Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 : Kopi Sebagai Alasan

Disebabkan skandal masa lalu dari artis terkenal, Satya Gulbahar Ilhami, Allan harus menjalani profesi semacam secret bodyguard terhadap Medina. Entah harus berterima kasih atau merutuk sial, karena ia malah dipertemukan lagi dengan cinta pertamanya semasa SMA.

Huh, perasaan kemarin saja belum tuntas, dan kini berhadapan lagi. Jelas, semakin sulit melupakan. Juga, Allan sebenarnya tidak memiliki niat untuk mengabaikan rasanya pada si wajah bulat, Zia.

Sedikit tampil percaya diri kali ini, Allan mengenakan kemeja maroon kotak-kotak dan celana jeans hitam. Ditambah jaket denim, ia merasa menjadi pria paling tampan di dunia. Ji Chang Wook pun kalah!

Saatnya mengapeli Zia!

Aish, tentu saja tidak. Allan hanya ingin menjaga Medina dari segala macam mara bahaya.

Sebagai alas kaki, pria itu memilih sneakers hitam untuk tambahan penunjang tampilan kerennya.

Menggunakan Honda CBR150R, Allan di balik helm-nya tersenyum penuh percaya diri, dan hanya butuh 15 menit untuk sampai di tujuan. Sebelum turun dari motor, Allan melirik ke dalam toko bunga tempat Zia bekerja dan mendapati Lisa juga mengarahkan pandangan ke arahnya sembari menempelkan ponsel di telinga.

Tidak lama setelah itu, ponsel Allan di dalam saku celana depan berbunyi. Ia menggunakan earphone bluetooth untuk mendengarkan informasi.

“Saya mau ke rumah sakit sebentar ini, Kak. Kayaknya tidak bisa di toko seharian, tapi ada karyawan saya di sini, kok.”

Allan langsung mengerti maksud pesan isyarat tersebut. Ini seakan semesta mendukung Allan untuk menjalin kedekatan dengan Zia tanpa harus ditakuti aura Lisa yang muram.

Turun dari motor, Allan menampilkan senyum tipisnya pada Medina yang kebetulan berjaga kala itu.

“Buket mawarnya satu, ya.”

“Seriusan?” tanya Medina ragu. “Zia ada di belakang kalau dia yang kamu cari. Sejak kapan seorang Allan suka bunga?”

Allan tidak mengindahkan informasi Medina mengenai keberadaan Zia, karena ia cukup menunggu di depan toko saja.

“Suka, kok. Kapan saya bilang nggak suka bunga?”

“Tiap kali kamu dikasih bunga cewek selalu kamu tolak, ‘sorry, saya nggak suka bunga’. Hidih, gayamu.”

Allan terkekeh ringan. “Kalau nerima dari cewek yang nggak disuka sih, emang lebih baiknya langsung nolak, supaya nggak ngasih harapan palsu. Tapi sekarang ini aku pesen bunga buat dikasih ke seseorang.”

“Zia, ya?”

Allan lagi-lagi tertawa, bahkan hingga mata sipitnya membentuk bulan sabit. “Kamu kok suka banget sandingkan saya sama Zia? Kentara banget, ya, cocoknya?”

“Halah, bukan rahasia umum lagi kalian berdua, tapi udah pengumuman publik.” Medina berbalik saat menyadari ada seseorang datang dari belakang tubuhnya. “Nah, ini datang.”

“Apa?” tanya Zia otomatis, kemudian melarikan pandangannya ke depan. “Jadi pengemis lumayan berpenghasilan, ya?”

“Sudah saya bilang itu bukan pekerjaan asli saya. Sst! Saya punya misi rahasia di sekitar sini!” Allan melihat sekitar, dan Lisa sudah benar-benar pergi. Dia seharusnya sudah aman sekarang untuk memberikan sedikit spoiler.

Medina yang tampak tertarik dengan kelanjutan cerita Allan, sementara Zia lebih memilih tidak acuh dan fokus pada daftar di kertas yang ia genggam.

“Detektif gitu?” tanya Medina.

“Nggak sih, tapi keren kerjaan saya.”

“Pencuri?” tebak Zia masih dengan pandangan mengarah ke kertas.

“Kamu kalau ngomong sama saya, kok, ya, nggak pernah nyaring gitu!” keluh Allan. “Kerjaan saya itu sehat, tau. Mm ... sejenis detektif seperti yang Medina bilang.”

Zia melengkungkan bibirnya ke bawah, dan Allan langsung mendengkus. Memang ya, kalau orang jatuh cinta, lebih suka memperhatikan ucapan wanitanya walaupun menghina daripada pujian dari orang lain.

“Kamu kasih saya lima ribuan kemarin, sini saya traktir kopi, Zi,” tawar Allan. “Kamu juga, Din.”

“Oh, makasih, tapi aku rada sibuk hari ini. Ajakin Zia gih, sambil aku bikin pesanan kamu.”

“Ayo, Zi!” ajak Allan dengan senyumnya yang mengembang lebar.

“Kamu ini bisa nggak sih, sekali aja jangan gangguin aku dulu? Aku sibuk, tau!”

Allan mengembuskan napas berat, kemudian mengambil tanpa izin buku catatan Zia dan dengan sekali lompatan, benda tersebut sudah berada di atas toko.

“Allan!”

“Ambil, pendek!” ujar Allan.

“Medina!” panggil Zia. Sementara yang disebut namanya sudah kabur duluan ke bagian dalam toko.

“Cuman lima menitan, Zi. Di depan, kok. Saya nggak bakalan bawa kamu ke gereja buat nikahin kamu.” Tanpa merasa bersalah, Allan berujar demikian.

Dasarnya Zia emang keras kepala, gadis yang hari ini mengenakan jilbab army itu keluar toko, kemudian melihat ke atap yang masih berjarak setengah meter dari tangannya yang di arahkan ke atas. Melompat beberapa kali pun, ia tidak bisa meraih buku itu.

“Allan, plis. Bu Lisa nanti marahin aku,” pinta Zia dengan wajah memelas khasnya.

Uh, wajah bulat itu semakin menggemaskan, sehingga Allan harus menyembunyikan kedua tangannya dalam saku agar tidak kelepasan mencubit pipi Zia, atau tamparan akan mendarat di wajahnya.

“Iya, kalau bos kamu liat kamu. Kalau enggak diliat, ya nggak bakalan dimarahin,” sanggah Allan. “Seriusan ini, Zi, aku cuman mau ajak kamu minum kopi, depan situ, nggak ada 10 meter, astaga. Susahnya udah kayak aku mau nikahin kamu aja.”

“Bisa nggak sih, nggak usah bawa-bawa nikah gitu. Geli dengernya. Rrr ... ya udah, ayo! Cuman 5 menit aja, tapi!” Zia usai berujar demikian, langsung mengangkat dagu angkuh, melangkah hendak menyeberang. Namun, batal saat lengan bawah kanannya ditahan hingga ia terpental dan kembali ke tempat semula ia berdiri. Sepersekian detik berikutnya, sebuah motor dengan kecepatan tinggi lewat bersama suara klakson yang nyaring.

“Ceroboh kamu nggak sembuh-sembuh, ya?” sindir Allan. “Ayo!” Dengan dilapisi kain gamis yang menutupi lengan, Allan tetap menggenggam Zia dan membantunya menyeberang jalan agak ramai.

Keduanya duduk di kursi panjang depan kedai. Allan yang antusias memesan cappucino dua.

“Kamu suka, kan?” tanya Allan memastikan, yang langsung ditanggapi anggukan kaku dari Zia. “Medina suka apa? Terlalu kentara saya cari kesempatan deket sama kamu kalau nggak beliin dia juga.”

“Geli, Allan!”

“Saya nggak bahas nikah-nikah kok, ini. Geli kenapa lagi?”

“Pokoknya nggak suka!”

Allan terkekeh, melihat perempuan di hadapannya ini berusaha merunduk menatap ponsel hanya demi menutupi pipinya yang merona merona merah.

Dari tempat duduknya, Allan sesekali melirik ke arah toko bunga. Mengamati setiap pelanggan yang datang dilayani oleh Medina. Bahkan, kalimat dari pemilik kedai kopi ia abaikan, sampai pelanggan di toko bunga pergi tanpa memberikan masalah.

“Kamu liatin Medina sampai segitunya.”

“Nggak papa, sih.” Allan mengangkat kedua bahunya tak acuh, kemudian mempersilakan Zia untuk meminum kopinya.

“Medina suka espresso macchiato,” ujar Zia memberi tahu.

Espresso macchiato satu, Mas!” pinta Allan.

“Kamu bukannya masuk pelatihan kepolisian, ya? Seriusan, kerjaan kamu jadi mata-mata gitu?” Zia, entah bagaimana, mulai menanyakan masalah pribadi Allan, yang langsung memicu senyum lawan bicaranya.

“Sebelum masuk, saya kena tilang duluan. Apes,” keluh Allan. “Jadi nggak suka saya sama polisi.”

“Daftar aja jadi polisi tidur.”

Meski terdengar garing, Allan tetap tertawa atas lelucon barusan, karena yang mengatakannya adalah Zia, yang bahkan walaupun si perempuan hanya berdiri tanpa bergerak, tetap bisa memancing senyum Allan untuk terbit. Efek Zia memang sebesar itu.

“Kamu pasti bakalan jadi orang pertama yang injak saya kalau gitu,” ujar Allan.  Matanya lalu mengarah otomatis saat melihat Medina mengenakan helm. “Medina mau ke mana?”

Zia mengikuti arah pandang Allan. “Antar bunga, paling.”

“Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Saya mau pulang sebentar, kelupaan sesuatu,” ujar Allan tanpa mengalihkan pandangan dari Medina. Berhubung karena Lisa pergi tadi, maka mau tidak mau, ke mana pun Medina pergi, Allan yang harus membuntuti.

Meski Allan sudah mengambil jalan lain untuk menghindari kecurigaan orang lain, Zia tetap menatap bingung kepergiannya yang terlalu aneh.


Hai, ini Es_Pucil!
Aku boleh baca pendapatmu mengenai bab ini?
Jangan lupa berikan komentar/ulasan ya❤️
Itu sangat mendukung aku untuk semakin semangat update bab baru.

Ada kesalahan, typo, dan lainnya? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantu melaporkannya.

***
Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro