Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 : Tiada Detik tanpa Adu Mulut

Pengawasan Medina sudah selesai setelah Allan memastikan bahwa perempuan itu tiba di rumahnya dengan selamat. Tugasnya selesai, maka ia pulang ke rumah. Namun, bukan untuk istirahat. Hanya perlu mandi secepat kilat, berpakaian rapi, tanpa lupa menyemprotkan parfum beberapa kali di pakaian.

Allan sudah siap! Senyumnya hampir tidak pernah memudar di balik helm.

Sesaat setelah memarkirkan motor di halaman toko dan membuka helm, pria itu mendapat sambutan berupa tatap tajam dari Lisa yang tampak bersiap pergi untuk menjalankan tugas. Allan menampilkan raut berbanding terbalik dari rekannya itu: tersenyum cerah, sembari mengangkat sebelah tangan hingga sebatas dada, kemudian dikibaskan sekali sebagai isyarat pengusiran. Tidak lupa sebuah desis samar mengejek, "hush!"

Meski sudah mendapatkan tatap tidak suka dari Lisa, Allan sama sekali tidak peduli. Pria itu turun dari motornya setelah menyempatkan diri merapikan rambut depan spion, lalu menghampiri toko bunga di mana Zia berada.

"Misi, beli bunga!" ucap Allan dengan nada cerianya yang khas.

Zia tersenyum hangat yang dipaksakan, karena di sampingnya ada sang pengawas: Lisa. Ia tetap melayani semua pesanan Allan sebaik mungkin, walau sesekali ekspresi dongkol tidak sengaja gadis itu tunjukkan.

"Eh, Zi, saya baru nyadar sesuatu."

Di sela kegiatan membuat buket bunga, Zia menengadah mendengar ucapan pria itu. Matanya menyipit penasaran, tetapi tingkat kewaspadaannya juga bertambah. Ekspresi serius di wajah Allan terlihat baru untuk Zia yang mengenal pria ini sebagai manusia tanpa beban.

"Jangan bilang kamu lupa bawa dompet!" balas Zia tegas. Ia sempatkan celingak-celinguk untuk mencari keberadaan si bos, dan Zia tidak melihatnya sedikitpun. Segera, raut ramahnya meredup. "Kamu beneran serius beli, Lan? Aku males ya, udah siap-siapin gini, kamu malah main-main. Ini aku udah mau pulang."

"Bukan, Zi." Allan menunjukkan telapak tangannya, yang membuat Zia seketika menghentikan pergerakan. Tatap serius pria itu tampak bukan permainan belaka, jadi, Zia semakin penasaran. "Saya kok denger suara dug, dug, dug gitu?"

"Apa?" tanya Zia bingung.

Allan mendekatkan telunjuk kanannya depan bibir, lalu memajukan kepala condong ke arah Zia. Beberapa detik berikutnya, mata yang dinaungi bulu lebat itu melebar sempurna sampai Zia semakin bingung.

"Jantung kamu mau meledak, Zi? Kedengeran dug-dugnya sampe di telinga saya."

Kumpulan bunga di tangan Zia segera mendarat di lengan Allan sesaat setelah pria itu menyelesaikan ucapan. Zia merapatkan gigi-giginya karena geram.

"Sok tau kamu!"

"Astaga, Zia, sorry banget bikin jantung kamu bunyi keras gitu, tapi ... gimana, ya? Pesona saya emang sebesar itu, susah saya sembunyikan ...."

"Allan!" Zia menunjuk pria menyebalkan di depannya dengan rangkai bunga. "Sekali lagi kamu ngomong aneh-aneh, pergi kamu dari sini! Kamu pikir hebat ngomong gitu? Keren enggak, ngeselin iya!"

"Iya ... iya, maaf." Allan menipiskan senyumnya, dengan mata bulan sabitnya mengarah luruh pada Zia yang kembali fokus pada tugasnya.

"Jangan liatin aku kayak gitu!" pinta Zia kesal.

"Oke." Pria itu mengiyakan dengan senang hati. Kali ini, mata sipitnya melebar secara paksa, sementara senyumnya tidak memudar sedikitpun.

Zia mengembuskan napas kasar. Kedua tangannya jatuh di samping tubuh karena lelah.

"Allan ...." Zia memanggil lirih.

"Iya ...."

"Jangan liatin aku kayak gitu!" Kali ini, penegasan di suara Zia bertambah. Matanya turut melotot serius pada lawan bicara.

"Lah, terus saya harus lihat kamu pakai mode kayak gimana lagi, Zi? Yang tadi nggak boleh, sekarang nggak boleh."

"Jangan liat aku!"

Senyum pria itu menghilang, tergantikan raut jengkel kentara. "Gimana caranya, Zia?" protes Allan disusul dengkus pelan ketika mengedarkan pandangannya sebentar ke sekitar. "Nggak ada yang menarik buat dilihat di sini, selain kamu."

Zia mendecih malas, lalu menatap Allan sinis. "Basi!" hardiknya. "Geli! Jijik!"

Bukannya tersinggung, Allan terkekeh ringan. Tampak sangat menikmati gangguan yang ia berikan pada perempuan di depannya ini.

"Halah, bilangnya jijik, tapi mukanya merah! Idih ... idih!"

Godaan Allan semakin menambahkan kadar amarah dalam diri Zia. Gadis itu kian kacau berekspresi karena semua tebakan pria itu selalu benar! Maka, Zia harus berusaha menyembunyikan kebenaran yang ada dengan menyerang Allan menggunakan buket bunga yang sulit diselesaikan ini.

"Pergi nggak, Allan? Pergi! Males banget layani pelanggan kayak kamu, serius! Pergi sana! Hush!" usir Zia, sembari mengibaskan bunga di tangan.

"Gimana mau pergi, Zi? Bunga aku belum selesai!"

"Males!" balas Zia. "Sana!" usirnya lagi.

Allan tampak meluruhkan semangat. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, tampak semakin serius menatap layar. Zia juga berhenti bergerak demi mengamati pria itu dengan penuh kewaspadaan. Allan dan 'serius' adalah dua hal yang tidak bisa bergabung, menurut Zia. Jadi, tampang Allan sekarang ini patut selalu dicurigai.

"Oke," kata Allan kemudian, setelah mengembalikan ponselnya ke dalam saku. Ia menatap lurus pada Zia tanpa senyum sedikit pun. "Saya harus pergi sekarang. Saya udah ditunggu."

Zia menurunkan pandangan ke arah tangannya yang memegang bunga. Ia menyadari bahwa jemarinya gemetar, tetapi tetap berusaha merangkai setiap bunga. Bibirnya terkatup rapat, sementara mata gadis itu mulai sendu.

"Makanya, jangan buang-buang waktu di sini! Tunggu bentar, aku selesaiin buketnya." Zia berbicara dengan suara lirih. Ia mengambil kertas pembungkus bunga, untuk menyelesaikan kegiatannya. Lalu menyerahkan pada Allan. "Ini!"

"Berapa?" tanya Allan, dengan senyum merekah saat menerima bunga tersebut.

"Bayar di sana!" jawab Zia, sembari memberi isyarat tunjukan dengan menoleh sekilas ke rekan kerjanya.

"Oke, makasih, Zia."

Gadis itu tidak menanggapi. Ia mengambil tasnya dari atas kursi.

"Aku pulang duluan, Milka!" seru Zia sembari melangkah keluar dari toko. "Assalamualaikum!" ucapnya terakhir kali, dan terdengar samar Milka menjawabnya.

Zia berjalan dingin, dengan kepala menunduk memperhatikan setiap pergantian sepatunya yang mengetuk aspal. Ia sesekali memperhatikan sekitar, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku untuk menghubungi kakak laki-lakinya agar datang menjemput.

Namun, sebelum sempat gadis itu menekan calling, langkahnya direm secara mendadak karena keberadaan motor yang berhenti tepat di sampingnya.

"Ayo naik, saya antar pulang!" ajak Allan.

"Nggak usah. Makasih."

"Saya repot pegang bunga, Zi. Bantu bawain, ya?" tawar Allan. Ia mengangkat kaca helm-nya demi memamerkan wajah penuh permohonan.

Zia merotasi bola mata jenuh, lalu mengangguk malas. Bunga yang dipegang Allan sudah payah diserahkan pada Zia. Gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam tas terlebih dahulu, kemudian naik ke motor. Sebuah helm yang menggantung dari pegangan motor diserahkan pada Zia, yang segera gadis itu pakai.

"Rumah kamu masih yang lama, 'kan, Zi?" tanya Allan sebelum menjalankan motornya.

"Iya," jawab Zia pelan.

Motor segera bergerak. Cukup membuat Zia terkejut sehingga ia harus mencengkeram jaket pria itu sekuat mungkin menggunakan sebelah tangan. Selama perjalanan, Zia lebih banyak merunduk menatap bunga mawar di tangannya. Sesekali mengerjap perlahan, lalu alisnya mulai mengerut tidak nyaman. Ia segera mengalihkan tatapnya ke arah lain, pada jalanan yang cukup ramai sore ini.

Hingga motor mulai memelan, lalu berhenti sempurna tepat di depan pagar rumah bercat biru. Zia segera turun sedetik setelah motor berhenti. Ia menyerahkan bunga pada Allan sebelum pria itu siap sepenuhnya, kemudian melepas helm.

"Makasih," kata Zia malas. Ia tidak menunggu balasan, langsung melangkah memasuki rumahnya.

"Eh, Zia, ini ketinggalan!" Allan berseru. Tepat setelah Zia berbalik, pria itu menunduk seolah memungut sesuatu.

Zia sembari membuka tasnya, ikut penasaran. Ia terpaksa kembali ke tempatnya berdiri tadi, demi mengetahui barangnya yang tertinggal.

"Apa?" tanya Zia. Ia menatap bingung karena Allan tidak mengambil apa pun saat merunduk ke samping tadi.

Allan menyerahkan buket bunganya pada Zia, dengan senyum merekah sempurna. Zia menatap aneh pada pria itu dan bunganya secara bergantian.

"Apa?" Zia mengulang pertanyaannya, masih dengan nada bingung seperti sebelumnya.

"Buat kamu."

"Aku nggak ulang tahun."

"Apa harus hari istimewa gitu, saya kasih kamu bunga?" tanya Allan.

"Harus. Aneh kalau kamu kasih bunga ke aku tanpa alasan. Apalagi ... aku sendiri yang ngerangkai bunganya .... Gaje banget kamu!"

Allan mematikan mesin, kemudian menurunkan standar motornya. Perempuan satu ini ... terlalu banyak protes pada segala sesuatu yang Allan katakan atau lakukan.

"Anggap aja, ini hadiah dari saya untuk merayakan pertama kalinya kamu mau saya antar pulang tanpa perlu saya paksa-paksa kayak dulu."

"Gaje!"

"Biarin." Allan tidak mau peduli dengan protes gadis ini lagi. Ia menarik tangan Zia, agar mau menerima buket bunga itu walau secara paksa. "Saya tadinya mau ngasih kejutan, belinya di tempat lain. Cuman ... saya baru ingat saya nggak tau bunga favorit kamu apa. Jadi ya ... pesen aja sekalian ke kamu, biar sesuai selera dan kemauan kamu."

"Ini bukan bunga kesukaan aku."

"Masa?" Allan mengejek. "Saya tadi nggak ada sebut mau bunga apa loh, tadi, Zi. Nggak sebut apa pun, cuman pesen bunga, terus kamu pake muka masam langsung bikin aja."

Zia merapatkan bibir. Ia melarikan sejenak tatapnya ke arah jendela, di mana ada sosok sang kakak di sana. Zia segera memperbaiki gelagatnya yang sempat salah tingkah agar kembali normal.

"Pulang sana! Kakak aku udah nunggu," kata Zia, dan Allan segera mengerti maksudnya. "Kamu beneran kerja apaan sih di sekitar toko? Besok-besok jangan muncul lagi! Kamu ganggu mulu, tau, nggak?!"

"Tau, kok. Kan saya emang sengaja ganggu kamu," jawab Allan tanpa bersalah.

"Aku ... nggak suka!"

"Biarin." Allan menaikkan standar motor, dan menyalakan mesin. Ia sempatkan senyum tipis pada Zia sembari bersiap. "Soalnya anu, Zi ...." Raut Allan kembali serius, dan Zia tidak akan luluh lagi seperti sebelumnya. "Cuman saat-saat kayak tadi yang bikin saya lupa kalau ...." Allan menatap dalam perempuan di sampingnya ini. ".... Kita sebenarnya nggak punya celah buat bersama."

Zia bungkam, bahkan menggigit bibir bawahnya dengan kuat setelah Allan berlalu dari hadapannya.

Hai, ini Es_Pucil!
Aku boleh baca pendapatmu mengenai bab ini?
Jangan lupa berikan komentar/ulasan ya❤️
Itu sangat mendukung aku untuk semakin semangat update bab baru.

Ada kesalahan, typo, dan lainnya? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantu melaporkannya.
***

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro