- 17 -
Pacaran dengan Lucas Freewell itu rasanya mirip seperti berkeliling kota menggunakan egrang.
Di satu sisi, Trista mendapat pengalaman baru. Dia memandang dunia dengan cara berbeda, cara baru, yang diketahui Trista saat dia menghabiskan berjam-jam ngobrol dengan cowok itu di rumahnya, di studionya, atau di dalam kombinya dengan sandaran-sandaran kursi yang direndahkan hingga mereka hanya bisa menatap bulan dan matahari pada lukisan langit mereka. Atau jika cuaca sedang cerah, tepi danau Silverbirch yang berumput adalah tempat yang sangat ideal untuk merebahkan kepala sambil menatap bintang, mendengarkan gemerisik pohon dan suara air yang berombak kecil karena angin.
Berbicara dengan Lucas dapat membuat pikiran siapa saja terbuka, karena Lucas membicarakan segala hal. Musik, fisika, komedi tengah malam, merek cat lukis paling bagus, beruang kutub, pertumbuhan remaja, saus hamburger Wendy's, apapun. Semua topik itu memaksa Trista—dalam cara yang menyenangkan—memutar otak demi kelangsungan obrolan mereka. Seringkali setelah puas adu pendapat, saking capeknya mereka tidak melakukan apapun selain berpandangan satu sama lain, kemudian berciuman lama. Jadi Trista menganggap ini semacam sesi edukasi non-formal yang cukup mengasyikkan.
Di sisi lain, egrang bukan alat transportasi yang umum bagi masyarakat umum. Dalam kasus ini; Lucas bukan cowok yang umum bagi murid-murid Redville High. Jadi, memacari Lucas Si Nyentrik adalah sesuatu yang akan membuatmu dipandang aneh di dalam lingkungan Redville High.
Seperti hari ini. Ketika berjalan masuk menyusuri koridor hendak menuju lokernya, Trista disambut tatapan dari segala arah. Trista yakin sejauh ini dia berhasil merahasiakan dari siapapun perihal dirinya dan Lucas, termasuk keluarganya, tapi tampaknya moto yang tempo hari pernah dikatakan oleh Chloe—kakak Claire—itu benar. Di kota kecil, segala sesuatunya menyebar dengan cepat.
Dan bukti nyatanya segera berlari menghampiri Trista beberapa detik kemudian.
"Oh Tuhan! Oh Tuhan! Tolong buat dirinya menjawab 'tidak'!" sosok pirang-langsing-cantik itu berbicara pada dirinya sendiri dengan suara tinggi nyaris histeris sebelum akhirnya memutar bahu Trista hingga mereka berhadapan. "Tolong bilang bahwa gosip kau jadian dengan Lucas itu memang hanya gosip!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" Trista bertanya pada Claire.
"Astaga!" Claire menekap mulutnya. Matanya melotot. Nadanya panik saat dia berbicara lagi, "Apa kau tahu apa yang sudah kaulakukan?"
"Bagaimana kau tahu soal ini, Claire?" Trista mengulang pertanyaannya.
"Well," Claire mulai nyerocos, "Chloe dengar dari Seth, Seth dengar dari Hal, Hal dengar dari seorang teman ceweknya, si teman cewek Hal itu dengar dari partner kerjanya di lab komputer... pokoknya entah-siapa-itu mengaku melihatmu dan Lucas sedang 'ngobrol asyik' di PoppaD! Kau gila, Trista! Maksudku, Lucas itu... dia aneh! Aku sudah menahan-nahan keinginan untuk ngomong seperti ini karena aku tahu dia temanmu, dan kupikir nggak akan apa-apa karena kau nggak kelihatan serius-serius banget saat bilang kalau dia lumayan imut..."
Trista menelan ludah. Dia sudah menduga mengajak Lucas kencan di Birch's End adalah ide yang kurang bijaksana.
"...maksudku, segera putuskan dia! Segera hentikan semua ini sebelum kau juga dicap aneh!"
"Kau yang berhenti, Claire." tukas Trista, emosinya jadi timbul. Belum pernah dia merasa semarah ini pada Claire, bahkan tidak ketika cewek pirang itu coba membujuk Trista agar mau mengajaknya naik ke rumah pohon Cliff. "Aku yang mengenal Lucas. Aku yang pacaran dengannya. Mungkin aku memang sempat berpikir dia aneh, tapi apapun yang kualami setelah ini adalah masalahku. Dan kalau kau cukup bodoh untuk terpengaruh omongan orang serta merasa keberatan berteman dengan aku yang juga 'dicap aneh', maka aku nggak bisa apa-apa."
Trista menutup pintu lokernya agak terlalu keras hingga tatapan-tatapan di sekelilingnya yang tadinya sudah banyak, kini semakin banyak. Tapi Trista masa bodoh. Dia menyampirkan ranselnya dan berjalan menuju kelas Sejarah, meninggalkan Claire yang masih tampak syok berdiri mematung di belakangnya.
Di kelas Sejarah Trista lagi-lagi disambut tatapan-tatapan, dan seolah harinya belum cukup buruk, Jake Reed ada di kelas itu. Masih ingat? Jake Reed yang pernah menganalogikan dirinya sendiri sebagai Clark Kent.
"Aku sudah berusaha memperingatkanmu." bisik Jake begitu Trista duduk. Cowok itu, kebetulan, duduk bersebelahan dengannya. "Orang-orang berusaha meraih ketenaran dengan berbagai cara, tapi kau, Miss... kau memilih cara yang kurang tepat."
Trista memandang Jake, "Sori?"
Jake melakukan gerakan memutar-bola-mata seolah apa yang barusan disampaikannya sudah amat sangat sederhana sehingga tidak perlu lagi dijelaskan, "Lucas Freewell? Ayolah, Tris. Kau tahu itu salah. Aku, lain hal. Aku bisa membantumu."
"Kau tahu sesuatu, Superman?" tanya Trista tanpa berusaha memelankan suaranya, "Satu-satunya hal yang salah adalah memacari cowok sepertimu yang berpikir dirinya dewa atau apa. Karena itu menyedihkan."
Cercaan Trista ditutup dengan gumaman dan dengungan dari sekelilingnya. Tony Blake, yang notabene adalah sobat Jake, meringis sambil berkata, "Ouch."
Untunglah Mr. Dodson masuk pada saat yang tepat, sehingga apapun yang ingin dilontarkan Jake sebagai balasan, dia harus menelannya kembali bulat-bulat.
Selama sisa hari itu, Trista uring-uringan. Pertama, Claire masih belum terima masalah Trista yang menolak putus dengan Lucas, ditambah, Trista menyemprotnya dengan menyebutnya 'cukup bodoh' di koridor pagi ini. Karenanya cewek pirang itu mendiamkannya dan tidak repot-repot mengajak Trista bergabung di mejanya ketika makan siang.
Kedua, Trista kenyang dijadikan objek perhatian dan pembicaraan. Mulai dari pergantian kelas, di sela-sela pelajaran, bahkan di toilet, dia selalu saja mendengar orang-orang—terutama cewek-cewek—bergosip tentangnya atau mencuri-curi pandang dengan tatapan seolah Trista berkeliling sekolah dengan mengenakan kostum badut. Ketiga, Lucas tidak masuk hari ini. Heran, ke mana perginya sang tokoh utama di tengah-tengah segala kekacauan ini?
Tapi setidaknya ada sesuatu yang dapat dijadikan pelipur lara bagi Trista. Ketika bel pulang sudah berbunyi dan koridor sudah ramai oleh obrolan ceria sehingga nyaris tidak ada lagi yang memedulikan Trista, Chloe Madison menghampirinya.
"Hai. Mana Lucas? Aku nggak melihatnya hari ini." sapa cewek itu dengan nada normal, seolah Trista dan Lucas yang bergandengan menyusuri koridor adalah pemandangan yang wajar.
"Kalau kau juga nggak mau dicap aneh, lebih baik jangan bicara denganku." kata Trista luar biasa muram.
Chloe mendesah sambil menonton Trista memindah-mindahkan buku dari ranselnya ke dalam loker, "Claire memang bodoh. Aku setuju."
Trista menoleh cepat sekali, "Dia bilang padamu soal itu?"
Chloe mengangguk seraya tersenyum.
"Kau nggak marah?" tanya Trista takut-takut.
Chloe menggeleng. Rambut cokelat gelapnya melambai ringan ketika dia melakukannya. "Kau yang jadian dengan Lucas sama normalnya seperti Chuck yang jadian dengan Leanne. Lucas memang sedikit... mencolok, tapi dia bukannya menderita kelainan jiwa atau apa."
"Sayangnya, sebagian besar orang di sini tidak sependapat denganmu." Trista kembali muram.
"Ceria dong! Apa segitu saja kemampuanmu? Angkat kepalamu. Buktikan pada Redville High bahwa kalian nggak tergoyahkan. Lama-lama mereka juga bakal bosan."
Claire lebih cantik dari kakaknya, namun Chloe jelas punya sesuatu yang Claire tidak punya. Wibawa.
"Trims." Trista tersenyum.
Chloe balas tersenyum, "Menurutku kalian pasangan yang keren. Lagipula, aku nggak bercanda waktu bilang Lucas lumayan imut. Hidungnya juga bagus..."
"Hidung siapa yang bagus?" Seth Winchester tiba-tiba muncul dari belakang Chloe, "Kenapa kalian tertawa?"
"Lupakan. Oh, Trista. Jangan terlalu khawatir soal Claire. Nanti juga baik sendiri." Chloe melambai, "Kami duluan ya."
"Hei, Tris, nggak apa-apa kok kalau kau pacaran dengan Lucas..." Seth nimbrung, "...selama mistletoe raksasa itu sudah dicopot dari bemper mobilnya."
"Jangan dengarkan dia, Trista!" Chloe menarik paksa lengan Seth.
"Yeah, bye...!" Trista nyengir melihat pasangan itu menjauh.
0
"Jadi apa itu benar?"
Trista mendongak dari layar ponselnya. Sudah lebih dari sepuluh kali gadis itu mencoba menghubungi nomor Lucas, namun tidak ada sahutan. Ya, Trista baru belakangan ini mendapat nomor Lucas, setelah cowok itu menjelaskan bahwa dia tidak sembarangan membagi-bagikan nomor telepon. Bahkan dia mengaku meminta pihak sekolah secara khusus untuk tidak mencantumkan nomor teleponnya di buku murid, dan entah bagaimana, permintaan tersebut dikabulkan.
"Apa?" tanya Trista.
"Gosip itu." kata Cliff dari sebelahnya.
"Oh." Trista mendesah sambil menekan tombol 'panggil' pada nomor Lucas, dalam hati bertanya-tanya dari mana kakaknya mendengar kabar itu. Ethan Dodson? Ted Kyle? "Yeah."
Cliff mengurangi kecepatan dan meminggirkan SUV mereka di dekat lahan parkir Day-Mart. Kemudian dia mematikan mesin.
"Apa kau perlu beli sesuatu?"
Cliff hanya memandangi setir mobil. Sementara Trista masih berusaha menghubungi Lucas.
"T, aku perlu ngomong denganmu." ujarnya.
Trista mulai mengetikkan pesan singkat untuk Lucas, "Yeah, kita sudah ngomong sekarang."
Tiba-tiba, Cliff menyambar ponsel Trista dari tangannya dan meletakkan ponsel itu di dasbor.
"Dengar," Cliff kehilangan kesabaran, "Putuskan Freewell."
"Sori?"
"Kau dengar aku. Putuskan dia."
Trista menggeleng-geleng tak percaya. Dia memberikan Cliff pandangan yang-benar-saja dan berkata, "Mula-mula Claire. Lalu kau. Kukira kau bukan tipe yang akan repot-repot peduli..."
"Bukan masalah itu, oke? Ini... ini hanya..."
"Apa?" potong Trista, "Apa?"
"Kau baru mengenalnya sebentar, T. Bisa saja dia... entahlah, mengelabuimu untuk membawamu ke suatu tempat dan... dan yeah, mungkin dia memang dulu temanmu... tapi siapa sih yang tahu apa yang bisa terjadi selama sembilan tahun?"
Trista mencari-cari sesuatu di mata Cliff, namun itu hal yang sulit karena cowok itu berusaha menghindari pandangannya.
"Apa kau membuntutiku?" tanya Trista curiga.
Cliff diam saja.
"Kau membuntutiku!" Trista menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, "Aku nggak percaya ini!"
"Aku nggak bisa percaya dia! Oke?!" Cliff frustasi, "Apalagi setelah aku melihatnya membawamu masuk ke bangunan reyot itu..."
"Itu hanya studio lukisnya!" tegas Trista sengit, "Studio lukis tempatnya menyimpan lukisan, harap tahu."
"Dan kaupikir aku bakal lebih memikirkan fungsi dari bangunan itu alih-alih kau? Setelah cowok itu membuatmu menangis?" sahut Cliff lebih sengit.
"Aku sudah berusaha menjelaskan padamu sebelumnya!" kata Trista putus asa, "Itu-bukan-salah-Lucas! Begini... kita lupakan saja masalah nangis-nangisanku waktu itu. Aku sedang sangat bingung. Itu nggak ada hubungannya sama sekali. Dan kalau perlu kuingatkan, secara teknis, aku juga baru mengenalmu sebentar, Cliff. Jadi nggak ada alasan bagimu."
"Tapi..." Cliff kehabisan kata-kata, "...tapi aku—"
"Apa? Kau mau bilang karena kau kakakku? Menjadi kakakku bukan berarti kau perlu ikut campur dalam kehidupan pribadiku."
Trista mengambil kembali ponsel yang diletakkan Cliff di dasbor, menyampirkan ranselnya, dan membuka pintu mobil. Begitu turun, seorang petugas berseragam Day-Mart menyambutnya.
"Maaf, Miss. Di sini dilarang parkir. Apa Anda akan masuk dan memarkir mobil Anda di dalam atau bagaimana?"
"Trista!" panggil Cliff yang sudah ikut turun.
"Nggak, dia hanya berhenti di sini untuk menurunkanku." Trista membual, lalu dia menoleh pada Cliff. "Aku akan ke rumah Lucas! Jangan ikuti aku!"
Entah karena nada suara Trista yang mengisyaratkan bahwa dirinya sudah tidak bisa diganggu gugat, atau karena petugas Day-Mart, Cliff tidak menyusulnya. Hanya lima belas menit waktu yang dibutuhkannya untuk mencapai rumah Lucas, dan begitu tiba di sana Trista disambut oleh Vivian—ibu Lucas.
"Masuklah Trissy!" sambutnya ramah setelah lebih dari lima kali Trista memencet bel, "Lucas sibuk seharian ini. Dia sedang berusaha menyelesaikan..."
Tiba-tiba terdengar suara Lucas yang berteriak dari lantai atas, "MOM!"
"...eh, mengecat dinding kamarnya."
Trista terdiam. Jadi alasan cowok itu tidak masuk hari ini hanya demi mengecat dinding kamarnya.
"Aku hanya kepingin bicara dengannya sebentar, Vivi. Aku berusaha menghubunginya seharian ini tetapi dia nggak mengangkat ponselnya..."
"LUCAS! TURUN DAN TEMUI TRISSY! JANGAN JADI PENGECUT, AKU NGGAK PERNAH MENGAJARIMU UNTUK MENJADI PENGECUT!"
Tak lama setelah Vivi melakukan panggilan 'penuh kasih'nya dan pergi ke dapur, Lucas muncul di ruang tamu. Penampilannya seperti orang habis lari berkilo-kilometer. Dia berkeringat, rambut pirang ikalnya berantakan, dan kaus oblong yang dipakainya penuh dengan noda cat.
"Hai."sapanya sambil agak terengah-engah.
Suasana hati Trista masih terlalu jelek untuk sekadar berbasa-basi menanyai kabar Lucas, karena itu dia langsung ke pokok masalah.
"Kenapa kau nggak mengangkat telponku?" tanyanya.
"Maaf." Lucas menghampiri Trista dan duduk di sebelahnya, bau cat menguar dari tubuhnya. "Aku tipe yang hanya menyisihkan beberapa menit untuk mengecek ponselku dalam sehari. Aku sudah pernah bilang, kau nggak bisa mengandalkan ponselku."
"Apa kau tahu apa yang terjadi di sekolah?" tanya Trista lagi.
Lucas meringis dan mengangguk, "Aku tahu."
Tidak menyangka akan mendapat itu sebagai jawaban, Trista menoleh memandang Lucas, "Kau tahu?"
"Aku mungkin terlihat sendirian sepanjang waktu, tapi aku juga punya teman yang bisa kuandalkan di Redville, Trissy."
"Well," kata Trista cepat-cepat, dia sedang tidak berminat dengan teka-teki. Lagipula Trista yakin teman yang dimaksud Lucas itu adalah Kurt, "...apa yang berhasil kau ketahui dari mata-matamu ini?"
"Aku berhasil tahu bahwa kau sangat keren hari ini."
Trista mengangkat alisnya tinggi, jelas-jelas tidak menduga perkataan Lucas, "Apa?"
"Kau mendamprat dua orang demi aku, bukan begitu? Dan kalau aku nggak salah, Claire Madison dan Jake Reed?"
Lagi-lagi, sama sekali tidak ada nada jahil yang terselip di suara Lucas. Cowok itu mengatakannya seringan biasanya, murni hanya untuk memastikan kebenaran.
Trista menyerah. Dia menghembuskan napas panjang.
"Sebenarnya, tiga orang. Cliff. Kami adu mulut di mobil, jadi nggak mungkin temanmu itu mengetahuinya."
Lucas tampak sangat tertarik dengan berita yang baru didengarnya ini, "Apa aku boleh tahu apa yang kalian perdebatkan?"
"Dia berpendapat aku terlalu cepat memercayaimu. Nggak peduli dulu kau temanku, sudah bertahun-tahun kita nggak bertemu dan aku nggak bakal tahu apakah kau sewaktu-waktu dapat menjelma jadi monster Loch Ness atau apa..."
Lucas tidak tertawa, "Dan bagaimana pendapatmu?"
Trista mendesah, "Kecemasan Cliff itu berlebihan. Rasanya aneh punya kakak laki-laki yang kelewat khawatiran."
Seusai mengucapkan itu, Lucas memandangi Trista lama sekali.
"Apa kau percaya padaku?" tanya cowok itu.
"Aku nggak akan di sini kalau aku nggak memercayaimu."
Mendengar itu, alih-alih menunjukkan ekspresi lega, Lucas malah mengatupkan rahangnya seperti orang yang sedang kesal. Ini jarang terjadi sebelumnya.
"Aku sudah menimbulkan banyak masalah buatmu." ujarnya, lebih kepada dirinya sendiri.
"Nggak begitu." Trista terenyuh. Dia membelai rambut di dekat pipi Lucas, "Jangan pernah ngomong begitu."
"Aku akan bicara pada Cliff." Lucas memutuskan, "Dan kedua orangtuamu. Aku ingin mereka percaya padaku."
"Soal itu..." Trista menurunkan tangannya, "...sebetulnya aku belum memberitahu Tim dan Sarah kalau kita pacaran."
Melihat tampang Lucas, Trista buru-buru menambahkan, "Bukan karena aku nggak percaya padamu! Hanya saja..." kalimat Trista terhenti. Dia kehilangan kata-kata, "...aku yakin mereka nggak akan keberatan soal kita, hanya saja... ini sulit dijelaskan."
Keheningan menyusul kata-kata Trista. Gadis itu sudah bersiap untuk menerima tanda-tanda kekecewaan dari Lucas, namun hal itu sama sekali tak ada.
"Aku mengerti." hanya itu yang dikatakan cowok itu.
Bertolak belakang dengan pernyataan itu, Trista malah sama sekali tidak bisa mengerti dirinya sendiri.
0
:'(
Mohon vote & comment-nya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro