tempat. Bahkan, meski ia hanya melihat sisi samping dari gadis berjilbab biru di hadapan ini, senyum Allan sudah tidak bisa pudar karenanya. Namun, kegiatan menikmati keindahan itu terpaksa Allan hentikan ketika Medina mengajukan pamit.
"Aku mau antar bunga sebentar, ya. Allan, bantuin Zia, ya?"
"Eh?" Allan kebingungan sesaat. Tugas utamanya di sini menjaga Medina, tetapi ... bagaimana dengan Zia? Pastinya terlalu mencurigakan jika ia juga pamit setelah kepergian Medina.
Pria itu tampak dilema tanpa siapapun menyadari. Medina sudah keluar dari toko, dan Allan tidak bisa mengabaikan tugas utamanya karena ini bukan hanya tentang gaji, tetapi masalah keselamatan. Tidak lama setelah Medina menaiki motornya, Allan juga terpaksa harus pergi.
"Astaga, saya lupa anterin barang ke rumah temen. Saya pamit bentar ya, Zi. Kamu telpon saya kalau ada apa-apa, oke? Nomor saya masih yang lama, belum pernah ganti." Allan buru-buru pamit. Ia bahkan tidak sempat mendengar balasan dari Zia saking cepatnya pria itu melangkah keluar dari toko.
"Emang kamu siapa sampe aku harus telpon kalau ada apa-apa?" tanya Zia, tetapi pintu toko sudah tertutup menyisakan dirinya seorang diri.
Mendadak saja, suasana menjadi lebih hening, padahal beberapa saat lalu memang tidak ada suara. Hanya saja ... kali ini lebih sunyi. Berkali-kali lipat. Mungkin karena efek ramai yang dibawa Allan tadi, atau ... karena pikiran Zia tiba-tiba memikirkan sesuatu—yang walau hanya sebatas pikiran, tetapi ada rasa sakit lain muncul di lubuk hatinya.
Mengenai kepergian pria itu, yang selalu tiba-tiba setelah Medina pergi.
Pertama, ketika mereka hendak minum kopi bersama. Kedua ... sekarang ini.
Keempat kalinya, Zia menghela napas panjang guna mengurangi sesak aneh dalam dada.
***
Zia sedang melayani pelanggan ketika Medina sudah pulang dari mengantar bunga. Senyumnya masih terpasang ramah pada sang sahabat, tetapi setelah tidak diperhatikan oleh Medina, Zia mengedarkan pandangan ke ujung jalan.
Allan tidak datang.
Kelegaan dirasai Zia selama beberapa saat, tetapi tidak lama setelah ia menghela napas, gadis itu menemukan pria yang ia cemaskan sudah memarkirkan motor di depan toko. Zia seketika sulit bereaksi.
Allan turun dari motornya usai merapikan rambut yang basah karena keringat. Seperti biasa, pria itu memamerkan senyum terbaik ketika memghampiri Zia. Nada cerianya saat memanggil gadis pujaan itu berhasil menyadarkan Zia dari sikap beku, tetapi efeknya, gadis itu tidak memedulikan keberadaan Allan dengan menyibukkan diri pada tugasnya.
Bahkan, setelah menyelesaikan pekerjaan dan pembayaran, Zia masih tidak memedulikan beberapa panggilan Allan. Ia langsung mendudukkan diri di kursinya, dengan posisi membelakangi bagian depan toko. Televisi yang menyala menjadi pusat perhatiannya.
"Mas Satya makin ganteng aja ya, Din?" tanya Zia, membuka obrolan.
Medina yang ditanyai menoleh sekilas pada Zia, lalu televisi. "Daripada berharap sama yang nggak pasti, mending temui yang di luar, Zi."
"Yang di luar apa, Din? Aku nggak bisa berpaling sebentar pun dari Mas Satya. MasyaaAllah ... kok bisa ada cowok seganteng dia, sih?" Zia menunjukkan tatap dan senyum penuh kekaguman.
Sementara itu, Medina dan Allan saling bertukar pandang dengan raut tidak nyaman.
Hai, ini Es_Pucil!
Aku boleh baca pendapatmu mengenai bab ini?
Jangan lupa berikan komentar/ulasan ya❤️
Itu sangat mendukung aku untuk semakin semangat update bab baru.
Ada kesalahan, typo, dan lainnya? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantu melaporkannya.
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro