- 33 -
"Belum pulang?"
"Ya. Cliff dan ayahmu bertemu Pendeta George di makam dan beliau mengundang mereka makan malam di rumahnya. Pendeta George juga kenal Michael. Kenapa matamu merah, Trista?"
"Kelilipan."
Sarah sempat terheran-heran ketika melihat Trista memasuki dapur dengan keadaan menyedihkan sepulang sekolah—rambut lepek dan mata merah—namun tidak banyak bertanya, syukurlah.
Tanpa terlebih dahulu mengganti bajunya atau sekadar meletakkan tasnya, Trista berjalan menuju rumah pohon. Setibanya di atas, Trista mengeluarkan CD lagu Cliff dan meletakkannya di meja dekat sofa, bersama dengan secarik kertas bertuliskan 'titipan Ted'. Trista sudah hendak keluar dari sana ketika matanya menangkap sesuatu.
Buku itu tergeletak di bawah dengan posisi terbuka aneh, dengan beberapa lembar kertasnya tertekuk di ujung. Trista memungutnya dan hendak meletakkannya di atas meja ketika sesuatu meluncur jatuh dari tengah-tengah buku. Itu adalah selembar foto lama. Di dalam foto itu, seorang pria dan wanita tengah tersenyum, berdiri mengapit seorang bocah laki-laki yang tertawa lebar kepada kamera. Trista mengenali bocah laki-laki itu sebagai Cliff. Mata dan senyumannya sama persis dengan yang diingatnya. Tetapi apa yang menarik perhatiannya bukan hanya si Cliff kecil. Wanita dan pria itu. Lagi-lagi wanita dan pria itu. Si wanita berwajah cantik dan si pria berkumis dan berambut cepak. Dua orang yang rasanya amat dikenalnya...
Terdengar suara-suara dari arah rumah utama. Trista tersentak dan buru-buru menyelipkan foto itu kembali ke dalam buku...
Namun terhenti saat dia melihat tulisan itu. Tulisan tangan kecil-kecil dengan tinta hitam yang digoreskan di belakang foto itu.
Sykes.
Trista turun dari rumah pohon dan memasuki ruang makan beberapa saat kemudian.
"Cepat ganti bajumu. Kami sudah kelaparan." Tim sudah ada di sana, membantu Sarah menyiapkan meja makan.
"Kupikir kau dan Cliff makan malam di rumah Pendeta George?" tanya Trista.
"Uh..." Tim diam sejenak, tangannya masih sibuk merapi-rapikan posisi piring, yang sebetulnya tindakan tak perlu, "Kami hanya mengobrol dengan George sebentar, kami memutuskan untuk cepat-cepat pulang karena teringat Sarah masak kalkun panggang hari ini! Aku tidak mau melewatkan masakannya yang selalu enak."
"Oh, kau berlebihan." Sarah menerima kecupan main-main dari Tim, "Jangan dengarkan ayahmu, Trista. Dia tukang gombal paling payah yang pernah kukenal. Sana ganti baju, dan panggil Cliff untuk turun. Dia di kamarnya. Kalkunnya keburu dingin."
Di kamarnya, Trista mengganti baju sambil melamun. Dia menyisiri rambutnya di depan cermin dengan pandangan tidak fokus. Pikirannya melayang ke mana-mana.
Siapa sebenarnya pria dan wanita itu? Apa hubungan mereka dengan Cliff? Dan mengapa ada tulisan 'Sykes' di belakang foto lama itu?
Trista yakin dia pernah mendengar atau melihat nama Sykes selain dari memori-memori acaknya sebelum ini. Tetapi dia gagal mengingatnya. Menurut keterangan Cliff, Sykes memang panggilan kecilnya dulu, tetapi Trista tidak puas hanya dengan penjelasan itu.
Beberapa menit kemudian, Trista mengetuk pintu kamar Cliff.
"Cliff? Turunlah. Makan malam sudah siap." katanya dari luar pintu.
"Yeah. Aku menyusul." Trista mendengar abangnya menyahut dari dalam.
Makan malam berlangsung canggung. Mungkin hanya bagi Trista. Dia menyadari sikap Sarah dan Tim yang terlalu ceria, seolah-olah dirinya dan Cliff baru saja melewati satu hari yang melelahkan dan butuh penghiburan. Memang tidak ada salahnya bersikap ceria. Hanya saja, Trista tidak membutuhkannya apabila semua itu berdasarkan kepura-puraan. Kepalsuan.
"Jadi, Cliff." Trista membuka suara, akhirnya, setelah sedari tadi menyantap makan malamnya dalam diam, "Apakah kau dan Pendeta George ngobrol banyak tadi?"
Cliff berhenti mengunyah dan mendongak dari piringnya. Tatapannya campuran bingung dan agak kaget.
"Kenapa?" dia bertanya, menatap Trista.
Trista mengangkat bahu sambil mencibir, "Cuma penasaran. Kau kan sudah lama nggak bertemu dengannya. Mungkin saja dia rindu padamu dan bilang, 'Wah, sudah lama nggak melihatmu berkeliaran di sekolah, Sykes' atau semacamnya."
Dentingan pisau dan garpu yang tadinya meramaikan suasana seketika terhenti. Suasana jadi benar-benar hening. Trista memergoki kedua orangtuanya saling berpandangan. Ekspresi mereka benar-benar terkejut.
"Trista, Sayang?" Sarah berujar perlahan, "Apa yang kau kata—"
"Nggak. Dia nggak ngomong begitu." Cliff menjawab pertanyaan Trista seraya meraih gelasnya dan menyodorkannya kepada Sarah, "Mom, bisa minta jus lagi, please?"
Sarah tampak terpaku sejenak, sebelum kembali dapat menguasai diri.
"Oh, tentu, Nak."
Selagi Sarah beranjak ke dapur untuk mengambilkan jus Cliff, tidak ada yang berbicara. Cliff meneruskan makannya, sementara Tim terdiam menatap kalkun di piringnya.
"Kau dan Pendeta George nggak terlalu dekat ya?" tanya Trista lagi, mengamati reaksi dari Cliff baik-baik.
"Dia malah sangat baik padaku." Cliff berujar. Sarah kembali dari dapur membawa segelas penuh jus apel dan meletakkannya di hadapan Cliff.
"Kupikir semua orang di WIBS memanggilmu 'Sykes' dulu." Trista berkata lagi.
Kali ini efek yang ditimbulkan benar-benar nyata. Sarah menekap mulutnya, Tim meletakkan garpunya frustasi.
"Aku sudah jelaskan padamu, T." kata Cliff. Bicaranya agak terlalu cepat, terkesan buru-buru, "'Sykes' hanyalah panggilan kecilku dari teman-temanku dulu."
"Benarkah?" Trista mengangkat alisnya skeptis, "Kenapa mereka memanggilmu begitu?"
"Cliff—"
"Karena..." Trista berani bertaruh Cliff sempat melempar pandangan mencegah kepada Tim sebelum kembali menatapnya dan melanjutkan, "...karena itu adalah nama pemain futbol favoritku dulu. Dan mereka menganggapnya lelucon. Jadi..."
"Pemain futbol favoritmu?"
"Yeah..."
"Sejak kapan?"
Cliff terbata, "Sejak... SMP kurasa..."
"Tapi Luke sudah memanggilmu Sykes bahkan sejak sebelum kita masuk sekolah dasar." tandas Trista, "Aku mengingatnya."
Kedua mata Sarah membesar kaget, "Lucas? Lucas Freewell?"
"Dad?" Trista beralih pada ayahnya, "Kau ingin mengatakan sesuatu pada Cliff tadi?"
Tim memandangi Cliff, "Well—"
"Sykes adalah pemain futbol kesukaan Dad sejak dulu." ujar Cliff, keras dan tegas. Suasana lagi-lagi menjadi hening, lalu cowok itu meneruskan, "Aku selalu membawa-bawa kartu permainan bertanda tangan orang itu ke mana-mana, sejak kecil. Sejak saat itu aku dipanggil Sykes. Kebiasaan itu berlanjut hingga ke WIBS. Aku jadi semakin tahu Sykes dan yeah... semua jadi memanggilku begitu. Akhir dari cerita."
Cliff menusuk kalkunnya dan melahapnya, tampak benar-benar kesal.
"Mengapa kau jadi tiba-tiba begitu penasaran soal ini? Apa kau mengingat lagi sesuatu?" tuding Cliff ketus.
"Cliff." Tim memperingatkan tajam.
Trista tercenung menatap sisa salad pada piringnya. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. "Belum. Belum berhasil mengingat banyak."
Perlahan-lahan, dentingan pisau dan garpu kembali memenuhi udara. Hanya saja kali ini suasananya jauh lebih suram dan canggung dari sebelumnya. Sarah berujar lembut, "Trista, habiskan salad-mu. Makan yang banyak. Kau kelihatan kelelahan."
Setelah perbincangan makan malam yang 'hangat' itu, Trista naik ke tempat tidurnya dengan perasaan yang bahkan lebih berat dan campur aduk dari sebelumnya. Ada yang Cliff dan kedua orangtuanya sembunyikan darinya. Sesuatu. Dan 'Sykes' erat hubungannya dengan ini. Sekarang Trista tidak lagi terlalu meyakini bahwa 'Sykes' itu adalah sebuah nama. Trista tidak tahu lagi harus menyelidiki masalah ini dengan cara apa...
"Trista?" terdengar ketukan di pintu dan suara ibunya memanggil.
"Masuklah, Mom."
Ibunya muncul dari balik pintu seraya tersenyum.
"Aku bawakan cokelat hangat untukmu." katanya. Dia meletakkan gelas yang isinya masih mengepul-ngepul itu di meja sebelah ranjang Trista. Sarah duduk di tepi ranjang, hanya memain-mainkan ujung lipatan selimut selama beberapa saat sebelum akhirnya memulai, "Trista, aku ingin menanyakanmu sesuatu."
Trista mengangkat bahu, "Shoot."
Sarah menyunggingkan senyuman gugup sebelum memulai, "Kau mengatakan pada Cliff tadi, bahwa kau mengingat hal-hal. Apakah itu benar?"
"Yeah." jawab Trista.
"Jadi..." Sarah merapatkan bibirnya, "Sudah sejauh apa kau berhasil mengingat masa lalumu?"
"Nggak banyak." Trista berkata, "Hanya potongan-potongan. Wajah-wajah."
Sejujurnya Trista tidak ingin mengungkapkan kepada ibunya bahwa yang berhasil diingatnya sejauh ini kebanyakan hanyalah memorinya tentang Lucas dan Cliff. Tidak ada satu pun mengenai dia dan Tim. Trista tidak ingin membuat Sarah sedih.
"Dan Lucas? Kau bilang kau mengingatnya."
"Yeah. Aku ingat dia memanggil Cliff dengan sebutan 'Sykes'."
Sejenak tidak ada yang saling berbicara.
"Aku minta maaf, Trista." ucap Sarah.
Trista menatap gelas cokelatnya, "Untuk apa?"
"Karena aku telah memberikanmu kepada wanita yang hampir tidak kukenal, di rumah sakit, di saat kau justru sangat membutuhkanku dan ayahmu."
Sarah tidak sanggup meneruskan. Air mata wanita itu menetes ke atas selimut yang dipeganginya.
"Aku minta maaf." katanya. Suaranya pecah.
Dia terisak-isak selama beberapa saat, tangannya masih memainkan lipatan selimut, seakan hal itu dapat membantunya meredakan emosinya. Trista masih tidak menatap ibunya. Dia terus memandangi kepulan uap di atas gelas cokelatnya.
"A-aku terlalu panik, dan bodoh, untuk menyadari bahwa kau sedang sangat rentan. Aku hanya memikirkan Diana sebagai penyelamat kehidupanku dan Tim. Dia dipenjara. Aku hampir gila karenanya... aku minta maaf...!"
Sarah benar-benar terisak-isak sekarang. Dia merosot dari tepian ranjang ke lantai, dalam posisi berlutut. Wajahnya basah oleh air mata, "Aku menyesali tiap detik yang kulewatkan setelah itu tanpamu, Trista! Anakku! Anak perempuanku!"
Suara tangisan Sarah memenuhi kamar Trista. Trista tidak bergeming. Dia tidak menunjukkan reaksi apapun walau tangisan Sarah menyayat-nyayat hatinya.
"Aku tidak pernah begini menyadari bahwa kau tengah berjuang mendapatkan kembali memori-memorimu." Sarah berdeguk, dia mengelap air matanya dengan leher bajunya, "Aku tidak pernah... begini sadar hingga tadi..."
"Mom."
"Kami terus mengecewakanmu..."
"Mom."
"Dan kami melakukannya lagi! Dan lagi! Kami terus melakukannya..."
"Mom!" Trista merangsek maju dan memeluk ibunya. Tangisan Sarah kembali meledak, Trista membelai pundak ibunya yang berguncang hebat. "Aku tahu. Aku tahu."
Pandangan Trista teralih ke arah pintu. Di sana telah berdiri Tim.
"Dad." kata Trista.
Mendengar itu Sarah menoleh juga ke pintu, "Oh... Tim!"
Perlahan Tim menghampiri Trista dan Sarah, kemudian duduk juga di tepi tempat tidur, "Jangan benci ibumu, Trista. Satu-satunya orang yang pantas kaubenci adalah aku."
"Aku nggak membenci Mom." ujar Trista, "Dan aku juga nggak membencimu, Dad. Aku hanya—"
Gadis itu tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Tenggorokannya terasa tercekat. Sakit sekali. "Aku hanya nggak paham... mengapa—"
Air mata Trista mengalir menuruni pipinya, panas dan deras. Tim memeluknya. Juga Sarah. Tangisnya akhirnya pecah di dalam pelukan ayah dan ibunya.
"Kau tidak melakukan kesalahan apapun." Sarah mengecup dahi Trista, "Kami-lah yang bersalah. Kau tidak melakukan apapun!"
"Kami telah melakukan kesalahan besar terhadapmu." kata Tim parau, "Kami minta maaf. Kau boleh membenci kami. Tetapi kami akan selalu menyayangimu, Trista."
0
Forgiven?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro