Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 16 -

Hingga kini, Trista masih sangat kesulitan mendeskripsikan Lucas dalam satu kata. Lucas bukannya hiperaktif ataupun cari-cari perhatian karena selera berpakaiannya yang aneh dan mencolok. Lagipula, Trista merasa Lucas cocok-cocok saja memakai apa saja, celana berumbai warna pelangi sekalipun (sekadar tambahan, dia memang memakai celana pendek kargo motif pelangi hari ini).

Lucas juga bukannya bawel, tetapi dia jago berkata-kata. Ucapan maupun komentar yang dilontarkannya seringkali menimbulkan berbagai reaksi dari Trista, mulai dari menebak-nebak penasaran, hingga melotot-lotot tak percaya. Dari cara bicara Lucas, Trista dapat menilai bahwa cowok itu sebetulnya pintar, jenaka, kreatif, dan manis.

Di samping penampilannya yang nyentrik, cowok itu hampir selalu bisa merebut perhatian Trista. Hobi, mobil, garasi rumah, segala sesuatu yang biasa di sekeliling Lucas dapat menjadi hal yang tidak biasa. Namun semua itu tidak dibuat-buat. Itulah mengapa bersama Lucas tidak pernah membuat Trista merasa bosan.

Tetapi hari ini Lucas tidak seheboh biasanya. Setelah memarkir kombinya dengan rapi di halaman The Lodge—Trista sudah menduga mereka akan ke sini—Lucas kembali mengajak Trista naik ke lantai dua bangunan lusuh itu dan melihat lukisan-lukisannya.

Dan lagi-lagi, lukisan anak perempuan berkepang dua yang mengenakan gaun piknik bunga-bunga hijau di salah satu dindingnya membuat Trista tertarik.

"Ayo." Lucas tiba-tiba muncul di belakangnya sambil membawa peralatan melukis, "Kita cuma mampir di sini."

Trista menonton cowok itu memasukkan kuas-kuas, cat, dan buku gambar besar ke kursi belakang kombi. Mereka kemudian berkendara lagi menyusuri jalanan yang mengitari danau Silverbirch, menjauhi deretan pertokoan dan pepohonan di kiri dan kanan mereka semakin rapat. Namun dari jendela penumpang, Trista masih dapat melihat kilauan air danau yang memantulkan sinar matahari dari balik pepohonan.

Tak beberapa lama, mereka tiba di daerah yang lebih lapang, berbukit, dan jarang pohonnya. Lucas membelokkan mobil keluar dari jalan dan memarkir kombinya di atas rerumputan. Dan apa yang menyambut mereka amat sangat luar biasa.

Tidak ada lagi keriuhan deretan toko Birch's End dan jalan raya sebagai latar belakang, melainkan murni pepohonan, bukit-bukit berumput, dan ilalang-ilalang di tepian danau. Trista masih melihat danau yang sama, hanya saja pemandangannya benar-benar berbeda.

Selama beberapa detik, Trista berdiri mematung menyaksikan pemandangan itu dengan kekaguman membuncah di dadanya, diiringi angin sepoi yang berhembus menyenangkan di tengkuk dan lengannya. Trista berbalik dan mengamati dalam diam kombi kuning berhias boneka-kepala-goyang dan Lucas yang wara-wiri membawa peralatan melukisnya dari dalam mobil ke atas rumput.

"Akhirnya aku tahu di mana kau membuat lukisan danau yang itu." ujar Trista.

Lucas tersenyum, "Bentuk Silverbirch melengkung, mirip seperti kacang. Atau biskuit yang digigit? Pokoknya, kita sedang berada di cekungannya, menghadap berlawanan dengan cekungan Birch's End, sehingga kita nggak melihat deretan pertokoan dari sini."

Masih terkagum-kagum, Trista mengikuti Lucas berjalan, agak menurun untuk lebih mendekati tepian danau. Kemudian cowok itu duduk begitu saja di atas rumput dan mulai membuka tutup wadah-wadah cat yang dibawanya.

"Apa yang akan kaulukis?" Trista bertanya penasaran.

"Kau."

Trista melongo. Kemudian mulai terkekeh gugup.

"K-kau serius?"

"Yeah."

Begitu menyadari nada suara Trista yang tegang, Lucas mendongak dari buku gambarnya dan berkata, "Apa kau lebih nyaman untuk digambar berdiri? Aku akan mulai menggambar sketsanya kalau begitu."

Dengan kikuk, Trista berjalan ke hadapan Lucas dan duduk tak jauh darinya. Dapat dilihatnya cowok itu sedang mengulum senyum.

"Senang ya, melihatku tampak idiot di kanvasmu?" semprot Trista.

"Trissy." Lucas memotong, "Keberatankah kau jika aku menanyaimu beberapa pertanyaan selama aku melukismu?"

"Dengar Luke, aku nggak terbiasa dengan hal-hal seperti ini, dilukis atau sejenisnya..."

"Kita mulai." Lucas tidak memedulikan protes Trista, "Apa kau keberatan jika aku melihat Zero kapan-kapan?"

"Apa?" Trista kaget tiba-tiba ditanyai begitu. Lucas menunggu dan mengamati, maka gadis itu menjawab sekenanya. "Well, ya... mengapa tidak? Aku pernah bilang Zero peliharaan yang cukup asyik."

Lucas mulai sibuk dengan buku gambarnya. Sementara Trista makin gelisah.

"Ng... Luke, bukankah lebih baik kau melukis sesuatu yang lain seperti..." Trista melihat capung melintas di hadapannya, "...serangga misalnya?"

"Perlu penglihatan mikroskopis untuk itu..."

"Capung nggak mikroskopis!"

"Pertanyaan kedua..." Lucas memotong cuek, "Apa kau tahu berapa jumlah boneka-kepala-goyang di dasborku?"

Trista memutuskan untuk menyerah saja dengan kebingungannya dan pasrah menjawab, "Eh... mungkin sepuluh?"

"Sembilan." Lucas meralat tajam, "Pertanyaan berikutnya..."

Rasanya sudah berjam-jam Trista duduk di sana, meladeni belasan pertanyaan acak yang diajukan Lucas tanpa kenal lelah. Dan cowok itu terus saja menyapukan kuasnya ke atas kertas gambarnya dengan santai, seperti murid yang sedang menyalin perkataan gurunya di depan kelas. Ada beberapa contoh pertanyaan yang cukup membekas di benak Trista, seperti; 'apa yang kaulakukan saat band favoritmu tampil di kota tapi kau nggak bisa pergi karena kau sedang ujian' (Trista memperagakan gerakan menyobek-nyobek kertas di udara, kemudian membuangnya ke balik bahu), 'mengapa menurutmu Redville dinamakan 'Redville'' ("Entahlah, mungkin karena pendirinya suka warna merah," kata Trista), 'apa cita-citamu dulu sebelum kau menyadari realita bahwa itu sulit diwujudkan' (astronot), 'siapa orang paling berselera humor tinggi yang kaukenal sejauh ini' (entah mengapa Trista hanya mampu membayangkan Cliff), 'apa yang kau lakukan jika aku—Lucas—berangkat ke sekolah dengan mengenakan daster' (Trista terbahak-bahak), dan 'berapa umurmu ketika kau pertama kali melakukan ciuman pertama' (yang dijawab Trista dengan gelengan kepala, karena dia sama sekali tidak tahu).

"Es krim pistachio atau es krim teh hijau?" tanya Lucas.

"Teh hijau." jawab Trista.

"Apa pendapatmu saat pertama kali melihatku di Redville High?" Lucas bertanya lagi sambil meletakkan kuasnya.

Trista menahan senyum, "Serius nih?"

Lucas mengangkat bahu.

"Hm. Kau lumayan cute."

"Wah, terima kasih. Untukmu juga." Lucas tersipu.

Trista tertawa.

Kemudian, Lucas menirukan suara genderang ditabuh dengan dramatis. "Pertanyaan terakhir."

Trista bersiap menerima pertanyaan sesulit apapun.

"Apa kau masih ingat lukisan pertamaku yang kutunjukkan padamu di studio?"

"Anak perempuan dengan berkepang dua itu?"

Lucas mengangguk, "Apa kau tahu siapa dia?"

Trista menggeleng.

"Well, Trissy. Itu kau."

"Apa?"

"Kau tahu, Trissy... itu adalah 'apa' kedua-puluh-empatmu hari ini." Lucas mengingatkan.

Trista membuka-tutup mulutnya seperti ikan yang dikeluarkan dari kolam.

"Muse-mu...?" gagapnya.

"Yeah, itu kau."

Jika dapat divisualisasikan, isi kepala Trista saat ini dapat diumpamakan seperti potongan-potongan puzzle yang teraduk-aduk, kemudian beberapa di antaranya berhasil menempati pecahan yang tepat.

"Apa—apakah foto di ruang tamu rumahmu itu adalah aku...?" Trista bertanya.

"Yang mana?"

"Y—yang sedang berjinjit untuk... kau tahu, kau pakai topi ulang tahun di situ."

"Tebakanmu benar." Lucas sesaat tersenyum, namun kemudian senyumannya memudar. "Dan kau nggak ingat satupun."

Lucas membereskan peralatan melukisnya dan sudah hendak bangkit, ketika Trista akhirnya membulatkan tekad.

"Luke, ada sesuatu yang seharusnya sudah kubicarakan denganmu sejak lama."

Lucas terdiam sejenak. Kemudian dia meletakkan kembali peralatannya dan duduk lagi di rumput di hadapan Trista. Hanya saja, kali ini dia mempersempit jaraknya. Ujung topi koboinya nyaris menyentuh dahi Trista.

"Aku mendengarkan." katanya, tenang dan kalem.

Selama beberapa saat Trista hanya mengigiti bibirnya sambil memandangi Lucas.

"Kau pernah bertanya apa yang terjadi padaku. Nah, aku... kehilangan ingatan."ungkap Trista.

"Amnesia?" Lucas memastikan.

"Amnesia."

Lucas tidak menunjukkan tanda-tanda keterkagetan, ketidakpercayaan, atau tanda-tanda ingin menginterupsi. Dia hanya duduk diam di sana, seolah ingin mendengar lebih. Maka Trista mengabulkannya. Trista menceritakan kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatan. Dia juga menceritakan bahwa itu terjadi ketika dirinya berumur delapan tahun, dan sejak saat itu, hidupnya berubah.

Trista menceritakan segalanya. Kehidupan orangtuanya yang sulit, ayahnya yang sempat dipenjara, juga identitasnya sebagai 'anak' Diana Malcolm. Hingga pertemuan kembali dirinya dengan orangtuanya belum lama ini, yang otomatis mengembalikan nama Trista Frauss kepadanya.

Trista bahkan tidak tahu mengapa bisa-bisanya melakukan itu. Dia selalu beranggapan dia tidak akan sanggup menuangkan isi hatinya kepada orang lain selain Diana atau Lucy. Namun yang terjadi sekarang malah mengherankan. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya dapat curhat habis-habisan kepada Lucas Freewell.

Trista mengakhiri cerita panjangnya dengan menunduk, jari-jarinya memainkan rumput. "Aku minta maaf karena aku nggak ingat satu hal pun tentang kau. Juga karena aku menghilang begitu saja dan kembali dalam keadaan yang kosong melompong seperti ini. Itu penjelasan mengapa aku nggak mengingatmu, Luke. Dan banyak hal sebelum ini. Kau benar tempo hari. Aku alien."

Bagi Trista, segalanya akan berbeda jika saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Tidak akan ada Daniela Malcolm. Mungkin saja kedua orangtuanya tidak akan memisahkannya dari Cliff dan mereka terus hidup bersama, tak peduli seburuk apapun kondisi keluarga mereka dulu. Dia tidak akan meninggalkan Redville. Dan siapa tahu hubungannya dengan Lucas akan jadi seperti apa?

Mendadak, tangannya yang tengah sibuk memainkan rumput disentuh oleh Lucas. Trista mendongak menatap cowok itu.

"Sepanjang pengetahuanku, nggak ada aturan yang mengharuskan seseorang yang terkena amnesia meminta maaf karena dirinya terkena amnesia." Lucas berkata, "Aku yang harusnya minta maaf karena sempat mengira kau alien."

Trista mau tak mau jadi tersenyum, "Kau pikir aku dicuci otak?"

"Yeah, semacam itu." kata Lucas, "Lega mengetahui teoriku salah."

Trista tertawa, namun alih-alih ikut tertawa, Lucas malah diam.

"Siapa namamu dulu? Sebelum kau pindah ke sini lagi?" tanya cowok itu.

"Daniela Malcolm." Trista menjawab.

"Trissy." katanya lagi, "Aku nggak bohong lho, soal gentleman kreatif itu. Kau dulu pernah bilang kau suka gentleman kreatif."

"Yeah, Luke. Tapi maaf, aku nggak bisa mengingatnya."

"Bagaimana sekarang? Apa kau masih menyukainya? Daniela, Trista, atau siapapun kau?"

Pertanyaan Lucas barusan seolah diamini oleh hal-hal sekitarnya, dengan angin yang mendadak berhembus, membuat dedaunan bergemerisik dan dahan-dahan pohon berkeretakan lembut.

Trista tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya dia tahu Lucas memiliki perasaan terhadapnya. Sejak pertama kali bertemu dengan cowok itu pasca kepindahannya hingga saat ini, Trista sesungguhnya tahu hal ini akan terjadi.

Tapi tetap saja, gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak terpana mendengarkan pengakuan cowok nyentrik berwajah imut itu.

"Well... ya." Trista akhirnya membuka suara, "Mustahil nggak menyukainya setelah mencicipi ayam lemon bikinan ibunya."

Seiring dengan kata-kata yang diucapkannya, senyuman Lucas mengembang semakin lebar.

"Kalau begitu, maukah kau membantuku melakukan sesuatu?"

Lucas berdiri dan berjalan menuju kombi kuningnya. Kening Trista semakin terkernyit ketika dilihatnya cowok itu mengeluarkan tumpukan koran dari kursi belakangnya, membuka pintu penumpang, dan mulai menghamparkan koran-koran tersebut satu-persatu guna melapisi jok depan.

"Kau ngapain sih?" Trista memerhatikan Lucas kembali ke tempat mereka duduk tadi untuk mengambil peralatan lukisnya.

"Aku butuh kau untuk menyelesaikan dekorasiku." sahutnya. Nada suaranya sudah berubah seringan dan seceria biasanya.

Lucas menunjuk lukisan langit di atap mobilnya, "Ada yang kurang?"

Trista ikut melongokkan kepalanya ke dalam mobil untuk melihat lukisan itu, "Yeah. Aku sudah lama kepingin menanyaimu kenapa nggak ada bulan di sana."

Lucas menyodorkan sebuah kuas kepadanya, "Semua orang tahu matahari butuh pasangan."

Trista mengambil kuas dari tangan Lucas dan mencelupkan ujungnya ke dalam botol cat warna putih, "Kau ingin aku buat bulan yang seperti apa? Bulan sabit? Atau bulan penuh?"

"Terserah padamu. Kau bulannya."

Lucas mengatakan itu dengan nada ringan, sama datar dan normalnya seperti ketika seseorang memberitahumu 'ini hari Selasa', dia tidak berkedip jahil atau tersenyum sok keren atau apa. Tapi efeknya luar biasa. Wajah Trista mendadak panas. Dia berharap tidak ada semburat merah yang muncul di pipinya dan kalaupun ada, dia tidak ingin Lucas melihatnya. Karena itu dia cepat-cepat naik ke kursi penumpang. Cukup sulit melukis sambil duduk dengan posisi kepala menghadap ke atas seperti ini. Lucas rupanya mengerti, karena cowok itu segera merendahkan sandaran kursinya.

"Tanganmu masih bisa meraih langit-langit kalaupun kau dalam posisi nyaris berbaring seperti ini." katanya.

Trista menurutinya. Dia bersandar dan mulai menyapukan kuasnya. Sejenak dia mempertimbangkan hendak membuat bulan sabit, namun setelah berpikir ulang, bulan purnama yang cemerlang tampak lebih bagus baginya. Trista menekankan kuasnya lumayan kuat untuk membuat bola putih seukuran biskuit, kemudian memberikan sapuan lembut di sekeliling bola itu agar ada efek gradasi, seolah bulan tersebut memang berpendar oleh cahaya. Trista memang tidak jago gambar, namun dia lumayan puas dengan hasilnya.

"Nah..." Trista menjatuhkan tangannya setelah bulannya jadi, "Mari kita berdoa semoga gambarku nggak menghancurkan karyamu."

Lucas menggeleng-geleng, "Bulannya sempurna."

Masih berdiri di sebelah kursi penumpang, Lucas memandangi Trista dengan sepasang matanya yang berwarna biru cerah dan tersenyum. Lucas membuka topinya dan menggantungnya di spion, kemudian membungkuk untuk mencium Trista.

"Daniela, Trista... aku menyukaimu." Lucas bergumam, di tengah-tengah ciumannya. Di sana, di tepi danau Silverbirch, di dalam kombi, di bawah lukisan langit.

Kalau dipikir-pikir, hari ini segalanya mirip adegan-adegan klise di novel roman. Tapi dalam kebanyakan novel roman, tidak ada pasangan yang ciuman dengan bau cat di mana-mana. Serta tidak ada tokoh utama cewek yang masih memegangi kuas dan masih dalam posisi setengah tiduran di atas tumpukan koran sembari dicium.

0

<3

Mohon vote & comment-nya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro