Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 41 -

Bisa dibilang topan badai menerjang rumah keluarga Frauss beberapa hari berikutnya. Paling tidak begitulah yang sepertinya tampak bagi Tim dan Sarah. Mereka kelihatan seperti sedang menatap langsung topan badai di hadapan mereka, berdiri dalam wujud manusia. Yang satu perempuan, yang satu laki-laki. Dan mereka adalah Trista dan Cliff.

Butuh waktu selama beberapa saat untuk membiarkan Tim dan Sarah menyerap informasi yang baru saja disampaikan Cliff dengan mantap dari tempatnya berdiri saat ini, sambil menggenggam tangan kiri Trista erat.

Sarah masih tampak terguncang. Dia bangkit dari sofanya, bolak-balik beberapa kali sambil menekap mulutnya dengan kedua tangannya, kemudian mengakhirinya dengan bersandar di tembok, menyisiri rambutnya dengan jemari, dan menatap Trista dan Cliff. Sementara Tim menghadapinya dengan sedikit lebih tenang. Trista bahkan kagum ayahnya masih dapat berbicara dengan suara yang nyaris tanpa emosi, terdengar sama normalnya seperti ketika dia mengomentari berita koran pagi yang membosankan.

"Kau bilang kau menyukai anakku." Tim mengulang pelan.

"Ya, Sir." Cliff menjawab tegas. Trista balas meremas tangan Cliff, "Kami saling menyukai."

Cliff tidak lagi memanggil Tim dengan sebutan 'Dad' atau Sarah dengan 'Mom' sejak mereka pulang dari rumah sakit. Awalnya Trista berpikir itu dilakukan Cliff karena cowok itu merasa bahwa dia tidak perlu lagi menyembunyikan apapun seiring kembalinya ingatan Trista, namun ternyata ini tujuan utamanya. Situasi seperti saat ini bakal jadi luar biasa canggung jika Cliff masih memanggil Tim dengan sebutan 'Dad', bukan?

"Tris... sejak kapan?" Sarah akhirnya membuka suara.

"Sejak dulu, Mom." jawab Trista yakin, "Selama ini aku selalu kebingungan dengan perasaanku karena aku nggak ingat. Tapi sekarang, setelah semuanya jelas, aku ingat bahwa aku sudah menyukainya sejak dulu."

Trista dapat menangkap dari ekor matanya sudut bibir Cliff sedikit terangkat mendengar pengakuan itu.

Sarah menghembuskan napas berat dan memejamkan matanya.

"Selama ini?" gumam wanita itu tak percaya, "Mengapa aku bisa tidak menyadarinya?" kemudian tatapannya berubah horor, "Apa kalian—? Kau tahu..."

Keheningan yang canggung dan menyiksa menyusul kata-kata Sarah. Tim bersandar pada sofa dan memijit dahinya.

"Mom." Trista menatap ibunya lurus-lurus, merasa konyol sekaligus malu harus menjelaskan semua ini, "Tidak ada yang terjadi. Ini adalah satu-satunya langkah besar kami setelah selama ini. Percayalah, aku masih menganggap dia abangku sampai sebelum mobil Kierra menghadangku dua hari yang lalu."

Trista berusaha mengirimkan telepati lewat tatapan matanya pada Cliff agar cowok itu ikut mendukung dan membantu, tetapi dia bungkam total. Hanya saja, Trista berani bersumpah sekilas dia melihat ujung-ujung bibir Cliff kembali terangkat, diiringi kilatan jahil yang melintas selama sepersekian detik di matanya.

"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?" tanya Tim pada Cliff.

Cliff terdiam sejenak.

"Pesan ayahku padamu. Aku nggak ingin mengecewakanmu, Tim. Kau nggak bisa... well, katakanlah membantu PR esai Sejarahku di suatu hari sekaligus menasehatiku kalau-kalau aku memulangkan Trista lewat dari jam malammu di hari lainnya."

Trista mendengus. Cliff, Tim, dan Sarah menoleh menatapnya. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ide itu terdengar gila sekaligus sangat lucu, tak peduli betapapun seriusnya situasi saat ini.

"Maaf." Trista berusaha keras untuk tidak tersenyum.

Tim bangkit dari sofanya dan maju beberapa langkah hingga dia berdiri persis di hadapan Cliff. Pria itu memandang Cliff dengan tatapan tajam. Trista cukup mengenal ayahnya. Tim jarang menatap tajam seseorang. Walaupun agak pendiam, Tim tipikal pria yang selalu terlihat santai menghadapi masalah. Karena itu hanya dengan melihatnya saat ini, setiap orang di ruangan itu tahu bahwa Tim sedang bersungguh-sungguh.

"Jadi apa rencanamu?" tanya Tim lagi.

Trista memandangi Cliff sambil bertanya-tanya dalam hati. Ya, apa setelah ini? Kami sudah mengungkapkan perasaan kami, lalu apa? Aku tidak percaya kami bahkan nggak mendiskusikan ini sebelumnya.

"Cliff?" panggil Tim. Cowok itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, dengan ekspresi yang terlihat mantap dan yakin.

"Aku ingin meminta izinmu untuk mengganti namaku kembali menjadi Cliff Sykes."

"Apa?" Trista otomatis bertanya saking terkejutnya. Sementara Sarah terlalu syok untuk berkomentar.

Tim masih memandangi Cliff, "Mengapa kau perlu melakukan itu?"

"Karena..." Cliff terhenti sejenak, "Karena aku sudah membuat keputusan, jauh sebelum ini... aku berjanji pada diriku sendiri jika suatu hari nanti ingatan Trista kembali dan aku sudah cukup umur, aku akan keluar dari rumah ini, mencari pekerjaan, dan kembali menggunakan nama ayahku. Setelah semuanya terlaksana dan keadaan sudah stabil bagiku, aku akan kembali untuknya."

Cliff menoleh menatap Trista, memandangnya dengan mata cokelat jernihnya seraya tersenyum lembut, "Kalau Trista nggak keberatan menunggu selama itu."

Trista memandangi Cliff, tak mampu berkata-kata.

"Oh, Cliff..." Sarah kembali menekap mulutnya, berlinangan air mata.

Tim berdeham, "Dan tentu saja kalau kami tidak keberatan."

Lalu cowok itu kembali mengalihkan pandangannya pada Tim, "Apa kau tidak percaya padaku?"

"Well," Tim melayangkan tatapannya pada Trista, "Jika ini mengenai anak perempuanku, aku tidak bisa dengan mudah mempercayai..."

"Oh, jangan konyol, kalian berdua!" Sarah habis kesabaran, dia menghapus air mata harunya, "Tim, kau tahu kau bahkan tidak akan keberatan mempercayakan nyawamu pada Cliff. Dan Cliff, kami bahkan sudah menggendong-gendongmu sejak kau baru berumur tiga hari, jadi jangan sok meminta kepercayaan kami."

"Mom!" Trista menatap ibunya sakit hati, "Lega mengetahui kau dapat dengan mudahnya mempercayakanku kepada orang lain!"

"Oh, jadi kau menganggapku orang lain?" gantian Cliff yang memprotes.

Proses perbincangan di ruang televisi rumah keluarga Frauss intinya berlangsung kurang begitu lancar, namun pada akhirnya mencapai hasil yang memuaskan. Tim setuju mengizinkan Cliff mempergunakan kembali nama belakang ayahnya, walaupun itu berarti banyak yang harus diurus, formulir-formulir yang harus diisi, belum lagi dokumen-dokumen sekolahnya di Redville yang memakai nama 'Frauss'. Ini memancing lelucon ironis malam harinya di meja makan, tentang pasangan Frauss yang harus selalu disibukkan dengan dokumen anak-anak mereka.

"Maksudku, kami baru saja mengurus surat penggantian namamu ketika aku keluar dari penjara. Sekarang kau menginginkannya lagi, Cliff." Tim terbahak-bahak. Trista dan Sarah saling berpandangan, jelas Tim sudah minum terlalu banyak anggur.

Ketika mencuci piring di dapur, setengah melamun Trista mengamati piring plastik yang digunakan ibunya sebagai wadah saus daging tadi, dan tiba-tiba saja tahu bahwa piring itu didapatnya sebagai bonus sereal corn flakes yang sering dimakannya dulu waktu masih kelas satu SD.

Menakjubkan bagaimana Trista mendapatkan kembali ingatannya. Sepertinya segalanya berubah, drastis dan besar, karena bagaimanapun dia berhasil mengingat masa lalunya dan itu terasa seperti hal yang patut dirayakan seluruh dunia. Tetapi perasaan sendu yang ganjil kemudian menderanya, menyadari bahwa dunia tidaklah berubah. Orang-orang di jalan tidak menoleh ke arahnya dan mengucapkan sesuatu seperti, 'Senang mengetahui ingatanmu kembali!' atau semacamnya. Hal-hal masih berlangsung di sekitarnya dengan sama normalnya seperti dulu. Termasuk rutinitas mencuci piring tiap akhir pekan semacam ini.

"Hei." tiba-tiba Cliff muncul di belakangnya, mengambil piring yang sudah dibilas dari tangan Trista, "Kubantu."

Dari sudut matanya Trista mengamati cowok itu mengatur piring bersih di rak piring. Rasanya sangat aneh membayangkan rutinitas yang dulu dilakukan Cliff sebagai seorang kakak laki-laki, sekarang tetap dilakukan oleh Cliff sebagai, well, sebagai Cliff Sykes. Ingin Trista mengungkapkan pikirannya itu pada Cliff namun dia berusaha menahan diri.

"Cliff?"

"Yeah?"

"Kau akan tetap kuliah kan?" tanya Trista tanpa ba-bi-bu, membuat kegiatan Cliff terhenti.

"Kau ngomong apa sih?" tanyanya, terkekeh heran. "Tentu saja. Bukannya dulu kau yang semangat mengantarku wawancara?"

Trista menggeleng seraya tersenyum, "Yeah, syukurlah. Lega mengetahuinya, kalau ingat kau yang tadi siang berkoar-koar kepingin mencari kerja setelah masalah ganti-namamu selesai."

Cliff mengangkat sepasang alisnya, tampak sangsi. "Kupikir mahasiswa manapun memang sudah selazimnya cari pekerjaan sendiri untuk membiayai kehidupannya."

"Yah... cuma memastikan kok." Trista mematikan keran air dan mengambil lap tangan.

"Trista..."

"Hm?"

"Kau baik-baik saja?"

Kening Trista berkerut bingung, "Kenapa memangnya?"

"Maksudku..." Cliff ragu-ragu, "...setelah kembalinya ingatanmu. Apakah kau nggak merasa, entahlah... brain lag atau semacamnya? Dengan semua memori baru itu?"

Trista bersandar pada wastafel, memikirkan pertanyaan Cliff dengan serius.

"Well, teknisnya... ini bukan memori baru. Memang mengejutkan rasanya mengetahui hal-hal yang sebelumnya nggak kuketahui, yah... nggak kuingat. Seperti dari mana wadah saus itu berasal." Trista menunjuk wadah plastik di rak piring, "Tetapi pada dasarnya itu memori sekaligus pengetahuan lamaku yang 'datang kembali' sedikit-demi sedikit. Berangsur-angsur, seiring dengan apa yang kulihat, yang kudengar..."

Gadis itu mendongak menatap Cliff, tersenyum. "Aku lega karena itu memberiku kesempatan untuk menyesuaikan diri."

Cliff balas menyunggingkan senyum, tetapi sorot matanya seperti menerawang jauh.

"Apa yang terjadi..." tanya Cliff perlahan, "...ketika seseorang sembuh dari amnesia? Apa yang membuat memorimu kembali?"

"Hm..." Trista melamun, "Sejujurnya aku nggak tahu pasti. Dr. Bells memberitahuku penyebab amnesia bisa bermacam-macam, penyakit, trauma, kecelakaan... dan itu membuatku berpikir mungkin begitu pula dengan penyembuhannya. Macam-macam cara. Terapi, pengobatan, operasi..."

"Apa kata Dr. Bells tentang kesembuhanmu?" tanya Cliff.

"Dia bilang kemungkinan sembuhku karena aku dihadapkan kembali pada kondisi traumatis yang mirip dengan yang terjadi dulu. Kecelakaan itu." Trista mengingat-ingat, "Kejadiannya betul-betul hampir sama dengan saat di prom. Ada kau yang berjalan menyeberang, menuju mobilmu. Lalu aku berusaha menyusulmu. Lalu mobil itu datang... suara decitan nyaring mengerikan itu..."

Cliff melangkah mendekat. Dia menggenggam kedua tangan Trista, rahangnya mengeras. "Maafkan aku, Trista. Maafkan aku. Aku nggak seharusnya meninggalkanmu dan pergi ke asrama dulu..."

"Cliff..."

"...dan sekarang aku mengulangi hal yang sama." Cliff menatap Trista, "Aku akan meninggalkan rumah ini. Aku nggak akan menjadi kakakmu lagi. Aku kembali meninggalkanmu..."

"Cliff, stop!" Trista balas menatap cowok itu lurus-lurus, "Apa kau sedang berusaha mengatakan padaku bahwa kau adalah penyebab amnesiaku?"

"Aku bersalah atas apa yang menimpamu dulu." ujar Cliff muram, "Kalau saja aku nggak pergi, kau nggak akan mengalami semua ini..."

"Cliff, sssh...!" Trista melirik cemas ke arah luar dapur, takut ibu atau ayahnya masih berada dalam jangkauan dengar, "Hei, apa kau minum anggur Dad?!"

"Nggak." sahut Cliff, sama sekali tidak terdengar meyakinkan.

"Berapa gelas yang kau minum?" tanya Trista. Cliff diam saja.

"Berapa gelas?" todong Trista lagi.

"Hanya tiga." gerutunya. Tanpa basa-basi Trista segera menyeret Cliff ke luar dapur dan menuntunnya melewati pintu geser kaca menuju halaman belakang. Lucu rasanya mendapati kejadian ini mengingatkannya dengan kejadian di prom. Seolah kerjaan Trista hanya menyeret-nyeret cowok yang kedapatan kebanyakan minum.

"Kau perlu istirahat." kata Trista sembari menggandeng Cliff menyeberangi halaman berumput, "Kembali ngomong masalah amnesiaku saat pikiranmu sudah jernih..."

"Aku nggak mabuk, Trista!" tukas Cliff, mereka sudah melewati pepohonan dan kini berjalan mengikuti setapak menuju rumah pohon, "Tatap aku! Apa aku kelihatan teler bagimu?"

"Bagiku kau kelihatan spektakuler." Trista sengaja memberi penekanan berlebihan pada kata terakhir. Cliff berhenti begitu mendadak sampai-sampai tangan Trista tertarik ke belakang dan dia harus ikut berhenti.

"Apa?" Trista berbalik, habis kesabaran, "Cliff, apa yang menimpaku bukanlah kesalahanmu. Itu semua murni sebuah musibah, dan masa lalu kita sama-sama berat. Kau tahu itu. Jadi kumohon, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri."

Sejenak tidak ada yang berbicara. Hanya bunyi jangkrik dan desir pepohonan tertiup angin yang terdengar.

"Aku mendapatkan ingatanku kembali. Dan itu adalah hadiah dari Tuhan yang begitu membahagiakan bagiku. Dan kuharap kau juga bahagia untukku." ungkap Trista. Kemudian Cliff maju dan memeluk Trista.

"Percayalah, nggak ada yang lebih membahagiakan selain mendengar kabar bahwa ingatanmu kembali." gumam Cliff sungguh-sungguh. Lalu setelah beberapa saat saling berpelukan, dia menambahkan dalam bisikan bernada main-main di telinga Trista, "Bahkan lebih membahagiakan ketimbang mengetahui aku diterima di Stanford."

Trista spontan melepaskan pelukannya dan mundur agar dapat melihat Cliff sepenuhnya. Cliff berdiri di hadapannya dengan cengiran puas terkembang di wajahnya, dia tidak tampak sedang bercanda. Perlahan, mata Trista membulat syok. Trista menekap mulutnya dan menjerit tertahan.

"Ya Tuhan!" Trista kembali ke dalam pelukan Cliff, "Astaga! Cliff! Benarkah?!"

"Ya." Cliff nyengir, senang dan bersemangat.

"Kenapa kau nggak memberitahu Mom dan Dad tadi? Kapan kau menerima kabarnya?!"

"Suratnya tiba tadi sore. Aku hanya menunggu momen yang tepat, kayaknya nggak hari ini dengan Tim yang masih mabuk..."

"Oh, Cliff! Dasar otak jenius!" kata Trista antusias, "Selamat!"

Sebagai puncaknya, cowok itu mengangkat Trista dan menciumnya di bibir. Trista memprotes di tengah-tengah kombinasi ciuman dan tawa mereka agar Cliff menurunkannya, dan dia menurut. Setengah jengkel, Trista mulai menyerocoskan betapa malunya kalau kejadian tadi sampai terlihat oleh Tim dan Sarah, namun Cliff segera membungkam celotehan itu dengan menarik gadis itu dan kembali menciumnya.

0

Stanford it is :')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro