Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1 : Recehan Masa Lalu

Bukannya mendapat recehan rupiah, malah kedatangan bidadari dunia!

Allan sontak saja panik di tempat, hanya bermodalkan topi lusuhnya untuk menutupi wajah, sembari mencoba mengelak ringan dari perempuan yang berjalan ke arahnya. Ia hendak berdiri, tapi sadar, sekarang kakinya sedang berperan buntung.

"Ini, Pak."

Suara perempuan itu. Allan menekan sesuatu dalam dirinya dengan memejamkan mata erat. Bahkan setelah 5 tahun berlalu, detakan khusus untuk perempuan itu masih sama.

Posisi tubuh Allan tidak berubah selama perempuan bergamis peach itu masih di hadapan, tetap memalingkan wajah ke samping dengan sedikit menunduk. Ketidakberuntungan datang pada Allan karena perempuan yang ia kenal saat SMA ini memiliki tingkat kekepoan tinggi hingga sesekali memiringkan kepala demi melihat wajah Allan.

"Jangan nangis, Pak. Ini saya cuman ngasih segini aja, soalnya gaji belum cair."

Yang nangis siapa juga? Allan mendengkus setelah membatin tanpa diketahui. Ia hanya kesulitan menahan sikap dan reaksi alami tubuhnya saat berada dalam radius 100 meter dari perempuan ini. Berdebar, kaku, sulit berpikir, beku, dan penyakit aneh lainnya yang hanya muncul karena orang di depan ini.

Perempuan itu kemudian berdiri, menggaet tangan sahabatnya yang juga Allan kenal saat SMA, sekaligus objek utama pekerjaannya saat ini.

"Pokoknya Medina, hari ini, kamu wajib ikut aku nobar sinetron Pelarian Sang Putri. Uh, Satya parah, 5 kali lipat gantengnya pas meranin Aryan, apalagi waktu gelut, uh ... andai jodoh aku ...!" pekik perempuan yang tadinya memporak-porandakan perasaan Allan.

Bahkan sekarang pun, si perempuan bisa dengan mudah membuat pria dalam balutan kaus sobek yang tak terhitung jumlahnya itu meradang sendiri. Bagaimana si perempuan begitu mendambakan artis idamannya, memberikan sensasi cekat-cekit yang sulit Allan kendalikan.

"Zia!" panggil Allan. "Harusnya kamu ... rrr." Lidah Allan terbelit mulut sendiri saat matanya menangkap sosok Iblisa dari dalam toko bunga warna-warni. Sial! Ia keceplosan! Saking sulitnya menahan perasaan pada perempuan itu.

"Kamu kenal aku?"

Double kill! Perempuan itu bertindak seperti seharusnya, berbalik dengan pertanyaan bingung. Allan kelabakan di tempat. Ingin lari, tapi ikatan kakinya ternyata kelewat ketat.

"A-Allan?" tanya perempuan bernama Zia tersebut dan sekali lompat, perempuan itu sudah berjongkok di depan Allan. "Ih, beneran Allan, Din." Berbanding terbalik dengan ekspresi malang yang ditunjukkan Medina, Zia malah terbilang ceria.

"Ada, ya, orang diamputasi, sampe segede itu pahanya?" Zia menggunakan dagu menunjuk kaki Allan yang terlipat. "Hilih, kitinyi birhinti linjit sikilih biir bisi diftir pilisi." Zia sangat puas. Seandainya ini orang lain, ia tidak mungkin melakukannya, atas dasar sopan santun. Tapi, hei, ini Caesar Allan Gil! Kakak kelas bangsut yang selalu menghinanya pendek dan selalu memancing perang semasa sekolah! "Kenapa malah jadi penunggu jalanan sekarang?"

Allan tidak bisa membiarkan perempuan itu terus menghinanya.

"Ini bukan pekerjaan asli saya!" bantah Allan. Ia melirik sekilas ke arah Medina yang masih berdiri canggung, kemudian melarikan pandangan ke toko bunga.

"Apa? Polisi lalu lintas dengan pakaian kayak gini?"

Medina sudah menarik-narik tangan Zia agar pergi, tapi sulit. Dendam kesumat Zia selama sekolah harus disalurkan sekarang.

"Malahan, kamu yang dikejar polisi kalau ketahuan ngemis pake bohong-bohongan kaki kep*tong kayak gini!"

Allan ingin membalas, tetapi lagi, saat melirik ke perempuan dalam toko bunga, ia langsung merapatkan bibirnya lagi.

"Dadah. Semoga dapat banyak recehan." Zia memberikan lambaian tangan manja, kemudian berdiri hendak mengikuti Medina ke kedai kopi di seberang sana.

Namun, dua perempuan itu membeku di tempat saat apa yang diucapkan Zia kenyataan. Ada mobil satpol PP mendekat. Allan segera berdiri, memaksa ingin melepas kain pengikat kakinya agar bisa berlari cepat. Sayangnya, sulit. Ia sangat bersemangat memainkan peran pengemis. Sehingga, nyawa Allan hanya bergantung pada sepasang tongkatnya. Pria itu berjalan menjauh agar tidak dilirik oleh petugas berseragam tersebut.

"Allan, lewat sini!" Zia setengah menjerit saat menunjukkan jalan menuju belakang toko bunga yang berdampingan dengan tempatnya lesehan tadi. Ia melompat-lompat, gemas dengan kelambanan pria itu.

Allan segera mengikuti petunjuk Zia. Buru-buru menggerakkan tongkat dan sebelah kakinya hingga berada di belakang toko.

Zia mengembuskan napas panjangnya. Kemudian menatap Medina dengan lesu.

"Lega, ya?" ujar Medina dengan alis diangkat-angkat. "Kalian berdua ini! Hah! Aneh!"

"Apaan? Satya tetap nomor satu di hati!" jawab Zia penuh percaya diri.

Ketika hendak melangkah, Zia mendadak mengangkat kaki saat mendapati sesuatu jalanan. Ia merunduk untuk memungut. Sebuah kalung dengan tali kain bulat dan salib hiasannya. Zia menarik sudut bibirnya saat menyentuh langsung benda yang menjadi alasannya harus menghindari Allan 5 tahun lalu—selain karena pria tadi hobi mencari masalah.

Sementara Allan di belakang tembok bersusah payah melepaskan ikatan kakinya. Pintu belakang tiba-tiba terbuka dan muncullah bos toko ini.

"Kamu hampir keceplosan." Lisa. Iblisa lebih cocok panggilannya, menyusul Allan dan membantunya melepas ikatan dengan gunting. "Nggak ada saran lain selain pengemis, Allan? Ngerepotin tau, nggak!"

"Sorry. Lagi trial jadi pengemis."

Lisa mendengkus. "Udah aman?" Sebuah kalimat isyarat meluncur dari mulut Lisa, bersama dengan tatap nyalang perempuan itu.

"Aman!"

"Laporan sama Pak Satya. Istrinya aman. Lain kali, jangan yang ribet gini. Kalau musuh Pak Satya sampai tahu anak buahnya nggak berguna kayak kamu, dia bisa langsung nyerang, sementara kamu malah sibuk ngurusin tali kaki." Lisa setelah berujar demikian, berbalik dan meninggalkan Allan karena tugasnya sudah selesai. Pria itu sudah berdiri dengan kedua kakinya.

"Oke! Saran diterima!" balas Allan dengan nada setengah berteriak.

"Halo, Pak!" sapa Allan setelah sambungan teleponnya di jawab. "Pelaku terpantau muncul jam 2 siang ini, dan pergi 5 menit yang lalu," lapor Allan sembari mengecek jam tangannya yang berasal dari brand Rolex.

"Oke," jawab suara dari seberang sambungan, "Lanjutkan jaga Medina dari jauh, dan Lisa, ingatkan untuk pantau Medina dari dekat."

"Siap, Pak," jawab Allan, dan sambungan dimatikan secara sepihak.

"Allan?"

Pria itu bahkan baru tenang dua menit, dan si pengacau sudah muncul lagi.

Zia datang, dengan wajah mengejeknya, lagi, saat melihat sebelah kaki Allan penuh bekas ikatan. Uh, ingatkan Allan untuk menjauhi profesi satu ini.

"Ini, jatuh." Zia menyerahkan kalung Allan dengan senyum tipis, yang lagi, membuat pria itu terpaku di tempat.

Tangan Allan sulit dicegah untuk tidak tremor ketika mengambil pemberian Zia.

"Jangan kaki doang yang diikat kuat. Hati juga."

Perempuan itu kemudian berlalu setelah berkata demikian.

Allan segera memakai kalungnya. Terdiam selama beberapa detik di tempat sembari memandang jalan yang dilewati Zia tadi. Ia menggeleng kasar, lalu memilih jalan lain untuk pergi dari tempat ini.

Memang seharusnya begini.



Hai, ini Es_Pucil!
Aku boleh baca pendapatmu mengenai bab ini?
Jangan lupa berikan komentar/ulasan ya❤️
Itu sangat mendukung aku untuk semakin semangat update bab baru.

Ada kesalahan, typo, dan lainnya? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu mau membantu melaporkannya.

***
Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro