- 3 -
"Apa kau sudah siap?"
"Sebentar lagi."
Trista—sudah diputuskan dia akan menggunakan nama itu mulai sekarang—menatap sekeliling kamarnya sekali lagi. Tumpukan CD lagu dan komik lamanya masih tergeletak di sudut ruangan (dia akan membawanya kapan-kapan saja), lemari bajunya sudah dikosongkan (hanya tertinggal beberapa lembar baju yang sudah kekecilan dan majalah-majalah), beberapa poster band-band favoritnya sudah dilepas dari dinding, dan akhirnya dia melirik meja belajar.
Si kura-kura bercangkang hijau-biru itu masih berada di dalam kotak kacanya, mendengkur tenang.
"Kau boleh membawanya." kata Diana dari balik bahu Trista. Wanita itu kembali dari pengadilan tadi malam, bersama Sarah, Tim, dan Detektif Hale dengan dikawal polisi. Dengan pihak kepolisian yang telah mengetahui kejadian ini, penegakkan hukum harus dilakukan. Itu bukan pengadilan besar-besaran. Trista hadir di sana, memberi kesaksian dan mengatakan semua yang sanggup dikatakannya.
Kasus Trista tidak dapat dikategorikan sebagai murni penculikan, karena pada awalnya Sarah dan Tim telah setuju menitipkan Trista kepada Diana, hanya saja rencana 'pengambilan kembali' dirinya tidak berjalan sesuai harapan. Hakim sudah hendak menjatuhkan vonis, Trista tidak tahu persisnya dan tidak mau tahu, karena itu dia berlari keluar ruangan tepat sebelum vonis dibacakan. Detektif Hale keluar menyusulnya beberapa menit kemudian, mendapati Trista sedang terisak-isak di lobi gedung pengadilan, dan memberitahu gadis itu bahwa vonisnya dibatalkan. Kedua orangtuanya mencabut tuntutannya. Pasangan Frauss menghendaki ini diselesaikan secara kekeluargaan. Diana diputuskan bebas bersyarat.
Trista menatap kura-kuranya saat ini, dengan Diana yang berdiri di sampingnya.
"Trista. Ibu dan ayahmu sudah berbicara denganku." katanya pelan, "Mereka tidak berniat memenjarakanku. Mereka hanya ingin membawamu pulang."
"Aku tahu." kata Trista datar.
Diana terduduk di tepi ranjang, air matanya menetes tanpa suara.
"Kau boleh membawanya." Diana berusaha tersenyum, sambil menunjuk kura-kura di kandang kaca itu.
"Tapi itu punyamu."
"Anggap saja hadiah dariku, kau yang selama ini telah merawatnya."
Trista menatap Diana yang bersimbah air mata, "Trims, Mom. Maksudku... Diana." ucapnya, "Aku harus membiasakan diri untuk memanggilmu itu mulai sekarang, kan?"
Diana mengangguk-angguk, dia menutup mulutnya dengan satu tangannya dengan gemetar, "Ya." dia menjawab terharu. Wanita itu kemudian berdiri dan membelai pipi Trista dengan sayang, alisnya berkerut sedih, "Jaga dirimu baik-baik, Nak."
Trista mengangguk, tersenyum kecil. Lalu tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pintu.
"Lucy!" Trista terperangah mendapati gadis berambut cokelat lurus itu menyerbu masuk dan memeluk Trista erat. Selama momen yang canggung itu Diana buru-buru menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Lucy melepas pelukannya dan menyapa Diana dengan salah tingkah.
"Maaf, Mrs. Malcolm. Sampai lupa memberi salam." cewek itu nyengir. Diana tersenyum memaklumi, sementara Lucy kembali memandang Trista.
"Mampirlah ke sini sesering mungkin Dani—maksudku... Trista." katanya meringis.
"Pasti." Trista menatap sayang satu-satunya sahabat baiknya di Hendersonville itu. Dia benci mengakui bahwa Lucy belum mengetahui keseluruhan ceritanya. Trista belum siap membicarakannya dengan Lucy. Hingga saat ini cewek itu hanya tahu masalah amnesia Trista yang membuatnya lupa siapa orangtuanya, melibatkan sesuatu yang berhubungan dengan 'putus komunikasi', dan ketika orangtuanya muncul untuk menjemputnya, dia harus menerima kenyataan. Dia tidak tahu sisanya, tentang kebohongan Diana dan masalah 'penculikan' ini.
Mendadak Tim muncul di ambang pintu kamarnya, "Kau sudah siap, Nak?"
"Ya...uhm, Dad."
Trista mengambil kotak kaca berisikan kura-kuranya dan mengikuti Tim turun. Setelah membantu Trista menaikkan koper-kopernya ke bagasi dan Trista sudah naik ke mobil, Tim berbicara dengan Diana dan mereka berpelukan lama sekali. Trista bisa mendengarnya menyampaikan terima kasih dan maaf dari istrinya karena tak bisa ikut menjemput akibat tengah sibuk mempersiapkan segalanya. Dia juga menjanjikan kunjungan berikutnya bersama Sarah.
Ketika Trista dan Tim sudah masuk ke dalam mobil, Lucy mendatanginya dan menyerahkan bungkusan kertas kecil, "Buka setelah kau selesai membereskan kamar barumu nanti."
Trista menerimanya, "Aku bakal sangat merindukanmu, Luce."
"Aku juga, darling. Telepon aku, ya."
Trista tersenyum mengiyakan. Setelah mengucapkan perpisahan, mobil mulai melaju, Trista terus melambaikan tangannya kepada Diana dan Lucy hingga tangannya kebas. Dia sempat melihat Diana membersit hidungnya dengan saputangan dan Lucy merangkul wanita itu sebelum akhirnya mobil berbelok di ujung jalan.
"Kau boleh mengunjungi mereka kapan pun kau mau." Tim menyuarakan pikiran Trista. Gadis itu tersenyum.
"Trims... Dad."
"Tak perlu memaksakan diri untuk memanggilku 'Dad' jika kau belum biasa..."
"Aku boleh memanggilmu Tim?"
Tim tertawa kecil, memperjelas kerut-kerut di ujung matanya. "Tentu saja. Tapi tidak di depan teman-temanku..." dia terkekeh dari balik kemudi, "...dan kau boleh memanggil ibumu Sarah. Kami sudah merundingkan ini."
Mobil memasuki jalan bebas hambatan sehingga Trista tak bisa lagi berpura-pura menatap keluar jendela. Diam-diam dia mengamati wajah Tim, ayah kandungnya. Semakin lama dia memperhatikan, semakin jelas kemiripan yang ada di antara mereka. Trista jelas mewarisi warna rambutnya dari Tim, begitu pula bentuk hidungnya. Bahkan kemiripan senyuman pria itu dengan senyum yang Trista lihat di cermin setiap kali dia berkaca. Ketika Tim menyadari tatapannya, Trista menyibukkan diri mengelus-elus punggung si kura-kura.
"Siapa namanya?" tanya Tim untuk memecah kecanggungan di antara mereka. Trista mendongak kaget.
"Zero." jawabnya.
"Zero?" Tim mengangkat alisnya tertarik.
"Sebetulnya..." Trista mengambil sebuah benda dari dalam kotak kaca Zero. Benda itu dulunya adalah yoyo kayu, bentuknya bulat pipih mirip macaroon, dengan celah kecil di tengahnya untuk tempat menggulung tali. Trista menunjukkan itu kepada Tim, "...terinspirasi dari ini. Sayangnya bagian karet pelapis yang tadinya bertuliskan merek ZeroZero sudah hilang. Juga talinya."
Tim mengangguk-angguk, "Dan kau masih menyimpan yoyo yang sudah rusak karena...?"
Trista mengamat-amati yoyo di tangannya, tersenyum sendiri, "Benda ini adalah benda pertama yang kutemukan di kantung bajuku... mungkin setelah aku kehilangan ingatan. Ini benda pertama yang kuingat adalah milikku."
Tim tidak menyahut. Trista mengamati diam-diam reaksi pria itu, dan melihat bahwa rautnya berubah sendu. Trista meneruskan.
"Sebenarnya kura-kura ini tadinya milik Diana. Tapi dia memberikannya padaku karena aku selalu rajin merawatnya." Trista menunduk kembali pada Zero. Sejenak suasana hening, sebelum Trista kembali membuka suara, "Eh, Tim?"
"Ya?"
"Apakah benar aku kehilangan ingatan karena ditabrak truk?"
Tim tampak tidak terlalu kaget dengan pertanyaan Trista. Dia menjawab dengan nada cukup tenang, "Itu benar. Saat itu kau hendak menyebrang jalan karena... hendak menghampiri... kakak laki-lakimu..."
"Aku punya kakak laki-laki?" tanya Trista tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
"Aku memang belum menyebutkannya." dia mengangguk, "Namanya... Cliff."
"Apakah dia tinggal bersama kalian?"
"Tidak. Well, kami eh... menitipkannya di sekolah khusus laki-laki milik seorang pendeta baik hati yang kukenal selama aku di penjara. Dan Cliff tinggal di asramanya. Cliff benar-benar mandiri. Dia tidak sekalipun mengeluhkan kondisinya." Tim mengernyit, dia menatap jalanan dengan sorot hampa.
Trista terenyak mendengar berita baru ini. Dia menatap Tim, "Pendeta itu kenalanmu di penjara?"
"Yeah." Tim terlihat salah tingkah, "Bukan sebagai teman berbagi sel, tentu. Dia selalu datang di akhir pekan untuk mendengarkan 'keluh kesah' dari kami para napi. Untuk apa pengakuan dosa, toh aku sudah jelas-jelas berdosa. Maksudku, hakim-hakim itu bisa lihat jeruji yang mengelilingiku, kan?" dia terkekeh pahit.
Trista tersenyum prihatin. Dia merasa bersalah karena tak pernah benar-benar memikirkan masa lalu Tim Frauss, ayah kandungnya. Dia belum sepenuhnya memikirkan bagaimana perasaan ayahnya yang tidak bersalah ketika mendekam di dalam sel. Sungguh menakjubkan dia masih dapat mengemudi dan bicara dengan tenang saat ini, mengingat sebagian besar orang yang mengalami hal seperti itu kebanyakan berakhir di rumah sakit jiwa.
"Oh." mata Tim membulat was-was, "Kau tentu sudah tahu kan, bahwa aku pernah dipenjara?"
"Mo—eh, Diana sudah menceritakannya. Pasti berat."
"Yeah..." pandangan Tim menerawang, "...yeah, sangat berat."
Terbaca sekali pancaran kesedihan dan kekecewaan mendalam di wajah pria itu. Trista diliputi rasa simpati.
"Apakah-apakah nggak ada keinginan untuk, entahlah, mengungkapkan kebenaran atau semacamnya? Setelah kau bebas?"
Tim terkekeh, namun kali ini nadanya kembali terdengar ringan. "Kuakui, aku sering memikirkannya. Tapi untuk apa? Menghantui hidupku dengan keinginan membalas dendam? Sudah cukup kurasakan itu di selku. Mereka mengatur segalanya dan menutupi jejak dengan rapi dan terencana. Ibumu sudah berjuang mati-matian untuk membuktikan aku tidak bersalah dan mengurangi vonisku menjadi setengah dari yang telah ditetapkan, dan itu sudah sangat berharga. Sejauh ini rencanaku adalah menikmati kebebasanku dengan cara menjalani kehidupanku dan memperbaiki statusku sebagai orangtua."
Mereka keluar dari jalan bebas hambatan. Gedung-gedung di kanan-kiri jalan mulai terlihat lagi.
"Kembali ke topik Cliff. Karena selama ini dia terlalu sering bergaul dengan teman-temannya yang hanya cowok, kurasa dia juga butuh sedikit menyesuaikan diri. Aku pikir kalian akan jadi teman yang baik."
Trista mau tak mau merasa sedikit lega. Setidaknya akan ada seseorang yang memiliki nasib kurang lebih sama dengan dirinya di rumah yang asing itu. Rumah yang dulu pernah dia tinggali.
Walaupun Cliff masih cukup beruntung karena tidak kehilangan ingatannya.
"Apa aku punya adik?" tanya Trista lagi.
Tim tertawa, "Tidak, kalian hanya berdua."
Setelah kurang lebih menempuh tiga puluh menit perjalanan yang semakin lama semakin tidak begitu canggung, Tim mencapai ujung jalan menanjak dan memasuki wilayah rimbun dengan gerbang besar bertuliskan 'Redville City'.
Pemandangan yang menyambut Trista sungguh luar biasa. Pasalnya, dia tak terlalu menyadari perubahan keadaan selama melintasi jalan. Di kanan-kiri jalan terbentang padang rumput luas, dibatasi oleh hutan pohon maple. Udaranya sejuk dan berangin, dan Trista menghirup dalam-dalam hawa segar pepohonan yang jarang ditemuinya di rumahnya dulu.
"Sungguh sulit dipercaya ada kota seindah ini." Trista mendesah kagum.
"Sebenarnya ini dataran tinggi. Kota kecil yang penduduknya lumayan banyak, tapi letaknya di pinggiran, jadi terlihat luas..." kata Tim sambil melambai ke arah segerombolan pria paruh baya yang berkumpul di sisi danau, yang balas melambai padanya. "...semua orang saling mengenal di Redville."
Trista melihat deretan toko yang didirikan menyusuri pinggir danau. Banyak restoran, toko souvenir, dan toko peralatan memancing disitu.
"Itu danau Silverbirch. Orang-orang sini biasa menyebutnya Silverbirch saja. Pertokoan di sekelilingnya disebut Birch's End. Tempat nongkrong anak-anak muda Redville. Mungkin kau nanti akan sering ke sana..."
Trista nyengir sambil memutar bola mata, "Aku kan masih anak baru..."
Tim mengangkat bahu, "Banyak keluarga yang baru pindah. Keluarga Madison baru pindah dari Los Angeles beberapa waktu lalu. Siapa tahu kau tipe yang cepat populer?" dia menambahkan sembari menaik-turunkan alisnya jahil.
Mobil terus melaju melewati perempatan besar yang padat pertokoan. Di situ juga terdapat supermarket, pom bensin, kantor pemerintahan, kantor polisi, klinik dan banyak lagi gedung-gedung besar lainnya.
"Ini pusat kota. Jika kita tadi berbelok ke kanan, kau akan menemukan Redville High, calon SMA-mu. Jika ke kiri ada gedung SD dan SMP-nya." jelas Tim, "Tapi kita akan terus, karena rumah kita memang terletak agak di ujung."
Benar saja. Deretan toko-toko yang tadi memenuhi sisi-sisi jalan kini mulai jarang, yang tersisa hanya rumah-rumah model kuno yang halamannya super luas dan pintu masuknya terletak sangat jauh dari jalan.
"Penghuni-penghuni baru banyak tinggal di pusat kota, sementara yang tinggal di ujung kebanyakan penghuni lama." katanya sambil menunjuk sepasang kakek nenek yang sedang menata kebunnya, "Dan kita juga termasuk penghuni lama. Astaga, aku kan belum setua itu."
Jalanan mulai menanjak, padang rumput mulai meluas lagi, hanya saja kali ini pohon-pohon cemaranya lebih mendominasi. Tim hanya menyusuri jalan, tidak ada lagi belokan atau gang-gang kecil di sekitar sini. Akhirnya Trista dapat melihat perumahan di paling ujung jalan, cuma ada kira-kira sepuluh rumah yang tersebar saling berjauhan. Tanahnya lebih tinggi dari jalan dan rumah-rumahnya agak menjorok ke dalam, sehingga landasan untuk mencapai garasi mobil agak menanjak dan panjang. Kemudian di rumah paling pojok, yang menurut Trista rumah paling manis dibandingkan yang lainnya, Tim membelokkan mobil dan memasuki garasinya.
"Inikah...?"
Tim menatap Trista hangat.
"Selamat datang di rumah, Trista."
0
Akhirnya tiba di rumah :')
Please vote & comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro