- 40 -
Awalnya Trista mengecek ruang tunggu tak jauh dari kamarnya, mengira Cliff bakal ada di situ, namun ketika tidak menemukannya, gadis itu mondar-mandir dari ujung koridor ke ujung lainnya. Dia pasti terlihat begitu bingung sampai-sampai perawat yang bertugas mengantar obat dan makanan ke kamar Trista melihatnya dan menghampirinya.
"Cari cowokmu yang tinggi itu ya?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat menggoda.
"Dia kak...uh, dia temanku." Trista masih merasa aneh harus menjelaskan identitas Cliff sebagai 'temannya' pada orang lain. Perawat itu menatapnya tak yakin.
"Apa katamu lah. Kupikir dia cowokmu. Tampangnya paling panik begitu kau tiba di sini kemarin malam. Dia juga terus menerus menungguimu di koridor rumah sakit saat kau masih pingsan. Bahkan barusan dia terus-terusan menunggu di luar..."
"Kau melihatnya?" sambar Trista, "Dia ke mana?"
Perawat itu menunjuk pintu darurat, "Tadi sih aku sempat melihatnya masuk situ. Mungkin dia ke atas cari angin."
"Apa pengunjung rumah sakit boleh keluar-masuk pintu darurat seenaknya?" tanya Trista keheranan, perawat itu tersipu.
"Well, harusnya tidak. Tetapi sore tadi dia memergokiku keluar pintu darurat membawa bungkus rokok. Dia bilang dia tidak bakal ngadu macam-macam ke dokter jaga kalau aku membolehkannya ke atas."
"Jadi, apa kau membolehkanku ke atas mengingat ada kemungkinan aku bakal mengadukanmu juga ke dokter jaga?"
Perawat itu berbalik sambil menggerutukan 'terserah' dengan jengkel, sementara Trista sambil tersenyum geli membawa bungkusan makanannya ke pintu darurat, menaiki tangga menuju pintu keluar paling atas.
Dengan napas tersengal-sengal dan lutut kepayahan, Trista bersorak dalam hati ketika akhirnya dia mencapai anak tangga teratas dan sukses membuka pintu di puncak tangga. Angin kencang yang bertiup di atap gedung rumah sakit segera menerpanya, namun untunglah bukan angin yang membekukan tulang, mengingat dia hanya mengenakan piyama, jaket tipis, dan sandal kamar. Cliff memang ada di sana, berdiri dekat tembok pembatas di seberang pintu dalam posisi membelakanginya.
"Sedang mengawasi keamanan kota?" Trista menyeletuk, menyebabkan Cliff tersentak dan berpaling kaget, "Dan bersiap terjun bebas dalam kostummu kalau melihat ada yang nggak beres?"
"T?" Cliff tergagap, "Kau... bagaimana—"
"Suster memberitahuku." Trista menghampiri Cliff dan mengeluarkan kotak makanan jatah Cliff, "Makananmu. Mom dan Dad menunggumu di kamar untuk makan bareng, tapi kau nggak kunjung datang."
Trista menyerahkan garpu pada Cliff. Cowok itu menerima makanan dan garpunya, tetapi tatapannya tetap tertuju pada Trista.
Trista celingukan mencari-cari tempat duduk, namun tidak menemukan satupun. Alih-alih, dia melihat pipa saluran udara yang keliatannya kokoh dan duduk di situ, mulai mengeluarkan kotak makanannya sendiri yang sudah setengah dimakan, "Kau mau berdiri terus di situ seperti orang linglung atau mulai memakan makan malammu?"
Cliff menuruti perkataan Trista dan duduk di sebelahnya. Namun Trista dapat merasakan tatapan Cliff masih belum lepas darinya.
"Apa?" tanya Trista jengah.
"Nggak ada kata-kata?" tanya Cliff.
"Kata-kata apa?" Trista menusuk kentang rebusnya.
Cliff mengambil kotak makan dari tangan Trista dan berkata tak sabar tanpa memedulikan protes cewek itu, "Kau ingat siapa aku."
Trista akhirnya membalas tatapan intens yang sedari tadi ditujukan Cliff padanya. Mendadak dia teringat trik psikologis yang digunakan Lucy padanya untuk menanggapi curhatannya kemarin dulu. Trista menghela napas dan memulai, "Lantas, kau mau aku mengatakan apa? Marah-marah padamu soal kau yang menyembunyikan jati dirimu selama ini, atau memelas-melas padamu untuk memberikan penjelasan mengapa kau nggak memberitahuku saja sejak awal bahwa kau bukan kakak kandungku?"
Bagaimanapun, Cliff tampaknya sudah menduga akan muncul reaksi semacam ini dari Trista, karena cowok itu tidak tampak terkejut ketika mendengarnya.
"Aku hanya ingin tahu perasaanmu." Cliff berujar pelan.
Cukup sudah. Trista menyerah berpura-pura sabar. Dia harus melanggar janji kepada ayahnya untuk tidak mengatakan sesuatu yang 'menghakimi'.
"Perasaanku?" ulang Trista, "Kau ingin tahu bagaimana perasaanku? Well, bagaimana kira-kira menurutmu perasaanku?"
Cliff diam saja, seolah bertekad pasrah menerima amarah dari Trista.
"Hal terakhir yang kubutuhkan ketika tengah berjuang mengingat masa laluku adalah fakta penting yang justru disembunyikan dariku!" tukas Trista, bangkit dari pipa saluran udara dan menghela napas panjang, berharap itu dapat meredam emosinya, sayangnya gagal. "Semua orang bilang padaku bahwa kau sendiri yang meminta mereka supaya nggak mengatakan apa-apa padaku. Memangnya apa sih yang sanggup kulakukan jika aku tahu? Memakanmu hidup-hidup?"
Cliff masih tetap bungkam. Maka Trista mulai menyerocos lagi, "Sekarang aku jadi paham mengapa kau begitu sering menghindari topik yang berhubungan dengan usia. Kau nggak mau aku tahu umurmu delapan belas, sama sepertiku. Kau pikir aku bakal curiga dan mulai mempertanyakan apakah betul kita kakak beradik. Aku nggak percaya aku begitu bodoh!"
Cliff meletakkan kotak-kotak makanan yang dipeganginya dan berdiri.
"Ayahmu berjanji pada ayahku untuk merawatku seperti anak sendiri. Dan aku berjanji pada ayahmu untuk menjagamu, menjadi kakak yang baik. Mengatakan padamu bahwa aku bukan kakak kandungmu hanya akan menghancurkan janji-janji itu."
Trista memandang Cliff dengan tatapan terluka. Trista merasa seperti dibodoh-bodohi.
"Jadi kau hanya akan terus berencana menyembunyikan statusmu untuk seterusnya, seandainya insiden kemarin malam yang membuat ingatanku kembali nggak pernah terjadi?" tuding Trista.
"Itu akan membuat segalanya jadi lebih mudah." Cliff menyahut datar.
Lagi-lagi mata Trista memanas. Entah sudah berapa kali dia menangis hari ini. Tetapi saat ini dia tidak mau dicap cengeng oleh Cliff. Tidak saat ini.
"Segala perlakuanmu... kau yang mendadak pacaran dengan Claire, kau yang memelukku di rumah pohon sampai pagi, kecupan di hari ulang tahunku, juga yang kau lakukan di Dunston..." Trista melanjutkan dengan mata yang memanas dan tenggorokan yang sakit, "Dan kau menciumku sesaat sebelum aku pingsan! Kau—kau dapat dengan mudahnya melakukan apapun yang kau mau karena kau tahu kau nggak punya hubungan darah denganku?! Dan kau masih bertanya padaku yang nggak tahu apa-apa ini bagaimana perasaanku?!"
Kesabaran Cliff akhirnya tiba pada batasnya. Dalam satu langkah cepat dia maju dan menarik tangan gadis itu, "Dengar, aku nggak akan lagi memintamu menjelaskan perasaanmu, Nona, tapi biar kuberitahu perasaanku. Detik ketika aku melihatmu di rumah pohon setelah sekian lama kita nggak bertemu, aku langsung menyesali janjiku, tetapi aku nggak bisa, aku nggak boleh mengecewakan ayahmu! Inilah caraku membalas kebaikannya selama ini!"
Dada Cliff naik turun karena luapan emosinya. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Trista dengan begitu erat, nyaris terasa sakit.
"Jika aku memberitahumu yang sebenarnya, keadaan akan semakin parah! Aku sudah cukup kesulitan menghadapimu dan menganggapmu seolah kau adalah adik perempuanku tanpa kau tahu yang sebenarnya!"
Cliff berhenti untuk mengamati reaksi yang ditimbulkannya pada Trista, tetapi melihat gadis itu hanya berdiri di hadapannya, balas menatapnya dengan sorot bingung dan tak percaya, Cliff memutuskan untuk bersikap masa bodoh, "Aku nggak bisa membiarkan diriku jatuh cinta padamu karena aku harus menepati janjiku untuk menjadi kakakmu! Itulah perasaanku!" serunya lantang.
Trista berdiri di sana, mematung. Gadis itu menatap wajah di hadapannya, syok dan takjub. Cliff memandangi Trista dengan ekspresi yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, campuran antara amarah, putus asa, dan tersiksa. Tangan Cliff yang memegangi tangannya juga gemetar.
Trista tergagap, "Cliff—"
"Tapi aku sudah muak berpura-pura jadi kakakmu."
Kemudian Cliff memajukan wajahnya dan mencium Trista.
Ciuman itu lebih seperti serangan. Tak terduga dan tanpa persiapan.
Ciuman itu juga rasanya salah. Amat sangat salah.
Sekaligus amat sangat menakjubkan.
Pertahanan Trista seketika runtuh saat bibir Cliff menyentuh bibirnya, menyulutnya, menjalari sekujur tubuhnya seperti lajur api. Panas yang menyenangkan. Pikiran logisnya melayang entah ke mana ketika dia memutuskan untuk membalas ciuman Cliff.
Tidak.
Cliff melingkarkan kedua lengannya di pinggang Trista dan menariknya...
Gawat.
Trista menyurukkan jemarinya ke rambut Cliff yang tebal namun halus...
Ini salah!
Mereka terhuyung-huyung ke belakang menubruk tembok pembatas atap, masih terus berciuman. Jantungnya bertalu-talu tak terkendali, napasnya dan napas Cliff memburu, lutut-lututnya lemas dan syukurlah Cliff tidak melepaskan pelukannya, karena jika cowok itu melakukannya, Trista yakin dirinya akan segera meleleh dan teronggok ke tanah.
Entah berapa lama mereka berciuman. Otak Trista menjerit-jerit memerintahkan padanya untuk berhenti, dan alarm peringatan sudah meraung-raung nyaring di kepalanya, tetapi tubuhnya melakukan yang sebaliknya. Tubuhnya senang... bukan, malah gembira melakukannya.
Hingga pada suatu titik, Trista harus mendorong pundak Cliff menjauh.
Selama beberapa detik tidak ada yang saling bicara. Mereka sepertinya sama-sama kehabisan napas.
"Ini..." Trista berujar terengah-engah, "...gawat."
Cliff tidak menyahut. Dia hanya balas menatap Trista, sama terengahnya, sepasang matanya yang cokelat jernih tampak bersinar. Dia meraih tangan-tangan Trista dan mengaitkan jemarinya ke jemari Trista. Dahi-dahi mereka saling menempel. Mereka berdua hanya berdiri diam selama beberapa saat dalam posisi seperti itu, berusaha mengatur napas dan saling tersenyum.
Pandangan Trista jatuh pada gelang di pergelangan tangan Cliff, gelang yang selalu dikenakan cowok itu dan tidak pernah dilepas.
"Kurasa aku ingat dari mana ini berasal." ujar Trista, menyentuh gelang Cliff. Cowok itu menunduk mengikuti pandangan Trista.
"Yeah?" Cliff menggumam, masih belum mengangkat dahinya dari dahi Trista. Dia menyunggingkan senyum miringnya, wajah mereka dekat sekali, "Kau masih punya pasangannya?"
"Ya. Tapi aku nggak bisa mengenakannya berkeliling di pergelangan tanganku. Aku bakal terlihat seperti orang gila." kata Trista.
Trista ingat. Gelang Cliff merupakan gelang hasil prakarya Trista dulu yang terbuat dari tali yoyo merek ZeroZero yang selama ini disimpannya di dalam kandang kura-kuranya. Tali itu tidak pernah hilang. Tali itu hanya digunakannya untuk membuat gelang dan diberikan pada Cliff.
"Trista." senyum miring lenyap dari wajah Cliff, sepasang matanya yang menatap Trista berbinar di tengah kegelapan. "Aku menyayangimu."
Trista terhanyut dalam mata itu. Gadis itu mengangkat tangannya ke pipi Cliff dan membelainya lembut.
"Aku menyayangimu, Cliff."
0
Rasa itu (ternyata) sudah lama ada dan tidak bisa terlupakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro