- 38 -
"Trista... Frauss."
Kepala-kepala yang tadinya tertunduk suram di ruangan itu seketika terdongak mendengarnya.
Sudah kurang lebih lima menit Trista membuka matanya. Dalam posisi berbaringnya saat ini dia hanya mampu menatap langit-langit putih yang membosankan, tetapi apa yang baru saja disadarinya terasa sama sekali tidak begitu.
Trista mendudukkan dirinya, menatap ke sisi ranjang rumah sakitnya, di sana duduk Sarah dan Tim.
"Oh, Tuhan! Syukurlah! Syukurlah! Kau pingsan selama lima jam, aku sangat khawatir!" Sarah bangkit dari kursinya dan memeluk Trista, menangis tersedu-sedu. Namun tampaknya perhatian Tim teralih pada hal yang barusan diucapkan Trista.
"Kau bilang apa, Nak?" tanyanya, ikut bangkit dari kursinya.
Trista menatap keduanya, meneliti wajah keduanya.
Selama ini Trista sering mengamati wajahnya sendiri di cermin, mendapati beberapa kemiripan genetik dengan Tim dan Sarah. Namun untuk pertama kalinya Trista sadar sepenuhnya bahwa kemiripan itu memang nyata. Bahwa bentuk hidung dan bibirnya mirip seperti Tim, sementara bentuk alis, warna mata, serta senyumannya mirip seperti milik Sarah.
Untuk pertama kalinya Trista sadar bahwa mereka benar-benar orangtua kandungnya.
"Itu memang namaku."
Trista mengerjap, lalu mendongak perlahan menatap Tim dan Sarah.
"Mom... Dad." ujarnya lirih.
Reaksi yang ditimbulkan dari perkataan Trista muncul dengan lambat. Mula-mula pemahaman mulai merambati wajah mereka, disusul ekspresi terguncang dari Tim dan Sarah. Setelah itu ledakan keharuan yang tak terbendung melingkupi mereka.
"OH, TRISTA! TRISTAKU!" Sarah memeluk Trista dengan air mata membajiri pipinya. Tim menyaksikan itu dengan bibir terkatup rapat menahan luapan perasaan hingga akhirnya memutuskan untuk memeluk istri dan anak perempuannya.
Momen itu terasa begitu membingungkan, menakutkan, sekaligus menakjubkan di saat yang bersamaan. Trista merasa dadanya seolah tak cukup menampung banjir emosi yang menyerbunya. Tangis Trista pecah tak terkendali.
"Oh, Trista... Trista..." Sarah berulang-ulang menyebutkan namanya, dan ketika akhirnya tangis haru di antara mereka mereda dan mereka saling melepaskan pelukan, Trista memandangi wajah ibunya.
"Diana... membawaku saat itu." katanya, masih memandangi Sarah dengan sorot menerawang jauh. Lalu dia ganti menatap ayahnya, "Katanya dia membawaku karena kau dibawa polisi, Dad."
"Sayangku." Tim kembali merangkul Trista, suaranya bergetar penuh emosi, "Ya, ya. Tetapi sekarang aku di sini. Kita semua di sini."
"Kau memang datang." Trista beralih lagi memandang ibunya, "Ke rumah Diana. Mom datang beberapa kali ke rumahnya sebelum kami mulai pindah-pindah."
Mendengarnya, Sarah kembali dibanjiri air mata dan dia kembali memeluk gadis itu dengan sangat erat.
"Ini semua salahku." ujar Tim parau.
"Maafkan aku." isaknya, "Maafkan aku, Trista. Maafkan aku."
Trista terdiam mengamati kedua orangtuanya, wajah-wajah mereka begitu diliputi duka dan penyesalan. Dan dengan hati yang amat pedih, Trista dapat mengenali ekspresi yang sama yang saat ini muncul pada wajah ibunya, ekspresi tersiksa yang sama ketika dia melihatnya pergi bersama Diana sembilan tahun yang lalu.
0
Phillip Bells, dokter sekaligus neurologis yang menangani Trista mengunjungi kamar inapnya beberapa jam kemudian untuk memberitahukan hasil pemeriksaan terakhir dan gadis itu dinyatakan dalam kondisi baik. Hanya saja dia butuh beristirahat dan harus tinggal di rumah sakit, paling tidak sampai besok.
Setelah itu Dr. Bells meminta kedua orangtua Trista untuk meninggalkan ruangan, agar dirinya bisa berbincang empat mata dengan pasiennya sendirian.
"Aku sudah menjelaskan kondisimu kepada orangtuamu." katanya sembari menarik kursi ke sisi ranjang Trista dan duduk di sana, "Mereka juga memberitahuku latar belakang keluarga kalian dan apa yang menimpamu ketika kau berumur delapan tahun, jadi jangan khawatir. Aku sudah paham masalahmu, Trista."
Trista mengangguk. Rasanya memalukan sekaligus canggung mendapati ada orang asing yang mengetahui detail mengenai kehidupannya.
"Begini. Mungkin dulu kau tidak menerima penjelasan yang memadai, mengingat berbagai situasi rumit yang terjadi pada keluargamu... karena itu aku akan menjelaskan kondisi hilang ingatanmu sekarang." Dr. Bells memulai, "Apa yang telah kau alami adalah retrograde amnesia, otakmu kehilangan kemampuan mengingat hal-hal sebelum kecelakaan itu terjadi."
Trista mengangguk, maka Dr. Bells meneruskan, "Ada beberapa penyebab ini terjadi, penyakit, trauma, insiden... macam-macam. Tapi pada kasusmu, benturan pada kepala yang kaualami ketika kecelakaan menyebabkan cedera pada otak bagian hipokampus—well, bagian itu terletak di lobus temporal dari otak besar, itu bagian vital yang berperan dalam kegiatan mengingat dan menyimpan memori jangka panjang maupun pendek, atau navigasi ruangan—dan inilah yang menyebabkan kau kehilangan memori masa kecilmu. Tapi setelah mendengar pengakuan dari Mrs. Malcolm..."
"Diana ada di sini?" potong Trista.
Dr. Bells mengangguk, "Ya, darinya aku mendapat informasi bahwa kurang lebih setahun setelah kau mendapat kecelakaan itu dan dinyatakan amnesia, kau seperti... mayat hidup. Menurutnya kau sulit diajak berkomunikasi dan kau sepertinya tidak merespon maupun menyerap informasi atau kejadian baru selama masa itu, dan dugaanku adalah, kau mengalami trauma pasca kecelakaan yang membuat otakmu menolak menerima informasi baru..."
"Diana memang pernah bilang pada saya bahwa saya sempat mengalami trauma setelah kecelakaan. Dan itu menyebabkan saya tidak bisa mengingat kunjungan-kunjungan dari ibu saya selama itu..."
"Persis." Dr. Bells membetulkan, "Menurut Mrs. Malcolm, ini juga membuatnya menunda sementara memasukkanmu ke sekolah dasar selama setahun..."
Trista diam saja. Dr. Bells mengamatinya tajam.
"Trista, aku tahu mungkin mengungkapkan fakta saat ini akan terasa kejam bagimu dan mungkin aku akan terdengar menghakimi..."
"Saya mohon." Trista menyela, "Saya sudah lelah karena orang-orang terus-menerus menyembunyikan kebenaran dari saya. Saya berhak untuk tahu."
Dr. Bells menyunggingkan senyum prihatin dan mengangguk paham sebelum meneruskan. "Aku harus menegaskan bahwa ketika menyadari masalah trauma ini, Mrs. Malcolm... well... Diana segera memanfaatkan kesempatan dengan membawamu menjauh dari orangtua kandungmu. Menurutnya kau bertanya mengenai banyak hal, dan dia memang menjelaskan dengan jujur padamu soal trauma pasca-kecelakaan itu, tetapi dia tidak menggunakannya demi berupaya mengembalikan memorimu."
Dr. Bells berhenti sejenak, pria itu menatap Trista dengan sorot prihatin sebelum melanjutkan dengan berat, "Maafkan istilah yang kugunakan, tapi inilah yang terjadi sebenarnya; dia dapat dikatakan telah 'memprogram ulang' ingatanmu, yaitu membuat memori baru dengan mengubah jati dirimu menjadi Daniela Malcolm."
Kesunyian menyusul kata-kata Dr. Bells. Pria itu menyaksikan gadis di hadapannya tertunduk perlahan.
"Mengertilah Trista bahwa aku berusaha menilai situasimu dalam sudut pandang objektif..."
"Saya paham, Dokter." Trista mendongakkan wajahnya, tampak bertekad mendengarkan lebih banyak, "Mohon teruskan."
Dr. Bells mengangguk dan kembali meneruskan, "Kemungkinan, akibat kecelakaan yang menimpamu itu, kau mengalami dua jenis amnesia. Retrograde yang menjadikanmu tidak mampu mengingat masa lalumu sebelum kecelakaan, dan anterograde membuatmu 'kehilangan' setahun kehidupanmu setelah kecelakaan itu."
Trista memejamkan matanya.
"Apa kau mengerti maksudku, Trista?" Dr. Bells bertanya.
"Ya. Dan itukah sebabnya saya selalu menganggap seluruh kehidupan saya bermula di bangku kelas empat sekolah dasar?"
"Sayangnya, ya." jawab pria itu, "Kita katakan saja titik awal atau zero point hidupmu setelah kecelakaan adalah bangku kelas empat sekolah dasar. Dan saat ini, apa yang kau ingat? Apakah kau masih merasa bahwa zero point-mu di bangku kelas empat?"
Trista membuka matanya dan memandang ke luar jendela, dia mengerutkan alis, tatapannya menerawang jauh. "Banyak hal yang terjadi sebelumnya. Samar-samar saya ingat rumah kami yang lama. Halaman berumputnya." gadis itu menurunkan pandangannya, tangannya membelai kain yang melapisi ranjangnya dengan telapak tangannya, senyumnya mengembang tanpa sadar. "Saya ingat motif seprai kesukaan saya dulu, aroma manis panekuk buatan ibu saya, kebiasaan Dad menggunting kuku di sofa dan membuat Mom marah-marah..."
Dr. Bells mendengarkan dengan seksama, "Bagaimana dengan orang-orang di sekitarmu selain ayah ibumu?" tanyanya, "Saudara... teman?"
Senyuman Trista perlahan memudar.
"Teman?" tanya Trista.
"Ya." kata Dr. Bells, "Adakah yang kau ingat?"
Trista menghela napas sebelum menjawab, "Sebetulnya, semenjak saya pindah ke Redville, ada kilasan-kilasan. Potongan memori yang berhasil saya ingat kembali. Hanya saja saya tidak pernah menceritakannya secara detail kepada siapapun."
"Benarkah?" tanya Dr. Bells, begitu tertarik dengan fakta baru ini, "Apa yang berhasil kau ingat, Trista?"
"Well," Trista berujar, "Saya punya teman-teman bermain semasa kecil."
"Oh, ya?" Dr. Bells tersenyum, "Kau ingat siapa mereka?"
"Yeah." Trista mengangguk dan membalas senyuman Dr. Bells, "Lucas Freewell dan Cliff Sykes. Mereka adalah teman-teman terbaik yang saya miliki."
0
Selama sisa hari itu, kamar Trista sibuk kedatangan pengunjung. Diana mengetuk pintu kamarnya sekitar pukul enam tiga puluh pagi, mendapat hak istimewa untuk menjenguk Trista sepagi itu karena Trista sendiri yang membolehkannya.
Wanita itu secara harfiah berlutut menangis di sisi tempat tidur Trista. Trista tidak tahu apakah dirinya mampu memaafkan Diana setelah apa yang dilakukan wanita itu padanya—memprogram ulang ingatan Trista, menurut istilah Dr. Bells—tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan begitu saja tahun-tahun yang telah mereka lewati bersama, bukti bahwa Diana adalah seorang ibu yang sangat baik bagi anak perempuan manapun, jika saja segala sesuatunya berlangsung normal. Tim dan Sarah ada di sana, menyaksikan Trista mengatakan semua itu. Diana tampak begitu jijik pada dirinya sendiri. Ketika wanita itu tak kunjung berhenti menangis, Tim maju dan menyentuh pundaknya lembut, mengatakan bahwa mereka sama-sama berbagi tanggung jawab atas apa yang telah menimpa Trista, dan saat ini, yang terpenting bagi mereka adalah mendukung Trista baik secara fisik maupun mental demi kepulihannya. Diana kembali menangis dan meminta maaf pada Tim, juga pada Sarah.
Trista selalu berpendapat bahwa selama ini Sarah menyimpan semacam amarah pribadi terhadap Diana, mengingat fakta bahwa wanita itu telah 'membawa kabur' anak yang telah dipercayakannya. Namun Trista tahu ibunya terlalu sadar dirinya juga sama bersalahnya dengan Diana, dan memutuskan untuk tidak menunjukkan emosi itu. Tetapi apa yang dilihat Trista saat ini di kamar rumah sakit, telah meruntuhkan segala dugaannya. Ketika mendengar kata maaf yang diucapkan Diana dan melihat sorot mata wanita itu begitu tulus dan penuh penyesalan, Sarah maju dan memeluk Diana, seolah mereka adalah saudara kandung yang sudah belasan tahun terpisah. Lalu mereka sama-sama menangis.
Tak lama setelah kunjungan yang penuh haru biru itu, Lucy datang membesuk. Dia mengatakan pada Trista bahwa dirinya serasa terkena serangan jantung waktu menerima kabar Trista mengalami kecelakaan dan masuk rumah sakit, dan tidak percaya bahwa Diana baru kepikiran untuk memberitahunya setelah berjam-jam sejak semalam. Jarak Hendersonville ke rumah sakit bahkan lebih jauh dari jarak Hendersonville ke Redville High, namun lagi-lagi Lucy membuktikan kemampuan menyetir-di-saat-paniknya dengan berhasil memangkas waktu tempuh menjadi hanya satu jam. Lucy membawa Zero dan meletakkan kandangnya di meja sebelah tempat tidur Trista. Kura-kura itu tampak sengantuk biasanya. Dia juga membawakan tas baju yang semalam masih tertinggal di rumahnya, lengkap dengan kotak gaun ungu lembut yang sempat bikin heboh itu. Sahabatnya itu menjanjikan kunjungan berikutnya bersama orangtuanya, juga Andrew.
Kunjungan ketiga adalah dari rombongan Redville High, yakni kakak beradik Madison, Seth, Chuck, dan Leanna. Mereka bikin heboh koridor sehingga perawat yang bertugas mengantarkan makan siang ke kamar Trista menyerah dan membolehkan mereka masuk melebihi batas waktu jenguk.
"Pada dasarnya kau nyaris tertabrak, pingsan, dan dibawa ke rumah sakit kemarin malam." jelas Claire bersemangat, "Asal kau tahu, kau berhutang budi selamanya padaku karena kau membuatku menyetirimu ke sini dengan kombi Lucas."
"Kombi Lucas?" Trista takut telinganya salah dengar.
"Yeah." Claire mendesah berat, "Aku nggak percaya seumur hidupku aku bakal masuk ke dalam kombi fenomenal itu dan mengemudikannya..."
"Bagaimana rasanya?" Chuck menyeletuk antusias, "Apakah kau meloncati semacam portal waktu ketika sampai pada kecepatan maksimal?"
"Oh, lucu sekali." tukas Claire. Leanna terbahak.
Alis Trista bertaut bingung, "Aku diantar dengan kombi Lucas, lantas kenapa bukan Lucas yang menyetir?"
Chloe mengulum senyum, "Lucas mabuk, ingat?"
"Cliff parkir di seberang jalan. Sedan Kierra—yeah, Kierra Bridget yang nyaris menabrakmu—berhenti tidak jauh dari tempatnya memarkir mobil sementara mobil polisi tiba beberapa saat setelah kau pingsan untuk menginterogasi Kierra yang mabuk, sehingga teknisnya mobil abangmu terblokir." jelas Seth, "Claire dan Lucas yang pertama tiba di lokasi. Lucas dengan sigap menawarkan mobilnya tetapi polisi nggak memperbolehkannya berkendara dalam kondisi mabuk sehingga Claire harus turun tangan."
"Lucas ngeloyor begitu saja beberapa saat setelah kau meninggalkan kami ke luar gimnasium waktu itu, Tris." Chloe mengungkapkan, "Kupikir dia hanya ingin menyusulmu dan segera kembali, jadi kami biarkan saja..."
"Yeah, aku juga kebetulan sedang di parkiran bersama Jake..." Claire membetulkan.
"Tunggu..." Chuck menyela lagi sambil nyengir, "Ngapain kau dan Jake berduaan di tempat parkir?"
"Chuck," Leanna memutar bola mata, "... kau nggak bisa begitu saja menanyai orang mengapa mereka berduaan di tempat parkir pada malam prom..."
"Oh, tutup mulut, kalian berdua!" Claire menggerutu sebal sementara Leanna, Chuck, dan Seth terkekeh-kekeh.
Trista mendengarkan kronologis kejadian setelah dia pingsan malam itu dalam diam. Dia mendengar nama Cliff disebut dan jantungnya mendadak berdegup tak terkendali dan ruangan menjadi terasa pengap.
"Mengapa bukan Cliff yang menyetir?" Trista memberanikan diri untuk bertanya, "Dia... eh, ada di situ melihatku pingsan."
"Akan sangat membantu kalau Cliff bisa sedikit berpikir jernih." Claire mendongkol, walaupun kelihatannya senang karena pertanyaan Trista mengalihkan topik dari dirinya dan Jake di lapangan parkir. "Kalau saja semalam dia nggak terus-terusan memelukmu, dia bisa saja menyopiri sendiri kombi Lucas ke rumah sakit..."
Trista bengong.
"Yeah." Claire menjawab tatapan bengongnya, "Dia terus memegangi tanganmu sepanjang perjalanan ke rumah sakit di bangku belakang kombi, menolak melepaskanmu barang sedetik. Kau harusnya bersyukur karena abangmu itu kelewat sayang padamu, Trista."
Informasi baru itu agaknya menyita separuh pikiran Trista setelah itu. Hingga sore harinya, Trista mendapatkan kunjungan menyenangkan.
"Vivi!" Trista melihat wanita gemuk paruh baya itu masuk dan mereka berpelukan lama. Vivi tergelak-gelak ketika Trista mengatakan dia mencium aroma enak, kemudian dia mengeluarkan bungkusan pai yang masih terasa hangat dari dalam tas tangannya.
"Sudah kubilang, kau harus mencicipi pai daging kebanggaanku. Aku membawakannya untukmu." katanya dengan senyum hangat, namun senyumannya memudar ketika dia menangkap Trista sedang memandangi pintu kamarnya penuh harap, "Nak, maafkan aku. Lucas pergi ke studionya pagi-pagi sekali dan tidak kunjung pulang, aku kehabisan cara mencoba membujuknya ikut menjengukmu ke sini..."
"Oh." Trista berupaya membuat nada suaranya terdengar netral, namun gagal. "Nggak apa-apa kok, Vivi. Trims, painya!"
Vivi mengamati Trista mencicipi pai buatannya selama beberapa menit kemudian, tetapi dia tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya, "Aku bertemu ayahmu di depan tadi, Tim dulu mengenal Richard, mereka beberapa kali pergi memancing bersama sementara Lucas bermain di rumahmu. Dia mengenaliku sebagai istri Richard dan menceritakan kondisimu padaku."
Wanita itu memandang Trista dengan sorot prihatin, "Sayangku, aku tidak tahu masa lalumu begitu berat. Sekarang aku tahu mengapa kau menyapaku dengan panggilan Mrs. Freewell tempo hari, ketika Lucas mengundangmu ke rumah. Kupikir kau hanya melupakanku karena kita sudah tidak bertemu sekian lama, tetapi..."
Trista menyunggingkan senyum miris, "Yeah, aku benar-benar melupakannya. Maafkan aku."
Vivi memandanginya heran, "Untuk apa kau meminta maaf?"
Gadis itu meletakkan sendok painya dan menghela napas panjang, seraya menggumam, "Entahlah. Semua orang meminta maaf padaku. Mom. Dad. Diana. Rasanya aku perlu meminta maaf kepada seseorang agar aku tidak terkesan egois."
Dalam waktu yang relatif singkat, raut wajah Vivi berubah dari keheranan menjadi ekspresi yang menyiratkan pemahaman. Dia maju dan menggenggam kedua tangan Trista, lalu berkata lembut.
"Mungkin aku tidak dalam posisi yang berhak memberimu wejangan-wejangan yang harus kau ikuti, tetapi aku ingin membagi pengalamanku."
Wanita itu menurunkan pandangannya dan tersenyum, "Waktu suamiku, Richard, meninggal, aku dilanda depresi berat. Aku sedih, kecewa, marah. Aku merasa hidup benar-benar kejam. Aku bahkan berpendapat bahwa Tuhan tidak adil. Aku benar-benar berada dalam titik terendahku saat itu.
"Di tengah-tengah keputusasaanku, aku berbalik menyalahkan Richard. Aku menganggapnya telah mengingkari janjinya. Mengapa dia harus pergi begitu cepat? Apakah dia tidak memikirkan bagaimana hidupku dan hidup Lucas tanpa dirinya? Mengapa dia begitu egois? Aku marah, aku sangat marah padanya."
Vivi memelankan suaranya, "Hingga suatu malam, Lucas yang masih berumur sebelas tahun mendatangiku, yang sedang duduk di sofa, mencoba menyelesaikan rajutanku yang sudah kukerjakan selama dua jam lebih—aku memang banyak merajut untuk melarikan diri sejenak dari kesedihanku—dan anak itu bertanya dengan nada polos ingin tahu, 'Mom, apa kau marah pada Dad?'"
Trista terenyak mendengarkan cerita Vivi. Wanita itu melanjutkan, "Aku balik bertanya padanya, 'Kenapa kau berpikir aku marah pada Dad?' dan anak itu menjawab, 'Sejak Dad ke surga, kau selalu terlihat kesal. Mungkin Dad nggak berniat membuatmu marah. Mungkin, dia hanya... harus pergi. Aku yakin dia akan kembali suatu hari untuk menemui kita.'"
Sebulir air mata menitik di pipi Vivi. Tapi dia cepat-cepat menghapusnya, "Sejak hari itu, aku belajar untuk mengikhlaskan kepergian suamiku, dan untuk pertama kalinya sejak kematian Richard, aku bisa melanjutkan hidup. Kata-kata Lucas menyadarkanku dan berkat kata-kata itulah dan hingga saat ini kami mampu membicarakan Richard dengan ringan dan terbuka, seolah dia masih hadir di sekitar kami, mengawasi kami dan tertawa bersama kami."
Trista balik menggenggam kedua tangan Vivi dan meremasnya.
"Trista." Vivi mendongak padanya, tersenyum menenangkan, "Yang berusaha kusampaikan padamu adalah, memaafkan atau melupakan adalah proses yang pada seringnya tidak mudah dan butuh waktu. Karenanya, janganlah biarkan itu menyita pikiran dan perasaanmu..."
"Bagaimana?" tanya Trista, tertawa lemah dan putus asa, "Bagaimana aku melakukannya?"
"Aku belajar bersikap ikhlas melepas kepergian Richard dengan fokus pada masa depanku, masa depan Lucas, masa depan kami sebagai sebuah keluarga. Kau bisa belajar dengan melihat orang-orang di sekelilingmu apa adanya mereka. Jangan biarkan apa yang terjadi di masa lalu mengkorosi hatimu. Alih-alih, jadikan itu sebagai pembelajaran. Menyayangi dan mencintai sebanyak yang kau bisa. Hidup terlalu singkat jika kauhabiskan hanya untuk mencoba memaafkan, Nak."
Tidak berlebihan apabila kata-kata Vivi terus terngiang di kepalanya selama sisa sore itu. Menjelang malam hari, Trista bengong di kamar mandi, betul-betul membiarkan saja keran air terbuka sembari membayangkan perbincangannya dengan wanita itu sore tadi.
0
Akhirnya ingat lagi :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro