- 42 -
Trista memandangi dirinya dari spion tengah mobil, entah sudah berapa kali menghembuskan napas gugup.
Dia menepikan SUV-nya di parkiran Birch's End minggu pagi, pukul sembilan. Satu-satunya mobil yang ada di sana pagi itu. Toko-toko bahkan belum ada yang buka. Tanda-tanda di pintu kacanya masih membalik dengan tulisan 'Tutup' berwarna merah. Yang lalu lalang di sekitar sini hanyalah yang berolahraga pagi, atau lansia-lansia yang tinggal di sekitar Redville, berjalan-jalan hendak menikmati aroma danau Silverbirch di pagi hari.
Trista sudah memikirkan mengenai satu hal sejak Cliff pertama kali menciumnya di atap rumah sakit, setiap hari, sepanjang malam. Sesuatu yang jelas tidak bisa diindahkannya, yang terus menerus bercokol di kepalanya.
Lucas.
Dia telah memikirkan berbagai kemungkinannya, berusaha mencocokkan skenario kehidupannya dengan perasaan dan ingatannya. Dan betapapun Trista mencoba, berapa kalipun hatinya mencoba, dia selalu berujung pada satu kesimpulan sama. Dan kesimpulan inilah yang menuntunnya mengendarai mobilnya ke Birch End pagi-pagi, menghabiskan entah berapa menit berusaha mengatasi kegugupan... atau entahlah disebut apa perasaan tidak keruanan yang sedang dirasakannya saat ini.
Akhirnya, setelah menghembuskan napas untuk yang kesekian kali, Trista membuka pintu mobilnya dan turun.
Gadis itu berjalan pelan-pelan menyusuri setapak yang dibuat mengelilingi danau, menikmati sorotan cahaya matahari pagi yang menyilaukan namun hangat di wajahnya. Anginnya agak dingin, namun dia tidak terganggu.
Sekitar sepuluh menit Trista berjalan menyusuri danau hingga dia melihat pondok dua tingkat itu di kejauhan, pondok yang nyaris tidak bisa dikenalinya karena seseorang telah mengerjakan perubahan besar terhadap tempat itu.
The Lodge telah berubah menjadi sesuatu yang dramatis sekaligus manis, mirip cottage kecil di pinggiran pedesaan Italia yang mengingatkanmu pada drama-drama di mana si tokoh utama cewek memutuskan untuk berlibur dan menginap di pondok itu dan belajar membuat pai dari si penyewa pondok, lalu bertemu dengan cowok idamannya di sana, atau semacamnya.
Bangunannya tidak direnovasi, hanya saja sekarang pondok itu sepenuhnya berwarna putih kapur, diberi aksen kontras dengan kusen-kusen jendela dan pintu yang dicat hijau gelap, nyaris hitam. Atapnya juga dicat senada, hijau-nyaris-hitam. Dan ketika Trista mengitari bagian belakang pondok untuk melihat bagian ruangan lukis di lantai atas yang memiliki banyak jendela besar menghadap danau, deretan jendela-jendela panjang dan besar itu sudah digantikan seluruhnya dengan kaca polos yang menampilkan seisi ruangan, mengeksposnya ke luar.
Dan dari balik dinding kaca besar itu, Lucas berdiri menatapnya.
Trista tersenyum dan melambai. Cowok itu mematung di belakang easel, masih memegangi kuas dan papan cat di kedua tangannya. Dia hanya mengenakan sweater abu-abu lengan panjang dan celana tiga perempat.
Kembali berjalan ke depan dan mengetuk pintu pondok, Trista tak perlu menunggu lama hingga Lucas membukakan pintu dan muncul di hadapannya.
Trista memperhatikan Lucas yang masih sama imutnya dengan yang terakhir kali diingatnya, agak melegakan sekaligus menenangkan mendapati hal itu untuk alasan tertentu. Rambut Lucas masih pirang cerah walau sudah agak gondrong, matanya masih sebiru langit, hidungnya masih sangat bagus. Dan Trista memperhatikan pakaiannya, pada beberapa tempat di kausnya—seperti di daerah pergelangan tangan dan perutnya—terdapat noda bekas cat. Mereka berdiri berhadapan, saling diam selama beberapa detik sebelum akhirnya Trista memecah kebisuan.
"Aku bahkan nggak mengenali tempat ini sebagai pondok yang sama." kata Trista.
Lucas tersenyum simpul.
"Masuklah." ujarnya.
Gadis itu melangkah memasuki pondok dan matanya segera disambut pemandangan hebat. Lantai satu bangunan itu seluruhnya telah dirombak, dibuat terkesan seperti ruangan bertema trashed garage yang telah dialihfungsikan menjadi studio lukis, dengan dinding berpanel-panel kayu yang berwarna tak serupa, serta beberapa bagian temboknya yang sudah lapuk hanya dilapisi pelat-pelat besi tipis dan bagian-bagian yang masih mengekspos susunan bata orisinalnya dibiarkan begitu saja. Seluruh perabotan, baik meja, kursi, sofa, konter, wastafel, dan rak barang-barangnya seolah merupakan kumpulan hasil perburuan furnitur bekas secara acak. Jendela-jendelanya yang semula ditutup rapat-rapat oleh papan kayu kini dibuka sepenuhnya, membuat seisi ruangan jadi terang-benderang.
"Wow." desah Trista, "Kau mengerjakan semua ini sendirian?"
Lucas hanya mengangguk. Cowok itu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, ruangan melukis, dan Trista mengikutinya.
Di atas, pemandangan yang bahkan lebih menakjubkan menyambutnya. Tidak banyak perombakan yang dikerjakan Lucas, namun dinding kaca besar itulah yang membuat perubahan signifikan pada seluruh lantai dua.
Dinding kacanya menampilkan lukisan alam asli danau Silverbirch yang permukaan airnya berkilauan tertimpa cahaya matahari pagi, lengkap dengan pepohonan, rerumputan, dan perbukitan yang dibatasi jajaran pinus di kejauhan. Lucas masih mempertahankan seluruh karyanya terpajang di dinding yang tidak berupa kaca, namun semua lemari dan rak peralatan melukis telah dipindahkan ke bawah. Di atas situ hanya ada beberapa easel berkanvas, mengindikasikan bahwa itu adalah tempat khusus untuk melukis. Hanya ada satu perabotan baru di sana, yakni sebuah sofa kulit empuk yang diposisikan menghadap dinding kaca, sepertinya sengaja diletakkan di sana untuk kepentingan menikmati pemandangan.
Trista sedang asyik mengamati pemandangan di luar kaca ketika matanya tak sengaja tertumbuk pada sebuah lukisan yang dipajang agak terpisah dari lukisan-lukisan yang lain. Gadis itu berjalan menghampirinya dan memandanginya lama.
"Kau masih menyimpan lukisan pertamamu." komentar Trista, tersenyum tanpa sadar. Setelah beberapa saat tidak kunjung mendengar sahutan dari Lucas, dia berbalik, mendapati cowok itu tengah berdiri memperhatikannya dengan raut tak terbaca.
"Bagaimana keadaanmu?" Lucas bertanya.
"Baik, terima kasih." sahut Trista, "Ibumu datang ke rumah sakit kemarin dulu, menjengukku. Aku yakin dia sudah menjelaskan masalah pulihnya ingatanku padamu."
Keheningan yang menyesakkan menyusul kata-kata Trista.
"Kau ikut mengantarku ke rumah sakit, tetapi kenapa kau nggak menemuiku?" Trista bertanya, "Kau bahkan nggak menghubungiku setelahnya."
Lucas akhirnya mendongak, "Kau seharusnya membenciku."
"Membencimu?" ulang Trista.
Lucas memandangi Trista, tajam. Tidak ada mimik bercanda seperti biasa, tidak ada ekspresi kekanakkannya yang imut yang lazim ditunjukkannya ketika berbicara dengan Trista. Yang ada hanyalah raut muram.
"Selama ini aku telah menyembunyikan fakta bahwa Cliff bukan kakak kandungmu." dia menjawab, sedikit bernada menantang.
"Yeah. Sekarang aku tahu." kata Trista, "Karena kau juga teman masa kecilku, sama seperti Cliff. Kalian saling mengenal. Tapi kalian bersikap seolah nggak saling mengenal selama ini."
Lucas terdiam.
"Itu yang membuatku bertanya-tanya, apa alasanmu nggak melakukannya?" Trista menambahkan, "Memberitahuku, maksudku."
Cowok itu berjalan ke kursi kulit dan duduk di sana. Trista mengikutinya, walaupun tidak ikut duduk, "Karena aku nggak bisa." jawabnya pelan.
"Apakah Cliff melarangmu untuk bicara?" tanya Trista curiga.
Lucas memandangi danau. Rambutnya tertimpa sinar matahari dari luar kaca, membuatnya tampak semakin pirang.
"Ketika aku mengetahui keluarga Frauss kembali ke Redville, aku sangat senang." Lucas memulai, "Dan ketika aku melihatmu duduk di kantin Redville High untuk pertama kalinya semenjak sekian lama kita nggak bertemu, rasanya seperti mimpi. Ketika pertama kali berbicara denganmu di kelas Perancis, rasanya aku kepingin segera memelukmu. Namun kau nggak mengingatku. Dan aku sadar kau nggak kembali sendirian. Kau bersama Cliff. Aku mengenalnya. Dan aku cukup yakin dulu dia bukan kakakmu.
"Aku masih menyimpan tanda tanya besar ini hingga kau memberitahuku bahwa kau mengalami amnesia, dan jelas sudah. Kau nggak ingat dan kau nggak tahu bahwa Cliff bukan kakak kandungmu. Tetapi aku masih nggak paham mengapa Cliff dan kedua orangtuamu seolah menyembunyikan fakta ini. Mengapa kau dibiarkan nggak tahu. Akhirnya aku mengajak bicara Cliff di Birch's End, malam hari ketika kau menceritakan padaku masalah amnesiamu. Dan dia menjelaskan segalanya. Dia bilang dia kembali menjadi salah satu anggota keluarga Frauss, karena ayahnya telah mempercayakan dirinya pada ayahmu."
Lucas menyisiri rambutnya, lalu melanjutkan dengan nada makin muram, "Aku mengatakan padanya bahwa kita berpacaran, dan dia bilang dia nggak keberatan. Kupikir dia sudah melupakan janji kita bertiga dulu sewaktu kecil, bahwa kau hanya akan memilih salah satu dari kami sebagai..."
"Gentleman kreatif." Trista berujar, "Aku mengingatnya."
"Cliff hanya memintaku untuk menjagamu, malam itu ketika kami berbicara. Dia nggak melarangku memberitahukan yang sebenarnya padamu kalau aku mau. Itu pilihanku. Aku bisa saja memberitahumu, tetapi aku nggak bisa... aku nggak mau." Lucas mendongak memandangnya, "Karena aku... ingin kau melihatku sebagai satu-satunya gentleman kreatif-mu."
Trista menatap Lucas, terenyak. Ini pertama kalinya dia menemui Lucas setelah ingatannya kembali. Ini pertama kalinya dia menyadari sepenuhnya bahwa cowok di hadapannya adalah Lucas Freewell kecil, teman sepermainannya yang telah tumbuh dewasa, menjadi laki-laki yang begitu baik dan manis.
"Trissy..." Lucas bangkit dan meraih kedua tangannya lembut, "Apa kau tahu untuk apa aku memajang boneka-kepala-goyang di dasborku? Dan mengapa jumlahnya ada sembilan?"
Trista menggeleng. Gadis itu menatap jemari Lucas yang bertautan dengan jemarinya, tak sanggup dan tak tega melepasnya.
"Satu boneka untuk setiap tahun yang kulewati tanpamu." Lucas memberitahu.
Hati Trista serasa diremas-remas. Trista memejamkan mata, merasa begitu diliputi penyesalan dan kesedihan. Ini benar-benar tidak adil bagi Lucas. Lucas telah membuktikan dirinya bahwa dia adalah cowok yang mungkin paling setia di dunia. Dia telah menunggu selama sembilan tahun, menghitung setiap tahunnya demi mewujudkan janjinya menjadi seorang gentleman hanya demi Trista.
"Trissy." Lucas menyebut namanya, wajahnya hanya berjarak sekian sentimeter dari wajah Trista, "Apa kau mencintai Cliff?"
Trista merasakan tangan Lucas yang hangat menyentuh pipinya lembut. Gadis itu benar-benar membenci dirinya sendiri ketika meletakkan tangannya di atas tangan Lucas untuk menurunkannya dari pipinya, lalu menjawab serak, "Ya, Luke. Aku mencintainya."
Mengucapkan kata-kata itu rasanya sama buruk dan kejamnya dengan menancapkan pisau ke jantung Lucas dengan tangannya sendiri. Tetapi itulah kebenarannya, dan Trista tidak ingin menyembunyikan lebih lama fakta itu dari Lucas. Trista tahu bagaimana rasanya tidak mengetahui yang sebenarnya, betapa menyiksanya perasaan itu, dan dia tidak ingin Lucas merasakan hal yang sama.
Andai saja ini semua lebih sederhana.
Seandainya saja dirinya jatuh cinta pada Lucas Freewell, bukan pada Cliff Sykes.
Lucas melepaskan tangannya dari tangan Trista dan melangkah mundur. Dia tersenyum, namun senyumnya dipaksakan.
"Aku selalu tahu dia nggak akan semudah itu melupakan perasaannya terhadapmu." ujarnya pahit.
Trista memandang Lucas tersiksa, "Luke, aku minta maaf."
"Apa kau ingat?" tiba-tiba Lucas menyeletuk keras, "Ciuman pertamamu?"
Trista tergagap-gagap, bingung menghadapi sikap cowok itu yang tiba-tiba berubah dan pertanyaannya yang mendadak dan mengejutkan, "Uh... ya, itu ehm, kau. Eh, ulang tahunmu yang keenam..."
Mendadak cowok pirang itu berjongkok di hadapannya, dia menundukkan kepalanya dan meremas rambutnya dengan kedua tangan. Dia mengerang frustasi.
"Uh, Luke?" panggil Trista ragu-ragu.
"Kau bahkan mengingatnya!" Lucas berseru keras, membuat Trista terlonjak kaget, "Kenapa kau mengingatnya?! Akan lebih mudah jika kau nggak mengingatnya! Kau paham itu?!"
Keterkejutan yang dirasakan Trista segera berganti dengan emosi yang lebih kuat dan menyiksa. Dia berlutut di hadapan Lucas, menyentuh lengan cowok itu pelan, "Luke, maafkan aku."
Lucas mendongak dengan wajah yang basah oleh air mata. Cowok itu menghapusnya cepat dengan lengan sweater-nya.
"Kenapa bukan aku?" tanyanya parau, "Kenapa dia? Kenapa bukan aku yang selama ini adalah pacarmu?"
Trista berusaha keras berbicara dan mengabaikan dadanya yang sesak dan tenggorokannya yang saat ini luar biasa sakit, "Kau selalu sangat baik, sangat manis, sangat kreatif... nyentrik dan berani, dan mengobrol denganmu selalu menyenangkan karena kau cerdas dan lucu. Tapi..."
Lucas kembali menyeka matanya dengan lengan kausnya, namun tidak memutuskan pandangannya dari Trista.
"Aku menyadarinya saat aku di rumah sakit. Dia di sana ketika kecelakaan itu terjadi, dia di sana saat aku mendapatkan kilasan ingatan samar pertamaku setelah kami berada di Redville, dan dia juga di sana saat ingatanku sepenuhnya kembali. Dokter bilang alasan amnesia yang kualami, juga alasan kembalinya memoriku adalah karena trauma. Dan trauma itu kurasa... kurasa adalah ketakutanku akan kehilangan Cliff." Trista menjelaskan, "Aku mencintai Cliff, Luke. Dan aku bahkan nggak tahu sejak kapan atau kenapa aku mencintainya. Itu hanya... terjadi."
Lucas mencari-cari di kedua mata Trista. Pandangannya nanar, matanya merah bekas menangis.
"Luke," kata Trista lagi, "Aku benar-benar menyukaimu. Kau adalah cowok impian setiap cewek di dunia ini. Dua alasan mereka nggak mengejar-ngejarmu detik ini. Satu, mereka terlalu bodoh untuk melihat betapa keren dan uniknya dirimu. Dua, mereka sudah jatuh cinta pada cowok lain."
Lucas mendengus seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain lalu menggumam sinis, "Kau nggak mengejar-ngejar Si Aneh Freewell. Kau sudah jatuh cinta pada cowok lain."
"Atau kau boleh menganggapku cewek bodoh." kata Trista, terkekeh hampa.
Lucas mendongak menatapnya, "Kau nggak bodoh."
Trista tersenyum sedih.
Mereka masih saling berpandangan. Lucas masih berjongkok sementara Trista masih berlutut di hadapannya. Cowok itu mengangkat tangannya dan mengulurkannya untuk membelai pipi Trista.
"Jadi, ini sudah berakhir, kan?" ujar Lucas lirih, yang disambut gelengan kepala Trista.
"Persahabatan kita nggak akan pernah berakhir." katanya.
Lucas menurunkan tangannya dan menunduk lama. Selama jeda hening itu, Trista tidak berusaha memanggilnya atau mengatakan sesuatu. Dia ingin membiarkan Lucas dan pikirannya, dia merasa sudah cukup menyakiti cowok itu tanpa lebih banyak lagi berkata-kata.
Setelah diam selama kira-kira lima menit, cowok itu akhirnya bangkit. Dia meraih tangan kiri Trista dan menariknya hingga berdiri.
"Sebelum kita benar-benar resmi putus, kau berhutang satu hal padaku." kata Lucas sembari menggandeng Trista menuruni tangga dan keluar dari pondok itu.
Lucas membawanya berjalan mengitari pondok menuju belakang bangunan. Mereka berjalan menjauhi The Lodge, melangkah di atas rerumputan, semakin dekat dengan tepian danau. Trista ingat kejadian seperti ini dulu pernah terjadi. Ketika Lucas kecil bermain dengannya di pinggir danau, kejar-kejaran selagi ayahnya dan ayah Lucas, Richard, memancing tak jauh dari sana. Sambil terbahak-bahak, Lucas berseru pada Trista bahwa suatu hari dia akan menjemputnya dalam baju zirah di atas kuda putih dan membawanya ke pelaminan. Trista berkomentar bahwa itu ketinggalan zaman, dan dia lebih memilih Lucas memakai baju Superman. Lucas mengiyakan dan Trista berkata bahwa Cliff bisa pakai kostum Kapten Amerika. Lucas tampaknya tak senang.
"Yang bakal datang menjemputmu adalah aku." kata Lucas kecil waktu itu, "Ingat, itu pasti aku!"
Trista memandangi tangan Lucas yang menggenggam erat tangannya sembari berjalan, bertekad untuk bertahan. Mereka semakin mendekati danau. Dalam hati Trista merelakan dirinya apabila Lucas berniat untuk menenggelamkannya ke dasar Silverbirch atau semacamnya, dia tidak akan kembali untuk menghantui Lucas dan cewek barunya suatu hari nanti.
Tetapi kekhawatiran Trista meleset jauh. Lucas berhenti kurang lebih semeter dari tepian air danau yang berombak pelan dan memutar badan Trista hingga menghadapnya.
"Kau berhutang dansa denganku." katanya tanpa tersenyum, kemudian dia mengaitkan jari-jari tangannya di jemari Trista, sedangkan tangan satunya melingkari pinggang Trista.
"Luke..."
"Kau meninggalkanku di prom malam itu. Aku nggak mau ada protes."
Lucas meletakkan tangan Trista di pundaknya, lalu dia mulai berayun pelan.
"Anggap ini permintaan egoisku yang terakhir." cowok itu berujar di telinga Trista.
Tidak ada lagu, tidak ada lampu kelap-kelip, tidak ada gaun atau setelan jas, tetapi mereka berdua saling berangkulan di sana, berayun dan sesekali Lucas mengangkat tangan Trista dan gadis itu berputar pelan di bawahnya. Mungkin jika ada orang yang melihat mereka saat ini, berdansa di pinggir danau seperti pasangan orang gila, baik Trista maupun Lucas tidak ada yang peduli. Mereka sama-sama berpikir dansa itu masuk akal, terutama Trista, dansa itu bahkan tidak setimpal dengan apa yang telah dikatakan dan dilakukannya pada Lucas.
Di satu kesempatan Lucas menarik Trista lembut hingga gadis itu bersandar rapat pada tubuhnya dan kedua tangan cowok itu kini melingkari pinggang Trista, sehingga mereka berdua sekarang lebih kelihatan seperti berpelukan sambil berputar di tempat.
Trista menyayangi Lucas, sungguh. Dia adalah cowok yang paling baik, penyayang, dan penuh pengertian yang pernah dikenal Trista. Dan Trista bukannya sudah melupakan kenangannya selama berkencan dengan Lucas. Dia juga belum melupakan bagaimana rasanya dicium Lucas. Bagaimana lembutnya bibir cowok itu ketika menyentuh bibirnya dan betapa mengagumkan sepasang mata birunya saat menatap Trista, seperti saat ini.
Kemudian setelah rasanya seabad lamanya, mereka berhenti berayun. Lucas menjauhkan wajahnya agar dapat memandang wajah Trista dengan lebih baik, dan mata sebiru langit itu menatapnya lurus tanpa kedip.
"Terima kasih karena telah memberiku kesempatan, Trissy." katanya, "Aku nggak akan pernah melupakan dansa ini."
Dan begitulah. Momen itu berakhir. Lima menit kemudian Trista berjalan beriringan bersama Lucas kembali mengarah ke The Lodge, menuju jalan raya. Ketika tiba di trotoar, Trista berbalik dan memeluk Lucas sekali lagi.
"Terima kasih juga karena telah begitu baik untukku." Trista berucap tulus.
Mereka berpandangan, kemudian saling tersenyum. Lucas kembali menampilkan cengiran ceria-kekanakkannya pada Trista seraya berkata dengan nada riang, "Sampai. Ketemu. Lagi. Usai. Liburan. Sekolah."
Trista balas nyengir, "Ketemu. Lagi. Nanti."
Setelah melambai pada Lucas, Trista berbalik dan berjalan menyusuri trotoar, yang menuntunnya kembali ke Birch's End. Dia tidak menoleh ke belakang, walaupun sama sekali tidak mudah melakukannya. Dia tahu tidak bijak melakukannya, dan benar saja, setelah kira-kira berjalan beberapa puluh meter dari The Lodge, seluruh emosi yang sedari tadi ditahan-tahannya tumpah dan tangisnya meledak. Air mata mengalir deras dan Trista terisak-isak sepanjang jalan, bersyukur tidak berpapasan dengan pejalan kaki yang memergokinya dan ditatap aneh karena menangis seperti bayi.
Biar bagaimanapun, tangisan itu bukan disebabkan penyesalan. Itu tangis yang melegakan.
0
Bye Lucas :'(
Update berikutnya adalah bagian akhir.
Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro