Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 4 -

"Bagaimana menurutmu?" Tim tersenyum mengamati ekspresi Trista, "Kami berhasil membeli kembali rumah ini setelah mereka sempat menyitanya... kau tahu sendiri. Jadi... yah, inilah tempat tinggal kita dulu. Tentu saja tampilan luarnya sudah berbeda."

Trista mengikuti Tim keluar dari mobil dan memandangi rumah itu takjub. Dia tak sanggup berkedip.

Rumah ini begitu manis, dengan jendela-jendela putih dan didominasi warna-warna kayu natural yang memberi kesan hangat. Tidak besar tapi sangat sempurna. Gadis itu mengagumi garasi mobilnya yang ternyata beratapkan tanaman sulur, dengan hanya dibatasi pintu kayu setinggi pinggang demi alasan keamanan, tidak seperti kebanyakan garasi modern.

"Keinginan ibumu sih," Tim mengomentari, "Terkadang agak repot membersihkan atap mobil karena daun keringnya, makanya kulapisi lagi dengan fiberglass. Juga sedikit was-was dengan pencuri karena tak ada alarmnya, tapi tak ada yang mau mencuri di kota kecil seperti ini... ah."

Tim menepuk-nepuk badan SUV hitam yang terparkir persis di depan mobil Tim, "Transportasimu menuju sekolah nanti. Anggaplah ini sebagai akumulasi dari absensi kado ulang tahunmu selama ini."

"Whoa." Trista menganga. Trista berjalan menghampiri mobil itu dan mengelus kapnya. Tim mengamatinya, dan mendesah.

"Ya Tuhan." dia tersenyum sendu menatap Trista, "Aku sudah melewatkan sembilan ulang tahunmu begitu saja."

Trista sudah menduga bahwa Tim sengaja memberinya ini sebagai 'uang sogok' karena telah menelantarkan Trista tanpa jati diri selama sembilan tahun, kalau mau bersikap ironis. Namun Trista tidak sampai hati untuk mengutarakannya keras-keras saat ini.

Lalu Tim membimbingnya berjalan ke sudut dalam garasi dan menemukan pintu kecil yang terbuat dari kayu.

"Pintu apa ini?" tanya Trista.

"Coba buka saja."

Lapangan berumput menyambutnya. Halaman belakang rumah ini benar-benar luas dan tidak dibatasi oleh pagar, melainkan oleh deretan pohon yang berdiri berdekatan. Petak-petak bunga dan semak-semak hias tertata rapi sudut-sudut yang tepat, dengan warna-warna yang tepat. Tidak ada kata lain untuk menggambarkan itu semua. Cantik. Indah dan hangat.

"Dan ini tempat favoritku." Tim menggiring Trista naik ke teras belakang yang lebih luas dari teras depan. Lantainya tersusun dari panel-panel kayu berpelitur. Pintu kacanya tak terkunci. Lalu Tim berjalan menuju satu-satunya kursi goyang yang diletakkan di tengah teras dan duduk. Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya.

"Senangnya kembali ke rumah ini. Dulu ini tempat favoritku untuk mencari udara segar sepulang kerja." katanya sambil tersenyum.

Trista mengernyit keheranan, "Kudengar kau bekerja di perusahaan milik orang Perancis?"

"Memang, tapi aku bukannya bekerja di Perancis. Kebanyakan aku bekerja di kantor cabangnya di sini. Aku tak mau jauh-jauh dari Redville. Tapi itu tentu sebelum seseorang memaksaku masuk bui."

Sorot mata Tim berubah menerawang lagi.

"Apakah kau meninggalkan rumah dengan pintu belakang terbuka seperti ini?" tanya Trista berusaha mengganti topik.

"Biasanya tidak. Tenang saja, Sarah ada di dalam. Dan akan lebih baik jika kita masuk lewat pintu depan. Karena dia pasti sedang menyiapkan 'kejutan spesial'nya di dapur. Dia takkan senang jika aku mengajakmu masuk lewat belakang."

Trista dan Tim kembali melewati garasi dan mengeluarkan koper-koper dari bagasi. Kotak kaca Zero terkepit aman di bawah lengan Trista, dan mereka dengan susah payah berhasil melewati teras dan pintu depan sambil mengangkat koper-koper.

"Selamat datang kembali." Tim bergumam senang.

Trista mengamati seisi ruang keluarga itu dan langkahnya terhenti.

"Ada apa?" tanya Tim khawatir. Trista mengernyit.

"Tidak, rasanya—"

Trista menatap ke sekeliling. Dekorasinya, warna-warnanya, perabotannya, aromanya. Rasanya tidak asing. Begitu nyaman. Seolah-olah semua itu menyambutnya ramah. Seolah semuanya entah bagaimana pernah menjadi bagian hidupnya dahulu, walaupun dia tidak mengingatnya sama sekali.

"Selamat datang di rumah, Trista." Sarah tiba-tiba muncul dari pintu dapur, tersenyum pada gadis itu.

Baru kali ini Trista berdiri cukup dekat untuk memperhatikan sosok ibunya. Dia memiliki rambut berwarna cokelat sangat gelap, bentuk matanya sama persis dengan bentuk mata Trista, warnanya hijau olive, sama dengan mata Trista, bibirnya tipis dan berlekuk indah. Dia baru sadar betapa cantiknya Sarah Frauss, jika tidak sedang berlinangan air mata di sofa ruang tamu Diana.

Sarah langsung memeluk Trista erat. Tubuh Sarah hangat, dan gemetar sedikit. Mungkin karena luapan emosi yang selama sembilan tahun ini tertahan? Bagaimanapun, Trista merasa kejam jika tidak balas memeluknya. Rasanya aneh. Baru kali ini dia memeluk Sarah, namun entah mengapa perasaan hangat menjalari sekujur tubuhnya. Trista merangkulkan kedua tangannya di punggung Sarah dengan canggung sementara Tim memperhatikan mereka dengan pandangan mata berkaca-kaca. Kemudian Tim menyela bersemangat, berusaha menutupi keharuannya, "Mana Cliff?"

Trista hampir melupakan keberadaan orang asing yang akan menjadi kakaknya itu.

"Dia sedang di belakang rumah, meditasi. Atau hibernasi. Apalah itu." jawab Sarah sembari menghapus air matanya, "Salah satu istilahnya jika sedang tak ingin diganggu."

Kening Trista mengernyit, "Aneh, aku tadi tak melihatnya..."

Sarah dan Tim saling berpandangan.

"Mari kita mendiskusikan hal ini." Tim menyandarkan koper-koper Trista pada dinding dan menggiringnya duduk di sofa besar ruang keluarga, "Duduklah, Trista."

Trista duduk. Matanya menelusuri dinding yang penuh foto keluarga Frauss dan pandangannya tertancap pada salah satunya yang paling mencolok. Tim dan Sarah berada di sebuah kamar rumah sakit. Tim terlihat tersenyum bahagia, di sebelahnya duduk Sarah yang mengenakan baju rumah sakit, wajahnya berseri-seri mendekap bayi yang kelihatannya baru lahir.

"Itu kau." Tim mengikuti pandangan Trista lalu menunjuk foto yang dipajang persis di sebelahnya, "Dan itu adalah kau bersama kami ketika berumur lima, merayakan ulang tahunmu..."

Trista dapat melihat seorang gadis cilik berambut hitam tengah menggembungkan pipinya di hadapan kue ulang tahun superbesar. Pita dan balon warna-warni bertebaran di mana-mana.

"Yang mana Cliff?" tanya Trista.

Sarah kembali dari dapur, membawakan kue kering dan teh hangat. Tangannya agak gemetar.

"Itu eh... sejak masuk sekolah, kakakmu tinggal di asrama. Kalian jarang sekali bertemu. Karena asramanya jauh dari sini, dia hanya bisa pulang sesekali. Kau sedih sekali ketika Cliff hendak berangkat ke asramanya, kau berlari menyebrang jalan dan..."

Sarah tak sanggup meneruskan.

"Aku tertabrak." Trista meneruskan kalimat Sarah. Sarah mengangguk.

Trista akhirnya mengerti. Dia tertabrak mobil ketika hendak menghampiri kakaknya. Suara memekakkan telinga itu adalah suara klakson mobil. Jeritan wanita itu ternyata adalah jeritan Sarah yang memanggil namanya. Suara-suara yang menghantuinya selama ini entah bagaimana menjadi sedikit lebih nyata. Dan jelas.

"Lalu di asrama mana kalian menitipkan Cliff?" tanya Trista, berusaha menghilangkan sekelebatan ingatan buruk itu. "Ma-maksudku... Tim tadi bilang Cliff tinggal di asrama seorang pendeta."

"Pendeta George Brunnard. Dia pria yang sangat baik, salah satu dari segelintir orang yang masih percaya pada ayahmu. Apa kau sudah tahu tentang..."

"Ya. Tim barusan cerita. Mo-uh, Diana juga sudah menceritakan sebagian besar masa lalu kalian." Trista memandangi mereka bergantian meminta penjelasan, "Kenapa kalian nggak menitipkanku bersamanya?"

Mereka berdua tersentak.

"Maksudku, kalian bisa saja menitipkanku bersama Cliff pada keluarga kalian. Atau Diana. Atau meminta belas kasih Pendeta George agar mau merawat Cliff dan aku. Dia pasti punya tempat kan, jika hanya untuk gadis berumur delapan tahun, sementara Cliff berada di asrama cowok? Kenapa kami harus dirawat secara terpisah?"

Jantung Trista berdegup-degup tak keruanan. Mengetahui kenyataan bahwa dia dan kakaknya dirawat secara terpisah membuatnya agak terpukul.

Tim menarik napas berat.

"Itu masa yang sulit. Keluarga ibumu terpengaruh reputasiku yang saat itu sedang di penjara, sementara keluargaku menolak ikut campur. Segalanya kacau dan membingungkan. George sudah cukup baik hati menawarkan pendidikan gratis untuk Cliff sampai aku sanggup membawanya pulang kembali. Demikian pula Mrs. Malcolm yang awalnya menyarankan untuk membantu kami merawatmu. Kami sungguh menderita mengingat betapa murah hatinya wanita itu, dia hanya seorang janda yang bekerja di perusahaan asuransi. Kami tak bisa membayangkan bila harus mengetuk pintu rumahnya di tengah malam dan menyodorkan satu lagi anak laki-laki untuk dirawat."

"Pada dasarnya, kalian memisahkan kami karena nggak ingin menambah beban bagi orang yang menawarkan jasa penitipan anak pada kalian." Trista tak berusaha menutupi kesinisannya.

Tim menyisiri rambutnya dengan jari tangan, kelihatan frustasi. Sedangkan Sarah berkaca-kaca oleh air mata. Dia menggenggam tangan Trista erat.

"Trista, Sayang. Maafkan kami. Kami telah mengecewakanmu selama sembilan tahun ini. "

"Itu juga masih kupertanyakan. Diana memang bersalah karena dia mengecoh nomor telepon dan alamat rumah yang dia berikan pada kalian. Tapi... sembilan tahun? Itu waktu yang sangat lama. Dan jika benar kalian sempat tertipu dan kehilangan jejak Diana, kalian kan bisa segera menghubungi polisi yang dalam sekejap bisa melacakku. Detektif Hale bilang kalian menggencarkan pencarian baru belakangan ini."

Trista menatap Tim dan Sarah bergantian. Tim menarik napas berat.

"Dengar Sayang, ketika itu kami benar-benar dalam situasi yang sulit. Kami pikir Mrs. Malcolm sudah menjelaskan segalanya padamu. Kami juga sudah berusaha menjelaskan pada Cliff..."

"INI BUKAN TENTANG CLIFF!" Trista meledak, "Ini tentangku! Tentang aku dan ingatanku yang hilang! Cliff tidak kehilangan ingatannya!"

Trista tidak sadar dirinya sudah bangkit dari sofa, dia berusaha membuat nada suaranya kembali normal. "Diana Malcolm mungkin memang sudah membawa kabur diriku. Tapi mengapa kalian nggak berusaha mencariku lebih keras?"

Sarah menekap mulutnya. Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara.

"Kami tidak punya uang." aku Tim, "Mereka mengambil segalanya. Rumah, tabungan... ibumu terlunta-lunta dan harus menumpang di rumah temannya yang masih cukup berbaik hati selama aku dipenjara. Dia harus berjuang menghidupimu dan Cliff sembari berusaha mengeluarkanku dari penjara. Keadaan benar-benar buruk hingga Diana muncul-"

"Itu karena aku percaya pada Diana." Sarah menyela penjelasan panjang lebar Tim dengan suara begetar.

Trista, yang sudah mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan jawaban terburuk yang akan diberikan oleh orangtuanya, terbelalak.

"Apa?"

"Aku dan Tim percaya pada Diana." ulangnya sambil menatap Trista, "Aku melihat matanya waktu itu, di rumah sakit. Aku melihat kejujuran."

Sarah menghampiri Trista.

"Banyak hal yang harus kulakukan sendirian semenjak ayahmu dipenjara, Trista. Sembilan tahun aku membayangkan jika dirimu duduk dihadapanku saat makan malam, memakan pai daging buatanku. Sembilan tahun aku dihantui perasaan bersalahku, menyesali keputusanku pada hari itu di rumah sakit. Sembilan tahun aku dan Tim hidup dengan kekosongan yang menempel di setiap urat nadi kami. Jadi jika kau mengatakan bahwa sembilan tahun itu waktu yang lama, percayalah, kami sangat sadar betapa lama dan menyiksanya sembilan tahun itu, Trista."

Trista diam saja. Dia benar-benar muak. Dia tidak percaya ada orangtua yang dapat memperlakukan anak-anaknya seperti ini.

Tim bangkit dari sofa, "Segera setelah aku keluar dari penjara, kami memperjuangkan segalanya, termasuk mencoba membersihkan namaku. Kami memulai dari awal. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang lumayan di kota, berkat bantuan Pendeta George. Kami berhasil memiliki rumah ini kembali, dan kami melakukan apa yang telah kami putuskan. Menjemputmu dan Cliff setelah semuanya kembali normal. Kami melanjutkan mencarimu, kami sama-sama tahu kami sudah lama kehilangan jejak Diana, setahun setelah kami menitipkanmu padanya. Selama setahun itu ibumu masih bisa mengontakmu dan mengecek keadaanmu, sampai Diana pindah. Alamat yang diberikannya bukan alamat yang sebenarnya. Sarah masih bersikeras untuk tidak menghubungi polisi, namun kami tahu tidak bisa membohongi diri kami lagi. Akhirnya kami menyewa seorang detektif... dan kami menemukanmu. Tak berapa lama setelah itu, Diana menelepon."

"Diana menelepon kalian?" Trista mengulang. Sarah berdiri di hadapannya, dia berlutut dan kedua tangannya menggenggam tangan Trista erat.

"Diana menelepon. Dia sadar dirinya diawasi. Aku hampir tak percaya dia masih menyimpan nomor teleponku. Dia menangis dan meminta maaf. Dia mengatakan bahwa dia tidak bisa mencegah dirinya. Dia memberitahuku di mana dia tinggal dan bersumpah bahwa kali ini dia memberikan alamat yang benar."

"Namun ketakutan kami menjadi kenyataan," sambung Tim dengan nada dingin dan kaku, "...Diana tidak menceritakan masa lalumu sama sekali, dia memberimu identitas palsu. Kami benar-benar..."

Tim mendudukkan dirinya kembali, menunduk dan menyisiri rambutnya frustasi.

"Kalian nggak bisa begitu saja mengandalkan Diana." kemarahan Trista timbul lagi, "Apa yang kalian harapkan darinya? Aku masih rentan dan nggak berdaya saat itu dan kalian meninggalkanku begitu saja untuk dirawat janda asing yang kalian temui di rumah sakit! Aku masih beruntung karena Diana tidak menjualku ke luar negeri untuk dijadikan pelacur atau semacamnya."

Sarah sudah terisak-isak hebat. Namun kemarahan Trista tampaknya semakin menjadi-jadi.

"Sepertinya aku tahu apa yang kalian pikirkan saat itu." kata Trista meledak-ledak. Kemudian gadis itu meninggikan suaranya, "'Oh, Tim. Diana sangat baik. Mengapa kita tidak membiarkannya mengurus Trista kecil kita yang malang dan tidak tahu apa-apa selama beberapa tahun saja? Sementara Cliff sudah aman berada dalam dekapan Pendeta George!' dan 'Ide bagus Sarah! Setelah aku meraih kembali pekerjaan dan harga diriku, baru kita ambil kembali titipan-titipan kita...'"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Trista. Tim telah berdiri. Sepasang matanya menatap Trista, berang.

"TIDAK!" Sarah menjerit sambil menarik tangan suaminya, air matanya mengalir makin deras. "Apa yang kau lakukan?!"

Trista tak mampu berkata-kata. Gadis itu hanya memegangi pipi kirinya yang terasa terbakar. Tim menatapnya dengan sorot kecewa dan murka. Trista balas menatapnya tak gentar.

Tim mendesah parau, "Kau tidak paham-"

"Itu tidak seperti yang kau pikirkan!" potong Sarah cepat, suaranya serak dan gemetar. "Aku tahu Diana orang yang baik sejak pertama kali aku bertemu dengannya di rumah sakit. Aku tahu aku bisa mempercayakanmu padanya, pada akhirnya. Itulah yang membuatku sedikit tenang untuk melepasmu Trista, Sayang. Tetapi Diana..."

"Tenang?" Tim tak dapat menahan luapan emosinya, "Apakah itu termasuk kau yang nyaris mati karena menenggak valium? Jika saja aku tidak..."

Sarah menoleh pada Tim, matanya membulat ketakutan.

"Jangan katakan..."

Sarah tak sanggup meneruskan kata-katanya, karena detik berikutnya dia terkulai ke sofa dan pingsan.



0

Background story Tim dan Sarah.
Jangan lupa vote & comment!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro