- 30 -
Minggu-minggu berlalu.
Ujian-ujian berlalu.
Cuaca semakin tidak jelas dan angin yang bertiup mendingin dari hari-ke hari. Zero terserang semacam penyakit kulit ringan, cangkangnya ditumbuhi jamur, dan itu mengharuskan Trista untuk rajin membawanya ke halaman belakang untuk menyikatnya dan membiarkan kura-kura itu berjemur.
Trista sudah pernah mencoba menyikat Zero di halaman depan, namun ketika ditinggal sebentar, entah bagaimana Zero sudah berhasil merangkak keluar kandangnya dan berada di trotoar jalan. Trista nyaris jantungan begitu mendapatinya di sana, sudah dikelilingi segerombol bocah SD yang baru pulang sekolah dan penasaran mengapa bisa-bisanya ada kura-kura merangkak di trotoar. Sejak itu, Trista trauma dan selalu menjemur kura-kuranya di halaman belakang, yang sebetulnya bukan kegiatan favoritnya.
Bukannya Trista mengeluh harus mengurus kura-kuranya yang sakit, hanya saja saat mengurus Zero, pada satu tempo di sela-sela pekerjaannya, Trista selalu mendapati dirinya otomatis mendongakkan kepala dan melihat rumah pohon di antara pepohonan itu. Dan dipaksa mengingat kembali hal itu.
Cliff mendapatkan 2180 untuk skor SAT-nya dan itu praktis menjadikan Cliff sebagai salah satu peraih skor tertinggi se-Redville, bahkan mungkin senegara bagian. Dan skor setinggi itu hampir pasti merupakan kereta kencananya menuju Stanford.
Pikiran emosional menyebalkan yang sama kembali menyerang Trista sore itu, ketika Trista sedang membersihkan batu-batu kolam untuk Zero yang sedang asyik jalan-jalan di rumput. Trista dapat mendengar langkah-langkah mendekat di balik bahunya dan Sarah tahu-tahu sudah duduk di sebelahnya.
"Kau sudah menyikat batu yang sama lebih dari tiga kali, Sayang." katanya. Trista segera menghentikan kegiatannya.
"Oh. Yeah."
Sarah menatap Trista dengan sepasang matanya yang hangat dan tersenyum lembut, "Ada apa?"
Trista menatap kedua mata itu, dan menyerah. "Kenapa Cliff begitu pintar?"
"Oh." Sarah terkekeh, "Jadi soal itu? Inikah sebab kalian bersikap aneh selama beberapa minggu ini?"
"Aneh?"
Sarah melemparkan tatapan aku-tahu-segalanya yang membuat Trista teringat akan tatapan Diana, "Ketika aku mengetahui kakakku terpilih jadi kapten tim pemandu sorak sementara aku terus mendekam di klub puisi, aku kurang lebih merasakan hal yang sama. Dan aku tidak berbicara kepadanya selama berminggu-minggu."
Tetapi ini berbeda. Trista membatin. Cliff dan Trista masih saling berbicara. Cliff dan Trista bahkan masih suka nonton tayangan ulang Doctor Who bersama-sama dan mengomentarinya. Mereka juga masih berangkat ke sekolah bersama-sama tiap pagi. Tidak ada yang berubah.
Kecuali perasaan aneh yang selalu Trista rasakan tiap kali Cliff berbicara dengannya. Nada suaranya berbeda. Sorot matanya berbeda. Senyumnya berbeda. Seperti ada yang salah. Seperti Cliff yang rasanya sudah semakin jauh, padahal dia jelas-jelas ada di hadapannya. Dia belum ke Stanford atau apa.
"Dia seperti mengkhianatiku." Sarah tersenyum sendiri, "Tahulah, segala macam janji-janji remaja cewek seperti 'kita tidak bakal punya cowok sampai umur tujuh belas' atau 'kita akan sama-sama keluar dari neraka dunia yang disebut SMA dengan keren'... semacam itu. Tetapi lalu dia jadi populer, dan aku tidak."
"Yeah. Aku bahkan nggak bisa menyelesaikan soal aljabar sederhana di depan kelas karena gugup. Aku juga cukup yakin nilai ujian akhir semesterku bakal suram." ujar Trista muram, "Stanford menerimanya dengan tangan terbuka. Sementara aku nggak tahu apa yang akan terjadi di tahun terakhirku nanti."
Trista mendesah dan mendongak ke arah rumah pohon, kali ini dengan sengaja. Lalu dia bergumam, "Dia begitu berbeda dariku."
Sarah tiba-tiba meraih tangan kanan Trista dengan kedua tangannya, dan meremasnya. Dia menatap Trista dalam-dalam, tatapan yang mengingatkan Trista dengan saat wanita itu mendatangi rumah Diana untuk menjemput dirinya.
"Mom?" tanya Trista, ketika ibunya tidak kunjung berbicara.
Sarah memejamkan matanya, seolah menahan sakit, dan menundukkan wajahnya.
"Trista..." dia menangkupkan kedua tangannya ke pipi-pipi Trista, wajah ibunya kini di hadapannya. "Trista, oh..."
Sarah mendadak memeluk Trista begitu erat, sampai rasanya cewek itu nyaris kehabisan napas.
"Mom? Ya ampun, kenapa sih?" Trista mengelus-elus punggung ibunya yang sekarang terisak-isak.
"Oh... aku hanya..." dia melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya, "Kalian berdua bicaralah. Kau dan Cliff."
"Bicara?"
"Yeah. Besok adalah hari yang besar buat kakakmu. Dia akan pergi menghadiri wawancaranya. Mungkin dia mengharapkan dukunganmu. Dan... aku yakin kehadiranmu berarti banyak baginya, jadi..."
Sarah tersenyum miris, "Jangan jadi sepertiku dan kakakku." ujarnya, "Bicaralah. Buat segalanya jadi lebih baik."
Semenit setelahnya, setelah Sarah beranjak dari sebelah Trista dan kembali ke dalam, Trista masih berpendapat bahwa nasehat Sarah barusan adalah nasehat yang paling mengena baginya sejauh ini. Walaupun sebetulnya masalahnya sama sekali bukan terletak pada Trista yang keberatan punya kakak seorang jenius.
0
"Apa kau yakin kami tidak perlu ikut?" Tim bertanya pada Cliff, yang menggabrukkan ranselnya ke kursi penumpang SUV, sementara Trista berada di balik kemudi. Sabtu pagi. Stanford membuat kebijakan baru yaitu mengadakan kerjasama dengan beberapa institusi di beberapa lokasi yang tersebar, sehingga para calon murid baru yang tinggal di ujung benua tidak perlu terbang berjam-jam ke Stanford demi menghadiri wawancara penerimaan. Dan Dunston Institute hanya berjarak dua jam perjalanan dari Redville, sehingga Trista tidak harus bangun pagi-pagi buta demi menyopiri kakaknya. Semua orang di meja makan setuju dengan keputusan Trista untuk mengantar Cliff di 'hari besarnya' ini, tadi malam. Sarah berbinar-binar mengetahuinya, Tim—seperti biasa—selalu positif terhadap segala hal, dan Cliff—mengherankannya—menerima usulan ini tanpa banyak komentar.
"Yeah." Cliff berkata, "Setidaknya aku masih punya waktu untuk mengarang alasan sepanjang perjalanan pulang, seandainya aku nggak diterima."
"Oh... singkirkan pesimisme itu jauh-jauh." Sarah mengecup kening Cliff.
"Semoga beruntung, Nak." Tim menatap Cliff. Dia mengucapkan kata-kata itu dengan keseriusan di dalam suaranya yang belum pernah Trista dengar sebelumnya. Cliff mengangguk.
"Trims... Dad."
Kemudian dia masuk ke dalam mobil.
Selama di perjalanan, mereka tidak banyak berbicara. Cliff lebih banyak menatap ke luar jendela. Dia tampak sibuk dengan pikirannya, sementara Trista tidak berusaha repot-repot menariknya dari alam khayal. Dia merasa ini saat-saat di mana Cliff lebih baik tidak diganggu.
Untunglah Dunston sama sekali tidak sulit ditemukan. Gedung itu persis berada di pinggir jalan besar, hanya beberapa ratus meter setelah mereka melewati jalan bebas hambatan. Bangunannya agak mirip Redville High, hanya saja catnya putih, lebih megah, dan lapangan parkirnya jauh lebih besar.
Ketika Trista sudah berhasil menemukan tempat kosong dan memarkir SUV mereka di sana, dia mematikan mesin, dan menoleh pada Cliff yang menghembuskan napas panjang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Trista. Cliff belum pernah menghembuskan napas panjang sebelumnya, paling tidak di hadapan Trista.
Cliff nyengir gugup, "Bagaimana kelihatannya?"
Trista mendengus. Kemudian, ragu-ragu, dia meletakkan tangannya di atas punggung tangan Cliff.
"Kau bakal baik-baik saja." ucapnya menyemangati, kemudian menambahkan dengan nada setengah bercanda, "Aku yakin. Kau sudah lama jadi seorang jenius."
Cliff memandangi tangan Trista selama beberapa saat, sebelum akhirnya balas meremas tangannya. Cowok itu mendongak menatap Trista dan menyunggingkan senyum miringnya, "Trims."
Perasaan hangat membanjiri sekujur tubuh Trista ketika melihat senyuman itu. Senyuman khasnya yang kembali disunggingkan setelah sekian lama tidak diperlihatkannya pada Trista. Kemudian Cliff menyandangkan ranselnya dan turun dari mobil.
Selama dua jam berikutnya Trista menyibukkan diri dengan berjalan-jalan di sekitar Dunston. Dia mengunjungi toko pernak-pernik antik yang—menurut si penjaga—sudah berdiri sejak Dunston Institute masih berupa kedai minuman bobrok. Trista juga nongkrong di kafe terdekat, membeli donat isi krim jeruk bertabur gula halus serta kopi hangat. Dari dalam kafe Trista dapat melihat ke arah lobi Dunston, sehingga dia dapat langsung sadar kalau Cliff keluar.
Sekitar pukul satu siang Cliff muncul. Trista buru-buru membayar donat dan kopinya, lalu keluar menyeberangi jalan. Begitu melihat Trista yang melewati pintu gerbang Dunston, Cliff mempercepat langkahnya.
"Bagaimana?" tanya Trista tanpa ba-bi-bu. Cliff malah menunduk menatap bungkusan kertas di tangan Trista dengan sorot tertarik.
"Apa itu?" tanyanya ingin tahu.
"Donat." Trista menyerahkan bungkusan itu, yang segera disambar Cliff dengan rakus. Trista menatapnya mencela seraya menggumam, "Sama-sama."
"Ceritanya di jalan saja," katanya tanpa memedulikan sindiran Trista. Dia menggigit donatnya besar-besar. "Aku kelaparan. Ayo kita cari makan."
Cliff mengambil alih kemudi selama perjalanan menuju sebuah rumah makan beberapa blok dari Dunston, tentu saja sambil masih mengunyah donatnya sekaligus menceritakan garis besar yang terjadi di dalam ruang wawancara. Cliff masih nyerocos hingga pesanan tiba di meja mereka, sampai-sampai si pelayan melemparkan pandangan penuh simpati kepada Trista yang seolah mengatakan 'aku tahu rasanya jadi kau', atau 'aku tahu seorang cowok yang sama bawelnya dengan dia', atau semacamnya.
Sejauh ini, yang bisa Trista tangkap adalah; Cliff melakukan tugasnya dengan baik. Entah seberapa gugup, atau melanturnya dia di dalam ruang wawancara tadi, yang jelas cowok itu sudah melewatinya, dan dia tidak repot-repot kepingin memikirkan apa hasilnya. Jadi sebagian besar yang Cliff cerocoskan lima belas menit terakhir adalah seberapa besar kemungkinannya untuk masuk Dunston, alih-alih Stanford.
"Kau gila." itu yang sedari tadi Trista berusaha sampaikan padanya, "Tahu nggak, kau jenius sekaligus idiot."
"Yeah?" Cliff menyeruput sodanya berisik, "Karena aku mempertimbangkan kemungkinan untuk berkuliah di Stanford, atau karena aku bilang padamu bahwa Dunston mungkin saja dapat jadi pilihan yang bagus?"
Trista memberikan tampang syok-frustasi kepada Cliff sembari bersandar ke kursinya, "Tahu nggak, betapa banyak orang yang nangis darah jika lihat nilai SAT-mu? Kita ngomongin Stanford lho, Cliff."
Cliff menelan pelan-pelan, "Apa pun bisa terjadi, T."
"Yeah, tapi di situasi seperti sekarang ini, yang lebih besar kemungkinannya untuk terjadi adalah kau yang diterima di Stanford. Jadi jangan pusing-pusing memikirkan Dunston."
Cowok itu mendengus ke piring sandwich-nya yang sudah kosong, lalu memainkan serbetnya.
"Entahlah, aku hanya berpikir Dunston yang cuma berjarak dua jam dari Redville. Sementara Stanford..."
"Apa?" Trista semakin terheran-heran, "Apa yang kaubicarakan? Stanford yang selalu jadi topik pembicaraan. Maksudku, kau... kau nggak pernah mempertimbangkan yang lain sebelumnya."
"Well, aku punya seorang adik." Cliff mengangkat bahunya, "Jika aku di Dunston, kau masih bisa nebeng ke sekolah denganku tiap paginya dan aku mungkin masih bisa mengecek Lucas sesekali..."
Trista secara harfiah menganga lebar saat ini. Dia memandangi Cliff dengan sorot tidak percaya.
"Kau benar-benar sudah gila." Trista menyambar tasnya dan berjalan keluar restoran. Dia masih sempat mendengar Cliff memanggilnya sebelum pintu menutup dengan keras di belakangnya. Trista sudah mencapai mobil ketika dia teringat Cliff yang memegang kuncinya. Lalu Cliff muncul di belakangnya. Cowok itu merentangkan kedua lengannya lebar-lebar dengan tampang bingung.
"Jangan berani-berani..." ujar Trista, dia menunjuk dada Cliff dengan telunjuknya yang gemetar karena kesal, "...memakai Lucas sebagai alasan untuk kegilaanmu ini. Kau bukan pengasuhku, Cliff."
Cliff diam saja. Maka Trista meneruskan, "Stanford adalah mimpimu. Aku tahu. Aku tahu itu. Kaupikir aku sebodoh apa? Kaupikir aku nggak menyadari sorot berbinar-binar itu setiap kali kalian membicarakannya saat makan malam? Kau, Mom, dan Dad? Kaupikir aku buta?"
"Tris..."
"Pergi saja!" Trista berseru putus asa, "Pergi saja ke Stanford dan jangan pikirkan aku! Apapun yang Mom katakan padamu, lupakan saja! Kau tahu bagaimana Mom itu, selalu cemas berlebihan. Aku hanya bilang 'oh Cliff begitu berbeda dariku, dengan segala kepintaran dan skor setinggi langitnya bla bla bla' dan dia langsung bersikap sentimental... dan... dan... kini dia menularkan sikap sentimentalnya padamu...? Membuatmu jadi ragu-ragu dengan mimpimu atau—"
Trista tidak bisa meneruskan lagi karena Cliff tahu-tahu memeluknya. Erat sekali, sampai dia sulit bernapas. Ditambah, luapan perasaan yang naik melewati tenggorokannya sudah tumpah menjadi air mata. Trista benci dirinya belakangan ini, begitu mudah bercucuran air mata jika itu menyangkut soal Cliff.
Ketika menyadari Trista sesenggukkan, Cliff membenamkan wajahnya di rambut gadis itu. Trista melingkarkan lengan-lengannya di sekeliling leher Cliff dan terisak lebih keras. Bukannya drama itu tidak menimbulkan lirikan-lirikan ingin tahu dari orang-orang yang lalu lalang di trotoar. Memang memalukan, hanya saja keduanya sedang terlalu sibuk dengan emosi masing-masing.
"Kita selalu melakukan ini." Trista menggerutu di sela-sela isakannya, "Ingat Birch's End? Kita juga jadi tontonan di sana..."
"Aku nggak akan meninggalkanmu." ucap Cliff di leher Trista, suaranya parau, "Aku nggak akan meninggalkanmu lagi seperti dulu. Aku pergi dan kau mengalami kecelakaan itu... itu salahku. Ini semua salahku."
Trista terenyak mendengarnya. Dia berusaha keras mengontrol diri, namun yang ada air matanya semakin deras. Mereka jadi kelihatan seperti pasangan aktor opera sabun sekarang, "Kau cuma ke Stanford, idiot. Bukannya ke Afrika meneliti singa atau apa."
Cliff tidak merespon gurauan itu sebagaimana yang Trista harapkan. Namun Cliff mengangkat kepalanya untuk memandang Trista. Wajah mereka dekat sekali. Ujung hidung mereka saling bersentuhan. Trista dapat melihat kembali kolam teh jernih itu di sepasang mata Cliff, yang sedikit terganggu karena tertutupi helaian rambutnya. Mereka tidak saling bicara. Cliff hanya menelusuri rambut yang terjuntai di pelipis Trista dengan jemarinya, sementara Trista terjebak di mata Cliff.
"Masih ada kemungkinan aku tidak akan diterima." kata Cliff, akhirnya.
"Itu berarti ada kemungkinan pula bagiku untuk terpilih menjadi presiden Amerika selanjutnya." sahut Trista bercanda, "Jangan sia-siakan ini, Cliff."
Cliff sekali lagi menelusuri rambut yang terjuntai dari pelipis Trista hingga ke bawah rahangnya, kemudian matanya naik kembali ke mata Trista.
"Nggak apa-apa jika aku pergi?" ujarnya pelan.
Trista mengangguk.
"Aku akan baik-baik saja."
Cliff belum melepaskan pelukannya. Lengannya masih berada di sekeliling pinggang Trista, sama erat dengan sebelumnya.
"Trista, aku..."
Dia tidak meneruskan kata-katanya. Matanya terpaku pada bibir Trista. Trista menyadari itu. Dia tidak berani bergerak. Dia tidak berani bernapas.
Jantung Trista serasa anjlok ke tanah begitu Cliff mendekatkan wajahnya. Dan cowok itu mendaratkan ciuman lembutnya di sudut bibir Trista.
Dekat sekali. Nyaris sekali.
Cowok itu memejamkan matanya selama beberapa detik, Trista dapat merasakan dada cowok itu naik turun berusaha mengatur napasnya, rahangnya berkedut tegang ketika dia mengatupkannya rapat-rapat. Sementara Trista hanya membeku di sana, dan baru dapat merasakan udara dapat kembali mengisi paru-parunya ketika akhirnya Cliff menjauhkan wajah dan melepaskan pelukannya.
"Aku—"
Lagi-lagi Cliff kehabisan kata-kata. Dia melangkah mundur dan memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
"Kurasa... kita sebaiknya pulang."
Butuh waktu beberapa detik untuk merespon perkataan Cliff.
"Oh. Yeah." kata Trista, tersadar bahwa dirinya sedang berdiri dengan punggung setengah bersandar ke badan SUV. Dia gagal mengingat apakah dirinya memang berdiri sedekat itu dengan mobil sebelumnya, "Yeah, kita sebaiknya pu-"
Kata-kata Trista tergantung di udara ketika melihat apa—tepatnya siapa—yang berada tak jauh di belakang Cliff.
Lucas berdiri di sana, mematung menatap Trista.
0
Uh oh...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro