- 22 -
Sudah kira-kira seminggu Cliff dan Claire resmi pacaran. Ini berarti resmi pula metamorfosis Claire menjadi Emily The Strange versi pirang. Selain rambutnya yang diluruskan, cewek itu betul-betul merombak habis sikap dan penampilannya. Tidak ada lagi rok mini, lip gloss pink, atau perlengkapan kosmetik di dalam tas jinjing. Yang ada adalah jins, eye liner, ransel, dan boots. Bahkan ketika terakhir kali mengobrol dengan Trista, dia sedang sangat serius mempertimbangkan untuk keluar dari klub cheerleader.
"Tapi klub itu hidupmu!" Trista menatap Claire dengan sorot apa-apaan-lagi-ini. Claire hanya mengangkat bahu.
"Belakangan ini kusadari bahwa mengayun-ayunkan pom-pom di hadapan para atlet futbol berkepala kosong bukanlah segalanya."
Trista bengong.
"Well, lagipula aku benci jadi NB. Cliff pernah mengutarakan betapa dia tidak habis pikir bagaimana para cewek bisa begitu terobsesi menjadi NB, dan kusadari, aku setuju akan hal itu." Claire melanjutkan.
Trista tidak tahu harus senang atau prihatin atas perubahan pemikiran gadis itu. Kehidupannya saat ini seolah berpusat pada Cliff. Cliff bilang begini... Cliff tidak suka itu...Cliff... Cliff... dan Cliff.
Jujur saja, hal itu memuakkan.
Dan yang lebih memuakkan lagi, setiap malam pasangan baru itu asyik bercumbu di rumah pohon, menyebabkan Trista harus menutup gorden jendelanya rapat-rapat nyaris sepanjang waktu, membuat kamarnya sumpek.
Hal ini sekaligus membuat Trista merasa agak bersalah kepada Lucas. Pasalnya, sejak Cliff jadian dengan Claire, Trista ogah berangkat dengan SUV bersama Cliff, menyebabkan Lucas harus menjemput Trista setiap pagi.
"Bukannya aku keberatan, tapi bagaimana jika aku sedang tidak bisa mengantarmu?" pernah sekali Lucas menanyakan hal itu.
"Aku akan naik bus." jawab Trista singkat.
Trista dan Cliff memang jadi jarang berbicara satu sama lain jika tidak ada hal yang mendesak. Setiap pagi saat sarapan, mereka hanya saling berbicara pada saat-saat, misalnya, Cliff perlu Trista mengoper selai raspberry ke arahnya, atau Trista yang perlu Cliff membukakan tutup botol saus kelewat keras untuknya.
Lebih, dari itu, mereka bungkam total.
Bukannya Tim dan Sarah tidak menyadari hal ini. Tidak peduli berapa lama Trista baru tinggal di situ, bagaimanapun mereka orangtuanya dan Cliff. Sedikit saja perubahan suasana dalam keluarga akan langsung terdeteksi dengan antena-antena mereka yang sensitif.
"Baiklah." Sarah meletakkan pisau roti dan piring ke atas meja dengan tak sabar, "Aku butuh penjelasan soal ini."
Trista sibuk mengolesi selai ke rotinya dengan ekstra cermat semetara Cliff masih sibuk mengunyah.
"Soal apa?" tanya cowok itu, pandangannya tetap terpaku pada layar televisi.
Sarah meraih remote dari sebelah Cliff dan memencet tombol off, "Soal kalian."
Wanita itu memandangi kedua anaknya bergantian. Menyadari perubahan atmosfer yang tidak mengenakkan, Tim buru-buru melipat korannya dan bangkit dari meja makan, "Hampir terlambat. Sampai nanti, anak-anak."
Tim mengecup pipi Sarah dengan cepat—yang tidak ditanggapi oleh Sarah saking wanita itu sedang fokus melotot pada Trista dan Cliff—kemudian meninggalkan ruangan untuk menuju garasi.
Trista akhirnya mendongak untuk menatap Sarah, "Lagi, Mom?"
Sarah mendesah sambil menatap langit-langit, seolah dirinya sedang memohon pada Tuhan agar diberi kesabaran luar biasa. "Jangan berikan aku jawaban cuek bernada tidak meyakinkan seperti 'kami oke, kok Mom' yang sudah sangat sering kudengar itu. Jangan coba-coba membodohi aku."
Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat itu, hingga akhirnya Sarah berkata lagi kepada Trista, "Dan aku tidak habis pikir mengapa kau harus dijemput oleh Lucas setiap pagi sementara di sini ada kakak laki-lakimu yang bisa menyetir. Dan kebetulan bersekolah di sekolah yang sama denganmu."
"Toh Lucas menyanggupi." kataku.
"Menyanggupi bukan berarti dia tidak keberatan. Lagipula tidakkah cukup waktu kalian bersama-sama di sekolah dan sepulangnya? Mana tahu Lucas punya sesuatu untuk dikerjakan di pagi hari yang jadi tidak bisa dikerjakan karena harus mengantar kau." kata Sarah panjang lebar.
"Luke nggak seperti itu Mom. Dia bukan tipe yang mau saja diperbudak cewek. Kalaupun dia merasa seperti itu, dia bakal langsung blak-blakan padaku."
"'Lucas yang sempurna'..." Cliff menggumam di sela-sela kunyahannya. Trista langsung meliriknya sinis.
"Kau bisa mulai jadi kakak yang sempurna dengan menemukan tempat lain selain rumah pohonmu untuk bercumbu non-stop dengan cewekmu dan menyebabkan kamarku kekurangan sirkulasi karena gordennya harus selalu kututup." cecarnya. Mendengar itu, Cliff langsung tersulut.
"Well, coba katakan bagian 'menemukan tempat lain' di depan cermin, mengingat kau dan Freewell yang juga sibuk saling silat lidah di kamarmu..."
"CUKUP!" kemarahan Sarah saat ini nampaknya bukan sesuatu yang dapat diabaikan seperti biasanya. Nada suaranya betul-betul tegas dan keras. Matanya menyipit berbahaya saat wanita itu berbicara lagi, "Mulai detik ini, kalian berdua harus berangkat dan pulang bersama setiap hari sekolah, dan aku akan memberlakukan peraturan bahwa kalian berdua dilarang menghabiskan waktu kencan berkualitas kalian di rumah ini-ya, kau Tuan dan Nona. Aku hanya akan memberi kalian kebebasan setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu, untuk berkencan. Itu pun tidak di sini. Jadi..."
Dia menarik napas panjang sebelum meneruskan, "Aku tidak akan lagi melihat atau mendengar kalian bertengkar mengeluhkan kebiasaan pacaran masing-masing. Demi Tuhan, kalian sudah delapan belas tahun!"
"Yeah, tapi-tunggu. Apa?" Trista jadi tertarik pada hal lain, "Mom, aku yang delapan belas."
Sarah bengong sebentar sebelum akhirnya tersadar. Kemudian dia terkekeh, "Ah, ya... tentu. Maksudku, kalian sudah bukan anak-anak lagi."
Demikianlah. Trista jadi harus menelepon rumah Lucas dan memberitahukan hukuman konyol itu kepadanya dan meminta maaf kepada cowok itu karena selama ini Trista sudah merepotkannya.
"Sama sekali nggak kok, Trissy. Sampai jumpa di kelas nanti." kata Lucas menenangkan, "Oh. Dan semoga sukses dengan Cliff."
Trista tahu Lucas mengatakan itu dengan serius, karena sama sekali tidak ada nada geli dalam suaranya.
Ketika dirinya dan Cliff sudah memasuki mobil-Trista menunggu hingga saat-saat terakhir sampai Cliff sudah menyalakan mesinnya-suasana kaku yang menyesakkan langsung memenuhi udara.
Selama setengah perjalanan menuju sekolah, mereka saling bungkam. Masing-masing menghindari memandang ke arah satu sama lain sampai-sampai leher Trista kaku karena menoleh ke luar jendela terus.
Kemudian pandangan Trista jatuh pada seonggok kain kotak-kotak hijau cerah di dasbor, yang tampaknya tak asing. Ketika Trista mengangkatnya untuk diamati, rupanya itu syal milik Claire yang mungkin tertinggal di mobil Cliff ketika mereka sedang asyik mesra-mesraan...
Perasaan ganjil itu langsung merayap naik ke tengkuk Trista, membuatnya bergidik.
"Kenapa Claire?" cetus Trista, akhirnya mengungkapkan pertanyaan yang sudah beberapa hari ini dipendamnya.
Selama beberapa saat tidak ada respon dari Cliff hingga Trista mengira bahwa cowok itu masih tidak sudi berbicara dengannya, namun terbukti salah karena kemudian Cliff menjawab dengan balas bertanya sinis, "Kenapa peduli?"
"Kau nggak pernah suka NB. Kau berjengit atau meringis atau memutar bola mata saat melewati mereka di koridor."
"Claire bukan NB."
"Yeah." Trista memutar bola mata, "Baru-baru ini."
Akhirnya, Cliff memandang Trista. Hanya saja Trista masih mengarahkan pandangannya ke depan.
"Lalu kenapa? Ini sama saja dengan menanyaimu, 'kenapa Lucas'."
"Tapi aku bisa langsung menjawab." Trista berkata yakin, "Lucas teman masa kecilku dan dia baik."
"Jika hanya—"
Kata-kata Cliff terhenti di udara. Apapun yang ingin dikatakannya, dia menelannya kembali dan cowok itu kembali memfokuskan diri ke jalan raya, kelihatan geram.
"Apa?" tantang Trista.
Cliff mendengus kesal, "Claire lucu dan menarik. Puas?"
Sejujurnya, Trista tidak puas.
0
"Tiga...dua...satu... siap atau nggak, aku datang."
Lucas menggabrukkan nampan makan siangnya di hadapan nampan Trista di meja kantin yang riuh siang itu, tampak seimut, sepirang, dan secerah biasanya. Dan masih serba normal. Melihat Trista tidak menanggapi kedatangannya dengan senyuman seperti biasa, cengirannya memudar dan Lucas menelengkan kepalanya beberapa derajat ke kiri.
"Masih kesal dengan peraturan ibumu?"tanyanya blak-blakan.
Trista mendesah, "Yeah."
"Masih musuhan dengan Cliff?"
Trista mendesah lagi, "Masih."
Lucas hanya mencibir sambil mengangkat bahu, lalu mulai mengunyah sandwich isi sayuran dan potato chips-nya tanpa berkomentar apapun.
Trista menatap cowok itu mengunyah, "Nggak ada tanggapan?"
Lucas menyelesaikan mengunyah makanan yang masih ada di mulutnya dan menelannya pelan-pelan. Kemudian setelah menyeruput jus kotaknya, barulah dia menyahut, "Untuk apa menanggapi cewek keras kepala?"
Perut Trista serasa ditonjok, "Wow, Luke. Wow."
Lucas meletakkan sandwich-nya sembari tersenyum lucu, "Wow, Trissy. Wow."
"Aku serius." Trista sedang tidak berminat menertawai candaan Lucas, "Ibu dan abangku sedang bersikap ekstra menyebalkan dan kau mengataiku keras kepala. Hari yang komplit."
Lucas menelan lagi, "Sebetulnya, kenapa sih kau marah pada Cliff?"
Trista merendahkan suaranya menjadi bisikan bernada tak sabar, "Luke, Cliff pacaran dengan Claire! Padahal dia jelas-jelas benci NB dan walau cewek itu temanku—hadapi saja—Claire itu NB yang sekarang ala Hayley Williams, versi setengah pirang! Tambahan, mereka bercumbu siang-malam non stop di rumah pohonnya, dan pemandangan itu mengarah langsung ke jendela kamarku!"
Lucas tidak tampak terkesan dengan penjelasan Trista, setidaknya penjelasan itu tidak memberi efek pada Lucas sesuai harapannya. "Bukankah hal semacam itu sering terjadi? Maksudku, cekcok di antara saudara?"
"Tapi kau nggak tahu bagaimana menyebalkan sikapnya!" Trista tidak menyerah, "Begitu aku mengungkapkan ketidaksukaanku, Cliff malah balas menjelek-jelekkanmu!"
"Bisa dimaklumi, dia sekolah di sini. Dia tahu aku aneh." kata Lucas terus terang.
"Tingkahnya kekanakkan. Dan kau nggak aneh." Trista menambahkan, "Dan tingkah kekanakkannya itu menyebabkan ibuku membuat peraturan konyol itu..."
Lima belas menit penuh Trista menumpakan kekesalannya kepada Lucas. Dan selama lima belas menit itu, Lucas anteng saja mendengarkan cerocosan Trista sembari menghabiskan makan siangnya. Barulah ketika akhirnya Trista kehabisan bahan cerocosan, Lucas membuka suara.
"Kau kesal karena kakakmu pacaran dengan sobatmu." simpulnya.
Trista mengangguk.
"Kau masih belum menjawab pertanyaanku." Lucas menatapnya, "Kenapa?"
"K-karena itu menggangguku." Trista berusaha terdengar tegas, sayangnya gagal.
"Mengganggu... seperti ketika Cliff berpacaran dengan—katakan saja—Julie Bucks?" Lucas melirik ke meja sebelahnya, menatap Julie Bucks betulan yang sedang asyik menggosip.
"Ya, keadaannya nggak akan jauh beda." sahut Trista nyaris detik itu juga.
"Mengganggu... seperti jika aku berpacaran dengan Julie Bucks?" kali ini Lucas tidak melirik Julie, melainkan menatap lurus Trista.
Trista tidak langsung menjawab. Gadis itu mencoba membayangkan bagaimana jadinya bila Lucas benar-benar pacaran dengan Julie, dan entah mengapa, ide itu terlalu aneh dan asing di kepalanya.
"Tentu saja," akhirnya Trista menjawab, memandang bahu Lucas. Kemudian buru-buru menambahkan, "...itu situasi yang sangat berbeda. Kau cowokku."
Sejenak, Lucas tidak mengatakan apa-apa. Cowok itu hanya diam, dan walaupun tatapannya terarah pada Trista, sorotnya menerawang jauh. Untunglah bel masuk berbunyi beberapa detik kemudian, menyelamatkan Trista dari situasi canggung yang nyaris mencekiknya itu.
Bahkan ketika dia dan Lucas sama-sama berjalan beriringan menuju kelas berikutnya, pertanyaan cowok itu masih menghantam-hantam kepalanya seperti petinju menghantam samsak latihannya.
'Kenapa?' kata-kata itu terus terngiang, 'Kenapa sih kau marah pada Cliff?'
Trista menoleh menatap Lucas, yang balas menoleh sambil tersenyum. Ada sesuatu yang berbeda dari senyumnya.
"Sungguh, kau ini gadis yang membingungkan, Trissy." katanya.
Aku membingungkan, Trista mengulang dalam hati. Aku memang membingungkan.
0
Kamu aja bingung, Tris... gimana readers? :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro