- 43 - (END)
Pertengahan Agustus.
Ada yang berbeda dengan kamar di seberang kamar Trista. Sekarang isinya hanyalah tempat tidur tak berkasur dan lemari baju kosong. Poster-poster yang tadinya ramai memenuhi dindingnya telah dicabut, membuat ruangan itu sepi dan hampa.
Cliff sudah pindah kemarin. Dia menyewa apartemen sederhana di luar kota Redville untuk tempat tinggal barunya, namun dia masih sering bolak-balik ke rumah keluarga Frauss, mungkin masih akan sering berkunjung hingga dokumen-dokumen penggantian namanya selesai diurus.
Pendeta George datang berkunjung ke rumah keluarga Frauss beberapa minggu sebelum kepindahan Cliff ke apartemennya, berbicara serius dengan Tim dan Sarah di ruang tamu tentang keinginannya untuk menjadi wali bagi Cliff.
Semua orang syok mendengar ini, termasuk Cliff sendiri, mengingat dalam surat wasiat yang ditulis James Sykes, Cliff dikehendaki untuk dirawat Tim, bukannya George Brunard. Namun berbagai pertimbangan dipikirkan, pendapat-pendapat diutarakan, dan setelah beberapa hari bergumul dengan keputusan, akhirnya sebuah kesimpulan dicapai. Cliff mengatakan pada Tim bahwa Pendeta George sudah mengenalnya sejak kecil, nyaris sebaik dengan Tim mengenalnya, dan dia pikir Tim tidak perlu merasa bersalah apabila menyerahkan tanggung jawab atas dirinya pada Pendeta George, karena Cliff tahu siapa pria itu, dan dia tahu almarhum ayahnya tidak akan keberatan soal itu. Dan Cliff sudah cukup umur untuk menentukan sendiri pilihan dalam hidupnya.
Saat ini, Cliff sudah berstatus calon mahasiswa Stanford, yang untungnya tidak terlalu mempermasalahkan masalah penggantian nama calon muridnya. Hanya saja Stanford mengajukan syarat penyerahan beberapa formulir pembuktian, semacam keterangan bahwa Cliff Sykes adalah orang yang sama dengan Cliff Frauss yang lulus dari Redville High, serta konfirmasi keluarga dan mantan sekolah yang bersangkutan. Banyak yang harus dilakukan untuk mengurusnya, mengharuskan Tim dan Sarah banyak bepergian bersama Cliff selama itu.
Tidak banyak yang diberitahu oleh Cliff masalah penggantian nama ini, hanya beberapa teman dekatnya seperti Ted Kyle dan Ethan Dodson. Pernah Trista memergoki mereka berkumpul di rumah pohon sebelum kepindahan Cliff, ketika itu Trista disuruh Sarah mengantar kue bolu dan jus untuk mereka, dan dia tak sengaja mendengar mereka tengah berbicara serius masalah itu.
Ini mengingatkan Trista terhadap Claire. Lucy sudah tahu seluruh kejadian gila yang terjadi padanya, namun Claire belum. Cewek itu teknisnya belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu tentang Daniela Malcolm. Dia tidak tahu tentang amnesia. Dia juga tidak tahu tentang Cliff yang bukan kakak kandung Trista. Ide menceritakan segalanya pada Claire cukup menakutkan, mengingat Claire pernah pacaran dengan Cliff, namun cepat atau lambat itu harus dilakukan bila Trista masih mau diaku sebagai sahabat oleh cewek pirang itu. Trista akan menunggu saat yang tepat, mungkin nanti setelah Cliff secara resmi sudah pindah dari Redville atau ketika Cliff sudah nun jauh di Stanford.
Selama liburan sebelum tahun ajaran baru dimulai, Trista banyak mengunjungi Diana atau terkadang menginap di rumah Lucy. Trista menceritakan masalah Cliff kepada kedua orang itu, dan reaksi keduanya berbeda-beda. Diana turut berbahagia dan memberikan berbagai nasehat keibuan bahwa Trista harus mengambil langkah-langkah bijaksana di masa depan jika dia serius ingin menjalin hubungan dengan Cliff. Sementara Lucy, well, pendeknya cewek itu histeris saat diberitahu.
"Kau adalah gadis yang punya kehidupan percintaan paling rumit sekaligus paling keren di seantero Redville." komentarnya iri.
Trista tidak tahu harus menanggapinya seperti apa. Secara pribadi, Trista lebih setuju jika kehidupan percintaannya disebut 'bikin frustasi'.
Lucy bahkan mendesaknya menceritakan bagaimana Lucas menerima keputusan Trista. Sejujurnya, mengingat-ingat dan menceritakan kembali masalah itu masih sangat berat, namun Trista berusaha menghadapinya.
"Cowok baik, dia itu." Lucy mendesah dengan mata yang berkaca-kaca setelah menyimak kisah Trista, "Cowok baik. Dan kau cewek yang luar biasa beruntung."
Trista hanya tersenyum lesu.
Jika ditanya mengenai kabar Lucas belakangan ini, Trista harus mengakui bahwa dia tidak tahu. Sejak terakhir menemuinya di The Lodge, mereka sama sekali putus kontak. Rumah Lucas hanya berjarak sekian ratus meter di luar gerbang kota Redville, namun Trista belum sekalipun mengunjunginya, demikian sebaliknya.
Pernah sekali Trista memberanikan diri untuk menelepon rumah Lucas, yang mengangkat Vivi. Wanita itu sudah tahu Trista dan Lucas putus, dan bohong jika Trista bilang wanita itu tidak terdengar kecewa selama berbicara di telepon, namun dia tahu Vivi mampu mengatasinya dan dia tahu Vivi wanita yang luar biasa baik karena dia dengan sabar mendengarkan seluruh penjelasan Trista selama satu jam berikutnya, alasan sebenarnya mengapa dirinya dan Lucas tidak bisa bersama lagi. Trista menyayangi wanita itu dan sudah bertekad untuk menceritakan sejujurnya semua yang terjadi. Vivi juga telah memberikan dorongan mental padanya ketika di rumah sakit tempo hari, dan berkat kata-kata wanita itulah Trista mampu menjalani hari-harinya pasca ingatannya kembali dengan pikiran positif. Vivi pantas mengetahui semuanya.
Siang itu, ketika Trista sedang asyik berjongkok untuk memberi makan Zero yang sedang berjemur di rerumputan halaman belakang, Sarah berteriak dari dapur mengumumkan kedatangan Cliff.
"Sayang, cowokmu datang!"
Rasanya aneh sekaligus menggelikan mendengar ibunya mengatakan itu.
Tak lama pintu belakang terbuka. Trista menoleh dan melihat Cliff berjalan menuruni tangga teras. Hanya perlu sedetik bagi Trista untuk menyadari ada sesuatu yang berbeda pada Cliff.
"Rambutmu-" Trista menunjuk puncak kepala Cliff sambil melongo. Cowok itu nyengir.
"Bagus nggak?" tanyanya seraya duduk di rumput di sebelah Trista.
Rambut Cliff masih gondrong dan berantakan, hanya saja sekarang seluruhnya berwarna hitam.
"Itu permanen?" Trista malah balik bertanya. Mendengarnya, tampang Cliff langsung berubah cemas.
"Segitu parahnya, ya?"
Trista diam sejenak mengamati cowok itu, kemudian melengos sambil mengulum senyum, "Kita jadi kayak pasangan emo."
"Oh, tutup mulut." Cliff mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Trista tanpa ampun, hingga gadis itu terkikik-kikik.
"Aku suka kok." ungkap Trista setelah Cliff selesai menyerang rambutnya, "Kau jadi makin kelihatan kayak vokalis band betulan."
"Aku bukan vokalis." kilah Cliff, "Yang nyanyi itu Ted. Aku gitaris."
"Oh, ya?" kata Trista skeptis, "Lalu apa yang kudengar di CD rekaman yang tempo hari dititipkan Ted padaku?"
Tampang Cliff bingung sebentar, sebelum akhirnya ekspresinya berubah syok.
"Kau mendengarkannya?" dia bertanya ngeri campur tidak percaya.
Trista menahan senyum, "Kupikir hanya lagu rekaman band kalian. Ternyata itu kau yang menyanyi. Suaramu lumayan kok, jangan khawatir."
Cliff tidak berbicara selama beberapa menit berikutnya. Trista sangat menikmati momen-momen kegugupan dan salah tingkah Cliff yang berusaha menutupinya dengan berpura-pura asyik memberi makan Zero. Selama ini Cliff yang selalu mengerjainya. Dia tidak pernah punya banyak kesempatan untuk membalasnya.
"Itu untukmu." kata Cliff akhirnya setelah diam beberapa lama, "Sebetulnya kubuat untuk kado ulang tahunmu dulu."
Trista menoleh terkejut, "Kenapa nggak kau berikan padaku?"
Cliff memutar bola mata, "Abang mana yang memberikan lagu buatannya yang direkam dalam CD sebagai kado ulang tahun adiknya?"
"Jadi kau malah menyuruh Ted mendengarkannya?" kata Trista tak percaya.
"Aku hanya perlu penilaiannya. Dan judul yang bagus."
"Lalu setelah dapat judul yang bagus, kau hanya akan membiarkannya teronggok di dasar lemari pakaianmu?"
"Aku harus apa?" gerutu Cliff, "Menyetelnya sepanjang hari di SUV selama berkendara?"
"Kau bisa memainkannya untukku." kata Trista sederhana.
Mereka saling berpandangan. Mata cokelat jernih bertemu hijau. Yang satu bersorot ragu-ragu, sementara yang satunya penuh harap.
"Ulang tahunmu tahun depan aku janji akan memperdengarkannya untukmu." kata Cliff, agak merona, "Setelah menemukan judul yang tepat."
Trista mendesah pasrah dan kembali mengalihkan pandangannya pada kura-kuranya yang tengah berbaring malas. Kemudian tiba-tiba mendapat ide.
"Zero." ucap Trista, menoleh pada Cliff, "Kau bisa beri judul Zero."
Cliff mengangkat kedua alisnya, mempertimbangkan, "Mengapa Zero?"
Gadis itu mengangkat bahu, "Yah... kupikir kau bilang lagu itu untuk 'cewek yang kembali ke kehidupanmu dan mengacaukan segalanya'... kalau itu untukku, berarti itu tentangku? Well, aku merasa kau juga mengacaukan kehidupanku. Segala hal mengenai amnesia ini sama-sama membuat kita kacau. Tetapi aku pribadi ingin memperbaikinya. Membuka lembaran baru."
"Memulainya dari zero-nol." sambung Cliff, sudut-sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyuman, "Aku dan kau yang memulai dari awal."
"Yeah." Trista berkata, "Bagaimana menurutmu?"
Cliff tidak repot-repot menyahut karena detik itu juga dia mengungkapkan persetujuannya dengan menarik tengkuk Trista dan mencium gadis itu dengan sepenuh hati.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." cowok itu tiba-tiba memberitahu Trista.
Masih agak linglung akibat ciuman memabukkan barusan, Trista meletakkan Zero kembali ke dalam kandang dan pasrah saja ketika Cliff menariknya berdiri dan menggandengnya masuk kembali ke dalam rumah. Ketika melewati dapur, Cliff meminta izin pada Sarah untuk membawa Trista 'pergi kencan' sebentar. Sarah berseru pada mereka agar pulang tepat sebelum makan malam karena dia masak enak.
Cliff mengendarai SUV-nya keluar Redville, sementara Trista duduk sebelahnya, membuka jendela lebar-lebar membiarkan angin kencang menerpa wajahnya. Trista menyandarkan kepalanya ke pintu mobil, bertanya-tanya dalam hati hendak ke mana mereka. Tetapi Trista tidak berniat memprotes. Dia akan menikmati waktu-waktu 'kencan'nya dengan Cliff, selagi cowok itu belum terbang ke asramanya di Stanford.
Rencananya dia hanya akan pulang setiap bulan selama akhir pekan. Yang berarti Cliff hanya akan tinggal di apartemennya selama dua hari setiap bulannya. Itupun jika dia tidak punya acara lain selain mengunjunginya di Redville.
Sembari memikirkan prospek pertemuan mereka yang menyedihkan di masa depan, Trista mendengar Cliff menyeletuk.
"Kemarin Lucas mengunjungiku."
Trista mengangkat kepalanya dari jendela dan menoleh penuh-penuh pada Cliff, takut salah dengar.
"Apa?"
"Lucas mendatangi apartemenku kemarin." Cliff mengulang, "Kami bicara banyak."
Trista membuka mulutnya tanpa ada suara yang keluar.
"Kau baik-baik saja, T?" dia bertanya pura-pura cemas.
"Well..." kata Trista dengan nada jangan-main-main,"Kalian bicara apa?"
"Sebagian besar tentangmu." jawabnya terus terang, "Kami bicara baik-baik kok. Yah, memang sempat pukul-pukulan sedikit..."
"Cliff!"
"Aku bercanda." Cliff nyengir, "Nggak ada pukul-pukulan. Kami sepenuhnya bicara normal kok."
Trista menunggu Cliff melanjutkan ceritanya, namun cowok itu terlihat terhanyut dalam pikirannya, kentara sekali dari caranya menatap 'jauh' ke jalan raya.
"Bicara normal, seperti teman lama." katanya, tersenyum samar.
Trista mengalihkan pandangannya ke depan.
Seperti teman lama.
Apakah itu berarti Cliff dan Lucas sudah baik-baik saja?
Berbagai pertanyaan mengenai Lucas dan Cliff mulai berkecamuk di pikiran Trista, namun kemudian gadis itu menyadari bahwa mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengutarakannya. Dari nada bicara dan gerak-gerik Cliff, Trista dapat menangkap bahwa mereka pergi untuk suatu alasan lain dan bukan tujuan cowok itu untuk mendiskusikan masalah itu dengannya saat ini, dan Trista sepenuhnya paham dan dia tak berniat berargumen soal itu.
Trista dan Cliff tidak saling berbicara selama sisa perjalanan, hingga akhirnya Cliff membelokkan mobilnya keluar jalan bebas hambatan dan memasuki daerah pemukiman jarang penduduk, menyusuri jalan beraspal dengan padang rumput luas dan berangin sepanjang mata memandang.
"Kita ke mana sih?" Trista akhirnya tidak mampu lagi menyembunyikan rasa penasarannya. Cliff tersenyum kecil.
"Lihat saja nanti, sebentar lagi sampai."
Setelah melaju sekitar sepuluh menit, jalanan mulai berkelok dan melebar, dan pepohonan semakin merapat di sekeliling mereka. Trista sempat melihat tulisan yang tertera pada papan penunjuk jalan yang baru saja mereka lewati di perempatan.
"Oakfall Hills?"
"Yeah." kata Cliff seraya menunjuk ke depan, "Kita sudah sampai."
Trista melihat bangunan bata merah besar yang menjulang di depan mereka yang berbentuk seperti menara jam, dengan pintu gerbang besar di bawahnya bertuliskan 'Oakfall Hills'. Mobil mereka melewati bawahnya, dan segera saja Trista menyadari tempat apa ini.
Oakfall adalah kompleks pemakaman luas dan berbukit, terletak agak jauh dari daerah perkotaan sehingga suasananya masih betul-betul asri dengan pepohonan dan udaranya yang segar. Seperti namanya, yang mendominasi adalah pepohonan oak, tersebar sepanjang jalan, namun banyak juga pohon maple yang mungkin akan berubah warna menjadi cokelat atau jingga kekuningan indah di saat musim gugur.
Trista membuka jendela kaca SUV ketika mereka melewati air mancur bulat besar dan indah yang dideskripsikan Cliff sebagai sentral dari kompleks pekuburan, dengan menara-menara bata mini di empat penjuru dibangun mengelilinginya, mungkin berfungsi sebagai kantor staf atau kantor pengurusan pemakaman.
Mereka terus melaju melewati air mancur dan kantor-kantor menuju sebuah gereja putih tak jauh dari situ, dan Cliff memarkirkan mobil di pekarangannya. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana saat itu, mungkin enam atau tujuh termasuk SUV mereka sendiri.
Trista turun dari mobil dan mengamati sekeliling. Gereja di belakang mereka berdiri mengagumkan, elegan dan cantik di antara pepohonan ditunjang oleh langit cerah yang semakin menegaskan warna putih bangunannya, membuatnya tampak menonjol. Pintu kayu utamanya tampak tertutup, sepertinya hanya dibuka pada jam-jam tertentu.
Cliff meraih tangan Trista dan menuntunnya menyeberangi pekarangan gereja, menuju pelataran berumput di sisi timur bangunan. Mereka bersama-sama berjalan melintasi deretan nisan-nisan dengan beragam bentuk. Beberapa terbuat dari marmer dan berbentuk kotak kecil yang rata dengan tanah, beberapa dibuat menyerupai tugu kecil yang berhias patung atau ukiran.
Cliff membawa Trista melewati deretan-deretan makam hingga tanahnya mulai menanjak. Kompleks pemakaman ini memang berada di daerah berkontur tanah naik turun seperti bukit, sehingga tidak heran jika penataan makam Oakfall Hills tidak bisa serapi kompleks pemakaman yang pada umumnya rata, sehingga beberapa deret dapat ditemui sejajar dan simetris di satu tempat, sementara yang berikutnya harus terpisah lumayan jauh di tempat yang lebih tinggi. Seperti saat ini, Trista mendapati deretan nisan setelah mereka tiba di puncak yang tanahnya datar, dan Cliff menggandeng Trista untuk menghampiri salah satu di antaranya.
Tepatnya, dua di antaranya.
Trista menunduk memandang dua nisan yang berdampingan itu, nama-nama yang terpahat di atas granit abu-abunya sudah tidak asing lagi.
Itu adalah makam kedua orangtua Cliff, James dan Eleanor Sykes.
"Hai, Mom, Dad." Cliff tersenyum menatap kedua nisan itu.
Pemandangan itu membuat Trista terenyuh.
Di sinilah kedua orangtua kandung Cliff berada. Tempat James dan Eleanor dimakamkan. Kenyataan itu menyeruak ke permukaan, dan gelenyar emosi seketika menguasai Trista, menyesakkan dan menyedihkan. Menyadari untuk pertama kalinya bahwa dua orang yang dulu pernah dikenalnya kini telah tiada. Trista tidak mampu membayangkan bagaimana beratnya ini bagi Cliff, dibandingkan dengan perasaannya yang saat ini saja sudah sangat tersiksa.
"Seharusnya kita bawa bunga." Trista berjongkok di depan dua makam itu, dan Cliff mengikuti di sebelahnya. Cowok itu masih belum melepaskan genggamannya dari tangan Trista.
"Tahu nggak," gumam Cliff seraya menyingkirkan beberapa daun kering yang rontok di atas tulisan 'Eleanor', "Tempat ini menjadi satu-satunya pengingatku, yang membuatku merasa aku adalah bagian dari sesuatu. Entahlah, mengetahui jasad mereka masih di sini, terbaring bermeter-meter di bawahku, dengan alasan tertentu dapat menenangkanku."
Trista meremas pelan tangan Cliff. Cowok itu meresponnya dengan tersenyum sekilas.
"Aku menginginkan lebih dari apapun untuk membawamu ke sini sejak lama, Trista." dia menoleh memandang Trista, "Akhirnya saat itu tiba."
"Aku di sini." Trista balas tersenyum, walaupun sulit melakukannya saat ini. Gadis itu kembali memandang nama-nama di atas nisan dan membatin.
Mr. Sykes, Mrs. Sykes. Saya di sini. Trista Frauss. Apakah kalian masih mengenali saya? Maafkan saya karena telah melupakan kalian. Tetapi sekarang saya di sini, bersama anak laki-laki kalian yang amat saya sayangi. Kuharap kalian tidak keberatan soal itu, karena dia harus mengganti namanya demi bersama saya. Well, tidak begitu juga sih. Dia melakukan itu karena dia menginginkannya. Tidak ada unsur paksaan. Dia benar-benar luar biasa, kalian tahu itu. Dia tumbuh menjadi cowok yang hebat.
"Apa yang kaupikirkan?" Cliff mengamatinya dengan sorot tertarik, "Kau mengadu pada mereka tentang kelakuanku?"
Trista mengangkat bahu, "Kurang lebih."
"Apakah yang aneh-aneh?"
"Hanya perkembangan terakhirmu. Aku memberitahu mereka bahwa kau masuk Stanford." kata Trista, "Skor SAT-mu spektakuler, dan mulai bulan depan kau akan tinggal di apartemenmu sendiri. Oh, dan kau kembali mengecat hitam rambutmu."
Cliff terkekeh, "Mereka mungkin bakal bangga padaku."
Trista meraih helaian rambut Cliff yang menjatuhi matanya dan menyingkirkannya perlahan, "Mereka pasti bangga padamu."
Mata cokelat teh Cliff berbinar sendu ketika mendengar itu. Cowok itu mengalihkan tatapannya kembali ke nisan, melamun.
"Aku rindu mereka, T." gumamnya pelan.
Trista mengulurkan satu tangannya untuk merangkul bahu Cliff. Mereka berdua berjongkok di sana beberapa lama, memandangi huruf-huruf berwarna keemasan yang terpahat rapi di atas kedua nisan itu sambil saling berangkulan dan berpegangan tangan.
"Ya." Trista menyahut lirih, "Aku juga."
Trista dan Cliff kembali ke pelataran gereja sekitar sepuluh menit kemudian, tidak saling berbicara. Trista tahu ini momen besar bagi Cliff, dan kata-kata tidaklah diperlukan bagi mereka untuk saling memahami hal itu. Trista ingin membiarkan Cliff dengan pikirannya sendiri untuk sementara.
Tapi rupanya tak dibutuhkan waktu yang lama untuk menunggunya, karena Cliff membuka suara ketika mereka mencapai mobil.
"Trims sudah ikut denganku hari ini." ujarnya tulus. Trista mengangguk seraya tersenyum. Gadis itu membuka pintu mobil, namun sebelum naik, dia menyempatkan diri untuk menoleh ke arah gereja putih di belakang mereka.
"Apakah aneh, mendapati dirimu menyukai gereja yang berdiri di tengah-tengah pekuburan seperti ini?" celetuk Trista, mengagumi bangunan indah itu sekali lagi, beserta pemandangan di sekitarnya yang berupa pepohonan oak dan latar belakang langit cerah tak berawan. Cliff ikut memandangi gereja itu.
"Nggak juga." sahutnya. Lalu dia menoleh pada Trista, "Apakah aneh mendapati dirimu menyukai adikmu sendiri?"
Trista mendengus, menyadari setitik nada jahil pada suara cowok itu, "Dalam beberapa kasus, kurasa nggak."
"Masalah kita sama, kalau begitu. Aku harus berulang kali mengingatkan diriku bahwa kau bukan lagi adikku yang manis." kata Cliff seraya menutup pintu pengemudi dan berjalan mengitari mobil untuk menghampiri Trista. Trista bersedekap dan menggeleng-geleng.
"Ini pemakaman, Cliff. Kita nggak akan kencan di tempat sakral." Trista berusaha keras menahan senyum. Tapi gagal melakukannya ketika Cliff menggumamkan kata 'Stanford' di telinganya dengan sengaja.
"Lalu kenapa?" tantang Trista, sementara Cliff terus memperhatikannya sambil nyengir, "Kau yang bakal menderita, tahu."
Sebelah alis Cliff terangkat, "Akan ada banyak cewek cantik di Stanford."
"Oh, jangan khawatir." cibir Trista, "Aku tahu tentang CD itu, ingat? Bagaimana jika kuperbanyak dan kusebarluaskan?"
Cliff mengangkat bahunya, balas mencibir, "Bagaimana jika aku nggak peduli?"
"Yah." ujar Trista, acuh tak acuh. "Harusnya kau peduli, karena aku juga akan memperdengarkannya kepada Mom dan Dad."
Sepasang mata Cliff kontan membulat ngeri mendengar ancaman itu.
"Kau nggak akan berani melakukannya."
"Well, berani saja tuh."
Setelah adu pandang selama beberapa saat, akhirnya pertahanan Cliff yang pertama runtuh. Cowok itu mengerang pelan dan dengan tak sabar dia menarik Trista ke dalam pelukannya, membuat keduanya tertawa-tawa, geli sendiri menyaksikan tingkah mereka yang kekanakkan.
"Jika kau benar-benar berniat menyebarluaskannya, sudah kuputuskan akan kuberi judul Zero." canda Cliff, lengan-lengannya yang besar masih melingkari pinggang Trista. Trista terbahak.
"Akan kuingat." katanya.
Cliff mengeratkan pelukannya dan menyurukkan wajahnya ke rambut gadis itu. Dia mendesah panjang.
"Aku akan sangat rindu padamu, T." bisiknya. Trista dapat merasakan napas cowok itu berhembus menyenangkan di telinganya. Untunglah sedang tidak ada seorangpun di dekat situ, karena Cliff memeluk Trista sekitar seabad lamanya sebelum dia memutuskan untuk melepaskan pelukannya dan memandang Trista. Gadis itu balas menatap sepasang mata cokelat jernih itu. Sorot hangatnya yang tak tergantikan. Mata yang tidak akan pernah lagi ingin dilupakannya seumur hidup.
"Aku juga akan sangat merindukanmu." Trista memajukan wajahnya dan mengecup ringan bibir Cliff, "Masalah kita sama."
THE END
Terima kasih sudah mengikuti kisah Trista, Cliff, dan Lucas.
Untuk yang penasaran 'behind the scene' dari cerita ini, silakan intip Writer's Note.
:'')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro