Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 29 -

"Sadar nggak? Kita akan jadi senior sebentar lagi."

Lucas mengatakan itu kepada Trista, di tengah-tengah kegiatan melukisnya. Mereka berdua sedang berada di The Lodge, tempat penuh kenangan yang sudah lama tidak mereka kunjungi karena segala 'hiruk pikuk' yang telah terjadi. Trista hanya mendongak sedikit dari tugas Sejarahnya.

Bohong besar bila Trista bilang dia tidak sadar. Sebetulnya, Trista yakin dirinyalah yang paling sadar bahwa mereka akan segera menjadi senior dalam waktu dekat. SAT sudah diselenggarakan dua hari yang lalu. Semua orang di Redville High mendadak jadi begitu mudah panik, dan tampang-tampang penuh kecemasan bertebaran di sepanjang koridor. Murid kelas bawah sebenarnya juga diperbolehkan untuk ikut, namun tes diselenggarakan beberapa kali dalam setahun. Trista dan Lucas sepakat untuk mengikuti SAT yang berikutnya saja.

Kalau disuruh menebak peserta ujian yang namanya kemungkinan bakal berada di urutan atas di mading Redville High pada hari pengumuman skor SAT, maka Trista berani bertaruh bahwa itu pasti Cliff. Cowok itu pulang pada hari ujian terakhir dengan tampang yang datar-datar saja—dia memang tidak pernah kelihatan panik pada saat-saat di mana semua orang normalnya akan menjadi panik—dan menyantap makan malamnya dengan sama berseleranya dengan malam-malam sebelumnya. Tim dan Sarah menanyakan bagaimana ujiannya, dan mereka harus puas hanya dengan jawaban, "Lumayan."

Sarah sampai uring-uringan keesokan harinya, mengkhawatirkan apakah Cliff dapat memperoleh skor yang memuaskan demi Stanford. Maka tugas Trista-lah untuk menenangkan ibunya dan mencoba meyakinkannya bahwa dengan otak secemerlang Cliff, dia bahkan bisa menjadi intel presiden. Dan hal itu sepertinya lumayan berhasil, karena Sarah tidak lagi menyinggung-nyinggung soal SAT malam harinya.

Jadi, bila Lucas menanyainya apakah dia sadar, Trista memang sangat sadar masalah segera-jadi-senior ini, karena kakaknya tidak lama lagi akan segera hengkang dari Redville untuk Stanford. Dan itu fakta yang tidak bisa dilupakan begitu saja olehnya.

"Yeah, sadar kok." sahut Trista. Zero bergerak dari tempat berjemurnya dan mendadak nyemplung ke dalam kolam. Lucas mengerang. Dia meletakkan kuasnya dengan kecewa dan menatap Trista.

"Dia itu sulit sekali diam." komentarnya. Trista nyengir dan menghampiri kotak kaca Zero yang diletakkan satu meter di depan tempat Lucas duduk. Dia memancing Zero keluar dengan memberinya makanan. Itu berhasil. Tetapi Lucas harus mengubah posisi melukisnya sekarang. Lucas memang meminta Trista untuk membawa Zero ke studio, dia sudah lama kepingin melukis hewan itu. Zero, yang sangat jarang dibawa pergi ke mana-mana, sempat stres di jalan. Makanya dia jadi lebih banyak berendam di dalam air saat ini, kebiasaan saat mood-nya sedang jelek.

"Apakah rasanya akan berbeda?" tanya Lucas lagi ketika Trista sudah kembali ke tugas sejarahnya.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku..." Lucas terhenti sejenak untuk mengganti warna cat di kuasnya, "Karena Cliff akan pergi."

Pena Trista terhenti sebelum sempat menyelesaikan kata reformasi. Lucas menanyakan hal yang sudah susah payah berusaha Trista enyahkan dari pikirannya selama beberapa hari belakangan. Dia memang sudah tahu Cliff akan pergi cepat atau lambat. Tetapi dia tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana perasaannya setelah Cliff pergi.

"Aku... entahlah." Trista mengangkat bahu dan berharap semoga dia terlihat cuek-cuek saja, "Yah, memang akan berbeda. Nggak ada lagi yang bisa dijadikan tong sampah makan malam."

Lucas terkekeh mendengarnya.

"Iya juga sih, toh dia juga nggak akan pergi sejauh itu." katanya.

"Benar." timpal Trista, lebih kepada dirinya sendiri, "Abangku juga nggak banyak membantu mengerjakan kerjaan rumah. Sehari-hari dia hanya di rumah pohonnya, main-main gitar atau tidur. Kalau nggak sedang di rumah pohonnya, paling-paling dia ke dapur mencari makanan. Dia juga nggak pernah kelihatan belajar. Herannya, otaknya encer banget. Nilai olahraganya juga paling tinggi seangkatan. Berlawanan sekali denganku. Sepertinya semua gen bagus milik orangtua kami diturunkan ke Cliff, sampai-sampai nggak ada yang tersisa buatku."

Trista mendongak dan melihat Lucas sedang mengulum senyum.

"Apa?" tanyanya tersinggung, "Kaupikir ketidakadilan genetis semacam ini lucu? Kau enak nggak punya saudara."

Lucas meletakkan alat-alat lukisnya dan kertas gambarnya dan meregangkan otot. Dia sudah selesai menggambar Zero. Trista menghampirinya dan mengambil lukisan itu. Tak lama, dia memandang Zero.

"Kau jadi terlalu keren di sini." Trista berbicara pada kura-kura itu. Zero hanya mengayunkan kepalanya perlahan, tidak peduli.

"Aku kepingin kok, punya saudara." Lucas meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya untuk menopang duduk, "Kepinginnya sih, adik perempuan. Dengan begitu suatu saat nanti dia akan bercerita kepada teman-teman ceweknya soal betapa hebatnya diriku."

"Berdoalah semoga adik perempuanmu nggak punya sifat kayak aku." komentar Trista sinis.

"Aku nggak percaya orangtuamu nggak mewarisimu apa-apa." Lucas nyengir. Namun cengirannya memudar ketika melanjutkan, "Aku yakin mereka mewariskan semuanya untukmu."

Kening Trista berkerut kebingungan, "Kau ngomong apa sih?"

"Maksudku..." Lucas bengong sebentar, "Seperti... otak menghematmu? Kau terkadang mirip celengan berjalan. Mungkin dari ayahmu. Atau... wajah manismu? Pasti mewarisinya dari ibumu..."

"Oh, tutup mulut." ujar Trista.

Mereka mengobrol lama sekali hingga langit di luar sudah berubah gelap-terlihat jelas dari dalam studio, mengingat setengah bagian dinding di gedung itu berupa deretan jendela-jendela kaca besar. Tidak ada yang repot-repot berusaha menyalakan lampu. Pantulan sinar bulan di air danau dan rentetan pendar lampu jalan kecil-kecil di sekitar danau sudah berkontribusi cukup untuk penerangan lantai dua studio, setidaknya cukup bagi Trista dan Lucas untuk saling memandang wajah satu sama lain.

Lucas memang bukan tipe cowok yang mendatangkan desahan cewek-cewek pada pandangan pertama atau apa. Tetapi kalau Trista boleh jujur, semakin lama Trista memandanginya, Lucas tampak semakin mengagumkan. Terutama hidungnya. Dan matanya. Matanya biru sekali, sampai-sampai Trista hampir yakin itu adalah cuilan kecil langit cerah di siang hari yang tak berawan. Bahkan dalam kondisi ruangan yang gelap seperti sekarang ini, warna itu tidak pudar.

Mungkin juga karena faktor betapa dekatnya wajah Lucas dengan wajah Trista saat ini. Hidungnya nyaris menyentuh hidung Trista, dan napasnya berhembus lembut di bibir Trista. Ketika telapak tangan cowok itu menyentuh wajahnya, kilasan itu datang lagi.

Langit siang hari yang begitu biru...

Pohon besar di depan rumah keluarga Frauss.

Trista mendapati dirinya—yang hanya setinggi pinggang Tim—berdiri di depan teras rumahnya diapit oleh kedua orangtuanya. Lucas kecil juga berada di sana, berdiri bersedekap menatap ke arah sebuah mobil model lama bercat abu-abu pudar. Di dalamnya duduk Cliff. Dia membuka jendelanya lebar-lebar dan melambai ke arah Lucas dan Trista dengan bersemangat. Di sebelahnya, di kursi supir, duduk seorang pria berperawakan ramah, dengan kumis tipis dan rambut hitam cepak.

"Kami kembali Jumat depan." sebuah suara tiba-tiba tertangkap telinga Trista, yang rupanya datang dari seorang wanita berumur tiga puluhan berparas cantik. Wanita itu sedang berbicara kepada Sarah dan Tim.

"...jaga kesehatanmu." hanya itu perkataan Sarah yang terdengar olehnya.

Kemudian si wanita mengucapkan perpisahan dan ikut menaiki mobil bersama Cliff dan si pria. Mobil melaju. Ketiganya melambai-lambai dari dalam mobil hingga Trista tidak lagi bisa melihat mereka yang menghilang di tikungan jalan.

"Yah." Lucas cilik berkata pada Trista, "Sekarang tinggal kita berdua deh."

Trista memandangi puncak kepala Lucas. Rambut pirang itu tidak berubah, bahkan hingga sekarang. Trista kembali ke dalam ruangan studio dikelilingi kegelapan, dan mendapati dirinya sendiri tengah memandangi puncak kepala Lucas betulan.

"Siapa mereka?"

Lucas terhenti karena mendadak ditanyai seperti itu. Dia menjauhkan wajahnya sedikit untuk menatap mata Trista dengan kebingungan, "Siapa?"

Pandangan Trista menerawang jauh. Dia merasa mengenal kedua orang itu, si pria berkumis tipis dan si wanita cantik yang berbicara kepada ibunya. Dia yakin dia tahu siapa mereka, namun gagal mengingatnya.

"Trissy..." ujar Lucas perlahan, "...apakah kau baru saja mengingat sesuatu?"

Trista mengangguk. Dia tidak tahu mengapa, tetapi tiba-tiba tenggorokannya sakit dan dadanya terasa sesak.

"Luke, bisakah kita pulang saja?" tanya Trista, "Aku merasa nggak enak badan."

Lucas mengelus pipi Trista sejenak, kemudian cowok itu menurunkan tangannya. "Oke."

Maka beberapa menit kemudian, Trista sudah berada di dalam kombi. Lengan-lengannya mendekap kotak kaca Zero dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak terguncang. Lucas menyetir dalam diam.

Sepanjang jalan Trista terus memikirkan kilasan yang baru saja diingatnya. Siapakah mereka? Mengapa mereka membawa Cliff? Kejadian itu sepertinya jauh sebelum insiden tabrakan. Cliff dan Lucas tampak jauh lebih mungil dari yang terakhir kali Trista ingat.

Setibanya kombi Lucas di depan halaman rumah keluarga Frauss, Trista baru menyadari pohon yang sama berdiri di sana, sama kokoh dan besarnya dengan di ingatan Trista. Lucas tersenyum padanya.

"Istirahatlah." katanya, "Kau kelihatan capek sekali, Mademoiselle."

"Yeah. Sampai besok Luke."

Lucas memajukan wajahnya dan mengecup lembut bibir Trista. "Sampai besok."

Trista turun dari kombi Lucas dan berjalan menuju teras. Sebelum masuk ke dalam, dia berbalik dan melambai pada Lucas, dan memperhatikan kombi itu hingga lenyap dari pandangan. Kemudian barulah dia masuk. Di dalam sepi, sebagian lampu sudah dimatikan. Tim dan Sarah pasti sudah berada di kamar dan Cliff—seperti biasa—ada di rumah pohonnya.

Trista membuka pintu kamarnya dan meletakkan kandang Zero di atas rak buku. Kura-kura itu tertidur, kepala dan kaki-kakinya menyusup masuk ke balik cangkangnya.

Belum pernah Trista merasa seaneh ini sebelumnya. Tanpa menyalakan lampu, dia menjatuhkan diri ke atas ranjang, menutupi matanya yang terasa panas dengan satu lengannya. Kenangan itu tidak seberapa, namun entah bagaimana mampu membuatnya begitu emosional. Ada sesuatu yang penting yang berkaitan dengan dua orang tidak dikenal itu. Terutama si wanita. Trista tidak bisa mengingatnya, dan itu membuatnya frustasi.

Dan Cliff. Cliff hendak pergi saat itu. Dia kelihatan senang sekali, tetapi Trista justru sebaliknya. Ke mana dia harus pergi? Mengapa Cliff tidak mengajaknya? Mengapa dia harus selalu pergi? Apakah kejadian yang sama dengan bertahun-tahun yang lalu akan kembali terulang? Apakah Cliff benar-benar akan pergi sebentar lagi? Ke Stanford? Atau ke manapun itu?

Tiba-tiba saja Trista merasa lengannya basah. Dia belum menyadari artinya hingga beberapa detik kemudian. Matanya juga basah. Lagi-lagi dia menangis. Lagi-lagi dia menangis untuk cowok itu.

0

Dang, all those emotions, Tris T~T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro