- 7 -
"Aku harus menungguimu satu jam, berdiri dan membeku di lapangan parkir karena nggak bisa masuk mobil sendiri." gumam Trista dingin di meja makan malam itu.
Cliff menatap Trista tajam, Trista balas menatapnya kesal.
"Seharusnya aku terima saja tawaran Chloe mengantarku pulang..."
Cliff akhirnya menggeleng putus asa, "Mereka yang memaksaku mengikuti uji coba futbol, aku sudah berusaha kabur dari sana tapi para NB itu menahanku. Untunglah aku payah dalam uji coba itu. Ditambah kaptennya, si Jake Reed itu memuakkan dan dia bersikap seolah-olah dirinya itu semacam titisan dewa atau apa."
Trista hanya mendengus.
"Kau sendiri? Aku mencarimu ke mana-mana di kantin, tapi kau malah bergabung dengan senior-senior itu... dan kalau aku nggak salah lihat, salah satu NB itu juga bersamamu..." timpal Cliff.
"Dia Claire Madison, dia ramah dan menyenangkan jadi jangan sebut dia NB. Ditambah, aku nggak bisa melihatmu karena kau tertutupi selubung orang-orang populer." balas Trista sinis. Dia tahu dirinya terdengar sangat kekanakkan saat ini. Mau bagaimana lagi? Dia belum pernah adu mulut dengan saudaranya. Dia tidak memiliki saudara sebelumnya.
"Aku nggak tertarik berurusan dengan mereka, oke? Dan dari tadi aku bertanya-tanya mengapa kau jadi sangat menyebalkan?"
Sarah terbengong-bengong menatap Trista dan Cliff yang tak hentinya beradu mulut di meja makan.
"Astaga, apa sih masalah kalian?" tanyanya dengan mata membelalak, "Aku harap bukan sesuatu yang buruk di sekolah tadi... dan apa itu NB?"
"Biarkan mereka." Tim menggumam pelan.
"Baik-baik! Silahkan. Lanjutkan." Sarah mengangkat tangannya pasrah.
"Sampai di mana kita? Oh ya, kau bilang aku menyebalkan." Trista menyindir jengkel.
Cliff bangkit dari kursinya, wajahnya kaku menahan rasa jengkel.
"Lain kali simpan nomor ponselku saja, oke?"
0
"Cliff-sama-menyebalkannya-seperti-kecoak." gerutu Trista sambil menggosok permukaan kaca kandang Zero dengan ganas, sementara si kura-kura asyik berjalan-jalan di pekarangan belakang, menikmati udara malam yang sejuk selagi dikeluarkan dari kandang. Trista menatap ke arah rumah pohon di balik deretan pepohonan di halaman belakang. Lampunya menyala dan terdengar sayup-sayup suara musik yang disetel Cliff dari stereonya.
"Enak sekali jadi kau, Zero. Nggak perlu khawatir kalau sewaktu-waktu kau kehilangan ingatan. Nggak perlu mengurusi kakak laki-laki yang membuatmu membeku di lapangan parkir selama satu jam."
"Satu hal yang pasti, Cliff jelas jauh lebih tampan daripada kecoak." Sarah menepuk bahu Trista lembut dari belakang.
Trista tertawa ngeri walaupun sebenarnya tak bisa menyangkal, "Dia bahkan payah dalam futbol, Mom."
Sarah tampak terkejut mendengar Trista memaggilnya 'Mom', namun segera menguasai diri, "Payah? Kau pasti bercanda. Dia hampir selalu jadi quarterback utama di tim futbol-nya dulu. Waktu dia masih di asrama."
"Kau bohong? Cliff bilang sendiri bahwa dia payah." ujar Trista bingung.
"Dari cerita-cerita Pendeta George selama ini, aku tahu Cliff seperti apa. Dia pemain yang hebat. Bahkan George menceritakan tentang... well, tentang Cliff yang memandangi fotomu tiap malam dan pernah sekali meneleponku dan bertanya tentang keadaanmu, padahal dia tahu di asrama tidak diijinkan menelepon saat jam tidur." jelas Sarah mengulum senyum, "Jadi kurasa bukan aku yang berbohong."
Trista terperangah. Jadi maksud Sarah, Cliff hanya berpura-pura payah dalam uji coba futbol sore tadi supaya bisa cepat-cepat menemui Trista? Dan Cliff ternyata telah memendam rasa kangen padanya selama ini? Semacam itu?
Dia yakin ibunya sedang mengarang cerita agar Trista bersimpati pada kakaknya. Maka Trista lagi-lagi hanya tertawa skeptis seraya menggosok-gosok kandang Zero lagi dengan lebih bernafsu.
"Aku yakin kau bisa mengandalkannya, Sayang."
Trista agak pesimis soal 'mengandalkan' kakaknya. Masalahnya, sulit kan membayangkan dia mengoceh panjang lebar pada Cliff tentang, misalnya saja, masalah percintaannya tanpa ditertawai habis-habisan?
"Berjanjilah untuk berbaikan dengan kakakmu. Kau tahu dia tidak se-keterlaluan itu. Dia punya hati yang baik, menurutku." Mata hijau Sarah menatapnya lurus, akhirnya Trista menyerah.
"Oke-oke. Aku ke sana sekarang."
Setelah mendesah panjang, Trista bangkit, mengangkat Zero dari tanah dan memasukkannya kembali ke kotaknya. Baru beberapa langkah berjalan, dia berhenti dan berbalik. Trista ragu-ragu sejenak.
"Aku telah berpikir. Aku, uh... sepatutnya bersyukur kau menyerahkanku pada wanita yang kauanggap benar-benar bisa kaupercaya. Dan itu terbukti karena Diana betul-betul meneleponmu. Yah, aku kan tidak bisa sepanjang hidupku menyalahkanmu soal itu, Mom." katanya pada Sarah. Ekspresi terkejut Sarah tak bisa ditutup-tutupi. Merasa malu pada perkataannya sendiri, Trista berbalik lagi dan meneruskan kembali jalannya.
Gadis itu berjalan ke balik pepohonan, kemudian mulai memanjat tangga. Suara musik terdengar makin kencang. Setibanya di atas, Trista mengetuk pintunya. Mendengar tidak ada sahutan, dia mulai menggedor keras-keras.
"Kalau kau pura-pura nggak dengar, aku akan memastikan Mom memotong uang bulananmu." ancam Trista.
"Coba saja." sahut Cliff cuek. Trista mengambil napas dalam-dalam dan berteriak.
"MOM...!"
Kemudian pintu pondok dibuka. Wajah jengkel Cliff muncul dari baliknya.
"Apa?" tanya Cliff ketus.
"Aku ke sini untuk meminta maaf."
"Permintaan maaf diterima. Sekarang enyah." kata Cliff singkat hendak menutup pintu, namun Trista menahannya.
"Mom nggak akan percaya. Setidaknya ijinkan aku masuk beberapa menit. Dia masih mengawasi dari bawah."
Mata Cliff menyipit.
"Tahukah kau bahwa kau adalah cewek paling menyusahkan yang pernah kukenal seumur hidup?"
Benar kan? Betapa mustahilnya kata 'mengandalkan' untuk dipasangkan dengan kata 'Cliff'?
"Pujian yang manis." kata Trista datar, "Mengingat selama hidupmu kau tinggal di asrama cowok."
Rahang Cliff berkedut geram, namun pada akhirnya dia menyerah dan membiarkan Trista masuk. Dan pemandangan yang menyambut Trista sungguh mencengangkan. Lantai pondok dipenuhi robekan dan remasan kertas, seolah-olah Cliff membawa sekarung sampah dari pabrik buku tulis dan menumpahkan isinya di lantai.
"Tahukah kau bahwa kau adalah cowok terjorok yang pernah kukenal seumur hidup?" balas Trista.
Cliff hanya mengatup-ngatupkan jari-jari tangan kanannya seperti paruh bebek, dia berjalan ke sudut dan mematikan radio. Trista memungut salah satu gumpalan kertas dan membukanya.
"Kau... menulis lagu?" gumam Trista takjub. Dengan cepat Cliff merampas kertas dari tangan Trista dan buru-buru membereskan kertas yang berserakan di lantai, kelihatan salah tingkah.
"Aku nggak menganggapnya memalukan." Trista nyengir memperhatikan Cliff yang panik menjejal-jejalkan kertas-kertas ke laci meja dan menguncinya.
"Karya seni yang bagus nggak dilihat sebelum selesai seutuhnya." kilah Cliff seraya menegakkan diri.
"Apa? Kau bisa tahu lagumu bagus atau tidak dari respon orang-orang kan?"
Cliff memutar bola mata jengkel, kemudian membaringkan diri di sofa, "Yang jelas bukan respon darimu yang kuharapkan."
Trista memerhatikan Cliff memasang earphone di telinganya, detik berikutnya jari-jari tangannya sudah sibuk mengikuti irama.
"Dan apa yang harus kubicarakan sekarang?" Trista menggerutu sambil duduk di lantai, bersandar pada lengan sofa. Jika mendongak, dia dapat melihat puncak kepala Cliff yang bergerak-gerak pelan.
"Baiklah. Terserah. Nah, aku minta maaf karena satu, telah konyol marah padamu hanya gara-gara urusan sepele. Kau toh berhak bergaul dengan siapa saja. Dua, jujur saja aku agak sebal mendapati kau, yang selama ini hanya bergaul dengan cowok, mendadak jadi begitu populer di antara cewek-cewek dan cowok-cowok populer. Itu nggak adil! Begini deh, kupikir bukan aku yang bakal terlihat bodoh mencari-cari meja yang kosong untuk ditempati di hari pertama. Ngerti maksudku? Kukira kau yang bakal mencari-cari mejaku.
"Dan tiga, maaf karena aku telah menyamakanmu dengan kecoak. Walaupun kau pasti juga nggak bisa menyangkal kemiripannya. Nah, sekarang giliranmu."
Trista menunggu, dengan sabar. Tapi jelas ini kelewat lama. Curiga, dia berbalik dan mendapati Cliff sudah memejamkan mata dan mulutnya setengah terbuka, meninggalkan Trista sendirian ke alam mimpi.
"Kau..." Trista mengucap perlahan, dan sepenuh hati, "...adalah cowok paling menyebalkan yang pernah kukenal seumur hidup."
0
Selasa pagi itu hujan turun dengan lebat, langit yang biasanya biru pucat kini abu-abu gelap. Udara begitu dingin menusuk tulang hingga Trista, yang sudah mengenakan baju berlapis-lapis dan menyalakan pemanas mobil, masih menggigil kedinginan.
Sementara itu, Cliff menyetir dalam kebisuan. Trista duduk di kursi penumpang SUV dalam diam, terlalu gengsi untuk memulai percakapan duluan. Dia masih dendam soal semalam, bagaimanapun Cliff lebih memilih molor dibanding mendengarkan permintaan maaf Trista yang panjang dan dramatis.
Kemudian mereka melewati gerbang besar sekolah mereka, Cliff memarkir mobil di celah paling dekat lobi utama, supaya mereka bisa berlari menembus hujan tanpa menjadi terlalu basah.
Trista keluar mobil duluan, merunduk dan mengerudungi kepalanya dengan jaket, disusul Cliff. Mereka berlari secepat kilat menyeberangi lapangan parkir menuju tangga lobi. Banyak pula murid yang terlihat berlarian menghindari hujan.
Trista lengah, sepatunya yang licin menginjak genangan air di tangga, lalu dia terpeleset dan jatuh. Terdengar erangan dari bawahnya.
"Apa sih yang kaupikirkan?!" erang Cliff di telinganya. Trista membuka matanya dan jantungnya langsung mencelos ketika mendapati punggungnya menindih tubuh abangnya yang tergeletak tak berdaya di aspal yang basah, sama-sama tersiram hujan.
"Sepatuku licin." Trista nyengir bersalah.
Mereka berdua buru-buru bangkit dan kembali menaiki tangga, kali ini dengan perlahan, menyadari bahwa; sia-sia berusaha membuat baju mereka tetap kering, toh mereka telah terguyur hujan sepenuhnya berkat Trista.
"Ganti sepatu sialan-mu itu dengan boots karet kalau perlu." Cliff menggerutu sambil berjalan memasuki pintu utama, melewati gerombolan pemandu sorak yang memekik panik mendapati roknya terciprat genangan lumpur yang hanya seujung kuku, direndengi Trista yang wajahnya memerah saking malunya. Lalu Cliff menambahkan, "Aku saja nggak ingat kapan terakhir kali aku jatuh."
"Aku nggak sengaja, oke? Aku minta maaf." Trista bergumam jengkel seraya sibuk menyelamatkan isi tasnya yang basah. Cliff menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menyingkirkan air, membuatnya jadi kelihatan seperti model yang baru selesai syuting iklan gel rambut.
"Sudahlah. Sampai nanti." Cliff berbelok dan memasuki kelas pertamanya.
Masih merasa jengkel dan kedinginan, Trista berusaha mengenyahkan pikirannya tentang rambut Cliff. Setelah menyusuri koridor untuk mencari kelas pertamanya hari ini, dia baru ingat bahwa kelas Bahasa Perancis di lantai dua.
"Aku benci tangga." Trista mendongkol seraya menggosok-gosok pantatnya dan menaiki tangga pelan-pelan.
0
"
Tu est la nouvelle étudiante? Mademoiselle Frauss?" Monsieur Alain menghampiri meja Trista dan bertanya padanya. Trista menelan ludah.
"Oui, ce'est vrai." jawabnya.
"Où habitez vous?"
"Je suis un nouveau domicile de cette ville."
"Ah, bien venue."
"Merci beaucoup, Monsieur."
Trista mendesah lega ketika akhirnya Monsieur Alain menjauh dari mejanya. Dia yakin guru bahasa Perancisnya itu menghampirinya karena heran melihat Trista adalah satu-satunya murid yang belum punya pasangan melatih dialog yang ditugaskan olehnya.
Trista duduk di kursi paling pojok belakang kelas, memperhatikan seisi kelasnya yang sudah berpasang-pasangan saling mencoba berlatih. Sementara Trista saat ini, walaupun sudah kering sepenuhnya, tetap merasa seperti orang bodoh karena mencoba berlatih sendirian. Dia bertopang dagu, menatap hampa lembaran teks bahasa Perancis miliknya.
"Excusez moi?"
Trista mendongak. Seseorang telah berdiri di sisi mejanya, tersenyum dan menatapnya ramah. Wajahnya begitu tak asing, sehingga selama beberapa detik mereka bertatapan, akhirnya mata Trista membulat kaget.
Wajah imut itu, tak salah lagi. Dia Lucas Freewell. Cowok nyentrik yang kemarin mengawasinya di kantin.
"Tu veut faire cedevoir avec moi?" tanya Lucas. Butuh waktu untuk menyadari sepenuhnya bahwa cowok itu sedang mengajaknya berpartner untuk berlatih. Trista menjawab masih dengan tatapan tak percaya.
"O-oke."
Lucas nyengir lebar. Dia menarik salah satu kursi terdekat dan duduk berhadapan dengan Trista. Hari ini dia memakai kemeja yang agak kebesaran warna kuning-nyaris-cokelat dipadu rompi kulit, celana bahan dan pantofel lancip warna senada. Dia jadi kelihatan seperti cameo di film koboi era delapan puluhan.
"Hai." sapanya. Selama beberapa saat cowok itu hanya memandangi Trista.
"Er... hai." Trista menyahut bingung.
"Kita sekelas di kelas Seni kemarin, tapi mungkin kau nggak sadar." dia tersenyum pada Trista. Ini pertama kalinya Trista benar-benar memerhatikan Lucas dari dekat dan rupanya pendapatnya memang tidak salah; Lucas memang manis. Rambut pirang terangnya nyaris-gondrong, dan mengikal di tengkuk. Warna itu mengingatkannya dengan warna bunga ivory putih-kekuningan yang dulu banyak terdapat di halaman depan rumah Diana. Matanya sebiru kolam di hari yang cerah, dan sorotnya hangat. Jika saja dandanannya seperti cowok kebanyakan, Trista yakin dari dulu Lucas pasti sudah dikerubungi para NB atau mungkin ditawari bergabung di klub futbol.
Suara Lucas juga ringan dan menyenangkan. Namun ada sesuatu pada cara Lucas memandang Trista. Trista merasa tidak asing dengan tatapan itu.
"Trista Frauss. Makasih sudah menyelamatkanku dari krisis partner ini." ucap Trista mengenalkan dirinya.
Lucas menatapnya kebingungan, seolah Trista baru saja mengatakan hal teraneh, "Kau ngomong apa sih? Tentu saja aku sudah tahu namamu, Trissy."
"Sori?" kata Trista keheranan. Barusan cowok ini memanggilku 'Trissy'?
Ekspresi Lucas berubah ngeri, "Kau lupa padaku?"
Trista tak mampu berkata-kata, dia hanya memandangi Lucas dengan heran.
"Sori, tapi apa kita pernah kenal sebelumnya?"
Lucas mendesah, "Lucas Freewell, dan kalau boleh kutambahkan, anggota klub melukis di Redville High. Nah?"
Lucas kemudian diam dan mengamati ekspresi Trista.
"Senang berkenalan denganmu, Lucas." katanya akhirnya, masih sama bingungnya.
Lucas menatapnya seolah Trista baru saja mengatakan bahwa dia alien yang datang dari planet Saturnus dan hendak menginvasi bumi.
Ada apa dengannya? pikir Trista. Dia cukup yakin baru pertama kali bertemu dengan cowok itu.
"Maafkan aku Lucas, tapi aku memang benar-benar nggak ingat denganmu."
"Kau-"
"Tidakkah kalian merasa lebih baik untuk practiquer dialog kalian terlebih dulu, Monsieur, Mademoiselle?" Monsieur Alain muncul di antara Lucas dan Trista, berbicara dengan logat Perancisnya yang masih kental, "Ataukah terpaksa aku harus memotong nilai-nilai kalian karena terlalu asyik mengobrol di tengah pelajaran?"
"Pardon, Monsieur." kata Lucas cepat-cepat, lalu mulai membaca dialognya.
0
"Lucas Freewell?"
Cliff berhenti mengunyah, kali ini Trista duduk bersama Cliff di kantin, inisiatif Trista sebagai bentuk perdamaian atas cekcok mereka. Untunglah Cliff tidak mempertanyakan soal ini dan setuju untuk duduk bersamanya dan akhirnya Trista menceritakan tentang omongan Lucas yang aneh di kelas bahasa Perancis pada abangnya itu.
"Dia bahkan memanggilku Trissy." tambah Trista.
Cliff terdiam sejenak "Trissy itu panggilanmu waktu masih kecil."
Keduanya berpandangan. Trista tak bisa menemukan ujung permasalahan kenapa bisa-bisanya Lucas, si cowok nyentrik tak dikenal itu mendadak mengajak dirinya berpartner dan menyapanya dengan panggilan masa kecilnya.
"Apakah-"
Pertanyaan Trista terputus. Cliff mendadak melambai bersemangat ke balik bahu Trista.
"Ethan! Ted!"
"Siapa-?"
"Teman-teman baruku, T." ujarnya, "Guys, kenalkan ini adikku yang membuatku kebasahan sakit punggung pagi ini. Trista, ini Ethan Dodson, anak wakil kepala sekolah sekaligus kapten tim basket, dan Ted Kyle, anggota utama tim basket yang tenar. Dua-duanya tergabung di band sekolah. Dua orang sukses Redville High."
Ethan Dodson berwajah dingin, matanya biru pucat dan berambut hitam gondrong. Tatapannya tajam seperti elang, tipikal cowok yang dingin dan tidak banyak bicara. Sementara Ted Kyle adalah cowok yang terkesan supel, dengan wajah penuh senyum dan badan atletis, dan Trista berani bertaruh rambut emas dan kulit kecokelatannya itu membuatnya memiliki segudang penggemar cewek. Keduanya sama-sama tampan, sama-sama keren, dan sama-sama berkarisma. Seperti halnya Cliff. Sebal mengakui ini, tapi sisipkan saja seorang manajer dan bus tur, maka mereka tidak akan bisa dibedakan dari anggota band rock papan atas yang sedang konser keliling.
"Biodata yang agak berlebihan, Cliff. Tapi lumayanlah. Halo, Trista." Ted menyalami Trista sambil nyengir sementara Ethan langsung duduk di sebelah Cliff.
"Halo." Trista tak tahu lagi harus menjawab apa.
"Sudah memutuskan ingin bergabung di klub mana?" Ethan menanyai Trista.
"Abangmu sudah memutuskan ikut klub musik." Ted menambahkan, "Walaupun tergabung di band yang berbeda dengan kami."
"Wah. Dia sepertinya lupa memberitahuku." kata Trista dengan nada penasaran yang dipaksakan dan melirik Cliff penuh arti, "Entahlah, aku kan nggak seperti Cliff yang ditawari sana-sini."
"Omong kosong." Cliff mendengus.
Dalam hati Trista mengagumi Cliff. Abangnya ini terlihat begitu cepat membaur dibandingkan dirinya, mengingat dulunya Cliff bersekolah di asrama laki-laki. Atau justru itulah yang membuatnya cepat akrab dengan cowok-cowok di Redville? Pada taraf ini, Trista yakin Cliff sudah pasti masuk kumpulan cowok-layak-incar di Redville High.
"Ada apa di wajahku? Ada yang salah?" Cliff bertanya sinis ketika melihat pandangan Trista terarah padanya.
"Ya. Eh... nggak. Lupakan." Trista tergagap sembari kembali menyibukan diri dengan makan siangnya. Sementara Cliff tak bisa menahan cengirannya.
0
"Apa Mom tahu seseorang bernama Lucas Freewell?"
"Hmm... entahlah, Sayang."
Trista mengernyit bingung. Dia memutuskan untuk menanyai ibunya mengenai Lucas si nyentrik saat makan malam. Namun sepertinya Sarah juga tidak mengenal Lucas. Sebenarnya Trista beranggapan mungkin saja dia 'melupakan' Lucas karena masalah amnesianya.
"Kau yakin?" tanya Trista.
"Cukup yakin. Kenapa memangnya?" Sarah balik bertanya khawatir.
"Dia, eh... menyapaku di sekolah dan aku nggak mengingatnya."
"Kau yakin nggak butuh pengawal selama di sekolah?" timpal Cliff sambil menyendok pai raspberry dari piringnya.
"Oh, tutup mulut." Trista mendesis jengkel.
"Tunggu. Aku pernah kenal seseorang bernama Richard Freewell." Tim menyeletuk seraya melipat majalah bisnisnya, "Dia dulu tinggal tak jauh dari sini dulu. Dia sering berkunjung. Mungkin itu anaknya!"
"Benarkah?" Trista bertanya.
"Apa iya?" Sarah tampak tak yakin dengan Tim.
"Mungkin saja..." Tim menatap Sarah, lalu ganti menatap Trista, "Kalian berdua pastilah lumayan dekat, kalian punya nama panggilan masing-masing. Mungkin dia yang dulu sering kaupanggil Luke, dan kalau tidak salah dia juga punya nama panggilan untukmu..."
Mendadak Trista paham.
"Trissy." gumamnya pelan.
"Ya. Itu dia. Apa dia memanggilmu begitu?" Tim bertanya bingung pada Trista. Gadis itu menggeleng, diam-diam mencuri pandang pada Cliff yang sedang memandangi sendok painya dengan kernyitan kecil di dahinya.
0
Trissy & Luke?
Tinggalkan vote & comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro