- 36 -
"Astaganaga! Tris! Kau ngapain di sini?!"
Lucy menganga sekitar sepuluh sentimeter ketika melihat Trista berdiri di depan pintu rumahnya pukul enam pagi, dengan ransel dan kotak kaca Zero di tangan.
"Hai, Luce." Trista menyeringai, "Sori aku nggak meneleponmu sebelumnya. Boleh aku masuk?"
"Ap-oh, tentu!" Lucy bergeser ke samping agar Trista bisa masuk.
Rumah keluarga Nelson tidak banyak berubah dengan yang terakhir kali Trista ingat. Ada lampu gantung kristal di lorong, di sebelah tangga menuju lantai atas. Di kiri lorong adalah ruang tamu, dengan sofa-sofa empuk yang masih bermotif garis-garis biru, meja kecil, sebuah lemari pajangan besar, dan sebuah televisi. Di sebelah kanan adalah semacam ruang santai, dengan banyak rak buku berjajar di sisi-sisi dindingnya, kursi-kursi, dan sebuah perapian yang hampir tidak pernah dinyalakan. Sementara jika berjalan lurus, Trista akan menemukan toilet, serta dapur sekaligus ruang makan. Tetapi Lucy langsung menggandengnya menaiki tangga menuju kamarnya.
"Ibu dan ayahku sedang lari pagi. Adikku masih molor di kamarnya. Ya ampun, Tris, kau bikin aku jantungan." kata Lucy sembari menutup pintu kamarnya, "Jangan harap aku bakal percaya alasanmu datang pagi-pagi buta begini adalah untuk kunjungan nostalgia. Jadi, ada apa?"
Trista menjatuhkan ranselnya di ranjang Lucy dan meletakkan kotak kaca Zero hati-hati di atas meja komputer, kemudian merebahkan dirinya sendiri ke kursi bulat besar di sudut ruangan, "Yeah. Memang bukan buat nostalgia."
Trista bisa merasakan sahabatnya itu tengah menatapnya khawatir, tetapi Trista menghindari tatapannya.
"Kau senggang seharian ini?" Trista akhirnya mendongak, "Karena ceritaku bakalan panjang."
Lucy berjalan ke ranjangnya dan menggabrukkan diri, "Aku punya sepanjang hari."
Maka selama dua jam itu Trista menumpahkan segalanya. Fakta-fakta tentang dirinya yang Lucy belum ketahui. Fakta bahwa dia dititipkan kepada Diana oleh orangtuanya sendiri, dan kenyataan bahwa dia tidak bertemu dengan Cliff selama bertahun-tahun sejak itu. Juga bagaimana Trista mulai merasakan perasaan yang tidak lazim, yang tidak seharusnya tumbuh bagi kakak laki-lakinya, dan menderita karenanya.
Lucy bungkam sepanjang cerita Trista, menyimak dengan sungguh-sungguh. Bisa terlihat pada awalnya, dia terlihat agak syok dengan hal-hal yang Trista paparkan, namun sepertinya dia menahan diri untuk tidak bertanya hingga sobatnya selesai menjelaskan. Trista juga dapat menangkap segaris kekecewaan pada raut wajah Lucy, ketika dia tiba pada penghujung ceritanya.
Gadis itu menarik-narik kepang perancisnya dengan alis berkerut, menatap karpet kamarnya dengan pandangan menerawang.
"Katakan sesuatu." pinta Trista putus asa.
Lucy mengangkat pandangannya.
"Entahlah, Tris." komentarnya akhirnya, "Kau ingin aku berbuat apa? Marah-marah soal kau yang memutuskan untuk nggak menceritakan sebagian besar detail penting dalam hidupmu padaku setelah selama ini, atau mengasihani duka hidupmu dan segala tetek bengek tentang perasaanmu 'tak lazim'mu terhadap Cliff?"
Pada momen-momen seperti sekarang, Lucy bisa berubah menjadi monster kejam sekaligus psikolog pakar pada saat yang bersamaan.
"Atau tentang bagaimana kau merasa menjadi korban penyembunyian jati diri? Atau tentang kau yang merasa selalu dibohongi..."
"Kau satu-satunya pihak netral di sini." Trista mengungkapkan, "Aku hanya butuh bercerita pada seseorang yang kutahu nggak akan memusingkan harus memihak siapa."
Lucy beranjak dari ranjangnya dan berlutut di depan kursi bulat yang Trista duduki, "Aku selalu di pihakmu, jadi kurasa aku juga nggak akan netral."
Trista menunduk menatap sepasang mata sahabat terbaiknya itu yang memancarkan binar menyemangati, dan mereka berpelukan. Seketika tangis Trista pecah.
"Oh, kita sudah lama banget ya, nggak nangis-nangisan begini!" Lucy menghibur Trista dengan membelai-belai lembut punggungnya. Trista terkekeh di sela-sela isakannya.
"Sori... aku perlu menumpahkan semua ini, makanya aku ke sini." kata Trista, kemudian perutnya mengeluarkan bunyi keroncongan. Keduanya terbahak.
"Lupakan dulu sejenak masalahmu yang luar biasa rumit. Mau ikut turun ke dapur dan menyiapkan sarapan?" Lucy melepaskan pelukannya, "Mom dan Dad pasti sudah kembali. Mungkin mereka bakal kaget sedikit mendapatimu ada di sini."
Nyatanya, Mr. dan Mrs. Nelson sangat kaget mendapati Lucy turun bersama Trista beberapa menit kemudian. Sudah lama sejak kunjungan Trista yang terakhir ke rumah Lucy dan bertemu kedua orangtuanya. Segera saja dapur keluarga Nelson menjadi ramai dengan obrolan 'kangen-kangenan'. Mrs. Nelson masih sama bawelnya dengan yang terakhir Trista ingat, sementara Mr. Nelson masih sama kebapakan dan baik hati seperti dulu, bahkan dia masih ingat Zero dan menanyakan keadaannya, karena itu Trista senang dia membawa kura-kura itu bersamanya dan ketika dia membawa turun kandangnya dan menunjukkannya ke dapur, suasana makin riuh.
Syukurlah Lucy sudah menceritakan garis besar masalah amnesia yang dialami sobatnya itu kepada orangtuanya ketika Trista pindah dari Hendersonville. Karena itu Trista tidak lagi harus mengulang menceritakannya dari awal. Pasangan Nelson tentu memahaminya dan hanya bertanya masalah-masalah teknis yang dasar, seperti lingkungan baru Trista di Redville dan sekolah barunya. Sedikit kecanggungan memang terjadi, terutama saat Mr. Nelson kerap kali salah memanggil Trista dengan 'Daniela', namun Trista memaklumi. Pasalnya keluarga Nelson memang sebelumnya mengenalnya sebagai Daniela Malcolm dan wajar kalau mereka belum bisa membiasakan diri dengan identitasnya sebagai Trista Frauss.
Adik laki-laki Lucy yang bernama Andrew dan masih berusia empat belas tahun turun kira-kira sepuluh menit kemudian, awalnya dia tertegun melihat dapur yang ramai dan ada seekor kura-kura berkeliaran di atas meja makan. Sampai kemudian dia melihat Trista.
"Andrew!" Mrs. Nelson berseru riang, "Lihat siapa yang datang!"
Andrew hanya bengong sesaat di ambang pintu dapur dengan baju tidur dan rambut berantakan belum disisir. Setelah dapat menguasai dirinya, dia buru-buru mengangguk pada Trista, yang membalasnya dengan menggumamkan 'hai' ramah. Anak itu beranjak menuju kulkas dalam dua langkah lebar-lebar, dengan cepat menyambar susu dan makanan terdekat yang bisa diraihnya, kemudian kabur dan kembali ke atas diiringi suara derapan berisik di anak tangga. Menyaksikan itu, Trista melongo sementara Lucy meledak tertawa.
"Kalian lihat telinga dan tengkuknya semerah apa barusan?!" sengal Lucy di sela-sela tawanya.
"Apa ada sesuatu di wajahku?" Trista mengangkat alisnya tinggi-tinggi, keheranan. Mr. dan Mrs. Nelson saling bertukar pandang penuh arti.
"Well, dia tampaknya masih belum bisa melupakanmu." Mr. Nelson mengedip pada Trista, yang semakin kebingungan.
"Andrew naksir kau, Tris!" Lucy membocorkan, "Sejak pertama kali aku mengajakmu ke rumahku!"
Pipi Trista kontan bersemu kemerahan, Trista meneguk air putihnya untuk menutupi kegugupannya. Biar bagaimanapun, dia belum pernah ditaksir cowok yang jauh lebih muda darinya dan seluruh anggota keluarga si cowok tampaknya tahu tentang hal itu.
"Dia pasti syok berat mendapati cinta pertamanya berada di dapurnya pagi-pagi begini, setelah sekian lama." Lucy masih terkekeh-kekeh, sementara Trista menenggak lebih banyak air putih.
Tak lama setelah membantu Mrs. Nelson membereskan piring-piring sarapan dan Mr. Nelson berangkat kerja, Lucy mengajak Trista untuk menyirami kebun belakang. Selama liburan sekolah, giliran Lucy untuk memberi perhatian ekstra pada petak-petak bunga daffodil ibunya. Di halaman belakang, dari jendela lantai dua terdengar musik rock berdebum-debum teredam.
"Jangan hiraukan." kata Lucy terus menyirami rerumputan, "Andrew memang suka begitu kalau sedang salah tingkah."
Trista mengulum senyum sambil mengarahkan semprotan airnya pada petak daffodil kedua sementara pikirannya melayang. Manis sekali mengetahui dirinya merupakan cinta pertama seseorang, tak peduli cowok itu adik laki-laki sahabatnya yang masih berumur empat belas tahun.
Saku celana Trista bergetar. Gadis itu mengambil ponselnya dan mengecek layarnya, yang menampilkan pemberitahuan ada lima panggilan tak terjawab. Empat dari nomor rumah, dan satu dari Lucas.
Trista mendesah dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
"Luce," panggilnya, "Aku boleh menginap sampai besok?"
Lucy menoleh dan nyengir riang, "Girl, nggak ada yang lebih kau butuhkan di momen-momen kegalauan hidupmu selain cokelat panas bertabur marshmallow dan obrolan tengah malam antarcewek. Tentu saja kau boleh!"
0
Andrew secara harfiah menghindari kontak mata dengan Trista. Keesokan harinya anak itu bahkan dengan sengaja turun dan sarapan lebih cepat daripada biasanya—menurut keterangan Mrs. Nelson dia tidak pernah bangun kurang dari jam sembilan selama hari libur, dan sarapan rutin keluarga Nelson setiap hari libur adalah pukul delapan pagi, jadi teknisnya Andrew harus turun sebelum itu—untuk menyelesaikan sereal dan jus jeruknya lebih cepat dari siapapun.
Semua orang tahu kalau siapapun itu adalah Trista.
Seharian itu Lucy bersemangat mengajak Trista berkeliling kota, mengunjungi toko CD favorit mereka dulu, makan es krim pistachio-rum raisin yang ditaburi lempengan wafer terenyah seantero jagat buatan Elison, istri pensiunan tukang kebun sekolah mereka dulu, dan belanja pernak-pernik scrapbook keren untuk tambahan koleksi Lucy. Cewek itu pada dasarnya mewujudkan kata-katanya dengan menjadikan ini semacam kunjungan nostalgia dengan Trista.
Lucy dan Trista pulang persis satu detik sebelum jam tua di ruang tamu keluarga Nelson berdentang dua belas kali, yang mana mengharuskan mereka untuk menerima 'sedikit ceramah' di konter dapur oleh ayah dan ibunya. Syukurlah Trista sudah berteman cukup lama dengannya untuk tahu bahwa orangtua Lucy—selain pecinta olahraga—well, cukup disiplin.
Keduanya terlalu lelah dan senang untuk membahas apa-apa lagi setibanya mereka di kamar, dan begitu kepala Lucy menyentul bantal, dia benar-benar langsung tertidur. Trista menyempatkan diri mengganti baju, gosok gigi, dan memberi makan Zero sebelum naik ke kasur tiupnya di seberang ranjang Lucy. Trista menatap tasnya, dan mengambil ponselnya. Sudah ada sekitar sebelas panggilan tak terjawab baru. Sebagian besar dari nomor rumah. Tiga kali nomor ponsel ayahnya, dua kali nomor Diana.
Menghela napas, Trista mengembalikan ponselnya ke dalam tasnya dan berbalik masuk ke dalam selimut.
0
"Aku nggak tahu apakah aku terlalu banyak ngemil belakangan ini atau memang aku dasarnya payah..." Lucy menutup pintu depan, napasnya terengah-engah. Dia dan Trista baru saja kembali dari lari pagi-yang-agak-kesiangan, dan mereka banjir keringat. Lucy mengambil kotak jus dari dalam kulkas, menuangkan isinya untuk dirinya dan untuk Trista ke dalam gelas. Trista sudah mencapai puncak tangga ketika tiba-tiba bel pintu berbunyi.
Lucy mengerutkan alis seraya menyerahkan mangkuk biskuit kepada Trista, "Siapa pagi-pagi begini? Kau duluan saja naik dan ganti baju."
Kemudian dia berbalik menuruni tangga lagi sementara Trista membawa mangkuk biskuit dan gelas jusnya ke dalam kamar Lucy.
Sementara Trista mencuil-cuil biskuit dan meletakkannya di wadah makan Zero, kura-kura itu nampak tidak tertarik. Dia malah menjulurkan lehernya keluar dari cangkangnya, mendongak menatap Trista tak berkedip.
"Apa?" Trista memandanginya galak, "Kenapa kau memandangiku seperti itu?"
Zero masih memandanginya.
"Kau tahu," Trista mendesah, "Aku butuh rehat sejenak dari itu semua. Aku iri padamu. Hidupmu tenang dan stabil. Sementara hidupku benar-benar kebalikannya..."
Pintu kamar menjeblak terbuka demikian mendadaknya hingga Trista terlonjak sedikit. Dia berbalik dan melihat Lucy sudah berdiri di sana, ekspresinya campuran antara kesal dan sakit hati.
"Apa itu?" perhatian Trista teralih pada kotak besar berwarna ungu lembut yang dipegang Lucy, tampaknya tak asing.
"Jujur deh, Tris. Apa ada lagi yang belum kau katakan padaku?" tuding Lucy naik darah, "Karena abangmu yang barusan datang dan mengantarkan ini bilang bahwa malam ini adalah malam prom-mu, sementara kau malah MENGHILANG dari rumah!"
Trista menatap kotak ungu yang digabrukkan Lucy ke atas tempat tidurnya dengan tidak percaya, "Cliff yang mengantarkan?"
"Jangan mengalihkan topik! Ibu dan ayahmu masih belum tahu kau di sini!" Lucy bertolak pinggang kesal, "Kupikir ini hanyalah acara menginap biasa! Sekarang kau jadi membuatku kelihatan kayak membantumu kabur!"
"Bagaimana Cliff bisa tahu aku di sini?" Trista bertanya-tanya.
"Well... aku nggak tahu! Trista..." Lucy menghampiri sahabatnya dan mengguncang-guncang pundaknya tak sabar, "Cliff bilang ibumu panik nggak keruanan. Dia pikir kau kabur karena salahnya. Sebaiknya kau pulang sekarang dan bersiap-siap ke prom."
Trista menepis tangan Lucy dan mendudukkan diri di sebelah kotak gaunnya, "Aku nggak akan pergi."
"Kau akan pergi." kata Lucy tegas, "Kau harus."
"Kenapa?" tanya Trista keheranan, "Dulu kau nggak pernah peduli soal prom, kenapa kau jadi begitu bersemangat dengan promku?"
"Well, yah... karena tahun ini aku berencana pergi..."
"Apa?!"
"Se-seseorang mengajakku. Acaranya masih beberapa minggu lagi, aku berencana memberitahumu..."
"Apa?!"
"Tapi itu nanti saja! Sekarang ini masalahmu! Ini keputusanmu!"
Trista mendengus skeptis, "Paling-paling sebentar lagi Mom bakal datang menjemputku ke sini dan memaksaku pulang untuk siap-siap dan berdandan..."
"Sudah kubilang ibu dan ayahmu masih belum tahu kau di sini!"
"Tapi Cliff pasti bakal bilang kepada mereka!"
Lucy memutar bola mata, "Cliff tadi bilang padaku kalau dia nggak mau ikut campur. Ini masalahmu. Dia nggak akan memberitahu kalau kau ada di sini, jadi jangan khawatir. Begitu katanya."
"Tapi kenapa dia nggak langsung saja menemuiku supaya jadi jelas?!" Trista tak habis pikir.
"Kau tanya saja langsung padanya!"
Keduanya berhenti, sama-sama jengkel dan menyerah. Lucy membuka kotak di sebelah Trista dan mengeluarkan gaun hitamnya.
"Lihat?! Kau bakal keren pakai ini." katanya, menjembreng gaun itu di depan wajahnya dan mengaguminya dengan sorot tulus, kemudian ekspresinya berubah jahil. "Ngomong-ngomong kau bakal melewatkan kesempatan melihat betapa kerennya Cliff dalam balutan jas formal kalau kau nggak ke prom."
"Aku meragukan itu." kata Trista pahit, "Dia nggak akan pergi."
Lucy menurunkan gaunnya dan menghela napas keras, "Itukah salah satu penyebab kau nggak mau pergi?"
Trista mengangkat bahunya, menjawab setengah hati, "Entahlah. Mungkin."
"Pertimbangkanlah, Tris. Nggak ada salahnya kan, membiarkan ibumu mencoba berusaha? Dia hanya ingin hadir untukmu. Menikmati momen menjadi ibumu yang sesungguhnya." Lucy duduk di sebelahnya dan meremas bahunya.
Ibuku yang sesungguhnya, Trista mengulang dalam hati.
Sepanjang siang itu dihabiskan Lucy dengan berusaha meyakinkan Trista untuk mengubah keputusannya, namun Trista bergeming hingga akhirnya cewek itu memutuskan untuk menyerah.
Pukul setengah tujuh malam Mrs. Nelson memanggil Lucy dan Trista untuk turun ke dapur dan membantunya menyiapkan makan malam. Lucy terus berceloteh tentang betapa cewek-cewek zaman sekarang menurutnya berpikir terlalu rumit dan mempertimbangkan terlalu banyak. Trista memotong-motong wortelnya dalam diam. Dia tahu Lucy menujukan perkataan itu padanya, namun dia tidak berniat memberi cewek itu kepuasan dengan menanggapinya.
Sekitar pukul setengah delapan, perut-perut telah terisi penuh dan piring-piring sudah dibereskan dari meja makan. Seperti biasa, Andrew naik duluan untuk menghindari kau-tahu-siapa sementara Lucy mengajak Trista makan puding sambil nonton televisi di bawah. Mrs. Nelson dan Lucy sedang asyik memelototi penyiar cowok berita malam ketika ponsel di saku Trista kembali bergetar. Dia menutup notifikasi-notifikasi panggilan tak terjawab dan langsung membuka satu pesan baru. Dari Lucas.
Trissy, di mana kau?
Trista bergerak gelisah di kursinya, rupanya Lucy menyadarinya. Dia bertanya, "Ada apa?"
Cepat-cepat Trista memasukkan ponselnya kembali dan menggeleng. Dia berusaha melupakan pesan itu dan berupaya berkonsentrasi pada layar televisi, namun gagal. Lucas belum pernah mengiriminya pesan sebelumnya, Trista tahu dia bukan tipe cowok yang gemar berkomunikasi secara tidak langsung. Pesan dari Lucas merupakan semacam pertanda bahwa situasinya benar-benar serius.
"Uhm, Mrs. Nelson, saya rasa saya mau naik ke kamar duluan." Trista bangkit dari sofanya. Mrs. Nelson mengangguk dan tersenyum sementara Lucy tampak heran.
"Kau sudah ngantuk?" tanyanya curiga.
"Yeah, sedikit."
"Malam, Trista." kata Mrs. Nelson.
"Selamat malam, pudingnya enak, Mrs. Nelson."
Setibanya di kamar Lucy, pandangan Trista terpaku pada kotak ungu lembut yang tergeletak di kaki ranjang. Dia mengambilnya dan mengeluarkan gaun hitamnya, kemudian mematut dirinya di cermin.
Kau bakal keren pakai ini, Trista terngiang kata-kata Lucy seraya memutar dirinya perlahan di depan cermin. Gaun itu terlihat cantik. Simpel namun memesona.
Trista menangkap gerakan dari sudut matanya, cewek itu berbalik dan melihat Andrew sedang berdiri mematung di ambang pintu kamar Lucy.
"S-sori." dia meminta maaf dan buru-buru pergi. Trista meletakkan gaunnya dan menyusul Andrew.
"Andrew." panggil Trista. Cowok itu sudah hendak masuk ke kamarnya namun urung.
"Yeah?" dia berbalik, kentara sekali gugup.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Te-tentu." Andrew menyahut kikuk.
"Apakah menurutmu..." Trista diam sejenak untuk mempertimbangkan kata-katanya, "...well, seandainya kau mengajak cewek yang kau suka ke pesta dansa, kemudian pada detik-detik terakhir cewek itu nggak datang, apa yang akan kaulakukan?"
Andrew tidak langsung menjawab, sebaliknya dia malah balik bertanya lagi, "Apakah kita sedang membicarakan seseorang secara spesifik?"
"Anggap saja aku menanyakan pendapatmu."
"Yah..." Andrew merenung, "Aku belum pernah ke pesta dansa manapun sebelumnya, jadi pasti aku bakal terlihat tolol."
"Kau nggak akan mengajak cewek lain berdansa denganmu?"
"Itu hanya bakal memperparah keadaanku." katanya setengah terkekeh.
"Kau akan bagaimana?"
Andrew mengangkat alisnya, "Maksudku, dia cewek yang kutaksir dan sebagainya... tentu saja aku bakal kesal kalau dia nggak datang. Dan sangat kecewa."
Trista terdiam.
Bagaimana perasaan Lucas ketika mendapati Trista tidak ada ketika cowok itu menjemputnya di rumah? Apakah dia memutuskan tetap pergi? Apakah dia kembali pulang? Jika dia kembali, bagaimana reaksi Vivi? Trista tidak betul-betul memikirkan bagaimana dampak yang akan ditimbulkannya terhadap Lucas, dia hanya sibuk berkutat dengan masalahnya sendiri dan melupakan janjinya dengan Lucas. Mendadak dia merasa begitu jahat dan egois.
"Uh, apakah ini ada hubungannya dengan gaun itu?" celetuk Andrew menyadarkannya.
"Kurang lebih." Trista meringis.
"Jadi, cowok yang mengantarkannya tadi pagi itu pacarmu?"
Kini giliran Trista yang dibuat salah tingkah, "Um... bukan."
"Tapi kau menyukainya?" tebak Andrew, membuatnya semakin gelagapan.
"Ng, yeah, kurasa begitu. Apakah begitu terlihat jelas?"
Cowok itu mengangkat bahunya, tersenyum kecil. "Yah, aku hanya berpikir kita memiliki sedikit kesamaan. Kecenderungan menghindari orang yang kita sukai."
Kata-kata itu kontan membuat Trista terenyak. Matanya menyipit memandangi Andrew dengan sorot heran campur takjub.
"Lucy nggak pernah bilang padaku kalau dia punya adik cowok ter-cool sedunia bila itu menyangkut soal percintaan." sindir Trista. Andrew nyengir menanggapinya. Untuk pertama kalinya Trista dapat melihat cowok itu bersikap santai di hadapannya.
"Menurutku kau bakal kelihatan cantik dengan gaun itu." katanya, sembari membuka pintu kamarnya, "Selamat malam."
Trista berdiri tercenung di koridor selama beberapa detik, menatap pintu yang menutup di belakang Andrew.
"Selamat malam, Andrew." gumam Trista.
Kurang dari lima detik yang diperlukan bagi Trista untuk kembali ke kamar Lucy, menutup pintu, dan menetapkan keputusan. Dia mengambil gaunnya yang masih tergeletak sempurna di atas ranjang dan mengganti bajunya.
Tepat pada saat Trista sedang berusaha dengan putus asa untuk membuat rambutnya terlihat tidak terlalu menyedihkan dengan menguncirnya, Lucy masuk ke kamar. Dia melongo sejenak.
"Apakah...?" dia menggantungkan pertanyaannya, yang maksudnya langsung dapat Trista tangkap.
"Yeah! Kumohon lakukan sesuatu pada rambutku!"
Ekspresi Lucy seketika berubah panik lalu dia berbalik dan berderap turun sambil berteriak nyaring, "MOOOOOM?!"
0
Yay prom?!
Vomment please :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro