Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 5 -

Trista berbaring di kamarnya, bermain-main lempar-tangkap yoyo tuanya dalam diam. Yang terdengar hanyalah suara detak jarum jam dan suara-suara berisik perutnya yang keroncongan.

Trista masih tak percaya semua ini benar-benar terjadi padanya. Dua puluh empat jam yang lalu dia masih mengira bahwa hanya orang lain, atau aktris-aktris di drama televisi, yang bisa mengalami kejadian seperti ini. Bahwa orangtuanya mengalami krisis ekonomi yang begitu parah, sehingga harus menitipkan kedua anaknya pada orang lain. Orang asing.

Trista tahu dia seharusnya tidak terkejut dengan semua itu karena bagaimanapun Diana sudah menceritakannya, walaupun amat sangat terlambat. Namun mendengarkan segalanya dari kedua orangtuanya sendiri terasa jauh lebih menyiksa, apalagi dalam versi yang lebih rinci.

Dan Tim menamparnya karena telah menyimpulkan kenyataan yang terjadi pada dirinya dan Cliff.

Ditambah informasi baru bahwa ibu kandungnya pernah nyaris bunuh diri karena merasa gagal sebagai orangtua.

Oh, dan juga fakta bahwa Trista tak ingat apapun tentang masa lalunya. Dia tak ingat telah dipisahkan dengan kakaknya yang selama ini belum pernah dia temui. Setidaknya, yang sejak umur delapan tahun belum pernah ditemuinya.

Trista membuka pelupuk matanya. Pelipisnya berkeringat. Dia baru ingat lagi soal Cliff. Bagaimana kira-kira reaksi Cliff? Sembilan tahun mereka tidak bertemu, bahkan Trista tak ingat hal sekecil apapun tentang kakaknya. Seperti apa wajah dan suaranya? Bagaimana jika Cliff menganggap Trista orang asing? Bagaimana jika mereka berdua tak akan bisa menjadi 'kakak-adik' yang sesungguhnya?

Trista memandangi hiasan dinding barunya, pemberian Lucy tadi sebelum berangkat, berupa pas foto dirinya dan Lucy di teras rumah sahabatnya itu musim panas lalu, dengan stiker-stiker huruf kecil-kecil yang disusun membentuk sebuah kalimat;

DANIELA a.k.a TRISTA WAS HERE.

DANIELA alias TRISTA PERNAH DI SINI.

Gadis itu tersenyum ironis menatap tulisan itu, sembari mempertimbangkan dengan serius untuk mulai mengemasi barang-barangnya dan minggat melalui jendela ketika pintu kamarnya diketuk.

"Boleh aku masuk?" suara Tim terdengar dari balik pintu. Trista buru-buru duduk.

"Tidak dikunci."

Wajah Tim muncul dari sela-sela pintu. Setelah memastikan bahwa Trista cukup tenang untuk diajak bicara, dia masuk.

"Sarah baik-baik saja. Dia masih agak syok, tapi sudah cukup pulih untuk bekerja di dapur dan memasak makan malam."

"Aku tidak tanya keadaannya." kata Trista ketus.

"Oh, aku yakin sekali kau ingin tahu tentang itu."

Trista menatap Tim dingin, "Jadi, apa kau ke sini untuk menamparku lagi?"

Tim, tidak sesuai harapan Trista, malah tersenyum dan duduk di sebelahnya. Trista membuang muka.

"Tidak." kata pria itu lembut, "Maafkan aku."

Trista diam saja.

"Aku telah sangat mengecewakanmu selama bertahun-tahun. Aku mengecewakan Cliff. Sarah. George. Juga diriku sendiri. Rasanya seperti kutukan, kau tahu? Mengecewakan setiap orang di sekitarku, termasuk diriku sendiri."

Selama beberapa saat tak ada yang berbicara. Langit di luar jendela kamar Trista sudah berubah jingga keabu-abuan.

"Waktu itu, ketika aku mengetahui Sarah mencoba bunuh diri, aku berada di titik paling rendah. Hidupku seperti tembok lapuk yang akhirnya runtuh. Aku merasa bahkan rasanya lebih buruk, jauh, jauh lebih buruk daripada ketika hakim menjatuhkan hukuman penjara padaku. Aku merasa... gagal. Dan tak berguna. Sarah berkali-kali menyesali keputusannya. Dia merasa sangat bodoh karena begitu saja memercayai insting 'Diana-orang-baik'nya, dan tidak bisa menghilangkan perasaan itu juga." kata Tim sambil menatapnya.

"Aku tahu mungkin kau jijik pada kami. Aku tahu sama sekali tidak mudah bagimu dan aku tak tahu apakah cukup hanya dengan kata-kata, tapi kami minta maaf padamu. Terutama aku, soal tamparan tadi."

Trista tidak bereaksi. Perlahan, Tim bangkit dan beranjak ke pintu.

"Beritahu kami jika kau siap bicara, kapan saja."

Pintu ditutup. Trista masih termangu di tempatnya, memikirkan perkataan Tim barusan.

Beberapa detik kemudian Trista sudah menyusul Tim yang masih berjalan di koridor. Tim terperanjat, namun dengan cepat menguasai diri.

"Well, aku tidak menyangka reaksimu akan secepat ini."

"Aku belum bisa berpikir jernih untuk saat ini. Lagipula aku juga berlaku kasar pada kau dan Sarah di bawah tadi. Jadi aku juga minta maaf." ujar Trista terus terang sebelum lidahnya sempat kelu.

"Tidak, tidak." Tim menggeleng-geleng cepat, "Tak ada yang perlu kau mintai maaf. Satu-satunya yang perlu kau lakukan adalah makan malam bersama kami."

Merasa agak canggung, Trista berkata, "Oke. Aku ganti baju dulu."

0

Trista sedang mengancingkan celananya sambil melamun ketika Tim mengetuk pintu lagi.

"Tris, makan malamnya sudah siap. Bisakah aku minta tolong panggilkan Cliff? Dia masih saja melakukan meditasi konyolnya. Please?"

Suara Tim benar-benar seperti lamunan buruknya yang menjadi kenyataan. Kenapa dia yang harus memanggil Cliff? Bertatapan saja belum pernah, setidaknya seingat Trista. Bagaimana dia harus memasang ekspresi nantinya? Apakah berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa? Atau menyapanya seperti seorang kawan lama?

"Trista? Apa kau tertidur?" Tim memanggilnya lagi.

"Nggak, sebentar lagi aku keluar."

"Oke."

"Uh...Tim?"

"Yeah?"

"Di mana Sarah?"

Hening sejenak, "Dia sedang menyiapkan meja di bawah. Kami menunggumu."

Trista tak bisa berkonsentrasi pada t-shirt-nya. Dia berganti baju dengan gerakan perlahan, mencoba sepelan dan selama mungkin, agar begitu dia turun ke dapur, Cliff sudah duduk di meja makan tanpa perlu repot-repot dipanggil.

Namun doa Trista tak terkabul. Tim tengah sibuk meletakkan piring-piring ke meja makan dan Sarah masih mengaduk saus steak di panci. Tak ada tanda-tanda orang lain di sana.

Sarah tersenyum ragu-ragu pada Trista. Matanya masih tampak kuyu.

"Aku minta maaf, tidak sepantasnya berteriak-teriak padamu tadi." kata Trista.

"Tidak. Aku yang minta maaf karena acara penyambutanmu dikacaukan oleh aku yang pingsan."

Mereka berdua saling tersenyum.

"Aku dan Tim minta maaf atas segalanya, Trista. Atas segala yang terjadi padamu selama ini, semuanya karena kami. Karena ketololanku." Sarah berkata.

Trista menarik napas dalam-dalam.

"Aku ingin kalian tahu sesuatu. Maksudku, kuharap kalian maklum... dengan semua masa lalu dan kenyataan yang baru kuketahui sekarang... jujur saja, ini sama sekali nggak mudah. Jadi, kurasa aku butuh waktu."

"Kami sangat paham." Sarah tersenyum, "Ambillah waktu sebanyak yang kau butuhkan."

"Tapi kuharap SUV itu mempermudah 'proses berpikir'mu." canda Tim sambil meringis karena Sarah langsung menyikut rusuknya, "Maaf. Lelucon buruk."

Trista mau tak mau tertawa canggung. Sepertinya cukup aneh bisa tertawa dalam situasi seperti ini.

"Oh iya... soal Cliff, panggil saja dari bawah. Jika dia tak menyahut juga, kau boleh menyusulnya ke atas. Kau bisa melakukannya, Nak?" kata Tim.

Ini benar-benar bencana.

"Di mana dia?"

"Oh, aku melewatkan hal pentingnya. Pergilah ke balik pepohonan di halaman belakang dan kau akan tahu persis di mana yang kumaksud."

Kakinya yang agak gemetar membawa Trista berjalan melewati teras, menyebrangi halaman belakang, dan menuju ke balik rentetan pohon, mengikuti setapak kecil yang menuntunnya hingga langkahnya terhenti.

Matanya menangkap sesuatu. Siluet besar yang terhalang dahan-dahan pepohonan rimbun. Kemudian angin kencang berhembus, menyibakkan ranting dan dedaunan lebat, memperlihatkan pemandangan tak terduga. Dan saat itu juga Trista menyadari di mana Cliff 'bermeditasi'.

"Rumah pohon?" Trista melongo takjub.

Sebuah pondok kayu bertengger kokoh di atas sebuah pohon besar yang berdiri tertutupi dedaunan. Dia berjalan melewati pagar cemara dan mengaguminya dari bawah. Ukuran pondok itu kira-kira sebesar kamarnya, dengan dua jendela besar di masing-masing sisi kiri dan kanan pondok serta sebuah pintu kayu manis yang Trista curigai buatan sendiri, mungkin buatan Tim. Rumah pohon itu memiliki taman pribadi di bawahnya, dengan beberapa pot tumbuhan yang kelihatannya baru ditanami. Ada sebuah lampu taman bundar persis di tengahnya. Beragam jenis batu hias diatur sedemikian rupa sehingga seolah menuntun Trista menuju pijakan-pijakan kayu yang menempel di batang pohon, membentuk tangga hingga ke atas. Sementara rumput di bawahnya dipasangi kepingan-kepingan besar marmer, membentuk jalan setapak. Dia melangkahkan kakinya mengikuti kepingan marmer dan tiba persis di depan anak tangga pertama.

Namun tidak terdengar suara apapun dari atas. Seperti tak berpenghuni. Ragu-ragu, Trista memanggil.

"Cliff?! Makan malam sudah siap! Kau diminta Sar—eh, Mom untuk turun sekarang!"

Hening. Hanya suara desiran rumput dan dedaunan yang terdengar di telinga Trista. Dia menelan ludah.

"Kalau kau nggak menyahut juga, aku bakal naik!"

Masih tak ada tanggapan. Dengan mengerahkan seluruh keberaniannya, Trista mulai memanjat, "Jangan jadi pengecut." gumamnya sebal kepada dirinya sendiri.

Setibanya di atas, Trista nyaris tergelincir ketika menapakkan kakinya di teras. Dia berhasil menyelamatkan diri dengan berpegangan pada pagar pembatas terdekat. Setelah berhasil mengatur napas, dia mendongak menatap sekeliling. Trista melongong ke sisi kiri dan kanan rumah. Kedua jendela besarnya ditutup gorden tipis motif kotak-kotak. Trista berdiri dan mengetuk pintunya.

"Hei, M-Mom memintamu untuk turun dan makan malam bersama kami, dan jangan pura-pura nggak mendengarku karena aku tahu kau di dalam situ."

Suasana masih sehening sebelumnya. Merasa geram, dia menggenggam pegangan pintu dan mendorongnya hingga membuka.

Ruangan itu agak pengap, karena semua jendelanya ditutup. Trista mengerjap-ngerjap berusaha menyesuaikan matanya dengan keadaan pondok yang gelap. Dia melangkah masuk dan mendengar bunyi napas pelan dan teratur.

Sosok itu berada di ujung ruangan tepat di seberang tempat Trista berdiri sekarang. Dia berbaring di lantai dan wajahnya miring menghadap tembok. Tangannya terlipat di dada sambil memegangi sesuatu dan kakinya terbujur hingga tumitnya menumpang di atas sofa. Tak diragukan lagi, Cliff Frauss sedang tidur.

Trista mendekatinya perlahan dan berlutut, bermaksud mem-bangunkannya. Setelah berada cukup dekat, dia bisa melihat buku yang terbuka di genggaman tangan Cliff. Trista berjongkok hendak melihat secarik kertas yang tampak seperti foto lama yang terselip di antara halamannya, namun buku itu mendadak menutup.

"Jangan sentuh."

Trista terlonjak kaget. Cliff menegakkan diri hingga ke posisi duduk dengan satu gerakan luwes, dan sekarang dia sudah berhadapan dengan Trista.

"K-kau terbangun?" Trista tergagap. Cliff menyejajarkan matanya dengan mata Trista hingga Trista dapat melihat jelas warna cokelatnya walaupun keadaan di dalam pondok cukup gelap.

"Sudah bangun dari tadi. Aku hanya tidur-tiduran." kata Cliff, dengan suaranya yang dalam dan datar. Dia masih memandangi Trista lurus-lurus, "Apa aku mengenalmu?"

Trista bangkit, dia berjalan menuju jendela dan membuka gordennya lebar-lebar. Ruangan menjadi terang. Trista baru menyadari ada banyak hal di dalam situ selain sofa besar dan Cliff. Terdapat meja teh kecil di sebelah sofa, ada CD player usang diatasnya. Laptop yang sepertinya milik Cliff tergeletak di sudut ruangan dalam keadaan masih terbuka namun mati. Gitar akustik disandarkan di dinding sebelahnya, dengan banyak stiker aneh menempel pada badannya. Berbagai macam majalah dan CD musik berserakan pada karpet yang digelar di tengah ruangan. Dan Cliff, yang—baru Trista sadari—memakai jeans belel dan kaus lusuh Sesame Street berwarna hijau gelap, menumpukan satu sikunya pada lutut. Ekspresinya bosan.

"Mom menyuruhmu turun untuk makan malam. Aku sudah tiga kali memanggilmu dari bawah tapi kau nggak menyahut." ujar Trista.

Cliff menurunkan lengannya. Dia tak dapat mengalihkan pandangannya dari wajah Trista. Sorot matanya yang tadinya dingin, berubah perlahan diliputi keterkejutan.

"Trista?" bisik Cliff.

Merasa bodoh dan gugup, Trista mengangkat bahu, "Kenapa memangnya? Nggak sesuai harapanmu?"

Cliff bangkit lambat-lambat, dan seketika itu pula Trista menyadari bahwa dia lumayan tegap. Tubuh cowok itu menjulang tinggi di hadapan Trista. Rambut hitamnya yang dicat pirang-kotor dibiarkan jatuh berantakan begitu saja. Rentetan anting platina dengan motif rumit yang menghiasi telinga kanannya tampak berkilau tertimpa cahaya dari luar jendela. Trista memperhatikan wajah Cliff. Harus dia akui, tampang Cliff lumayan oke. Hidungnya mancung, alisnya hitam dan tebal, bentuk rahangnya tegas. Dan sepasang mata cokelat Cliff masih terpaku pada Trista, yang juga belum mampu melepaskan pandangannya. Tatapan Cliff tajam dan menyelidik, seolah tak percaya bahwa gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini betul-betul adalah adiknya.

Apa dia benar-benar kakakku? Trista membatin, Apakah cowok ini benar-benar mewarisi darah yang sama denganku?

Momen diam yang canggung itu kemudian dipecahkan oleh dehaman Cliff.

"Kalau begitu, apa kita perlu berkenalan? Lagi? Kurasa kau dan aku sudah saling melupakan. Atau belum?" katanya setelah berhasil menutupi keterkejutannya.

Melihat ekspresi Trista, bibirnya perlahan tertarik membentuk senyuman.

"Kupikir aku mendengar sesuatu seperti 'bukan soal Cliff' dari arah ruang tamu. Itu suaramu? Jadi kau pasti sudah tahu namaku."

"Kau pikir ini lucu?" Trista bertanya dengan nada tersinggung. Senyuman Cliff memudar. Namun ekspresinya tetap jahil.

"Taruhan, kau pasti juga menganggapnya lucu."

Kata-katanya menusuk Trista. Kejengkelannya naik hingga keubun-ubun mengetahui orang yang katanya abangnya sendiri ini menganggap kehilangan ingatan adalah lelucon yang lucu.

Cliff mengulurkan tangannya.

"Cliff Frauss. Musisi cakap dan handal yang-sayangnya-belum terlalu dikenal."

Trista mati-matian menahan emosi sambil membalas uluran tangan Cliff dengan enggan. Dia memperhatikan sebuah gelang tali anyaman yang melilit di pergelangan tangan kiri cowok itu, "Trista Frauss. Mulai hari ini menjabat-lagi-sebagai anak perempuan keluarga Frauss."

"Kau tahu?" Cliff mencemooh, "Awalnya aku membayangkan kau ini bakal seperti Nightmare Babes."

"Sori?" tanya Trista takut salah dengar.

"Tahulah, populer, pemandu sorak, rok mini, rambut pirang, serba pink..."

"Nightmare Babes? Kedengaran seperti judul film horor yang ditolak..." Trista menatap Cliff ngeri campur geli.

"Oh, julukan buatanku dan teman-temanku saja. NB. Nggak salah kan? Mereka memang mimpi buruk buat cowok-cowok yang menyukai orisinalitas."

Trista mengernyit, "Jadi apa maksudmu aku terlihat seperti cewek... hippie?"

Cliff mengangkat bahu sembil tetap menatap Trista, kali ini dengan pandangan menilai.

"Well, nggak." katanya menyebalkan.

"Jadi..." Trista menatap sekeliling, berusaha mengalihkan fokus Cliff darinya, "Aku cukup kaget ternyata kau suka rumah pohon."

"Kau yang memohon-mohon pada... Dad untuk membuatkannya ketika berumur enam tahun." Cliff menaikkan sebelah alis.

"Benarkah?"

"Yeah, astaga. Amnesiamu memang separah itu."

Pikiran itu langsung menghantam Trista sampai rasanya kepalanya berdenyut-denyut. Dia kembali merasa asing dan sendirian.

Cliff mungkin senasib denganku, dirawat oleh bukan orangtuanya. Tapi dia nggak melupakan segalanya. Dia nggak sebuta dan sepolos diriku sekarang karena aku yakin sekali dia masih memiliki ingatan di mana Tim dan Sarah memujinya saat akhirnya dia berhenti ngompol di kasur.

Merasa kembali dihinggapi perasaan muram, Trista berbalik untuk turun, "Well, mereka menunggu kita."

"Trista."

Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa Cliff sedang memanggil namanya, "Mm-apa?"

Cliff tampak ragu-ragu sejenak, kali ini tidak ada sorot canda pada matanya, "Apa kau tahu siapa aku?"

Trista menatap Cliff dengan ekspresi ganjil, "Kata mereka kau abangku."

"Yeah." kata Cliff, "Yeah. Aku abangmu."

0

'Perkenalan' aneh Trista dan Cliff rupanya membawa dampak yang tidak terlalu baik di meja makan. Keempatnya tetap terdiam, bingung topik apa yang sebaiknya mereka bicarakan. Tim dan Sarah berusaha memancing mereka dengan obrolan-obrolan canggung seperti tayangan televisi favorit mereka dan hal sepele lainnya. Hanya sesekali saja Trista dan Cliff tak tahan untuk saling mengejek.

"Cliff kelas dua belas?" tanya Trista dengan ekspresi kaget dibuat-buat setelah Sarah memberitahunya, "Dari tampangmu, kau lebih pantas sudah tamat kuliah."

"Aku memang lebih dewasa dibanding teman-temanku. Dan aku nggak melihat apa ruginya." sahut Cliff enteng.

Trista memutar bola mata, "Yeah, tentu."

"Jangan mulai bertingkah kayak NB." cemooh Cliff.

"Wah, coba dengar siapa yang bicara. Cliff dari asrama cowok yang tahu segalanya tentang cewek." balas Trista.

Tim dan Sarah hanya saling berpandangan sambil berusaha keras untuk tidak tersenyum.

Pukul sembilan, piring-piring puding diangkat dari meja. Demi kesopanan, Trista ikut membantu Sarah mencuci piring, sementara Cliff dan Tim membereskan meja makan.

"Oh ya, ada yang terlewat." Tim menepuk telapak tangannya dan memandangi Trista dan Cliff bergantian, "Kalian bersekolah mulai Senin. Kau ingat Redville High, Tris? Tadi siang aku menunjukkan jalannya." katanya pada Trista. Gadis itu mengangguk, "Nah, Cliff. Kudengar dari George kau sudah punya SIM. Jadi kupercayakan SUV-ku padamu."

"Keren." Cliff nyengir singkat.

Kukira aku bisa memakainya sendiri? Trista membatin, tak mampu menahan kekagetannya.

Sarah lalu berkata, "Kalian bisa memakainya bergantian."

Trista mendesah menyesali nasibnya. Cliff berpura-pura menaruh piring kotor di sebelah Trista untuk mengisikinya, "Aku lebih berharap diberi truk besar bobrok dan karatan daripada SUV mengilat yang lebih cocok buatmu."

Trista mengangkat alis, setuju. "Itu ide yang sangat bagus."

"Sayang kondisi perekonomianku belum mendukung." Cliff nyengir.

Ketika tugasnya di dapur sudah selesai, Trista memutuskan langsung naik ke kamar alih-alih menonton televisi di ruang tengah. Dia menutup pintu perlahan, mendengarkan langkah-langkah kaki Cliff yang berjalan di lorong luar. Suara pintu ditutup menandakan Cliff juga sudah masuk ke kamarnya.

Trista menjatuhkan diri ke ranjang, menghembuskan napas keras. Dia membongkar lagi isi bungkusan yang diberikan Lucy tadi pagi, mengeluarkan sisanya selain hiasan yang sudah dipajangnya. Berlembar-lembar foto boks dirinya dan Lucy dengan pose-pose aneh dan super norak yang bergaya dengan kacamata besar, topi jerami yang ujungnya berumbai-rumbai, dan banyak lagi. Trista meletakkan foto-foto itu di sebelah kandang Zero di atas meja belajarnya. Zero masih tertidur di kotak kacanya, kelelahan karena guncangan-guncangan yang dia alami selama perjalanan dengan mobil tadi siang. Trista memandanginya hampa.

"Aku kangen masakan Diana."


0

First meet with Cliff!
Jangan lupa tinggalkan vote & comment :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro