- 18 -
Kunci mobil sudah kuselipkan ke lokermu. Jangan tunggu aku, ada kelas tambahan persiapan SAT sore ini.
Trista memandangi pesan singkat dari Cliff di layar ponselnya dengan wajah hampa. Sejak kemarin kakaknya tidak bicara sepatah kata pun pada Trista. Bahkan ketika makan malam, suasana meja makan benar-benar kaku. Tim dan Sarah tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi antara kedua anak mereka, dan baik Cliff maupun Trista tidak ada yang bicara begitu ditanya. Merasa keduanya sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan sendiri masalah mereka, Tim memutuskan untuk tidak ikut campur.
Pagi ini pun suasana di dalam mobil begitu hening sampai-sampai Cliff, yang tidak hobi mendengarkan berita pagi di radio, terpaksa melakukannya demi memecah kesunyian. Sarah, yang masih berusaha mendamaikan perang dingin Trista dan Cliff, sempat menanyai Trista sebelum berangkat sekolah, namun gadis itu tidak memberinya kepuasan dengan menjawab, "Kami baik-baik saja, Mom." dengan nada yang amat tidak meyakinkan.
Trista mendesah sembari memasukkan kembali ponselnya ke saku jinsnya. Ujian SAT. Trista hampir melupakan bahwa Cliff sudah murid senior, dan tahun depan dia akan berkuliah.
Cliff tidak kelihatan di kantin, begitu pula sebagian besar murid senior. Mungkin sedang ada bimbingan di kelas-kelas.
"?" tanya Lucas yang sedang menyantap sandwich isi sayuran di hadapan Trista. Sejak Trista marahan dengan Claire, sejak dirinya jadian dengan Lucas, dan sejak semua orang di Redville—nyaris semua, karena Tim dan Sarah tidak termasuk—tahu bahwa dia pacaran dengan Lucas, Trista makan di kantin bersama cowok itu. Dan soal tanda '?' itu, Lucas secara teknis memang tidak mengucapkan apa-apa. Dia hanya memiringkan kepalanya sekian derajat ke kiri, membuat tampang bingung, dan menggumamkan 'hm?' pelan sebagai isyarat bahwa dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dan dia ingin tahu apa itu.
Dan itu membuat Lucas ratusan kali lebih imut. Tidak peduli bahwa hari ini Lucas mengenakan jaket kulit warna putih dengan banyak kancing, kaus bergambar naga, jins bercorak belang zebra abu-abu-putih, dan boots yang juga berwarna putih. Dan penampilannya yang seperti vokalis band pop-rock era sembilan puluhan itu membuatnya menjadi bahan tertawaan seisi kantin, seisi Redville malah. Mungkin Lucas sudah kebal, atau bahkan tidak menyadari sama sekali, tapi Trista merasakan senyuman-senyuman dan lirikan mengejek yang berdatangan dari segala arah.
Alih-alih meladeni keingintahuan Lucas, Trista malah jadi bertanya, "Di mana sih, kaubeli jinsmu?"
"Garage sale." sahut Lucas ceria, "Kau suka?"
Begitu melihat kepolosan di wajah Lucas ketika mengatakannya, mau tak mau Trista tertawa.
0
"Ya, aku sudah menghubunginya."
Diam.
"Dia bilang dia senggang sore ini, aku tak tahu kalau besok."
Diam lagi.
"Aku hapal jalannya. Cliff masih di sekolah, ada kelas tambahan sore ini. Aku bisa pergi dengan Trista..."
"Apa?" perhatian Trista spontan teralih dari televisi. Dia memerhatikan ibunya sibuk berbicara di telepon sambil memeriksa berkas-berkas di dalam sebuah map.
"Tidak apa-apa. Lagipula hanya sebentar. Yeah, love you too."
Kemudian Sarah menutup telepon.
"Tim tidak akan sempat pergi karena dia baru keluar kantor pukul tujuh. Sementara jam berkunjung hanya sampai jam enam..." Sarah menghela napas panjang, "Kenapa sih sekolah zaman sekarang serba tidak praktis?"
"Mom, apa yang sedang kaubicarakan?" Trista bertanya heran.
"Ada beberapa berkas yang masih dipegang Pendeta George. Sementara Cliff butuh itu untuk persiapan dokumen rekomendasi ke universitasnya nanti. Sekolah baru meminta itu sekarang." jelas Sarah. "Ambil jaket dan kunci mobilmu."
"Whoa-whoa..." Trista berdiri menyusul ibunya yang kini sibuk memasukan map-map ke dalam tasnya, "...memangnya kita mau ke mana?"
Sarah memandangi Trista seolah anak gadisnya itu tidak juga mengerti bahwa satu ditambah satu sama dengan dua, "Ke asrama Cliff, tentu saja."
Pergi ke asrama tempat Cliff menghabiskan sebagian besar masa kecil-hingga-remajanya jelas tidak termasuk salah satu hal yang ada di dalam agenda Trista. Tetapi begitu SUV-nya membelok di sebuah jalan melewati gerbang hitam besar bertuliskan 'Westwood Institution Boarding School' setelah sebelumnya menempuh dua jam perjalanan dan melewati perbukitan hijau, Trista menemukan adanya sedikit rasa puas bercampur ganjil yang timbul di hatinya. Puas mengetahui dirinya saat ini tengah menatap gedung besar abu-abu yang nyaris mirip kastil mini itu, tempat Cliff tumbuh. Ganjil karena Trista seolah dibawa ke masa lalu, walaupun ini bukan bagian langsung dari masa lalunya sendiri.
Setelah memarkir mobil dan turun—hawa di sini cukup dingin sehingga Trista harus merapatkan mantelnya—Sarah memimpin jalan melewati lobi utama. Dalam hati Trista sulit memercayai Cliff dulu tinggal dan bersekolah di tempat sebagus ini dengan gratis. Mereka segera disambut resepsionis ramah bertubuh langsing yang membimbing mereka naik ke lantai dua menuju kantor George Brunard.
"Trista, kau tunggu di sini saja." kata Sarah begitu mereka tiba di depan pintu kayu besar ruangan Pendeta George, "Aku hanya sebentar."
"Oke."
Kemudian Sarah masuk. Trista dapat melihat sekilas ruangan dengan dinding-dinding yang dipenuhi rak-rak buku, sebuah perapian, dan sebuah meja kerja kayu besar dengan seorang pria berambut abu-abu nyaris botak yang memakai pakaian hitam-hitam khas pendeta, sebelum akhirnya pintu besar itu ditutup.
"Kau bisa tunggu di sana." si resepsionis menunjuk ke arah tempat di dekat tangga, lalu menambahkan sambil mengedip, "Akan sedikit ricuh sebentar lagi, waktu pembubaran kelas."
Sambil tersenyum, Trista mengikuti si resepsionis ke ruang tunggu, yang ternyata adalah semacam selasar penghubung tangga ke bawah dan tangga ke lantai tiga. Tempat itu cukup luas sehingga memungkinkan untuk dijadikan ruang tunggu dengan sofa-sofa beledu merah tua nyaman dan beberapa meja, sekaligus dijadikan galeri sekolah.
"Silakan duduk. Toilet untuk pengunjung ada di ujung lorong di sebelah kanan." kata si resepsionis ramah.
"Terima kasih." ucap Trista, yang disambut oleh senyuman sebelum wanita itu turun kembali ke lantai satu.
Namun alih-alih duduk manis dan menunggu ibunya keluar, Trista lebih tertarik untuk mengamati berderet-deret piala yang tersusun rapi di rak-rak kaca besar dan foto-foto yang terpajang di dinding. Selalu menarik mengamati bagaimana perkembangan suatu sekolah mulai dari masa-masa awal gedungnya dibangun hingga saat ini, menyaksikan perubahannya melalui warna-warna pada foto-foto yang monoton dan ekspresi kaku yang menjemukan dari orang-orangnya hingga ke foto-foto penuh warna murid-murid cowok Westwood yang berpose norak di dalamnya. Di situ juga terpajang peta sekolah yang menunjukkan bahwa Westwood memiliki satu bangunan utama yang terbagi tiga, sayap kiri untuk murid sekolah dasar, sayap kanan untuk sekolah menengah, dan bangunan tengah tempatnya sekarang ini adalah untuk murid-murid senior. Di luar bangunan utama juga terdapat bangunan-bangunan lain yang letaknya terpisah, seperti gimnasium, perpustakaan, lapangan, dan area perkebunan.
Trista begitu asyik memerhatikan peta hingga hampir-hampir tidak menyadari keriuhan yang mulai terjadi di sekelilingnya setelah bel berbunyi. Puluhan murid cowok berusia antara lima belas hingga delapan belas dengan seragam abu-abu dan biru tua menuruni tangga di belakangnya, dan seperti yang selayaknya terjadi bila remaja-remaja cowok berkumpul di satu tempat, mereka sangat berisik. Cowok-cowok itu saling bergurau, mengobrol penuh semangat, dan meributkan apa menu makan malam hari ini.
Merasa agak gugup karena pertama kalinya berada di sekolah khusus cowok, Trista hanya menyaksikan pemandangan itu melalui pantulan dari etalase di dinding, sambil berharap dirinya tidak terlihat dengan berpura-pura sangat tertarik dengan salah satu foto tim futbol Westwood.
"Salah satunya kenalanmu?" seseorang berkata dari balik bahu Trista, membuat gadis itu jantungan setengah mati.
Seorang cowok berseragam sedang berdiri sambil tersenyum bersahabat pada Trista. Jika ditilik dari penampilannya, mereka mungkin seumur.
"Eh... yeah, tapi sudah nggak bersekolah di sini." jawab Trista setelah berhasil mengatasi kekagetannya.
"Siapa namanya?" tanya cowok itu.
"Cliff."
"Cliff?!" dia terbelalak, "Kau pasti bercanda. Hanya ada satu Cliff di Westwood dan dia adalah teman sekamarku dulu."
Trista melongo. Betapa hal-hal yang dinamakan 'kebetulan' memang sering terjadi di dunia ini.
"Kau melihat foto yang tepat." dia menunjuk foto yang barusan 'pura-pura' dilihat Trista, dan di antara cowok-cowok berseragam futbol itu ada Cliff. Cliff sedang berlutut sambil nyengir lebar di bagian depan barisan. Rambutnya masih cepak. Dia memegangi helmnya di tangan kiri dan tangan kanannya merangkul cowok di sebelahnya, yang notabene adalah cowok yang sedang berdiri di samping Trista sekarang.
"Dia keluar di tahun terakhirnya di Westwood. Tanggung sekali. Sampaikan padanya Charlie merindukannya di tim, dan di kamar." canda cowok itu—yang ternyata bernama Charlie—seraya terkekeh.
Trista tertawa, "Tapi mereka salah mengetikkan nama Cliff di sini, seharusnya..."
"Mana?" Charlie mengerutkan kening melihat apa yang ditunjuk Trista.
"Trista, kau sedang apa?"
Sarah sudah keluar dari ruangan. Di sebelah Sarah berdiri pria setengah botak berpakaian hitam-hitam yang tadi sekilas dilihatnya.
"Mom. Ini teman Cliff, Charlie."
Trista menoleh pada Charlie, cowok itu juga sedang menatapnya.
"Kau Trista?" Charlie malah bertanya.
"Yeah, Trista Frauss. Aku adik Cliff."
Charlie mengangkat alisnya tinggi sekali, "Aku nggak—"
"Mr. Benson, bukankah kau seharusnya sedang berada di ruang rekreasi sekarang?"si pria nyaris botak itu mendadak berkata.
"Sir." Charlie mengangguk sopan kepada si pria, kemudian dia menjabat tangan Sarah dan tersenyum, "Ma'am."
Sarah balas tersenyum, Charlie mengedip sekilas sambil berkata, "Bye, Trista." sebelum meninggalkan mereka berjalan ke lorong yang semenit lalu ramai dilewati murid-murid.
"Trista, kenalkan, ini Pendeta George Brunard. Kepala asrama ini."
Mr. Brunard tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya, "Kau dan Cliff akur-akur saja?"
Trista balas menjabat tangan pria itu dan menjawab, "Kami baik-baik saja, terima kasih." sambil berdoa semoga perkataannya barusan betul-betul terjadi.
"Cliff tidak bisa datang hari ini karena dia masih di sekolah. Mereka mulai melakukan persiapan untuk SAT." Sarah menepuk-nepuk tas jinjingnya yang penuh berisi dokumen.
"Ah...ya." Mr. Brunard tersenyum semakin lebar, "Cliff akan berkuliah tahun depan."
"Ya." Sarah tampak terharu, kemudian dia memeluk Mr. Brunard, "Terima kasih banyak, George. Kami akan selalu berhutang padamu."
"Jangan kaku begitu." Mr. Brunard tertawa santai, "Datanglah lain kali dengan keluargamu ke rumahku. Akan kusuruh Nancy menyiapkan makan malam yang enak-enak."
"Kau terlalu baik." Sarah menutul-nutul matanya dengan tisu, "Sampai jumpa lagi."
"Jaga dirimu." ujar Mr. Brunard, kemudian dia menambahkan dengan gaya kebapakan, "Kalian juga jaga diri baik-baik. Cliff anak yang baik, setahuku."
Kata-kata itu terus membayangi Trista sepanjang perjalanan pulang. Sarah juga tidak banyak berkata-kata selama di mobil. Mereka seperti larut dalam pikiran masing-masing.
Bohong jika Trista bilang dirinya tidak marah. Emosi itu muncul lagi, menyeruak ke permukaan, walaupun tidak sehebat saat pertama kali muncul. Trista masih belum mengerti, mengapa dirinya seperti dianaktirikan. Cliff menghabiskan sebagian besar waktu tumbuhnya di asrama, di bawah asuhan Pendeta George yang amat baik hati, barangkali juga kunjungan sekali sebulan dari Sarah (Tim tidak bisa melakukannya karena masih dipenjara), dan ingatan lengkap. Sementara Trista, lagi-lagi gadis itu tidak habis pikir bisa-bisanya Tim dan Sarah menitipkannya ke orang asing, yang membuatnya memperoleh nama dan ingatan palsu. Mungkin memang ada kunjungan-kunjungan, namun itu hanya sesuatu yang kabur dan tipis di ingatannya.
Tapi, memikirkan untuk mengungkapkan hal-hal tersebut saat ini rasanya tidak benar. Biar bagaimanapun Sarah adalah ibu yang baik. Sejak Trista menginjakkan kembali kakinya di rumahnya di Redville, wanita itu selalu berusaha menyenangkan Trista, berusaha semaksimal mungkin menggantikan sembilan tahun mereka yang telah 'terbuang'. Dan Trista tidak berharap Sarah terus menerus menyalahkan diri atas apa yang telah terjadi dan menganggap dirinya orangtua gagal. Apalagi mengetahui bahwa Sarah pernah mencoba bunuh diri.
"Mom." celetuk Trista setelah SUV-nya kembali terparkir rapi di bawah kanopi tumbuhan rambat rumah mereka. Arlojinya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh, dari bawah sini Trista dapat melihat lampu kamar Cliff sudah menyala, pertanda cowok itu sudah pulang.
Sarah menutup pintu mobil, "Ya, Sayang?"
Trista menelan ludah.
"Aku pacaran dengan Lucas sekarang."
Sarah bengong sebentar untuk mencerna informasi yang tiba-tiba dilontarkan anak perempuannya itu. Setelah pulih dari keterkejutannya, Sarah memutari mobil dan menghampiri Trista yang masih berdiri di dekat pintu pengemudi.
"Nggak mengherankan, dia memang imut-imut." komentar Sarah.
Trista melongo, "Hanya itu?"
Sarah balas bertanya, "Memangnya kau mengharapkan apa?"
"Entahlah..." Trista tergagap, "...kupikir kau bakal khawatir soal gaya Lucas yang agak nyentrik. Jujur saja, di sekolah Lucas terkenal...yah, aneh."
Giliran Sarah yang melongo, "Kau serius? Trista, Redville kota kecil. Umumnya, di kota-kota kecil memang sering terjadi hal-hal seperti itu. Tapi kalau kau menilai Lucas sebagai cowok yang baik untukmu, maka masa bodoh dengan mereka."
Trista sudah hendak memberitahu ibunya bahwa Cliff termasuk salah satu dari 'mereka' itu, namun entah mengapa, niatnya itu urung dilakukan. Sebagai gantinya, Trista tersenyum, "Trims, Mom."
Sarah balas tersenyum lebar, "Sama-sama."
Mereka berpelukan sebentar, dan selama berpelukan itu, Trista membayangkan wajah Lucas. Di tengah-tengah segala kegalauan isi kepalanya, sepertinya satu-satunya hal normal yang dapat gadis itu pikirkan saat ini adalah Lucas Freewell.
0
A glimpse of Cliff's past!
Mohon vote & comment-nya :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro